Saturday, December 6, 2014

Jeda

Ada saatnya dalam hidupmu, engkau ingin sendiri saja bersama angin,

menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata.


-Bung Karno


Ini adalah kali pertama saya berdiam diri di kamar kosan. Sendirian. Menyengaja. Mengabsenkan diri dari kegiatan-kegiatan weekend. “Banyak istirahat, banyakin minum, jangan kemana-mana, di kosan aja. Minum obat, beli buah, jangan sayang-sayang.” Demikian bunyi suara wanita setengah abad yang amat saya cintai itu mengudara tadi malam. Maka hari ini saya tidak kemana-mana. Diam-diam menyesalkan diri yang kadang lupa akan pesan sederhananya: jaga kesehatan.

Sebenarnya pada satu sisi, saya merasa kerdil sekali, absen dari kegiatan hanya karena soal tubuh yang sebenarnya tidak seberapa ini. Bagaimana dahulu para pejuang, orang-orang tangguh itu mampu terus melaju bahkan ketika tubuhnya terhempas pedang? Adalah saya, sama sekali bukan apa-apa. Tapi saya pahami betul pesan beliau di atas. Ibunda saya, yang mengasuh dan mendidik saya sejak sekian tahun ini. Tidak apa mundur sedikit, untuk kemudian maju melesat. Seperti anak panah. Anak panah ditarik mundur, kemudian melesat tajam menuju sasaran. Bukan begitu?

Sudah berjalan satu minggu lebih, dan pemulihan tubuh saya berjalan lambat sekali. Saya sampai makan jeruk satu setengah kilo dengan motivasi supaya suaranya tidak hilang seperti yang sudah-sudah terjadi. Dan saya rasa jurus itu berhasil. I hope there is no #hiddenvoice anymore. Suara saya masih aman untuk berbicara meski sedikit terdengar sengau. Tapi yang agaknya sulit dikompromi adalah soal sakit kepala, ditambah gusi di mulut sebelah kanan saya juga sempat bengkak. Seiring bengkaknya hilang, berganti mata kanan saya yang mengaku-ngaku sakit. Tapi sebenarnya tidak serumit yang mungkin pembaca fikirkan. Karena semuanya berjalan biasa saja. Bukan sebuah persoalan berat, toh saya tetap masuk kuliah dan tertawa seperti biasanya.

Dan pagi ini saya sungguh-sungguh di kamar. Tidak kemana-mana. Mengamati tiap sudut kamar saya dengan lebih detail. Mengamati ekspresi pagi penghuni kosan dengan lebih rinci. Tiba-tiba saya tersadar, bahwa tempat ini belum sungguh-sungguh saya warnai dengan jiwa. Saya seperti penumpang gelap yang tahu-tahu hadir di kosan hanya untuk menumpang tidur atau sekadar menjemur pakaian. Jiwa saya masih ada dimana-mana. Dan pagi ini untuk pertama kalinya setelah hampir satu semester, saya mengucap pagi pada tetangga. Menawari roti panggang. Mengetuk pintu mereka. Kemudian sarapan bersama. Satu hal yang saya rindukan dari kehidupan berasrama.

Bukan hanya itu, saya merasa Allah tengah memberi saya kesempatan untuk istirahat dan mengevaluasi ulang tentang apa-apa saja yang telah dan akan saya lakukan. Bagian mana yang harus saya revisi, yang harus diperbaiki, dan bagian apa yang perlu saya rancang dan segera lakukan. Pagi ini, saya belajar tentang kehidupan dengan cara yang sederhana sekali. Yang kadang luput dari perhatian saya. Kita belajar melalui bangku kuliah, melalui seminar, melalui cerita seorang kawan, melalui nasihat guru, melalui organisasi. Tapi hari ini, Allah mengajakan saya untuk belajar melalui hal sederhana: sebuah pagi.

Lalu kenapa saya meletakkan quote Bung Karno tersebut di atas? “Ada saatnya dalam hidupmu, engkau ingin sendiri saja bersama angin, menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata.” Karena pagi ini saya merasakan hal tersebut. Ternyata, ada saatnya dalam episode kehidupan kita, dimana kita membutuhkan jeda. Seperti sebuah buku, ada jeda antar subjudul di dalamnya. Seperti paragraf, ada jeda yang membuatnya indah beraturan. Seperti kalimat, terdapat jeda antar kata yang menjadikan ia bermakna. 

Lalu tentang air mata? 

Saya menuliskan ini selepas menafkahi persendian dengan shalat sunnah dhuha. Selepas tumpah air mata saya atas haru, betapa Allah sungguh Maha Penyayang pada segenap makhluk-Nya. 

Berikut adalah salah satu tulisan yang saya buat ketika duduk di masa Aliyah: 

Percayalah,
kalau hidup ini adalah Dia,
maka semua sempurna indah

Ada dialog-dialog
yang maknanya tak semudah bertutur
Dia yang tahu
meski tak diberitakan
Yang paling baik
Yang paling pengertian
Yang paling mengetahui

Peduli apa pandangan mereka
yang penting Dia tahu kau
Karena semua sempurna indah
ketika hidup ini adalah Dia

Entah meski mungkin tidak begitu relevan, tapi menuliskan ini membuat saya tiba-tiba teringat akan kumpulan kalimat yang saya tuliskan beberapa tahun lalu tersebut. Kadang manusia dibuat repot dengan penilaian orang lain. Adalah hal yang jauh lebih penting, yakni tentang bagaimana nilai kita di hadapan sang Mahacipta Allah Subhanahu Ta'ala.

Ada jeda, yang menjadikan ia bermakna.
Bogor, 13 Shafar 1436 H pada 11.41 WIB

No comments:

Post a Comment