Tuesday, December 8, 2015

Mengutip Hikmah dari Pelatihan Konseling

Pada 21 November 2015 lalu, Departemen IKK (Ilmu Keluarga dan Konsumen) Fakultas Ekologi Manusia IPB menyelenggarakan sebuah kuliah umum untuk meningkatkan soft skill mahasiswa. Salah satunya adalah pelatihan konseling yang disampaikan oleh seorang konselor nasional dari lembaga Protista, Ibu Neti Lesmanawati. Bersama beliau, kami diajarkan tentang apa itu konseling dan seluk-beluk bagaimana menjadi seroang konselor. Bahkan lebih dari itu, Ibu Neti menyampaikan begitu banyak cerita yang mengandung hikmah. Kami diajarkan tentang bagaimana menjadi manusia yang bijak dan memiliki pandangan luas.

Ibu Neti juga menuturkan kepada kami berbagai kisah yang beliau dapati selama menjadi seorang konselor. Tanpa menyebutkan identitas klien, beliau menyampaikan berbagai cerita dari mereka. Ada dua cerita yang benar-benar memberikan saya banyak pelajaran. Pertama adalah kisah tentang seorang perempuan yang penampilannya begitu mewah. Diantar sopir dengan mobil mahal, deretan gelang di tangan, dan semerbak aksesori lainnya. Kalau melihatnya secara kasat mata, umumnya orang akan memandang perempuan tersebut sebagai orang kaya, istri pejabat, dan seterusnya. Ibu Neti menuturkan, “tapi dia datang ke klinik Protista untuk konsul. Berarti orang ini punya masalah.”

Benar. Perempuan itu lantas menangis di hadapan Ibu Neti. Rupanya, segala macam atribut yang ia kenakan tidak lain adalah alat sang suami untuk memperlihatkan kepada keluarga, kerabat, juga kolega kerja akan status sosialnya yang tinggi. Suatu hal yang menyedihkan ketika orang tua dari perempuan itu justru hidup miskin di kampung halaman dengan rumah kontrakkan, sementara dirinya bergelimang harta. Semu. “Saya iri sama adik saya, Bu. Meskipun suaminya hanya bekerja di penggilingan padi, tapi masih bisa berbakti. Sementara saya, jangankan membantu ekonomi orang tua. Ada satu saja gelang di tangan saya yang hilang, suami bertanya-tanya,” ujar Bu Neti menirukan perkataan kliennya. Singkat cerita, perempuan tersebut memutuskan untuk menyudahi pernikahannya yang terbilang puluh tahun. “Lebih baik tinggal di kampung, hidup miskin, tapi bisa berbakti,”

Dari kisah tersebut, Ibu Neti mengajarkan kami untuk melihat segala sesuatu dengan bijak. Jangan pernah menjuri seseorang melalui penampilannya semata. Kita tidak pernah tahu ada alasan apa, ada kisah apa, di balik kehidupannya. Belum tentu kita mampu jika diposisikan menjadi mereka, kan?

Satu lagi kisah, ialah tentang seorang ibu tukang jamu yang Ibu Neti sebut-sebut sebagai guru besar. “Guru besar saya itu bukan professor atau apa, tapi adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang sehari-hari berjualan jamu,” Cerita ini berawal dari dua orang sahabat yang masing-masing telah berkeluarga. Sebut saja A dan B. Sebelum meninggal dunia, B berpesan kepada A untuk menjaga istri serta anak-anaknya. Jadilah sepeninggalan B, keluarga A dengan istri dan anak-anak dari keluarga B dekat sekali. Sampai-sampai seperti saudara yang berhubungan darah dekat. Keadaan menjadi rumit ketika A bertindak asusila pada salah satu anak perempuan almarhum B hingga hamil.

“Yang membuat saya tidak habis fikir adalah ketika pengadilan berlangsung,” Ibu Neti memandang kami lurus. “Kalian tahu, tidak? Selama Bapak A ini di pengadilan, istrinya selalu datang menemani dan membuat masakan kesukaan suaminya,” sampai pada bagian ini, saya cukup dibuat tertegun. Keren sekali si istri itu, fikir saya. Suaminya berkhianat, membuat malu keluarga, tapi dia bisa dengan legowo masih menemani suaminya dengan tulus.

“Tapi itu belum apa-apa,” Ibu Neti melanjutkan. Beliau kemudian menceritakan sebuah adegan luar biasa di pengadilan. Antara sepasang suami istri. Begini kira-kira percakapannya.

Istri: “Sing sabar ya Pak… Bapak lagi diuji sama Gusti Allah. Sabar. Sabar,”

Bapak A (suami) : “Aku ni salah, Bu, maafin, Bu. Aku dosa”

Istri: “Ndak apa-apa. Bapak khilaf, sabar ya Pak…”

Sampai pada bagian ini, tidak sedikit dari kami yang menangis. “Saya tidak mengerti lagi, ini adegan macam apa?” Ibu Neti mengangkat tangannya. “Waktu itu saya ada disana. Pingin sekali peluk si istri, si ibu itu. Saya tanya bagaimana bisa setabah itu, padahal umumnya orang akan marah jika ada di posisi beliau, beliau lantas jawab begini: nggak apa-apa, Bu. Manusia itu tempatnya salah. Bapak lagi khilaf. Gusti Allah saja pemaaf, masa kita nggak…”

Oke, sampai disini, saya juga setuju dengan Ibu Neti. Ini adegan macam apa. :’) Dari cerita tersebut, saya merasa ditampar sekali. Poinnya bukan terletak pada kesalahan Bapak A, melainkan pada kebesaran hati istrinya. Memaafkan. Bagaimana bisa beliau begitu ikhlas memaafkan? Bagaimana ibu itu bisa mengatur emosinya sedemikian hebat? Bagaimana ia mampu bersabar atas rasa sabar itu sendiri? Padahal menurut cerita Ibu Neti, dalam keseharian pun si istri lah yang merupakan seorang pekerja keras dengan mencari nafkah dari berjualan jamu. Sementara Bapak A yang berjualan bakso cenderung lebih malas dan tidak berjuang lebih –setidaknya itu yang terlihat kasat mata.

Ketika ditanya tentang apa hikmah terbesar dari pengalaman panjangnya menjadi seorang konselor, Ibu Neti mengatakan bahwa titiik hikmah itu adalah ‘menjadi bijak’. Mendengarkan berbagai cerita manusia dengan segala kompleksitasnya membuat pandangan beliau lebih luas dan melihat segala sesuatu dengan kacamata yang lebih bijak. Bahwa ternyata, kita semua adalah orang-orang cacat; orang-orang difabel. Hanya saja berbeda bidangnya, berbeda tarafnya.

“Jadi tempat curhat itu anugerah loh, De,” ujar Ibu Neti di tengah-tengah presentasinya. Saya yang duduk di barisan kedua merasa disentil dengan kalimat ini. Ya, jadi tempat curhat itu anugerah. Benar sekali. :)



No comments:

Post a Comment