Tuesday, June 7, 2016

Teori Kecerdasan

“Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh,
dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain pandai”

(Pramoedya Ananta Toer)



Pandai dan bodoh adalah relatif. Terlebih setelah dunia menemukan bahwa ternyata kepandaian pun begitu beragam; multiple intelligence, begitu kata Howard Gardner. Tapi jika kita ingat-ingat pesan Rasulullah -manusia paling keren seantero jagad raya,- ada satu parameter yang paling konkret dari apa yang disebut pandai/cerdas.

"Orang mukmin yang paling utama adalah orang yang paling baik akhlaknya. Orang mukmin yang paling cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling bagus persiapannya untuk menghadapi kematian. Mereka semua adalah orang-orang cerdas (yang sesungguhnya).”

Saya pertama kali mendengar hadits tersebut disampaikan dalam salah satu kajian ketika duduk di bangku perkuliahan. Jika ia merupakan teori, jelas ini adalah teori yang paling sempurna. Inilah pandangan tentang manusia holistik (fully human) yang sesungguhnya: baik akhlak, banyak mengingat mati serta bagus persiapan dalam menghadapi kematian.

Yang utama, yang baik akhlaknya

Akhlak. Meski dalam beberapa kesempatan kata ini disejajarkan maknanya dengan karakter dan kepribadian, namun saya percaya ada makna yang jauh lebih dalam padanya dibandingkan dua kata yang lain. Boleh jadi karena seolah saya melihat ada kata "Aqidah" di depannya; Aqidah Akhlak. Akhlak yang baik ialah akhlak yang bersanding dengan aqidah yang benar. Jomplang aqidah tanpa akhlak, pincang akhlak tanpa aqidah.

Keutamaan itu rupanya terletak pada akhlak. Saya tidak hendak membahas detil makna hadits ini, karena memang belum sampai keilmuan saya pada tahap tersebut. Namun izinkan orang awam ini terkagum atas sabda nabinya. Bukankah bicara akhlak selalu mengingatkan kita pada the coolest man, ever; Rasulullah Muhammad SAW? Sama sekali tidak ada bantah atas pernyataan bahwa beliau merupakan sebaik-baik suri tauladan.


Yang cerdas, yang paling banyak mengingat kematian

Jika tujuan dari pendidikan holistik adalah membentuk manusia-manusia holistik yang menjadi long life learner, maka orang-orang yang banyak mengingat mati selayakya medapat gelar itu; Long life learner. Mereka akan selalu berada dalam keadaan dimana diri jadi terus belajar. Mereka memetik hikmah dari dirinya dan lingkungannya. Bukan untuk apa-apa, melainkan hati mereka tahu bahwa kematian bisa datang kapan saja. Artinya, kapanpun itu, diri harus selalu berupaya dalam kondisi terbaiknya; kondisi belajar.

"Maka apabila telah tiba ajal mereka (waktu yang telah ditentukan), tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mereka dapat mendahulukannya." (An Nahl: 61)

Yang cerdas, yang paling baik persiapannya dalam menghadapi kematian

Persiapan macam apa yang harus dilakukan untuk menghadapi mati? mari kita ingat, bahwa ternyata, kehidupan manusia adalah tentang syukur, sabar, dan istighfar. Rumus tersebut agaknya terdengar klise bagi sebagian orang, namun ialah sebaik-baik nasihat seseorang kepada saudaranya. "Inti kehidupan itu kan bukan sekarang ini, tapi nanti di syurga," ujar Ustadz Abdullah Gymnastiar pada salah satu kesempatan.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata, “Tidaklah hati seorang hamba sering mengingat mati melainkan dunia terasa kecil dan tiada berarti baginya. Dan semua yang ada di atas dunia ini hina baginya.”

Lalu apa korelasinya dengan kecerdasan? saya haqqul yakin bahwa aspek ini memang menjadi sebaik-baik indikator atas kecerdasan seseorang. Kalaupun logika manusia belum membuktikannya, bukan berarti teori yang diucapkan oleh Rasulullah tersebut tidak terbukti, melainkan logika kita lah yang tidak/belum sampai untuk membuktikan.

Terakhir, bagi yang sedang mencari-cari ide untuk bahan penelitian, mungkin sudah saatnya kita menyadari bahwa Al-Qur'an dan sunnah yang keduanya merupakan petunjuk itu menyimpan segudang inspirasi kehidupan.

Batavia, 2 Ramadhan 1437 H

No comments:

Post a Comment