Beberapa
waktu belakangan, pendidikan menjadi topik utama dalam rutinitas pikiran saya.
Lalu qadarullah, tadi malam saya
bermimpi yang saya curigai ia adalah konspirasi dari diskusi serta buku-buku
dan materi yang saya baca.
“Jadi,
pelajaran apa? IPA?” ujar perempuan berjilbab biru itu sambil memandang saya.
Saya menggeleng tegas.
“Bukan,
Kak,” jawab saya seraya melanjutkan, “pelajaran tentang tauhid. Keimanan,”
mendengarnya, ia mengangguk. Menyetujui. Sementara kakak laki-laki saya duduk
sambil menyimak diskusi yang bertepatan dengan giliran saya bicara.
“Gimana?”
tanyanya lagi.
“Anak
kecil itu masih bersih. Dia bisa menerima kebenaran dengan fitrah. Makanya
penting disini untuk dibekali dengan tauhid; keimanan. Kenapa tauhid? Karena
aspek itulah yang jadi motor utama dia kelak untuk jadi baik pada aspek-aspek
lain seperti sosial, emosi, kognitif, dan lainnya,”
“Ya,
ya” ia kembali mengangguk, “tunggu sebentar. Ini, biar kutulis konsepnya di
kertas,” kemudian perempuan itu menyiapkan selembar kertas kosong dan alat
tulis. Selagi saya bicara, ia terus lihai menggerakkan tangannya. Menerjemahkan
perkataan saya menjadi mind mapping
di atas kertas.
“Al
Qur’an, Kak. Selama ini Al-Qur’an masih jadi buku kedua. Dalam waktu enam tahun
usia SD, umur sekolah yang paling lama, disini lah dasar-dasar itu penting
diajarkan. Kita terapkan Al-Qur’an sebagai satu-satunya buku paket utama. Biar
lama, tapi sedikit-sedikit dan bertahap. Ini pedoman hidup. Bagaimana bisa
anak-anak tidak dikenalkan pada pedoman hidupnya sejak dini?” yang saya ajak
bicara tidak banyak berkata. Ia hanya bergumam kecil; tanda menyetujui.
Lalu
entah dapat ilham darimana, saya terus saja berujar. Ada dorongan kuat dari
dalam untuk menumpahkan fikiran yang lama terpendam. Ada semacam perasaan “saya boleh tidak mendapat kesempatan optimal
dalam mengenal Al-Qur’an sejak dulu. Tapi generasi besok jelas harus punya
kesempatan itu.”
Selesai
saya bicara banyak, kertas itu telah apik merangkum konsep besar kami. Saya
bahkan masih ingat beberapa garis dan tulisan yang tertera di sana –yang dibuat
oleh seorang perempuan yang saya ingat wajahnya namun tiada saya tahu siapa ia.
**
Sebenarnya,
penggal percakapan yang saya ingat dari mimpi tadi malam lebih detil dari apa
yang saya tuliskan di atas. Namun sayang, saya tidak tahu bagaimana cara
menuliskan redaksinya.
Beberapa
waktu lalu, kepala saya berfikir tentang gagasan pendidikan. Selama ini,
pelajaran agama kebanyakan masih menjadi subjek pelengkap dan seolah nomor dua.
Padahal, semakin kesini saya semakin menyadari bahwa justru agama ini lah yang
paling penting dan utama untuk kehidupan seseorang. Saya masih jauh sekali dari
tahap ini, namun saya berfikir, ketika seseorang memahami agama, maka sejatinya
ia akan menuntut ilmu yang lain dengan sungguh-sungguh. Karena, hei, bahkan kedudukan ilmu sangat dimuliakan
dalam agama, bukan?
"Sesungguhnya para malaikat merendahkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu karena ridha dengan apa yang dilakukannya." (Rasulullah SAW)
Namun
waktu itu saya sama sekali belum berfikir akan buku paket. Saya justru secara
amatiran membandingkan perihal kurikulum dan sistem pembelajaran di beberapa
model sekolah mulai dari SD, MI, pesantren, hingga IT. Meski belum mendalam,
tapi saya mulai menemukan titik perbedaan dan celah yang membuat saya berfikir
akan gagasan di atas. Alih-alih melirik Al-Qur’an, saya justru mencari tahu
kira-kira bagaimana caranya pengajaran itu terintegrasi dengan agama yang jadi
pusat utama -dengan tetap membawa ilmu-ilmu teknis dalam kehidupan? Buku paket
macam apa yang harus dibuat? Kurikulum seperti apa?
Hingga
tadi malam saya bermimpi seperti yang telah saya ceritakan. Lagi, saya 'ditampar'. Bahkan ternyata ‘buku paket’ itu telah berada begitu dekat dengan
kita. Namun sayang, ia tidak benar-benar difungsikan sebagaimana mestinya oleh
kebanyakan orang. Ia tersimpan rapi di laci dan lemari, dibaca tanpa dimaknai,
dihormati tanpa diresapi. Meskipun demikian, saya bersyukur negeri ini masih
menyimpan ‘budaya’ mengaji. Alhamdulillah. Bahkan anak-anak di sekitar asrama
tempat saya tinggal tidak sedikit yang minta diajari mengaji (membaca
Al-Qur’an). Ia adalah suatu kebahagiaan yang patut disyukuri. Namun, saya lantas
bertanya kepada diri sendiri: mengapa tidak kita bangun rasa ingin tahu mereka?
Tidakkah mereka penasaran dengan isi dan makna bacaan yang mereka baca itu?
“Kak,
emangnya gimana sih cerita pemuda yang hidup di gua? Ceritain, Kak,” tiba-tiba
saya ingat degan pertanyaan adik saya yang masih duduk di bagku kelas 5 SD.
Saat itu saya menjawab setahu saya, berdasarkan apa yang telah saya pahami
selama ini. Lalu dengan bijak, ayah saya menimpali,
“Coba
buka Al-Qur’an surat Al-Kahfi. Baca aja, disana ada ceritanya,” ujar ayah.
Tanpa saya duga, adik saya begitu bersemangat. Kemudian ia tekun membaca
terjemah Al-Qur’an surat Al-Kahfi, disusul komentar dan beberapa pertanyaan
sebagai buah dari rasa takjub dan rasa ingin tahunya.
“Al-Qur’an is not a book of science, it’s a book of sign.” Begitu dr. Zakir Naik pernah berujar di salah satu
ceramahnya ketika menjawab pertanyaan seorang atheis.
SIGN! Petunjuk. Tanda. Pedoman. Al-Qur’an, kalamullah itu,
ia akan tetap membawa kebaikan meskipun kita membaca tanpa mengerti maksudnya.
Dengan Al-Qur’an, kita melembutkan hati dan menentramkan jiwa atas izin-Nya. Ialah
itu bagian dari mukjizat Al-Qur’an. Adapun kemudian, bersyukur jika kita
mengerti Bahasa Arab, karena memaknainya akan jadi lebih mudah. Bersyukur bagi
kita yang mendapat kesempatan dan kemauan untuk belajar Bahasa Arab, karena
nikmat itu sungguh luar biasa. Pemahaman akan pedoman hidup-- tidakkah itu
menggiurkan? Tidak berlebihan pernyataan bahwa memaknai Al-Qur’an berarti
memaknai kehidupan.
Adapun
bagi kita yang belum mengerti Bahasa Arab, bersyukurlah. Karena detik ini
terjemah Al-Qur’an telah tersedia. Meski tidak seideal jika kita memahami Bahasa
Arab, namun jelas ia bisa dibaca dan memudahkan kita sebagai gerbang untuk
memaknai kalamullah. In syaAllah.
Jika Ustadz Away Baidhowy sebagai guru Akidah Akhlak menginspirasi peserta didiknya
untuk menjadi penulis mushaf Al-Qur’an, rasa-rasanya saya ingin mengajak mereka
bersama-sama untuk mengkhatamkan Al-Qur’an beserta terjemahnya.
PS:
Sampai detik ini pun saya belum selesai. Mohon doanya.
Sumber: google.com (keyword Al-Qur'an) |
Batavia, 4 Ramadhan 1437 H
Hi Ka.. kaka anak IKK IPB juga ya? wah pas banget aku juga anak IKK IPB angkatan 54. Awalnya aku lagi nyari harga buku Rethinking Education untuk tugas resensi mata kuliah pendidikan holistik. Trus muncul blogspot Kaka.. aku udah baca tentang resensi bukunya yang kaka tulis di blogspot.. bagus kaa.. btw salam kenal kaa . hehe
ReplyDeleteHalo, Nisrina! iya aku IKK IPB 50, IKA IPB 53 :) terima kasih yaa sudah mampir. Salam kenal juga :D
Delete