Wednesday, June 8, 2016

Tinggal

"Oleh manusia, aku tidak peduli apakah mereka menilaiku baik atau buruk. Yang terpenting adalah aku menyampaikan kebenaran, dan bagaimana pandangan Rabb-ku atas apa yang aku lakukan."

**

"Maaf," pemuda itu berkata pelan. Agak menunduk.

"Tapi kenapa harus mengundurkan diri? posisimu disini ketua Kak, bukan main-main." Karang angkat bicara. Aku hanya diam. Tidak tahu harus mengatakan apa.

"Tidak pernah ada posisi manapun dalam tim yang main-main," kali ini ia mengangkat wajah. Ada badai yang tersamarkan oleh sunggingan senyum miliknya.

"Ya, aku tahu," Karang mengangguk, "tapi ini tidak bijaksana sekali. Apa alasanmu, Kak?"

"Urusan keluarga jadi faktor terbesarnya. Semoga Kau mengerti. Aku minta maaf." ia berbalik badan, mulai membereskan peralatannya.

"Kak!," Karang kembali berusara. Intonasinya meninggi, "Kakak fikir kami tidak punya keluarga?! kami juga sama sepertimu, Kak. Kami punya orang tua, punya kakak dan adik yang butuh diperhatikan! mana idealisme dan semangat yang dulu Kakak suarakan itu, hah?!"

"Karang!!" kali ini aku bersuara. Memberi instruksi pada Karang agar tidak banyak bicara.

"Apa alasanmu tetap berada disini, Karang?" pemuda yang sejak tadi dipanggil "Kakak" menoleh, Menatap Karang lekat-lekat.

"Kebaikan. Kebermanfaatan. Mimpi. Setidaknya aku tidak ingin masa mudaku sia-sia," ujar Karang dengan tatapan tajam, "itu yang Kakak katakan dulu, bukan? Kau tidak jadi keren lagi di mataku, Kak!" lanjutnya. Masih memandang lurus.

"Benar. Terima kasih untuk mengingatnya dengan baik. Aku pun memutuskan pergi dengan alasan yang sama. Tentang aku yang tidak jadi keren lagi, aku tidak peduli. Maafkan aku," ia pergi meninggalkan kami. Punggunya semakin jauh tak teraih. Karang jatuh terduduk. Aku tahu, ia pasti sangat kecewa.

**

"Master, kamu tahu apa yang lebih pahit daripada ditinggalkan?" aku tertawa mendengar pertanyaannya. Anak ini selalu saja melontarkan pertanyaan-pertanyaan sulit.

"Kapan kamu berhenti jadi terlalu serius, Kakak?" kataku sambil mengangkat alis.

"Haha," ia tertawa, "jangan panggil aku Kakak. Kamu lebih tua daripada aku, Master," ujarnya sambil membetulkan posisi kacamata.

"Tapi kamu terlihat lebih tua karena banyak fikiran," aku terkekeh.

"Ya, ya, mungkin ada benarnya. Jadi, kamu tahu apa yang lebih pahit daripada ditinggalkan?"

"Tidak. Apa? kehidupanmu?" jawabku asal. Ia tertawa.

"Meninggalkan. Meninggalkan rasanya jauh lebih pahit daripada ditinggalkan," aku menoleh demi mendengar ucapannya barusan.

Kau, mungkin sekali-kali Kau butuh untuk lebih egois sedikit. Dunia ini tidak berputar dengan dirimu sebagai sebab dari segala masalah, Ketua.

**


Karang, maaf aku meninggalkanmu dan yang lainnya. Tapi ini adalah pilihan sulit. Kalau suatu saat kamu mengalami hal yang sama denganku, ketika kamu berada di dua pilihan rumit untuk meninggalkan, maka tetapkanlah dengan hati nurani. Putuskanlah dengan fikiran yang jernih. Tetaplah berharap kepada Rabb-mu, semoga Ia ridha.

Karang, maaf karena aku mengajakmu -kemudian pergi begitu saja. Karena dalam tim, aku bisa digantikan oleh siapapun yang boleh jadi jauh leih baik. Tapi di rumah, ibuku hanya memiliki aku. Beliau tidak memiliki yang lain. Aku satu-satunya. Semoga kau mengerti.

Dari berjuta sarana kebermanfaatan, kita bisa memilih untuk jadi bermanfaat dimana saja. Untuk detik ini, aku memilih disini. Karena jika ranah lain kutinggalkan, aku yakin seizin Allah ia akan miliki ganti. Sementara ranah ini, bagaimana ia dapat terdelegasi?

Sekali lagi, kuharap kau mengerti.

dari seseorang yang tidak keren,
Kakak.



Batavia, 3 Ramadhan 1437 H

No comments:

Post a Comment