"Silahkan manfaatkan kertas putih yang sudah saya bagikan untuk menuangkan pikiran kalian tentang anak muda masa kini," Laki-laki berkacamata itu memberikan arahan. Mendengarnya, kami mulai asyik dengan pikiran masing-masing. Termasuk aku.
Selang beberapa menit, kelas mulai kembali ramai. Tandanya sebagian besar anak sudah menyelesaikan tugas tersebut. Aku sendiri membuat semacam mind mapping sederhana. Kupikir, tema semacam ini bukanlah hal baru. Memang degradasi moral kentara sekali terjadi pada anak-anak muda. Meski aku sendiri juga anak muda, sih.
"Sudah selesai semua?" tanya guru kami di depan kelas.
"Pak," Sebuah suara memecah keheningan.
"Ya, ada apa?"
"Boleh izin sebentar?"
"Mau kemana?"
"Menyelesaikan tugas ini. Sebentar saja," mendengar permintaan salah satu muridnya, beliau lalu megangguk pelan sambil tersenyum. Yang meminta izin lantas keluar ruang kelas. Kami kemudian melanjutkan pembahasan hari itu. Satu per satu maju ke depan kelas da menjelaskan konsep pikiran masing-masing. Tidak terkecuali aku. Kujabarkan satu persatu permasalahan yang tengah dihadapi oleh kaum muda.
Di tengah-tengah kelas berlangsung, anak yang tadi izin ke luar kelas mengucap salam dan masuk kembali. Guru kami, mempersilakan ia masuk. Sesekali kulirik kertas di tangannya. Agak penasaran apa yang ditorehkannya di sana.
"Ya, silakan tinggal kamu yang belum maju," Pak guru tersenyum ramah
"Oh, Baik," ia berdiri tepat di tengah-tengah kelas. Tangan kirinya memegang kertas yang entah bagaimana masih bersih. Kosong. Sementara tangan kanannya mengenggam sebuah es krim cone vanilla yang biasa di jual oleh Om Kone di seberang sekolah.
Kami menunggu.
"Generasi muda saat ini," ujarnya sambil menjulurkan es krim dalam genggaman tangan, "seperti es krim," lanjutnya. Kami hening. Aku pun memerhatikan anak baru itu lamat-lamat.
"Kenapa es krim?" salah satu dari kami bertanya. Mendengarnya, sosok dengan es krim di tangan itu kemudian meletakkan kertas putih miliknya di atas meja disusul dengan tubrukan es krim cone di atasnya. Es krim itu meleleh, merambat pada serat kertas secaa perlahan.
"Es krim. Terlihat indah, menyenangkan, warna-warni di dalam lemari es pelindungnya. Namun sayang, mudah sekali meleleh. Lemah sekali menghadapi dunia ketika keluar dari lemari pelindung. Anak muda sekarang, umpama generasi es krim.." ia berkata pelan. Tidak memandang kami, melainkan matanya tertuju fokus pada kertas di hadapannya yang kini semakin basah oleh lelehan es krim.
Aku tidak bida berkata-kata. Analogi yang cerdas sekali. Entah, rasanya campur aduk. Sejurus kemudian benakku terganggu oleh sesuatu: Adakah aku bagian dari generasi es krim itu? generasi yang terlihat indah namun lemah pada nyatanya?
"Ya, ada apa?"
"Boleh izin sebentar?"
"Mau kemana?"
"Menyelesaikan tugas ini. Sebentar saja," mendengar permintaan salah satu muridnya, beliau lalu megangguk pelan sambil tersenyum. Yang meminta izin lantas keluar ruang kelas. Kami kemudian melanjutkan pembahasan hari itu. Satu per satu maju ke depan kelas da menjelaskan konsep pikiran masing-masing. Tidak terkecuali aku. Kujabarkan satu persatu permasalahan yang tengah dihadapi oleh kaum muda.
Di tengah-tengah kelas berlangsung, anak yang tadi izin ke luar kelas mengucap salam dan masuk kembali. Guru kami, mempersilakan ia masuk. Sesekali kulirik kertas di tangannya. Agak penasaran apa yang ditorehkannya di sana.
"Ya, silakan tinggal kamu yang belum maju," Pak guru tersenyum ramah
"Oh, Baik," ia berdiri tepat di tengah-tengah kelas. Tangan kirinya memegang kertas yang entah bagaimana masih bersih. Kosong. Sementara tangan kanannya mengenggam sebuah es krim cone vanilla yang biasa di jual oleh Om Kone di seberang sekolah.
Kami menunggu.
"Generasi muda saat ini," ujarnya sambil menjulurkan es krim dalam genggaman tangan, "seperti es krim," lanjutnya. Kami hening. Aku pun memerhatikan anak baru itu lamat-lamat.
"Kenapa es krim?" salah satu dari kami bertanya. Mendengarnya, sosok dengan es krim di tangan itu kemudian meletakkan kertas putih miliknya di atas meja disusul dengan tubrukan es krim cone di atasnya. Es krim itu meleleh, merambat pada serat kertas secaa perlahan.
"Es krim. Terlihat indah, menyenangkan, warna-warni di dalam lemari es pelindungnya. Namun sayang, mudah sekali meleleh. Lemah sekali menghadapi dunia ketika keluar dari lemari pelindung. Anak muda sekarang, umpama generasi es krim.." ia berkata pelan. Tidak memandang kami, melainkan matanya tertuju fokus pada kertas di hadapannya yang kini semakin basah oleh lelehan es krim.
Aku tidak bida berkata-kata. Analogi yang cerdas sekali. Entah, rasanya campur aduk. Sejurus kemudian benakku terganggu oleh sesuatu: Adakah aku bagian dari generasi es krim itu? generasi yang terlihat indah namun lemah pada nyatanya?
Sumber |
Batavia, 3 Ramadhan 1437 H
No comments:
Post a Comment