Dear, you.
Mengeja kembali
syair-syair yang pernah kita lalui. Seberapa jauh kita telah melangkah hingga
hari ini? adakah dibanding satu tahun lalu, lima— sepuluh tahun lalu, keimanan
kita bertambah? Atau justru ia terjun payung— menurun? Apa kabar idealisme kita? Apa kabar
mimpi-mimpi yang pernah kita canangkan bersama? Apa kabar semangat dan
keberpasrahan kita?
Aku tidak lupa. Kita pernah
menggores tinta bersama di atas catatan yang dahulu, kita duga akan
menyejarah. Setidaknya untuk diri kita sendiri. Hari ini, beberapa tercoret. Sebagian
besar yang lain masih menunggu giliran. Tapi agaknya, ada nafas yang berbeda. Ada
ritme yang tidak lagi sama. Ada keharusan akan intorspeksi keistiqomahan dan
kesadaran diri. Sense of jihad itu,
dia ada dimana sekarang?
Aku tahu betul, kamu bukan
tipe orang yang mudah mengizinkan dirimu untuk mengeluh. Karena kamu percaya,
kehidupan, dilihat dari sudut pandang manapun, memang bukan tempatnya untuk
dikeluhkan; kecuali pada Dia saja. Sebab, katamu, “toh hidup ini kan memang sudah dibilang dari awal, ia ujian. Permainan pula.
Jadi mengeluh, apalagi sama manusia, buat apa?” Mungkin kamu tidak tahu,
tapi diam-diam aku meniru. Dan memang, kamu selalu mengajakku untuk seperti
itu.
Tapi, belakangan, aku
mendapati diriku merindukanmu yang demikian. Entah kamu menyadari atau
tidak, tapi kurasa masing-masing kita ada yang berbeda. Kebaikan-kebaikan kita
agaknya mengendor. Semoga aku salah. Tapi kurasa, ada baiknya kita saling
mengingatkan. Mungkin, kita memang tengah lupa. Bukankah salah satu manfaat
bersahabat adalah dengan saling mengulang kembali syair kebaikan yang nyaris
hilang di kepala?
Semoga bukan karena kita
bosan untuk berfikir baik; merasakan hal-hal baik; melakukan perbuatan baik. Tidak
ada yang terlambat, bukan? Mari kita mulai lagi
dengan satu langkah sederhana: istighfar.
Ikhtiar untuk meninggalkan segala laku maksiat yang melahirkan dosa.
It's never too late to be what you might have been, Dear.
Jayakarta, April 2017
No comments:
Post a Comment