Catatan itu saya buat tepat
setelah saya menuntaskan buku "Avenoir", sebuah kumpulan cerita karya
kakak tingkat saya semasa duduk di bangku Aliyah; Kak Urfa Qurrota ‘Ainy.
Judul: Avenoir
Penulis: Urfa Qurrota ‘Ainy
Penerbit: CV. Halaman Indonesia
Editor: Sabaruddin Firdaus
Ilustrasi Sampul: Dani Nugraha
Jumlah Halaman: 191+viii halaman
Usai membaca Avenoir, ada
semacam perasaan lega yang ikut menyeruak. Bukan, bukan karena akhir cerita
bahagia atau semacamnya. Lagipula Avenoir berisikan kumpulan cerita dengan
judul berbeda, meski satu sama lain saling berkaitan. Agak sulit sebenarnya
menggambarkan dengan kata-kata. Perasaan lega yang saya rasakan boleh dikatakan
semacam healing. Seperti ikut
berdamai dengan diri sendiri seiring dengan berdamainya Ayu dan Hanafi; salah dua
tokoh di Avenoir.
Hal yang paling saya sukai dari
buku ini adalah cerita fiksinya yang terasa sangat nyata—dan jujur saja, di
luar ekspektasi. Awal-awal membaca pengantar tentang Avenoir dari Kak Urfa di
media sosial, saya kira buku ini berisikan semacam fiksi yang benar-benar fiksi
(katakanlah, imajinatif). Bahkan membaca pembukanya, tokoh "Da" yang
merupakan pendengar cerita menjelma menjadi seekor kucing atau semacamnya di
kepala saya. (Entah, saya juga tidak tahu mengapa bisa berpikir demikian, hhe).
Ya, di luar ekspektasi. Avenoir
ternyata adalah fiksi yang sangat riil. Da ternyata adalah seorang manusia—perempuan—biasa,
yang pekerjaannya mendengarkan cerita para pencerita. Judul pada setiap bab utama dalam buku ini diambil dari nama tokoh yang bermain peran. Selain itu, Avenoir
juga diperkaya dengan sajak-sajak penuh makna (yang kalau mau benar-benar
memahaminya mungkin tak cukup dibaca satu kali). Ssst… ada bonus foto-fotonya juga :D
Saya tidak hiperbola ketika
menulis catatan bahwa Avenoir bisa membuat merinding, menangis, juga senyum-senyum
sendiri. Saya merinding membaca kisah Rangga. Benar-benar sindiran keras yang
dibalut dalam kisah manis setengah sendu. Saya menangis membaca kisah Nyonya
Wulan dan Kinara-nya. Entah, mungkin karena Avenoir ditulis oleh seorang ibu,
rasanya pesan dalam bab ini terasa sangat menyentuh. Saya dibuat senyum-senyum
sendiri pada bab terakhir—tentu saja. Bukan karena romantisme nya, tapi karena Kak
Urfa apik sekali menuliskan ending
yang manis. Seolah memberi rambu bahwa usai membaca buku ini ada kenyataan yang
harus dijalani. Cerita sungguhannya seakan baru saja dimulai.
"It’s okay not to be okay."
Yang saya sukai lagi dari buku
ini, tentu saja bahwa ada pesan penting yang penulisnya hendak sampaikan. Ini
bukan kisah indah tanpa masalah, atau kisah penuh masalah yang berakhir bahagia.
Sama sekali bukan. Bagi saya, buku ini mengajarkan sebuah proses penerimaan, sebuah
perjalanan menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan. Bahwa setiap orang
boleh jadi punya persoalannya masing-masing, dan sangat mungkin diuji dengan
hal yang (harusnya) paling ia kuasai.
Barangkali karena tema dalam
buku ini sangat dekat dengan bidang yang memang sedang saya tekuni, saya jadi
sangat mudah jatuh hati. Entah bagaimana, saya menerka mungkin saja di luar
sana ada Ayu, ada Hanafi, ada Utami, juga ada Havi-Havi yang lain.
Terakhir, buku ini menggelitik
jiwa, dan sangat sayang jika dibaca dengan teknik skimming. Sebab seringkali hikmahnya hadir usai satu-dua kalimat yang
sangat mungkin terlewat jika dibaca dengan buru-buru.
Salam hormat saya sampaikan
kepada para guru, pendidik, konselor, psikolog, dan siapapun yang menjadi
pendengar cerita. Sungguh, kalian istimewa! ^_^
Jakarta, 9 November 2019
12 Rabi’ul Awal 1441 H
No comments:
Post a Comment