Monday, December 15, 2014

Konsep Diri

Hari ini adalah kuliah terakhir Psikologi Perkembangan Anak sebelum akhirnya kami harus menghadapi UAS. Bicara tentang diri sendiri, tentang self, tentang konsep diri. Sepanjang dosen menjelaskan, tidak sedikit dari kami yang mengangguk-angguk tanda setuju: merasa mendapati fenomena demikian dalam dirinya. Dan salah stau yang akrab dengan masa remaja saya adalah tentang konsep diri. Bu Mely, nama dosen kami, mengatakan bahwa manusia pada akhirnya memang tidak mampu memahami dirinya secara utuh dengan mandiri. Dalam artian, ada hal-hal bawah sadar yang pemahamannya seringkali butuh batuan dari pihak luar. Saya rasa hal tersebut ada benarnya. Saya mengalami hal semacam itu, ketika bahkan saya sendiri tidak memahami akan diri sendiri. Dan itu rasanya rumit sekali.

Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal tuhannya. Ialah kalimat penuh makna itu yang menjadi motivasi, bahwa saya harus mengenal diri saya. Titik. Mungkin ini terdengar aneh, tapi saya mengalami kebingungan tentang diri saya sendiri, terutama ketika duduk di bangku Tsanawiyah (setingkat SLTA/SMP). Saya tidak mengerti apakah saya ini tergolong anak yang seperti apa. Sampai saya menemukan sebuah titik puncak ketika saya memutuskan untuk mengakhiri kebingungan saya dengan mengambil kesimpulan: saya punya sifat gado-gado. :D Daripada dipusingkan dengan penggolongan-penggolongan, lebih baik menjadi diri sendiri saja dengan orientasi yang lebih baik.

Pelajaran hari ini membuat saya menarik kembali segala macam memori masa lalu, dan mencoba melakukan semacam analisis sederhana. Dikatakan bahwa usia SD adalah masa-masa penilaian terhadap diri sendiri dan segala sesuatu secara berlebihan dibanding masa lainnya. Saya jadi ingat betapa berlebihannya saya dan kakak, ketika kami berdua menangisi pohon ceri kami yang ditebang, seharian. (meski kalau ingat pun saya maklum. Itu pohon ceri panjatan favorit kami yang ada di belakang rumah). Juga bagaimana kami berada pada kesedihan mendalam ketika tidak punya dede bayi, ketika kelinci peliharaan kami mati dimakan kucing, dan saat pohon mangga pun menyusul untuk ditebang. Baiklah. Jika bahagianya anak kecil adalah sederhana, mungkin sedihnya pun demikian, ya. Sederhana juga. :)

Saya tarik maju pada masa depan. Pada akhirnya pandangan dan penilaian kita terhadap diri sendiri sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Keluarga? Tentu saja. Dari keluarga-lah nilai-nilai kehidupan itu ditanamkan. Dasar-dasar pemahaman diajarkan. Dari mama, saya belajar untuk menghargai, terlebih menyayangi mereka yang hadir dalam setiap episode kehidupan. Jadi kalau saya katakan bahwa saya sayang kalian, sungguh itu bukan gombal. Kemudian dari ayah, saya belajar tentang detail, kreativitas, dan bagaimana mengambil sikap pada setiap persoalan. Sayang, saya terkendala mewarisi kinerja detail beliau. Ayah saya super sekali dalam urusan rapi, tertata, juga terjadwal. Dan saya tengah belajar akan hal itu. Kemudian terangkum dari keduanya, adalah agar senantiasa menyertakan Allah dalam setiap kesempatan. Saya sungguh belajar akan hal itu dari ayah-mama berdua.

Kemudian adalah dari teman. Bukankah Rasulullah Muhammad SAW pun berpesan kepada kita akan pertemanan? Teman dalam artian luas. Saudara, sepupu, kawan di sekolah, bahkan mereka yang bertemu kita pada kesempatan-kesempatan lain. Semuanya. Hanya catatannya disini, ialah agar kita pandai-pandai mencari teman untuk diajak berbagi kisah, hikmah, lagi dimintai pendapat. Simpelnya, teman berbagi cerita. Disadari atau tidak, relasi kita akan berpengaruh besar tentang bagaimana cara kita melakukan penilaian. Terhadap lingkungan, terlebih kepada diri kita sendiri. Dan saya merasakan langsung efek teman ini. Bertemanlah, dan jadikan ia sebagai sarana simbosis mutualisme. Saling menguntungkan. Tentu bukan (saja) dalam hal ekonomi, melainkan terletak pada urusan kualitas diri. Lebih istimewa lagi, kedekatan pada Ilahi Rabbi.

Menurut saya, ini menarik sekali. Tentang persepsi, tentang konsep diri, tentang sejarah pola fikir manusia. Saya rasa setiap orang yang saya jumpai pada masa kini, telah melewati serangkaian kisah menakjubkan yang membentuknya menjadi pribadi seperti saat ini. Dengan mengetahui, kita jadi mengerti. Tidak menjuri apalagi menghakimi. Kadang saya berfikir, mungkin tidak ada yang bisa disalahkan atas sebuah pilihan manusia. Kita hanya membutuhkan proses. Masing-masing kita berproses menuju lebih baik. Dengan catatan, hanya jika hati kita menerima dan terbuka terhadap perbaikan itu sendiri.

Pada akhirnya, kadang kita harus dengan bijak menghapus segala macam definisi kaku lagi penggolongan-penggolongan tertentu. Sebuah psikologi kesempurnaan. Menjadi seorang extrovert yang introvert, introvert yang extrovert, melankolis yang koleris, plagmatis yang sanguinis, dan segala macam kolaborasi lainnya. Menjadi pendiam yang banyak bicara, pemikir yang banyak kerja. Menempatkan segala sesuatu sesuai pada bagiannya. Diam pada waktunya. Angkat bicara pada masanya. Marah pada kondisinya. Lemah-lembut pada bagiannya. Akhirnya, kita sungguh adalah kita, yang spesial adanya. Dengan masing-masing perspektif dan jalan cerita, Masing-masing ujian. Juga masing-masing nikmat dari Yang Kuasa. Ajaibnya, kita tidak pernah dibiarkan hidup sendiri-sendiri. Ada keterkaitan antara masing-masing kita. Bisa jadi, konsep diri kita pun demikian: saling berhubungan dan kemudian membentuk satu keutuhan kisah.

Kemudian tentang konsep diri, adalah tentang bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Pada bagian ini saya teringat, bahwa sungguh, Allah beserta prasangka hamba-Nya. Teori afirmasi sebenarnya hanya nama lain dari teorinya seorang muslim: berprasangka baik pada Allah, bahwa Dia selalu memberikan kita yang terbaik. Termasuk dalam urusan memberi karunia kebermanfaatan dan kualitas diri kepada kita. Dan Allah akan membersamai kita dalam prasangka baik tersebut. In syaAllah. :) 


No comments:

Post a Comment