Hari ini adalah kuliah terakhir
Psikologi Perkembangan Anak sebelum akhirnya kami harus menghadapi UAS. Bicara
tentang diri sendiri, tentang self,
tentang konsep diri. Sepanjang dosen menjelaskan, tidak sedikit dari kami yang
mengangguk-angguk tanda setuju: merasa mendapati fenomena demikian dalam
dirinya. Dan salah stau yang akrab dengan masa remaja saya adalah tentang
konsep diri. Bu Mely, nama dosen kami, mengatakan bahwa manusia pada akhirnya
memang tidak mampu memahami dirinya secara utuh dengan mandiri. Dalam artian,
ada hal-hal bawah sadar yang pemahamannya seringkali butuh batuan dari pihak
luar. Saya rasa hal tersebut ada benarnya. Saya mengalami hal semacam itu,
ketika bahkan saya sendiri tidak memahami akan diri sendiri. Dan itu rasanya
rumit sekali.
Barangsiapa yang mengenal
dirinya, maka ia akan mengenal tuhannya. Ialah kalimat penuh makna itu yang
menjadi motivasi, bahwa saya harus mengenal diri saya. Titik. Mungkin ini
terdengar aneh, tapi saya mengalami kebingungan tentang diri saya sendiri, terutama
ketika duduk di bangku Tsanawiyah (setingkat SLTA/SMP). Saya tidak mengerti
apakah saya ini tergolong anak yang seperti apa. Sampai saya menemukan sebuah
titik puncak ketika saya memutuskan untuk mengakhiri kebingungan saya dengan
mengambil kesimpulan: saya punya sifat gado-gado. :D Daripada dipusingkan
dengan penggolongan-penggolongan, lebih baik menjadi diri sendiri saja dengan
orientasi yang lebih baik.
Pelajaran hari ini membuat saya
menarik kembali segala macam memori masa lalu, dan mencoba melakukan semacam
analisis sederhana. Dikatakan bahwa usia SD adalah masa-masa penilaian terhadap
diri sendiri dan segala sesuatu secara berlebihan dibanding masa lainnya. Saya
jadi ingat betapa berlebihannya saya dan kakak, ketika kami berdua menangisi
pohon ceri kami yang ditebang, seharian. (meski kalau ingat pun saya maklum. Itu
pohon ceri panjatan favorit kami yang ada di belakang rumah). Juga bagaimana
kami berada pada kesedihan mendalam ketika tidak punya dede bayi, ketika
kelinci peliharaan kami mati dimakan kucing, dan saat pohon mangga pun menyusul
untuk ditebang. Baiklah. Jika bahagianya anak kecil adalah sederhana, mungkin
sedihnya pun demikian, ya. Sederhana juga. :)
Saya tarik maju pada masa depan.
Pada akhirnya pandangan dan penilaian kita terhadap diri sendiri sangat
dipengaruhi oleh lingkungan. Keluarga? Tentu saja. Dari keluarga-lah
nilai-nilai kehidupan itu ditanamkan. Dasar-dasar pemahaman diajarkan. Dari
mama, saya belajar untuk menghargai, terlebih menyayangi mereka yang hadir
dalam setiap episode kehidupan. Jadi kalau saya katakan bahwa saya sayang
kalian, sungguh itu bukan gombal. Kemudian dari ayah, saya belajar tentang
detail, kreativitas, dan bagaimana mengambil sikap pada setiap persoalan.
Sayang, saya terkendala mewarisi kinerja detail beliau. Ayah saya super sekali
dalam urusan rapi, tertata, juga terjadwal. Dan saya tengah belajar akan hal
itu. Kemudian terangkum dari keduanya, adalah agar senantiasa menyertakan Allah
dalam setiap kesempatan. Saya sungguh belajar akan hal itu dari ayah-mama
berdua.
Kemudian adalah dari teman. Bukankah
Rasulullah Muhammad SAW pun berpesan kepada kita akan pertemanan? Teman dalam
artian luas. Saudara, sepupu, kawan di sekolah, bahkan mereka yang bertemu kita
pada kesempatan-kesempatan lain. Semuanya. Hanya catatannya disini, ialah agar
kita pandai-pandai mencari teman untuk diajak berbagi kisah, hikmah, lagi
dimintai pendapat. Simpelnya, teman berbagi cerita. Disadari atau tidak, relasi
kita akan berpengaruh besar tentang bagaimana cara kita melakukan penilaian.
Terhadap lingkungan, terlebih kepada diri kita sendiri. Dan saya merasakan
langsung efek teman ini. Bertemanlah, dan jadikan ia sebagai sarana simbosis
mutualisme. Saling menguntungkan. Tentu bukan (saja) dalam hal ekonomi,
melainkan terletak pada urusan kualitas diri. Lebih istimewa lagi, kedekatan
pada Ilahi Rabbi.
Menurut saya, ini menarik sekali.
Tentang persepsi, tentang konsep diri, tentang sejarah pola fikir manusia. Saya
rasa setiap orang yang saya jumpai pada masa kini, telah melewati serangkaian
kisah menakjubkan yang membentuknya menjadi pribadi seperti saat ini. Dengan
mengetahui, kita jadi mengerti. Tidak menjuri apalagi menghakimi. Kadang saya
berfikir, mungkin tidak ada yang bisa disalahkan atas sebuah pilihan manusia.
Kita hanya membutuhkan proses. Masing-masing kita berproses menuju lebih baik.
Dengan catatan, hanya jika hati kita menerima dan terbuka terhadap perbaikan
itu sendiri.
Pada akhirnya, kadang kita harus
dengan bijak menghapus segala macam definisi kaku lagi
penggolongan-penggolongan tertentu. Sebuah psikologi kesempurnaan. Menjadi
seorang extrovert yang introvert, introvert yang extrovert, melankolis yang
koleris, plagmatis yang sanguinis, dan segala macam kolaborasi lainnya. Menjadi pendiam yang banyak bicara,
pemikir yang banyak kerja. Menempatkan segala sesuatu sesuai pada bagiannya. Diam pada waktunya. Angkat bicara pada masanya. Marah pada kondisinya. Lemah-lembut pada bagiannya. Akhirnya, kita sungguh adalah kita, yang spesial adanya.
Dengan masing-masing perspektif dan jalan cerita, Masing-masing ujian. Juga
masing-masing nikmat dari Yang Kuasa. Ajaibnya, kita tidak pernah dibiarkan
hidup sendiri-sendiri. Ada keterkaitan antara masing-masing kita. Bisa jadi, konsep
diri kita pun demikian: saling berhubungan dan kemudian membentuk satu keutuhan
kisah.
Kemudian tentang konsep diri, adalah tentang bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Pada bagian ini saya teringat, bahwa sungguh, Allah beserta prasangka hamba-Nya. Teori afirmasi sebenarnya hanya nama lain dari teorinya seorang muslim: berprasangka baik pada Allah, bahwa Dia selalu memberikan kita yang terbaik. Termasuk dalam urusan memberi karunia kebermanfaatan dan kualitas diri kepada kita. Dan Allah akan membersamai kita dalam prasangka baik tersebut. In syaAllah. :)
No comments:
Post a Comment