Dalam hidup, kita aka senantiasa
dihadapkan oleh pilihan-pilihan. Mulai dari urusan makan hingga urusan
pendidikan. Mulai dari lini keluarga hingga lingkup negara. Hidup menjadi
manusia model apapun, kita akna tetap dipaksa memilih. Jadi jangan tanya kenapa
deciding masuk ke dalam bahan ajar
perkuliahan.
Sejalan dengan prinsip ekonomi,
kita akan berusaha untuk mengambil keputusan-keputusan dalam hidup yang
mendukung untuk efektivitas dan efisiensi. Hidup yang saya bicarakan disini
tentu saja bicara tentang hidup seorang muslim: bicara tentang hidup seorang
hamba. Standar efektif dan efisien tentu sangat tergantung dari bagaimana kita
memaknai kehidupan itu sendiri.
Kalau guru Tsanawiyah saya pernah
mengatakan bahwa hidup adalah pilihan, sebenarnya diam-diam saya tidak terlalu setuju.
Karena bagaimana bisa dikatakan demikian, sementara saya tidak pernah memilih
untuk hidup dan dilahirkan? Jika ada kesempatan memilih, mungkin dihadirkan di
dunia sebagai sebatang kayu saja akan jadi lebih mudah. Namun diluar itu, saya
setuju bahwa konteks hidup adalah kumpulan pilihan-pilihan. Kumpulan respons
hamba terhadap instruksi, terhadap perkataan penciptanya.
Kita hidup pada waktu yang sama.
Pada zaman yang sama. Pada atmosfer bumi yang juga sama. Tempat tinggal kita
tidak berjauhan. Makanan sehari-hari kita serupa. Kegiatan kita pun seringkali
bersamaan. Pagi kita saling menyapa, petang kita melambai tangan sambil
mengucap salam. Lantas, apakah yang menjadi pembeda anatara kita? Bagaimana bisa
muncul prasangka-prasangka dalam benak kita? Bukankah lelah kita sama? Lantas kenapa
intensitas kehadiran kita pada waktu-waktu itu jadi berbeda? Mengapa pada satu
waktu aku datang, kau tidak ada? Sebaliknya, kau datang, dan aku tidak? Asumsikan
saja semua keseharian kita sama. Semua kewajiban kita sama.
Kita hidup dalam keberagaman
fikir yang menancap pada otak. Hidup dalam kumpulan persepsi yang telah
terkonklusi dan boleh jadi memiliki kesan berbeda di masing-masing kepala.
Kalau pun diikatakan kita serupa dan homogen, sejarah hidup kita berkata lain.
Jalan hidup kita, cerita kita, pengalaman-pengalaman kita, keputusan-keputusan
terdahulu kita, adalah unik adanya. Masing-masing kita tentu memiliki dialog
panjang dengan Tuhan yang pada akhirnya melahirkan pemikiran, menghadirkan mindset, memunculkan keputusan-prioritas
yang berbeda.
Mengingat akan hal ini, tentu
tidak heran jika permasalahan bisa muncul meski diri sama-sama mengaku bergerak
dengan kendali mesin yang sama. Tentu tidak heran jika persepsi, penilaian,
kepentingan, hingga pengambilan keputusan yang kita lakukan berbeda meski
alasan yang kita ungkap sama. Contoh saja yang saat ini sedang relevan dan
sederhana, bagaimana penguasa negeri kita sibuk berseteru dengan alasan yang
sama: (katanya) untuk kepentingan rakyat. Lantas? Harusnya kita tidak perlu sibuk
dengan perbedaan semacam ini. Kebaikan akan berjumpa di titik temunya, bukan?
Meski orang bilang kebaikan itu subjektif dan kebenaran itu pasti, namun saya
rasa hukum relativitas berlaku untuk keduanya. Pada akhirnya, yang baik akan
berkumpul bersama yang baik.
Maka dari itu, saya rasa kita
perlu menjadi seorang profesional yang menilai dengan bijak. Yang menjuri tanpa
mengingkari. Yang menasihati tanpa menghakimi. Yang menyampaikan tanpa memaksa
keinginan. Namun, bukan berarti kita tidak mengupayakan nilai-nilai kebaikan
dan kebenaran yang kita yakini. Hanya saja kita perlu mengemas dengan cantik
penyampaiannya. Hanya saja kita perlu mengambil pelajaran, karena boleh jadi (fikiran)
kita yang keliru. Bukan serta-merta mengklaim bahwa konsep diri kita-lah yang
mutlak benar. Bukan serta-merta menjurikan ‘salah’ untuk pihak di luar kita. Rasulullah,
teladan kita itu, tidak pernah mengajarkan umatnya bertindak angkuh dan
sombong. Beliau juga tidak mengajarkan kita untuk menaruh prasangka-prasangka
buruk, terlebih pada suadara seiman. Bukan begitu?
Mungkin saat ini lingkungan kita
sama. Kewajiban kita sama. Masa-masa kita lalui boleh jadi juga bersama. Tapi
itu saat ini. Sementara jauh sebelum masa ini datang, kita telah memperoleh
jalan panjang. Pembentukan-pembentukan fikir yang mungkin tidak kita sadari.
Sebagai pribadi, saya kerap berusaha menerapkan ini. Melihat sisi tidak
terlihat dari pihak di luar diri. Misalkan saja, saya sama sekali tidak suka
dengan keluhan yang kontinu. Gerutu akan hal-hal sederhana semisal hari panas
atau persoalan banyak tugas. Perjalanan saya mengatakan bahwa keluhan semacam
itu hanya akan mempersulit diri sendiri. Saya dididik untuk berfikir demikian.
Lantas ketika suatu saat saya berjumpa dengan orang yang berlaku demikian, yang
disibukkan dengan gerutu-gerutu, apakah pantas saya merasa lebih baik? Saya rasa
tidak. Kita tidak pernah tahu sejarah macam apa, perjalan macam apa yang telah
menemaninya selama ini. Bisa jadi ia belum mengetahui bahwa keluhan akan
membuat diri semakin susah. Atau boleh jadi, baginya keluhan semacam itu adalah
hal sepele yang tidak berdampak penting pada psikologisnya. See beyond the eyes can see. Jika
menemukan hal-hal yang di luar pemahaman kita, upayakan cari tahu. Bukan untuk
mengikuti, hanya simpel saja, untuk mencoba memahami karakter manusia. Untuk
menyampaikan nilai-nilai yang kita yakini kebaikannya. Untuk mengecek ulang
pemahaman kita, atau bahkan menguatkannya. Suatu saat kita akan tahu betapa
berharganya kemampuan ini.
Begitu juga tentang prioritas dan
bagaimana kita menentukan pilihan. Disadari atau tidak, banyak faktor yang
berperan. Disadari atau tidak, kita banyak belajar dari kondisi dan situasi
yang pernah kita jumpai. Bukan hanya kita, tentu saja, tapi juga orang lain.
Maka jangan heran jika prioritas masing-masing kita berbeda. Bagaimanapun,
hidup kita dihadapkan pada pilihan-pilihan. Setiap orang mengalami proses
pembelajaran yang unik. Kriteria prioritas antar insan boleh jadi berbeda.
Catatan pentingnya, jadilah profesional yang bijak. Yang tidak menjuri
seenaknya.
Jika dalam suatu kesempatan
kegiatan yang menurut kita sangat penting, namun di saat yang bersamaan orang
lain memilih mundur dan melakukan aktivitas yang lain, ada baiknya kita bertanya
tentang apa dan mengapa. Ia pasti memiliki alasan. Entah negatif atau positif,
itu tidak penting –setidaknya bagi kita- karena perihal niat adalah hak
masing-masing individu. Tapi pertanyaan apa dan mengapa, keyakinan bahwa ia
memiliki alasan atau pun latar belakang, akan membantu kita mengolah fikiran. Bukan
malah seenaknya menghakimi tanpa kejelasan. Bukan malah serta-merta menganggap ia tidak solid atau bahkan menilainya miskin kontribusi. Mungkin bagi sebagian orang, hal semacam ini
sulit dipahami. Tapi percayalah, cara ini efektif untuk menjaga diri dari
prasangka-prasangka negatif: seizin Allah Subhanahu wa Ta'ala.
.
Ini bukan hanya tentang berprasangka baik
kepada orang lain,
Tapi lebih tentang menafkahi hati kita
dengan prasangka-prasangka baik.
Wallahu a'lam.
Ditulis di Jakarta-Bogor, 16 November 2014
Ketika langit sedang melagukan gemuruhnya.
No comments:
Post a Comment