“Kalian mungkin belum jadi ibu, belum jadi
ayah. Tapi pesan saya, setiap kalian bertemu dengan anak-anak, maka jadilah
orang tua bagi mereka,” ujar dosen kami, Ibu Alfiasari.
**
Langit Bogor
mulai kembali. Hujan menjatuhi tanahnya lagi. Dari asrama menuju kampus aku
biasa melewati jalan pintas setapak yang sudah jadi jadwal rutinnya basah oleh
sebab sapaan hujan. Musim hujan tiba lagi. Euforia sepatu rusak, kaos kaki
basah, dan ujung rok yang bercorak tanah kembali tidak asing. Kebahagiaan
melihat bayang langit dari genang air, merasakan tiap tetes menyapa ujung-ujung
jemari, dan keindahan menyaksikan rutinitas serta raut manusia pada hari hujan
pun kembali lagi.
Hari itu mendung.
Dari sisi kanan dan kiri ruangan kami bisa melihat dengan jelas ekspresi langit
yang tidak lagi terang. Ibu Alfiasari di kelas Pengembangan Karakter
menyampaikan beberapa pesan di penghujung kuliah. Kalian mungkin belum jadi ibu, belum jadi ayah. Tapi pesan saya, setiap
kalian bertemu dengan anak-anak, maka jadilah orang tua bagi mereka. Lebih
lanjut, beliau kemudian menyampaikan tentang Healthy Standard.
Secara
sederhana, Healthy Standard adalah
pemahaman yang mengutamakan proses –dalam hal apapun. Bukan semata-mata hasil, seperti
yang (mungkin) dilakukan kebanyakan manusia saat ini. Hubungannya dengan kita
sebagai orang tua adalah bahwa dalam mendidik anak, hendaknya menanamkan
pemahaman tersebut kepada mereka. Tunggu. Hei, orang tua disini bukan cuma
orang tua biologis. Tapi orang tua adalah siapapun yang merasa dirinya memiliki hak untuk dididik dan bertanggung jawab untuk
mendidik. Itu tandanya, kamu dan aku juga. Kita ini ‘orang tua’.
Baik, kembali ke
Healthy Standard. Ibu Alfiasari mengatakan
agar kami tidak meletakkan standar pada hal ‘remeh-temeh’ seperti ranking,
juara kelas, atau nilai dalam bentuk angka. Tetapkanlah standar menggunakan
hati nurani. Standar tertinggi adalah standar yang menekankan pada proses. Ketika
anak memiliki kejujuran, baik, bekerja keras, mau antre, kreatif, juga pantang
menyerah. Nonsense jika dia juara
kelas tapi hasil menyontek, atau datang tepat waktu ke kelas tapi menyelak
antrean toilet.
Selesai kuliah,
aku serta-merta teringat akan Ulul Azmi. Aku fikir kamu juga tahu, kan. Ulul
Azmi adalah gelar kenabian istimewa yang diberikan kepada para rasul yang memiliki kedudukan khusus karena ketabahan dan kesabaran yang luar biasa dalam menyebarkan ajaran tauhid. Mereka memperoleh keistimewaan
diatas keistimewaan. Ialah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan
Nabi Muhammad SAW, atau yang masa kecil kita biasa menyingkatnya jadi ‘NIMIM’. Hei,
lantas apa hubungannya dengan Healthy
Standard?
Ulul Azmi,
mereka istimewa. Mereka berprestasi.
Kisah-kisahnya memberikan pelajaran, motivasi, dan inspirasi. Dari kisah ulul
azmi, aku fikir ada begitu banyak hikmah yang bisa diambil. Kesemuanya
benar-benar memenangkan proses, memenangan perjalanan yang Allah beri. Sebut
saja Nabi Nuh. Beliau berdakwah beratus-ratus tahun lamanya, dihiasi dengan
kesabaran, keteguhan, keistiqomahan. Apakah beliau sukses? Kalau kita menggunakan
kacamata sempit, mungkin jawabannya tidak. Bayangkan saja, sekian lamanya
beliau berdakwah, tapi ‘hanya’ memiliki jamaah tidak lebih dari 100 orang. Beliau
dikatakan gila oleh kaumnya sendiri, bahkan anak dan istri Nabi Nuh juga tidak
memercayainya. Miris sekali. Begitu juga dengan Nabi Ibrahim. Beliau adalah
rasul pilihan, keyakinannya pada Allah luar biasa. Hei, tapi bahkan ayahnya
sendiri yang memahat patung berhala untuk sesembahan kaum jahiliyah.
Lain Nabi Nuh
dan Nabi Ibrahim, lain pula Nabi Musa dan Nabi Isa. Nabi Musa suatu ketika
pergi selama 40 hari untuk menerima wahyu dari Allah. Ditinggal sebentar saja,
tahu-tahu kaumnya membangkang. Begitu pun Nabi Isa. Sudah beliau mengajarkan
tentang tauhid, tentang keesaan Allah, lantas penyimpangan itu terlihat begitu
besar. Justru dirinya lah yang dianggap Tuhan oleh kaumnya sendiri.
Namun di atas
itu semua, mereka semua memenangkan proses. Berprestasi atas proses. Berbahagia
atas kesabaran, atas keyakinan pada Tuhannya. Begitu pula dengan Rasulullah
Muhammad SAW, penutup para nabi. Kisah hidup beliau yang begitu berliku
memberikan kita pelajaran akan makna prestasi. Beliau pernah diusir dari
kampung halamannya sendiri, pernah dilempari batu, pernah dilempari kotoran
unta ketika sedang shalat. Bukan cuma sekali beliau hendak dibunuh. Sudah begitu, paman yang begitu
disayanginya, yang melindungi dirinya untuk menyebarkan kebaikan Islam, hingga
akhir hayat masih belum memeluk Islam. Apakah beliau gagal berdakwah? Tidak.
Sama sekali tidak. Kisah Nabi Muhammad
ini memberikan kita pencerahan tersendiri; tidak ada pengorbanan yang Allah
sia-siakan. Berbayar dengan penaklukan kota Makkah, Islam lantas mendunia.
Healthy Standard.
Jadi, sudah
mulai menemukan benang merah?
**
Prestasi.
Kadang-kadang kita harus benar-benar mempertanyakan definisi setiap kata dalam
kamus di kepala kita. Apa standar keberhasilan dan prestasi kita? Adakah ia
berupa kekayaan, penghormatan manusia, atau kedudukan? Kalau iya, maka
tamparlah diri kita dengan kisah Firaun yang berakhir tenggelam di laut merah.
Maka biarlah
kita memaknai prestasi lebih dalam dari sekadar urusan duniawi. Ingat saja
kisah Nabi Yusuf. Dengan jalan hidup yang berliku, akhirnya beliau menjadi
seorang raja. Sudah begitu, tampan pula. Tapi apa pernah, dua hal tersebut
disebut-sebut menjadi prestasi? Tidak. Kisah beliau masyhur akan prestasi
pengendalian hawa nafsu yang luar biasa hebat ketika menghadapi godaan
Zulaikha. Beliau, Nabi Yusuf, memaknai prestasi sebagai sebuah proses. Bahwa
kesuksesan yang sesungguhnya adalah ketika hati dekat dengan Allah. Maka tidak
perlu mengutuk Tuhan ketika berada dalam penjara, atau pada masa kecilnya
ketika ia dibuang ke dalam sumur. Kalau itu bisa menjadikan ia lebih
berprestasi, kenapa tidak?
Maka sebagai
orang tua, hendaklah mengajarkan standar-standar yang sehat dalam memaknai
prestasi kepada anak-anak. Agar kelak, mereka tidak perlu dibuat risau dengan
penilaian manusia, tidak perlu mati-matian mengejar dunia hingga lupa akhirat,
tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Agar mereka menjadi manusia-manusia bijak
yang mengerti bahwa apresiasi hadir ketika kita berusaha, bahwa prestasi nyata
ketika kita semakin dekat dengan-Nya.
Pemahaman
prestasi semacam ini akan menghadirkan kekuatan luar biasa. Takkan ada caci
yang membuat dengki, pun tak ada puji yang menjadikan tinggi hati. Bayangkan
betapa dahsyatnya anak-anak yang dididik dengan pemahaman ini. Korupsi,
kriminalitas, narkoba, pergaulan bebas –itu semua takkan memiliki tombol
komando dalam kepala mereka. Kebohongan, pencitraan, kebanggaan semu, tidak ada
pentingya bagi mereka.
Namun sebelum
mendidik anak-anak, kita perlu jadi terdidik. Maka kepada kita, selamat
mendidik diri sendiri agar memahami makna prestasi dengan sebaik-baik
pemahaman. Selamat memaknai prestasi dari kacamata Ulul Azmi. Semoga dipermudah
oleh Yang Maha Memiliki Hati.
Dan selamat
bersiap. Karena kita sama-sama tahu, bahwa setiap pemahaman akan selalu diuji.
Aku mendoakanmu.
Semoga kamu juga begitu. :)
Ditulis di Bogor ketika hari hujan,
pada saat dimana langit menjumpai bumi.
No comments:
Post a Comment