Jadi sebenarnya tulisan
ini dibuat untuk melunasi hutang bolos tidak masuk praktikum mata kuliah
Pendidikan Holistik karena saat itu harus pergi secara mendadak untuk mengikuti
sebuah wawancara yang hampir saja dilupakan jadwalnya.
**
Muqaddimah
Saya diminta untuk
membaca buku (kemudian membuat tulisan terkait buku tersebut). Buku Rethinking
Education adalah karya seorang Philip Snow Gang, Ph.D. yang berlatar belakang
teknik namun jatuh cinta pada dunia pendidikan setelah perjalanan panjang
kehidupannya. Jujur saja, sampai menuliskan ini pun, saya belum membaca secara
utuh buku tersebut, melainkan baru sampai halaman ke-48 dari 180, dan
selebihnya hanya melakukan screening
seadanya. Karena sayang, tugas jelas memiliki deadline dan saya harus segera menyelesaikannya.
Sebelum mulai membaca, melihat
judul buku ini serta merta mengingatkan saya pada salah satu materi yang
disampaikan oleh Dr. Yasir Qadhi dengan judul sama: Rethinking Education. Bagi
yang tertarik, (dan memang sangat menarik), silakan diunduh disini.
Kembali lagi
pada buku karangan Gang. Mungkin tugas tambahan sebagai pengganti praktikum ini
tidak mengharuskan agar saya membaca keseluruhan isi buku. Tapi saya akui buku
ini melakukan pembukaannya dengan menarik yang mengundang saya untuk membacanya
(meski belum selesai sekarang, 24 Juni 2016). Gang menceritakan perjalanan
fikirannya sejak duduk di bangku sekolah, kuliah, hingga bagaiamana ia
terinspirasi oleh konsep Montessori pada tahun 1968 ketika menyekolahkan
Warren, anaknya yang saat itu berusia 3 tahun.
Yang membuat Gang menaruh
perhatian pada Montessori adalah karena ia menawarkan konsep pemikiran akan
kombinasi “siapa saya” dengan pandangan dunia kosmik; bagaimana sisi
kemanusiaan berhubungan dengan alam semesta. Latar belakang teknik dan
kecintaan pada ilmu pengetahuan membuat Gang berfikir bahwa hal tersebut sangat
menarik serta mengantarkannya pada sebuah pemikiran baru yang berbeda dari apa
yang selama ini ia pikirkan tentang pendidikan.
Pendidikan
dan Fisika
Buku ini diawali dengan
bab berjudul “Education and Physic” yang membuat saya kembali bernostalgia
dengan beberapa istilah dan teori dalam ilmu fisika seperti kausalitas, entropi,
sintropi, hukum termodinamika, hingga fisika kuantum. Sampai disini, saya
sangat setuju bahwa fenomena fisika memang menarik untuk dikaji. Kita telah
mengetahui bahwa fisika memuat hukum-hukum universal pada aktivitas setiap
benda termasuk manusia.
Misalkan saja, yang
paling sederhana, melakukan perubahan posisi benda agar tidak diam membutuhkan
usaha lebih untuk melampaui ambang batasnya. Setelah itu, pergeseran benda akan
jadi lebih mudah dilakukan. Sama seperti manusia yang untuk berubah, ia membutuhkan
energilebih besar di awal. Ketika langkah pertama telah dibuat, langkah
selanjutnya akan menjadi lebih ringan. Memulai seringkali memakan tenaga lebih,
bukan?
Contoh lain adalah
penemuan yang mengatakan bahwa bagian terkecil dalam sebuah benda hakikatnya
memberi untuk membuat ikatan dan menguatkan dirinya. Ada hubungan saling
memberi yang membentuk materi tersebut menjadi satu kesatuan. Sama seperti
keadaan manusia, dimana pada hakikatnya, memberi adalah menerima. Semakin
banyak memberi, semakin banyak pula kita menerima. Dari sini pula kemudian kita
mengenal konsep “Semesta Mendukung,” “Law of Attraction,” dan lain sebagainya.
Dunia fisika mengalami
perubahan dari waktu ke waktu seiring dengan berkembangnya illmu pengetahuan
dan teknologi hasil cipta rasa karsa manusia. Sama halnya dengan teknologi,
dunia industri, ekonomi, bahkan politik yang juga mengalami perubahan dari
waktu ke waktu. Gang berpendapat, jika semua aspek itu mengalami perubahan,
bagaimana dengan pendidikan? Adakah ia juga perlu mengalami perubahan atau
bahkan harus? Perkembangan macam apa yang selayaknya terjadi pada dunia
pendidikan?
Maka jadi menarik ketika
fisika kemudian dihubungkan langsung dengan pendidikan. Model pendidikan macam
apa yang baik dilakukan jika kita kaitkan degan keilmuan fisika yang memuat
hukum universal kehidupan manusia? Perubahan seperti apa yang dapat membawa
pendidikan manusia menjadi lebih baik seiring waktu?
Masih berhubungan dengan
fisika, Gang kemudian mengelompokkan fase kehidupan manusia berkaitan alam
menjadi empat periode unik:
The
Age of Humanity in Nature
The
Age of Humanity with Nature
The
Age of Humanity over Nature, and
The
Age of Humanity through Nature.
Ada
beberapa pendapat ahli yang Gang kutip dalam bukunya dan saya pikir pendapat
Capra di bawah ini menarik untuk dikutip juga disini.
In
contrast to the mechanistic Cartesian view of the world,
the
world view emerging from modern physics can be characterized by words like
organic, holistic, and ecological....
The
universe is no longer seen as a machine,
made
up of a multitude of objects, but has to be pictured
as
one indivisible, dynamic whole whose parts are essentially
interrelated
and can be understood only as patterns
of a cosmic process (Capra, 1982)
Saya tidak akan menjabarkan satu persatu pejelasan
Gang ada masing-masing dari empat periode tersebut. Melainkan saya akan mencoba
mengambil satu benang merah, bahwa hubungan manusia dengan alam menurut Gang
berkembang dari jarak pemisah yang jelas hingga akhirnya hari ini sampai pada
penemuan akan kenyataan bahwa manusia sejatinya menjadi bagian dari alam itu
sendiri.
Lagi, ungkapan Capra boleh jadi mempermudah kita
untuk mengerti jalan pikir Gang:
Cartesian
division between mind and matter, between
the
observer and the observed, can no longer be
maintained.
We can never speak about nature without,
at
the same time, speaking about ourselves (Capra, 1982)
*Bagi yang mungkin belum tahu, sederhananya, “Cartesian” adalah
pandangan yang menganggap bahwa jiwa dan badan merupakan dua aspek yang berbeda
dan tidak dalam satu kesatuan. Biasa dikenal dengan istilah Cartesian
dualism.
Rethinking Education Versi Saya
Sampai disini, saya mulai mengerti kemana arah buku ini berbicara
tentang pendidikan; adalah itu Pendidikan Holistik yang memandang pendidikan
secara keseluruhan, tidak terkotak-kotak, tidak terfragmentasi, melainkan
memandang manusia sebagau fully human yang dengan pendidikan diharapkan
menjadi seorang longlife learner, memiliki kesadaran akan eksistensi dirinya
sebagai bagian dari sistem besar dan memaknai akan kehidupan yang pada akhirnya
kembali menuju Tuhan.
Namun sayangnya, saya belum selesai membaca sehingga tidak pantas
rasanya menuliskan lebih jauh tentang Rethinking Education versi Gang. Jadi
izinkan saya menulis tentang rethinking education versi amatiran saya
saja.
Ketika mendapat mata kuliah Pendidikan Holistik, saya berfikir bahwa
mata kuliah inilah yang selama ini saya cari-cari dan Alhamdulillah saya
menemukan dan dipertemukan dengannya. Saya memang bukan seseorang yang
berorientasi akademik, tapi saya akui saya tertarik dengan pengetahuan yang
disuguhkan disini. Terlebih ketika menemukan konsep-konsep yang dibangun
tentang pendidikan dengan memandangnya secara holistik: secara menyeluruh.
Membaca buku karangan Gang membuka mata saya bahwa ternyata, teori yang berasal
dari Barat ini pun berasal dari para tokoh “spiritual” sehingga tidak heran,
aspek “kembali kepada Tuhan” menjadi bagian dari penjabaran lebih lanjut
tentang pendikan holistik.
Namun sayang, materi yang saya peroleh memang kebanyakan masih
berkiblat pada dunia Barat meski lagi-lagi saya bersyukur, kekayaan khazanah
para pendidik saya menjadikan ia terbuka dan bahkan referensi lokal yang saya
dapat sama sekali tidak bertentangan dengan Islam rahmatan lil ‘alamin. Ia
justru semakin memperkuat keyakinan saya, bahwa apa yang diajarkan dalam Islam
adalah sebaik-baik metode pendidikan. Malah saya haqqul yakin,
“pendidikan holistik” Barat ini masih belum sempurna (maaf saya menyebut
“Barat” karena tidak menemukan keterangan yang lebih mudah untuk dimengerti).
Belum-- karena ia masih pincang terutama dalam hal sumber ilmu pengetahuan dan
pedoman hidup (baca: Al-Qur’an).
Jika kita menengok pada sejarah peradaban manusia dengan sumber Barat,
kita akan mengenal istilah “Dark Age,” yang terjadi pada abad pertengahan,
dimana bangsa Eropa dikuasai oleh negara dan berada di bawah kendali gereja.
Dinamakan demikian, karena masa tersebut dianggap sebagai masa kegelapan,
dimana peradaban tidak mengalami kemajuan. Kemudian beberapa abad setelahnya,
kita mengenal revolusi industri yang sadar atau tidak membentuk pola pendidikan
menjadi begitu mekanistik, headstart, dan cenderung berorientasi
kognitif. Barulah pada masa-masa sekarang ini, perhatian akan pendidikan
holistik tampil setelah dampak akibat pendidikan yang sebelumnya tidak seimbang
itu dirasa tidak sesuai. Seolah-olah “Pendidikan Holistik” adalah sebuah metode
dan sudut pandang baru, padahal boleh jadi ia telah ada sedari dulu.
Pendidikan Holistik
Apa yang disebut “Dark Age” oleh Eropa selama ini sejatinya merupakan
“Golden Age” dalam sejarah peradaban manusia. Pada masa itulah berkembang
berbagai macam ilmu pengetahuan yang menjadi dasar dari berkembangnya dunia
modern dan IPTEK saat ini. Jika kita mengenal Wright bersaudara sebagai pelopor
pesawat terbang, maka ratusan tahun sebelumnya telah ada Abbas Ibnu Firnas.
Pada masa itu pula ada Ibnu Al Haytam menemukan konsep dasar optik dan kamera
yang saat ini banyak digunakan, serta ilmuwan-ilmuwan hebat lainnya yang
sayang, seolah hilang dari sejarah.
Ah ya, ada film pendek berjudul 1001 Invention yang sangat layak untuk
ditonton. Ia bercerita tentang tiga orang pelajar yang mencari informasi di
perpustakaan tentang “Dark Age.” Silahkan klik disini untuk menonton.
Saya curiga. Jika penemuan-penemuan hebat tersebut telah ditemukan jauh
sebelum dunia mensosialisasikannya, boleh jadi demikian pula dengan metode
pendidikan –dengan konsep pendidikan holistik. Bahkan apa yang dinilai “modern”
saat ini, rasa-rasanya masih kurang modern. Ada yang lebih keren dari teori multiple
intelligent-nya Howard Gardner, atau metode Montessori-nya Montessori. Dan
bisa jadi, yang lebih keren itu sebenarnya telah ada sejak lama dasarnya, hanya
saja belum muncul ke permukaan lagi. Atau sudah muncul, tapi saya yang belum
benar-benar menemukan. Mungkin ada yang sudah menemukan? Kabar-kabar, ya. Ayo
kita sharing! Serius.
Lalu ternyata, tau-tau tulisannya jadi sepanjang ini padahal niatnya
cukup buat 2 halaman saja. Terima kasih sudah membaca. Di awal, saya
menyampaikan sedikit tentang fisika, tentang alam semesta. Bahwa manusia dan
alam sejatinya merupakan satu kesatuan. Tidak dapat dipisahkan, memiliki
harmoni-kausalitas, dan kita sebagai manusia adalah bagian dari alam semesta
itu sendiri. Saya setuju. Terlebih hal tersebut telah nyata disebutkan dalam
ayat Al-Qur’an.
Allah SWT berfirman:
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ
وَالأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Semua yang berada di
langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran
Allah). dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Surat Al Hadid
ayat 1).
تُسَبِّحُ لَه‘ السَّمَاوَاتُ
السَّبْعُ وَاَلْأَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّ 4 وَإِنَّ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ
وَلَاكِنْ لاَ تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْ إِنَّه‘ كَانَ حَلِيْمًا غَفُوْرًا
Langit yang tujuh, bumi
dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun
melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti
tasbih mereka. Sesungguhnya dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (Al
Isra ayat 77).
Longlife Learner
Buku Rethinking Education karya Gang belum selesai saya baca, dan masih
menyisakan sekitar 3 dari 4 bagian lagi untuk saya tuntaskan. Jika dari pembaca
ada yang berminat untuk ikut menyimak, boleh kirimi saya email untuk
saya kirmi bentuk e-book nya, atau silakan berselancar di dunia maya.
Apa yang saya tuliskan hanya buah dari pemikiran beberapa waktu
belakangan, dan masih sangat berkaitan dengan mimpi saya di awal Ramadhan lalu.
(Silakan baca pada postingan sebelumnya berjudul Al-Qur’an dan Pendidikan).
Dan saya fikir, Allah tengah memfasilitasi saya untuk membaca buku Rethinking
Education-nya Gang untuk memperluas wawasan --meski berkedok sebagai tugas
pengganti praktikum. Karena memang, kalau tidak dipaksa ya seringnya nggak
baca Alhamdulillah. J
Saya optimis bahwa kesadaran manusia akan Al-Qur’an sebagai ‘buku’ ilmu
pengetahuan semakin meluas. Hari ini kita memiliki dr. Zakir Naik yang
mempermudah orang awam seperti saya menelaah IPTEK dari Al-Qur’an dengan cara stand
by memegang mushaf sambil menonton video beliau menyebut daftar referensi
pengetahuan dari surat Al-Qur’an lengkap dengan ayatnya. Kita juga punya Ustadz
Abdullah Gymnastiar, yang diam-diam membuka mata saya betapa urusan tauhid
sampai pada hal-hal terkecil dalam kehidupan seperti kuku atau kulit rambutan.
Betapa setiap sel yang hidup berada di bawah kekuasaan Allah. Lalu ada Syaikh
Fahad Al-Kandari, yang lagi-lagi membantu melihat betapa kita tidak sendirian;
bahwa Al-Qur’an sungguh sebenar-benar mukjizat dan dipelajari banyak orang. In
syaAllah.
Dalam bukunya halaman 7, Gang menuliskan ini:
“Shalom” comes from the root word “shalem”
which means wholeness or completeness. It is used to greet and to say farewell
to a friend. It means peace. Shalom is the beginning and the end for the peace
that lies within. You cannot have peace without “wholeness.”
Yak, sedikit lagi!
Assalamu’alaikum.
Salam. Ialah ajaran Rasulullah Muhammad SAW yang sangat mulia: mendoakan
kedamaian dan keselamatan antar saudara seiman. Sedikit lagi, semua konsep ini
memang mengarah kesana. Mengarah pada Islam yang kaffah. Dan saya yakin, ia
tengah menuju kesana. Jadi ayo belajar, longlife
learner!
18 Ramadhan 1437 H
|
Kelas Tahfidz di Masjid Ulil Albab MAN Insan Cendekia Serpong |