Seiring berjalannya waktu, kita akan jadi saling tahu, bahwa pada
akhirnya, kata-kata takkan pernah seutuhnya membantu kita untuk mengungkapkan
perasaan. Aku jadi semakin mengilhami, bahwa yang namanya speechless itu memang nyata adanya. Semakin spesial sesuatu,
semakin sulit untuk dijelaskan. Semakin emosional, semakin teraduk-aduk isi hati
kita, semakin sulit untuk diutarakan. Mungkin itu sebab, menangis adalah bahasa
yang istimewa. Bahasa yang didamba penghamba yang mengaku cinta manakala
berhadapan dengan Rabb-nya. Bahasa yang paling sulit untuk direkayasa, yang
paling jujur, yang paling mendalam, yang paling apa adanya. Hanya orang-orang
tertentu yang mampu membuat menangis jadi kabur makna dan “ada apanya”. Aku fikir,
menangis memerlukan energi lebih jika pun ia ingin dibuat-buat nan direkayasa.
Bukankah dibandingkan menangis, kita bisa lebih mudah tersenyum kepada orang
asing? Bukankah ketika mata ingin menitikkan air mata, yang kita cari adalah
yang terdekat— yang terhangat? seperti Dia, misalnya.
Ditulis di Kota Hujan,
beberapa hari lalu pada April 2017.
No comments:
Post a Comment