Tuesday, November 18, 2014

Ayah-Bunda Insan Cendekia

Kali ini biarkan saya menulis edisi #haltekehidupan, terdedikasi untuk ayah-bunda luar biasa di tanah berjuta kisah, Insan Cendekia. Malam ini saya baru saja menyaksikan cuplikan-cuplikan performa adik-adik di salah satu stasiun televisi; mengikuti sebuah ajang olimpiade. Ini memang kali pertama saya berhasil streaming setelah minggu-minggu sebelumnya gagal. Alhamdulillah. Seperti alumni kebanyakan, saya pun jadi ikut-ikutan melambung pada beberapa bulan lalu. Pada dua-tiga tahun lalu, ketika kaki-kaki saya masih intens menapaki tanahnya. Ketika langkah saya masih secara rutin terekam pada setiap pagi-sore-petang ranahnya. Ketika tatap saya masih kerap menyapa langitnya. Nostalgia. Dan salah satu cara terbaik mengekspresikan nostalgia adalah melalui tulisan.

Beberapa waktu belakangan saya tengah dalam masa jenuh. Merindukan sense of jihad, merindukan ustadz-ustadzah pembakar semangat, merindukan keajaiban kawan-kawan seperjuangan, merindukan civitas luar biasa yang saling menbar senyum-salam sapa. Dan akhir-akhir ini pula, rekaman dalam memori saya me-rewind masa putih abu-abu saya. Masa tiga tahun yang jika mereka bilang masa paling indah adalah masa SMA, maka saya fikir statement itu tidak terlalu keliru.

Satu tahun lebih setelah berlabel alumni, dan tanpa saya sadari sebelumnya, diam-diam saya merindukan suasana pagi Insan Cendekia. Merindukan sapaan hangat pak Suhali tiap pagi tentang es krim kulit semangka atau janji beliau yang hendak memberi saya nilai tambah di rapor lantaran saya ikut-ikutan mengecat tepi jalanan. Merindukan senyum Emak di kantin tiap saya mengucap salam untuk disendoki makanan. Saya juga merindukan Teh Euis, Teh Ratna. Saya masih ingat betul bagaimana untuk pertama kalinya saya pergi reguler dibonceng Teh Ratna, lalu kami makan es krim bersama.

Hei, tiba-tiba informasi yang terpanggil begitu banyak dan saya jadi bingung menuliskan darimana. Tahu-tahu setiap sudut tanah itu tergambar jelas di kepala.

Salah satu yang sungguh membekas dalam kepala saya adalah tentang guru-guru, tentang ustadz-ustadzah, tentang para pendidik yang kaya dan mengkayakan. Kaya semangat, kaya motivasi, kaya akan inspirasi. Saya ingat Bu Dini. Masa-masa di Pekan Ta’aruf Siswa, beliau mengatakan pada kami di Audio Visual Room, “Allah itu dekat, Nak.” Lalu kami diminta menepuk-nepuk posisi jantung. Melafadzkan asma-Nya. Air mata kami tumpah. Dan jujur saja, sampai saat ini saya sering melakukan hal itu. Ketika saya di ambang lupa, bahwa Allah itu sungguh dekat.

Ada perkataan dari seorang guru Biologi, Bu Etty namanya, yang sampai kini saya ingat dan saya bawa kemana-mana: “Kalian ada disini, bukannya kebetulan. Tangan Allah yang langsung menempatkan kalian disini. Bukan karena kalian pintar atau apa,” mungkin ini adalah bagian dari awal saya memiliki keyakinan penuh bahwa kausalitas itu nyata. Bahwa Allah selalu memiliki cara spesial untuk masing-masing hamba-Nya.

Tiba-tiba saya jadi ingat percakapan saya dengan Asma (anak perempuan syaikh). Percakapan yang tidak jelas arahnya, karena bahasa ibu kami berbeda. Tapi namanya anak kecil, ia akan menganggap saya mengerti sepenuhnya apa yang ia katakan. Sore itu saya tengah duduk di depan asrama guru, lalu bocah kecil itu datang dan tahu-tahu duduk di samping saya. Dia mengatakan beberapa hal –dengan bahasa arab, tentu saja- yang kira-kira begini:

“Lihat langitnya!” matanya berbinar, lantas menunjuk langit

“Ya?”

“Aku suka langitnya, cantiik sekali. Ya kan?”

Lalu saya speechless. Rasanya ingin bilang banyak hal, tapi miris memang, anak ini tidak mengerti bahasa Indonesia. Dan saya tidak tahu bagaimana mengungkapkan isi kepala saya dengan Bahasa Arab.

"Iya, aku juga. Kenapa Asma suka langitnya?" Jawab saya sambil nyengir mengingat Bahasa Arab saya yang acak-acakan. Namun Asma terlihat tidak terlalu peduli dengan saya yang tidak banyak bicara. Kemudian dia meneruskan kata-katanya, banyak. Berkalimat-kalimat, dan sesungguhnya saya tidak mengerti. Tapi saya rasa dia membicarakan hal yang menyenangkan. Matanya berbinar. :)

Memandang langit di ranah ini memang selalu saja mengasyikkan. Apalagi jika subuh pagi bulan masih bertengger di singgasananya. Jarak bangunan yang berjauhan, jalanan lebar, menjadi fasilitas pendukung bagi siapa-siapa yang mau menikmati jamuan langit di Insan Cendekia.

Langit sore itu juga, yang menjadi salah satu penghibur kami. Di koridor depan ruang guru. Masa-masa remedial yang mungkin saat itu rasanya agak menyedihkan, memang. Tapi masa-masa itulah yang mengajarkan saya tentang makna berjuang. Tentang esensi kejujuran. Yang juga saya rindukan adalah ujian di Insan Cendekia. Didikan ustadz-ustadzah, agar kami memahami esensi pengawasan. Bahwa yang Maha Mengawasi adalah Allah. Maka tidak heran, jika masa ujian cukuplah para insan itu duduk manis, mengerjakan dengan baik. Hening. Ketika mendapati ujian yang sulit, diam-diam saling menerka dalam hati, “Ini cuma saya doang yang merasa susah, apa emang susah beneran?” dan barulah ramai itu pecah ketika waktu ujian usai. Barulah saling tanya-menanya perihal jawaban. Tanpa ada pengawas ujian. Toh meski kadang kita lupa kehadiran mereka, pengawas kanan-kiri selalu siap sedia mencatat setiap amal kebaikan dan pelanggaran yang dilakukan. Bukan begitu?

Kalau ditanya apa cita-cita saya, saya akan menjawab ingin menjadi seorang guru, seorang pendidik. Tidak bisa dipungkiri, lingkungan menjadi salah satu motivasi saya. Sejak kecil saya biasa berhadapan dengan para guru; sebut saja kedua orangtua saya (yang membicarakan keduanya bukan perihal mudah sebab teramat istimewa..). Inspirator-inspirator ulung yang sedikit-banyak mempengaruhi pola fikir saya pun adalah guru. Meski secara luas, semua orang adalah guru, alam raya adalah sekolahnya (Semua orang itu guru, alam raya sekolahku –Pontoh- tertulis di koridor lantai dua gedung pendidikan Insan Cendekia).  Sayang, rasanya menyebutkan satu per satu ustadz-ustadzah, guru-guru terbaik saya, tidak mudah diungkapkan dalam satu waktu. Karena begitu menyebutkan satu nama, maka bukan hanya nama yang akan saya kabarkan, melainkan bagaimana kesan saya, kisah saya, persepsi saya terhadap beliau. Dan itu membutuhkan halaman yang (sangat) panjang.

Adalah salah seorang ustadzah saya, Bu Evi namanya. Sebagai guru asuh, Bu Evi suatu ketika memanggil saya pada tahun pertama. Kami berbincang-bincang. Dan bagian ini selalu saya ingat. Bahkan tidak dapat dipungkiri, mengambil peranan besar dalam perjalanan hidup saya hingga kini. Pemahaman akan esensi kesuksesan. Bahwa menjadi bagian dari kesuksesan sesseorang meski presentasenya hanya nol koma sekian persen, adalah sebuah kebahagiaan dan kesuksesan tersendiri. Beliau mengajarkan saya tentang makna keihkhlasan dan pentingnya berbuat baik sekecil apapun. Bahkan untuk sekadar mendengarkan cerita orang lain. Karena kita tidak pernah tahu perbuatan apa yang akan menjadi tiket kita menuju syurga. In syaAllah.

Lagi, saya ingat perkataan Bunda Iffat, ketika kami studi banding ke Bandung dan mengunjungi ITB pada tahun kedua. Saat itu kami berkeliaran dengan bebas. Maklum, anak asrama yang kesehariannya berada di penjara yang membebaskan. Saat itu beliau membawa beberapa barang bawaan, saya sempat menawari bantuan. Lantas beliau berkata, “Gak usah, seneng-senenglah kalian. Ibu mah senang lihat kalian senang begini.” Beliau melanjutkan, “Ya namanya guru senang kan kalau liat murid-muridnya senang.” Mungkin redaksinya berbeda, tapi kurang lebih maknanya demikian.

Ustadz Away Baidhowy pernah membicarakan tentang halte. Halte-halte kehidupan, dan Insan Cendekia adalah salah satunya. Hebatnya, bapak-ibu guru kami, ustadz-ustadzah kami, tetap disana. Tetap melakukan pengabdian. Jika kami pernah mengaku bosan menjalani rutinitas yang ‘begitu-begitu’ saja, apakah beliau-beliau merasakan demikian, menghadapi para peserta didiknya? Lantas adakah yang lebih mulia dari pengabdian di jalan kebaikan yang telah menjadi rutinitas?

Ah, ingin sekali mengungkapkan banyak terimakasih. Kepada ayah-bunda yang tidak bisa ananda sebutkan satu persatu. Terimakasih karena telah mengajarkan kami tentang nilai-nilai kehidupan. Mengajarkan pada kami tentang kreativitas, tentang makna seyuman, tentang kehangatan. Terimakasih telah mengajarkan kami bahwa ketegasan dan kejujuran adalah salah satu ekspresi cinta.

Mohon doa agar ilmu yang telah terbagikan ini mampu menjadi pemberat amal, mampu bermanfaaat bagi sesama dan semesta. Semoga ayah-bunda, ustadz-ustadzah, diberikan kemudahan, selalu dalam dekap hangat Allah Subhanahu Ta'ala. Aamiin. Salam sejuta sayang dan rindu dari kami, anak didikmu. 

Ditulis di Kota Hujan, pada 27 Muharram 1436H





2 comments: