Sunday, November 16, 2014

Menafkahi Hati Kita dengan Prasangka Baik

Dalam hidup, kita aka senantiasa dihadapkan oleh pilihan-pilihan. Mulai dari urusan makan hingga urusan pendidikan. Mulai dari lini keluarga hingga lingkup negara. Hidup menjadi manusia model apapun, kita akna tetap dipaksa memilih. Jadi jangan tanya kenapa deciding masuk ke dalam bahan ajar perkuliahan.

Sejalan dengan prinsip ekonomi, kita akan berusaha untuk mengambil keputusan-keputusan dalam hidup yang mendukung untuk efektivitas dan efisiensi. Hidup yang saya bicarakan disini tentu saja bicara tentang hidup seorang muslim: bicara tentang hidup seorang hamba. Standar efektif dan efisien tentu sangat tergantung dari bagaimana kita memaknai kehidupan itu sendiri.

Kalau guru Tsanawiyah saya pernah mengatakan bahwa hidup adalah pilihan, sebenarnya diam-diam saya tidak terlalu setuju. Karena bagaimana bisa dikatakan demikian, sementara saya tidak pernah memilih untuk hidup dan dilahirkan? Jika ada kesempatan memilih, mungkin dihadirkan di dunia sebagai sebatang kayu saja akan jadi lebih mudah. Namun diluar itu, saya setuju bahwa konteks hidup adalah kumpulan pilihan-pilihan. Kumpulan respons hamba terhadap instruksi, terhadap perkataan penciptanya.

Kita hidup pada waktu yang sama. Pada zaman yang sama. Pada atmosfer bumi yang juga sama. Tempat tinggal kita tidak berjauhan. Makanan sehari-hari kita serupa. Kegiatan kita pun seringkali bersamaan. Pagi kita saling menyapa, petang kita melambai tangan sambil mengucap salam. Lantas, apakah yang menjadi pembeda anatara kita? Bagaimana bisa muncul prasangka-prasangka dalam benak kita? Bukankah lelah kita sama? Lantas kenapa intensitas kehadiran kita pada waktu-waktu itu jadi berbeda? Mengapa pada satu waktu aku datang, kau tidak ada? Sebaliknya, kau datang, dan aku tidak? Asumsikan saja semua keseharian kita sama. Semua kewajiban kita sama.

Kita hidup dalam keberagaman fikir yang menancap pada otak. Hidup dalam kumpulan persepsi yang telah terkonklusi dan boleh jadi memiliki kesan berbeda di masing-masing kepala. Kalau pun diikatakan kita serupa dan homogen, sejarah hidup kita berkata lain. Jalan hidup kita, cerita kita, pengalaman-pengalaman kita, keputusan-keputusan terdahulu kita, adalah unik adanya. Masing-masing kita tentu memiliki dialog panjang dengan Tuhan yang pada akhirnya melahirkan pemikiran, menghadirkan mindset, memunculkan keputusan-prioritas yang berbeda.

Mengingat akan hal ini, tentu tidak heran jika permasalahan bisa muncul meski diri sama-sama mengaku bergerak dengan kendali mesin yang sama. Tentu tidak heran jika persepsi, penilaian, kepentingan, hingga pengambilan keputusan yang kita lakukan berbeda meski alasan yang kita ungkap sama. Contoh saja yang saat ini sedang relevan dan sederhana, bagaimana penguasa negeri kita sibuk berseteru dengan alasan yang sama: (katanya) untuk kepentingan rakyat. Lantas? Harusnya kita tidak perlu sibuk dengan perbedaan semacam ini. Kebaikan akan berjumpa di titik temunya, bukan? Meski orang bilang kebaikan itu subjektif dan kebenaran itu pasti, namun saya rasa hukum relativitas berlaku untuk keduanya. Pada akhirnya, yang baik akan berkumpul bersama yang baik.

Maka dari itu, saya rasa kita perlu menjadi seorang profesional yang menilai dengan bijak. Yang menjuri tanpa mengingkari. Yang menasihati tanpa menghakimi. Yang menyampaikan tanpa memaksa keinginan. Namun, bukan berarti kita tidak mengupayakan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang kita yakini. Hanya saja kita perlu mengemas dengan cantik penyampaiannya. Hanya saja kita perlu mengambil pelajaran, karena boleh jadi (fikiran) kita yang keliru. Bukan serta-merta mengklaim bahwa konsep diri kita-lah yang mutlak benar. Bukan serta-merta menjurikan ‘salah’ untuk pihak di luar kita. Rasulullah, teladan kita itu, tidak pernah mengajarkan umatnya bertindak angkuh dan sombong. Beliau juga tidak mengajarkan kita untuk menaruh prasangka-prasangka buruk, terlebih pada suadara seiman. Bukan begitu?

Mungkin saat ini lingkungan kita sama. Kewajiban kita sama. Masa-masa kita lalui boleh jadi juga bersama. Tapi itu saat ini. Sementara jauh sebelum masa ini datang, kita telah memperoleh jalan panjang. Pembentukan-pembentukan fikir yang mungkin tidak kita sadari. Sebagai pribadi, saya kerap berusaha menerapkan ini. Melihat sisi tidak terlihat dari pihak di luar diri. Misalkan saja, saya sama sekali tidak suka dengan keluhan yang kontinu. Gerutu akan hal-hal sederhana semisal hari panas atau persoalan banyak tugas. Perjalanan saya mengatakan bahwa keluhan semacam itu hanya akan mempersulit diri sendiri. Saya dididik untuk berfikir demikian. Lantas ketika suatu saat saya berjumpa dengan orang yang berlaku demikian, yang disibukkan dengan gerutu-gerutu, apakah pantas saya merasa lebih baik? Saya rasa tidak. Kita tidak pernah tahu sejarah macam apa, perjalan macam apa yang telah menemaninya selama ini. Bisa jadi ia belum mengetahui bahwa keluhan akan membuat diri semakin susah. Atau boleh jadi, baginya keluhan semacam itu adalah hal sepele yang tidak berdampak penting pada psikologisnya. See beyond the eyes can see. Jika menemukan hal-hal yang di luar pemahaman kita, upayakan cari tahu. Bukan untuk mengikuti, hanya simpel saja, untuk mencoba memahami karakter manusia. Untuk menyampaikan nilai-nilai yang kita yakini kebaikannya. Untuk mengecek ulang pemahaman kita, atau bahkan menguatkannya. Suatu saat kita akan tahu betapa berharganya kemampuan ini.

Begitu juga tentang prioritas dan bagaimana kita menentukan pilihan. Disadari atau tidak, banyak faktor yang berperan. Disadari atau tidak, kita banyak belajar dari kondisi dan situasi yang pernah kita jumpai. Bukan hanya kita, tentu saja, tapi juga orang lain. Maka jangan heran jika prioritas masing-masing kita berbeda. Bagaimanapun, hidup kita dihadapkan pada pilihan-pilihan. Setiap orang mengalami proses pembelajaran yang unik. Kriteria prioritas antar insan boleh jadi berbeda. Catatan pentingnya, jadilah profesional yang bijak. Yang tidak menjuri seenaknya.

Jika dalam suatu kesempatan kegiatan yang menurut kita sangat penting, namun di saat yang bersamaan orang lain memilih mundur dan melakukan aktivitas yang lain, ada baiknya kita bertanya tentang apa dan mengapa. Ia pasti memiliki alasan. Entah negatif atau positif, itu tidak penting –setidaknya bagi kita- karena perihal niat adalah hak masing-masing individu. Tapi pertanyaan apa dan mengapa, keyakinan bahwa ia memiliki alasan atau pun latar belakang, akan membantu kita mengolah fikiran. Bukan malah seenaknya menghakimi tanpa kejelasan. Bukan malah serta-merta menganggap ia tidak solid atau bahkan menilainya miskin kontribusi. Mungkin bagi sebagian orang,  hal semacam ini sulit dipahami. Tapi percayalah, cara ini efektif untuk menjaga diri dari prasangka-prasangka negatif: seizin Allah Subhanahu wa Ta'ala.
.

Ini bukan hanya tentang berprasangka baik kepada orang lain,
Tapi lebih tentang menafkahi hati kita dengan prasangka-prasangka baik.

Wallahu a'lam.


Ditulis di Jakarta-Bogor, 16 November 2014
Ketika langit sedang melagukan gemuruhnya.


No comments:

Post a Comment