Friday, December 4, 2015

Hati, Ulul Azmi, dan Prestasi

“Kalian mungkin belum jadi ibu, belum jadi ayah. Tapi pesan saya, setiap kalian bertemu dengan anak-anak, maka jadilah orang tua bagi mereka,” ujar dosen kami, Ibu Alfiasari.

**

Langit Bogor mulai kembali. Hujan menjatuhi tanahnya lagi. Dari asrama menuju kampus aku biasa melewati jalan pintas setapak yang sudah jadi jadwal rutinnya basah oleh sebab sapaan hujan. Musim hujan tiba lagi. Euforia sepatu rusak, kaos kaki basah, dan ujung rok yang bercorak tanah kembali tidak asing. Kebahagiaan melihat bayang langit dari genang air, merasakan tiap tetes menyapa ujung-ujung jemari, dan keindahan menyaksikan rutinitas serta raut manusia pada hari hujan pun kembali lagi.

Hari itu mendung. Dari sisi kanan dan kiri ruangan kami bisa melihat dengan jelas ekspresi langit yang tidak lagi terang. Ibu Alfiasari di kelas Pengembangan Karakter menyampaikan beberapa pesan di penghujung kuliah. Kalian mungkin belum jadi ibu, belum jadi ayah. Tapi pesan saya, setiap kalian bertemu dengan anak-anak, maka jadilah orang tua bagi mereka. Lebih lanjut, beliau kemudian menyampaikan tentang Healthy Standard.

Secara sederhana, Healthy Standard adalah pemahaman yang mengutamakan proses –dalam hal apapun. Bukan semata-mata hasil, seperti yang (mungkin) dilakukan kebanyakan manusia saat ini. Hubungannya dengan kita sebagai orang tua adalah bahwa dalam mendidik anak, hendaknya menanamkan pemahaman tersebut kepada mereka. Tunggu. Hei, orang tua disini bukan cuma orang tua biologis. Tapi orang tua adalah siapapun yang merasa dirinya memiliki hak  untuk dididik dan bertanggung jawab untuk mendidik. Itu tandanya, kamu dan aku juga. Kita ini ‘orang tua’.

Baik, kembali ke Healthy Standard. Ibu Alfiasari mengatakan agar kami tidak meletakkan standar pada hal ‘remeh-temeh’ seperti ranking, juara kelas, atau nilai dalam bentuk angka. Tetapkanlah standar menggunakan hati nurani. Standar tertinggi adalah standar yang menekankan pada proses. Ketika anak memiliki kejujuran, baik, bekerja keras, mau antre, kreatif, juga pantang menyerah. Nonsense jika dia juara kelas tapi hasil menyontek, atau datang tepat waktu ke kelas tapi menyelak antrean toilet.

Selesai kuliah, aku serta-merta teringat akan Ulul Azmi. Aku fikir kamu juga tahu, kan. Ulul Azmi adalah gelar kenabian istimewa yang diberikan kepada para rasul yang memiliki kedudukan khusus karena ketabahan dan kesabaran yang luar biasa dalam menyebarkan ajaran tauhid. Mereka memperoleh keistimewaan diatas keistimewaan. Ialah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad SAW, atau yang masa kecil kita biasa menyingkatnya jadi ‘NIMIM’. Hei, lantas apa hubungannya dengan Healthy Standard?

Ulul Azmi, mereka istimewa. Mereka berprestasi. Kisah-kisahnya memberikan pelajaran, motivasi, dan inspirasi. Dari kisah ulul azmi, aku fikir ada begitu banyak hikmah yang bisa diambil. Kesemuanya benar-benar memenangkan proses, memenangan perjalanan yang Allah beri. Sebut saja Nabi Nuh. Beliau berdakwah beratus-ratus tahun lamanya, dihiasi dengan kesabaran, keteguhan, keistiqomahan. Apakah beliau sukses? Kalau kita menggunakan kacamata sempit, mungkin jawabannya tidak. Bayangkan saja, sekian lamanya beliau berdakwah, tapi ‘hanya’ memiliki jamaah tidak lebih dari 100 orang. Beliau dikatakan gila oleh kaumnya sendiri, bahkan anak dan istri Nabi Nuh juga tidak memercayainya. Miris sekali. Begitu juga dengan Nabi Ibrahim. Beliau adalah rasul pilihan, keyakinannya pada Allah luar biasa. Hei, tapi bahkan ayahnya sendiri yang memahat patung berhala untuk sesembahan kaum jahiliyah.

Lain Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim, lain pula Nabi Musa dan Nabi Isa. Nabi Musa suatu ketika pergi selama 40 hari untuk menerima wahyu dari Allah. Ditinggal sebentar saja, tahu-tahu kaumnya membangkang. Begitu pun Nabi Isa. Sudah beliau mengajarkan tentang tauhid, tentang keesaan Allah, lantas penyimpangan itu terlihat begitu besar. Justru dirinya lah yang dianggap Tuhan oleh kaumnya sendiri.

Namun di atas itu semua, mereka semua memenangkan proses. Berprestasi atas proses. Berbahagia atas kesabaran, atas keyakinan pada Tuhannya. Begitu pula dengan Rasulullah Muhammad SAW, penutup para nabi. Kisah hidup beliau yang begitu berliku memberikan kita pelajaran akan makna prestasi. Beliau pernah diusir dari kampung halamannya sendiri, pernah dilempari batu, pernah dilempari kotoran unta ketika sedang shalat. Bukan cuma sekali beliau hendak dibunuh. Sudah begitu, paman yang begitu disayanginya, yang melindungi dirinya untuk menyebarkan kebaikan Islam, hingga akhir hayat masih belum memeluk Islam. Apakah beliau gagal berdakwah? Tidak. Sama sekali tidak.  Kisah Nabi Muhammad ini memberikan kita pencerahan tersendiri; tidak ada pengorbanan yang Allah sia-siakan. Berbayar dengan penaklukan kota Makkah, Islam lantas mendunia.

Healthy Standard.

Jadi, sudah mulai menemukan benang merah?

**

Prestasi. Kadang-kadang kita harus benar-benar mempertanyakan definisi setiap kata dalam kamus di kepala kita. Apa standar keberhasilan dan prestasi kita? Adakah ia berupa kekayaan, penghormatan manusia, atau kedudukan? Kalau iya, maka tamparlah diri kita dengan kisah Firaun yang berakhir tenggelam di laut merah.

Maka biarlah kita memaknai prestasi lebih dalam dari sekadar urusan duniawi. Ingat saja kisah Nabi Yusuf. Dengan jalan hidup yang berliku, akhirnya beliau menjadi seorang raja. Sudah begitu, tampan pula. Tapi apa pernah, dua hal tersebut disebut-sebut menjadi prestasi? Tidak. Kisah beliau masyhur akan prestasi pengendalian hawa nafsu yang luar biasa hebat ketika menghadapi godaan Zulaikha. Beliau, Nabi Yusuf, memaknai prestasi sebagai sebuah proses. Bahwa kesuksesan yang sesungguhnya adalah ketika hati dekat dengan Allah. Maka tidak perlu mengutuk Tuhan ketika berada dalam penjara, atau pada masa kecilnya ketika ia dibuang ke dalam sumur. Kalau itu bisa menjadikan ia lebih berprestasi, kenapa tidak?

Maka sebagai orang tua, hendaklah mengajarkan standar-standar yang sehat dalam memaknai prestasi kepada anak-anak. Agar kelak, mereka tidak perlu dibuat risau dengan penilaian manusia, tidak perlu mati-matian mengejar dunia hingga lupa akhirat, tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Agar mereka menjadi manusia-manusia bijak yang mengerti bahwa apresiasi hadir ketika kita berusaha, bahwa prestasi nyata ketika kita semakin dekat dengan-Nya.

Pemahaman prestasi semacam ini akan menghadirkan kekuatan luar biasa. Takkan ada caci yang membuat dengki, pun tak ada puji yang menjadikan tinggi hati. Bayangkan betapa dahsyatnya anak-anak yang dididik dengan pemahaman ini. Korupsi, kriminalitas, narkoba, pergaulan bebas –itu semua takkan memiliki tombol komando dalam kepala mereka. Kebohongan, pencitraan, kebanggaan semu, tidak ada pentingya bagi mereka.

Namun sebelum mendidik anak-anak, kita perlu jadi terdidik. Maka kepada kita, selamat mendidik diri sendiri agar memahami makna prestasi dengan sebaik-baik pemahaman. Selamat memaknai prestasi dari kacamata Ulul Azmi. Semoga dipermudah oleh Yang Maha Memiliki Hati.

Dan selamat bersiap. Karena kita sama-sama tahu, bahwa setiap pemahaman akan selalu diuji.

Aku mendoakanmu. Semoga kamu juga begitu. :)

Ditulis di Bogor ketika hari hujan,
pada saat dimana langit menjumpai bumi.

No comments:

Post a Comment