Aku.
Mencarimu di antara rindang pepohonan,
Mengamati tanda kedatanganmu dalam sayup-sayup bisikan pasir pantai,
Mengharapkan kehadiranmu di sela-sela barisan semut pagi hari
Aster,
kau masih ingat Tuan Erdas? paman yang kerap membekali kita sekeranjang
stroberi setiap hari Rabu itu kini telah
tiada.
AIR MAIL
“Razen, kau itu terlalu
sentimentil.Bisa tidak, lebih melogika sedikit? Bukankah kamu laki-laki?” Itu adalah deretan kalimat
pembunuh nomor satu bagi seorang anak laki-laki. Kau harus tahu akan hal itu, Aster.
“Sentimentil?”
“Iya,” ujarmu pelan.Matamu masih
sembab. Kau baru saja menangis terisak sambil mengetuk-ngetuk pintu
panti. Mencari kawan-kawanmu. Mencari aku, mungkin saja. Dan entah apakah itu
keberuntungan atau sebuah kesialan, hanya ada aku dan para petugas di panti.
“Jangan bilang aku
sentimentil. Kau yang baru saja menangis, Aster cengeng.”Aku beranjak
meninggalkanmu dari lapangan bola. Bergegas hendak masuk ke dalam panti. Bukan
jahat, hanya berharap agar kau meneriakiku seperti biasa, menyumpahiku
sesukamu, lalu kau kembali normal. Tapi jujur saja, deret kalimatmu soal
sentimentil sungguh membunuhku. Aku sedang demam tinggi, Aster. Bagaimana bisa
kau tidak menyadari? Bagaimana bisa logikaku dinyalakan seratus persen, sementara
pandangan mataku begitu buram, bahkan
untuk sekadar melihat sosokmu.
“Kenapa ditinggal?” tanyamu
pelan. Masih terisak. Berusaha melempariku dengan rumput lapangan bola. Tindakan
bodohmu yang baru saja aku jumpai. Hei, kau ini kenapa, Aster?
“Peduli apa? Aku sudah minta maaf,
kenapa justru kau bilang aku sentimentil?” aku membelakangimu, berjalan terus
masuk ke dalam panti. Kepalaku berat sekali. Diam-diam masih mengharap balasan
ocehanmu. Tapi ternyata kau tidak berkata apa-apa lagi. Kau diam. Membiarkan aku
pergi meninggalkanmu sendiri di lapangan bola.
**
“Assalamu’alaik. Permisi, Nyonya.
Apa Tuan Erdas masih tinggal disini?”
“Erdas El-Ghuraba?”
“Ya, benar.Beliau masih disini?”
“Sayang sekali anak muda, satu
bulan lalu anaknya menjemput beliau untuk pulang. Tubuhnya sakit-sakitan.”
“Pulang kemana, boleh saya tahu?”
“Ke pusat kota utama.Maafkan
kami, tapi baru saja dua hari lalu ada kabar bahwa beliau telah tiada.”
“Tiada? Maksudnya beliau wafat?”
“Ya, sekarang kebun stroberinya
dikelola oleh anak beliau.”
“Astaghfirullah. Innalillahi wa
inna ilaihi raaji’uun”
Aster, apa mungkin ini sungguh
rencana Tuhan untuk memudahkanku dalam melupakanmu?
Atau, Tuhan hendak mengajariku untuk berdamai dengan masa lalu?
**
“Jangan minta maaf. Kau bahkan
tidak tahu kenapa aku menangis, kan? Harusnya tidak perlu minta maaf. Itu yang
membuatmu terlalu sentimentil. Berhentilah menjadi pahlawan, Razen.”
Kalau kau tanya apa deret kalimat
pembunuh nomor dua, maka tuisanmu dalam memo itu, adalah jawabnya.
Aster, aku tahu kau yang teramat
keras kepala. Tapi tidakkah kau menyadari satu hal mendasar? Rasanya sederet kalimat
itu lebih cocok jika disematkan padamu, bukan padaku. Atau jangan-jangan kita
memiliki kemiripan dalam hal ini? Pahlawan.
“Ayahku meninggal, Razen.”
“Apa katamu?”
“Kemarin aku menangis, ayahku
meninggal.” Kau tertunduk pilu. Aku sungguh tertegun. Tidak tahu harus berkata
apa.
“Maaf. Aku sama sekali tidak tahu...”
“Tidak apa. Aku juga tidak tahu
kau sedang demam tinggi. Maaf.” Kemudian kau memamerkan gigi. Nyengir. Sama sekali
tidak indah, Aster. Kau menangis sambil tertawa. Pilu sekali. Diam-diam aku memaki
diriku sendiri yang kemarin mengataimu cengeng. Sungguh, maafkan aku. Aku sama
sekali tidak tahu.
Aku sama sekali tidak tahu bagaimana
rasanya kehilangan seorang yang amat kita sayangi. Mungkin kalimatku lebih
membunuh daripada milikmu, Aster cengeng…
**
Aster, kita hidup dalam
kausalitas hidup yang idak berkesudahan. Sambung-menyambung. Suatu saat kita
menjadi sebab, dan pada kesempatan yang lain kita akan menjadi akibat. Mungkin
mengenalmu membuatku jadi begitu sentimentil. Maka saat itu kau menjadi sebab.
Mungkin, perpisahan denganmu adalah jawab Tuhan atas doa sederhanaku yang
meminta agar Dia menjadikanku seorang yang bergerak dinamis menjadi lebih baik
setiap harinya. Dan saat itu, kau jadi bagian dari akibat. Namun memang,
semuanya tidak sesederhana ini. Ada jejaring kausalitas yang saling
menghubungkan kisah antar manusia. Ada rumusan rahasia yang membuat garis-garis
kehidupan kita saling bersinggungan.
Tuan Erdas telah tiada. Padahal
aku tengah dalam antusiasme tinggi untuk menyapanya. Padahal aku tengah begitu
bersemangat untuk mengatakan, bahwa aku pun telah memiliki perkebunan juga
seperti beliau. Padahal aku sungguh ingin mencium takzim tangan beliau, dan
berterimakasih betapa ia telah mengajariku banyak hal, menjadi bagian dari
sepotong masa kecilku yang indah. Mungkin kau benar, Aster, bahwa aku terlalu
sentimentil.
Kau masih ingat, tumpukan surat
yang kau simpan dalam kotak kayu berbunga? Aku terhenyak dengan kata-katamu
pada salah satu surat yang kau tujukan untukku.
Razen, setap kita adalah tokoh
utama pada kehidupan kita sendiri. Bukan begitu? Apakah kau merasakan hal yang
sama sepertiku, bahwa hidup ini seperti kumpulan perbincangan-perbincangan
antara kita sebagai individu dengan Tuhan? Aku bersyukur untuk mengenalmu,
Razen. Aku sungguh berterimakasih. Bukan kepadamu, melainkan berterimakasih kepada
Tuhan.
Bahwa hidup ini seperti kumpulan
perbincangan-perbincangan antara kita sebagai individu, dengan Tuhan. Kau benar,
Aster. Ada skenario besar di balik semua ini. Lahir sebagai yatim-piatu, bertemu
dengan kawan-kawan di panti, mengenalmu, menyapa ibundamu, kehilangan ayahmu,
kehilangan kau, kehilangan Tuan Erdas, merasa sendiri, bertindak tidak rasional
dengan mencari bunga aster di tanah yang kerap kita sebut-sebut sebagai tanah
cinta.
Aku baru memahami hakikat
sederhana itu. Bahwa kita hidup di dunia adalah sementara. Mungkin inilah maksud
dari pesan tentang dunia yang sungguh hanyalah fatamorgana belaka. Karena isinya
semata-mata hanya sandiwara. Hanya ada percakapan antara kita sebagai individu,
dengan Tuhan. Hanya ada ujian-ujian keimanan demi memasuki pintu abadi yang
kabanya kekal. Mungkin kau hanyalah ilusi belaka, Aster. Begitupun surat udara
ini. Kurasa ini adalah salah satu episode perbincanganku dengan Tuhan, yang
sungguh menakjubkan.
Melepaskan dan
dilepaskan. Meninggalkan dan ditinggalkan. Mengikhlaskan dan diikhlaskan.
Aku tidak pernah tahu rasanya
kehilangan orang yang teramat kita sayangi, hingga pada satu titik ketika kehilanganmu
mengajarkanku akan hal itu. Hingga mendapati Tuan Erdas pergi, memberikan aku ruang untuk
mengevaluasi diri. Mengikhlaskan dan diikhlaskan. Kalau aku seorang penuntut,
mungkin aku akan menuntut Tuhan atas pilihannya membawa pulang Tuan Erdas tepat
dua hari sebelum aku tiba di kampung halaman kita. Mungkin beberapa tahun lalu
aku akan menuntut mengapa Tuhan mengajakmu pulang tanpa ada kalimat selamat
tinggal yang lebih indah di antara kita. Terimakasih, karena aku telah diajari
akan pemahaman baik itu. Pemahaman bahwa hidup ini semata-mata adalah tentang
aku dengan-Nya. Tentang kita -sebagai indvidu- dengan Tuhan.
Aster, aku tidak hendak
berterimakasih kepadamu, atau kepada
Tuan Erdas. Melainkan aku berterima kasih kepada Tuhan. Lantas jika dunia
hanyalah fatamorgana, kepada siapa kita hendak melangkahkan kaki?
Aku.
Mencarimu di antara rindang pepohonan,
Mengamati tanda kedatanganmu dalam sayup-sayup bisikan pasir pantai,
Mengharapkan kehadiranmu di sela-sela barisan semut pagi hari
Kau.
Yang sejatinya tiada perlu kucari-cari
Selalu disini, begitu Kau berjanji.
Bukankah begitu,
Tuhan?
**
Ah, Aster. Mungkin kau benar.Mungkin aku yang terlalu sentimentil.
Jika berharap padamu pernah membuat aku terbunuh,
maka aku memilih berharap pada Tuhan.
Kalaupun aku terbunuh, bukankah kepada-Nya pula aku akan kembali?
Dzulhijjah 1435H,
ketika gerhana baru saja menyapa sang bumi cinta.