Monday, April 24, 2017

Bangkit

Manusia adalah makhluk paling sempurna, katanya. Sebagai khalifah, kita dipercaya. Namun kenyataan itu tentu tiada dapat dijadikan dalih agar berhak bersikap jumawa. Bagaimanapun, titah Tuhan mengabarkan sebuah niscaya akan manusia yang tempatnya salah nan lupa. Berbekalkan akal, manusia dapat jadi lebih baik dari malaikat, dan dapat lebih buruk dari hewan manapun di dunia.

Namun kita tidak diajarkan untuk menunggu, melainkan menerjang. Kita tidak diajarkan untuk pasif, melainkan bergerak aktif. Kita tidak dididik untuk menjadi seorang penyerah, melainkan seorang pejuang. Sebab manusia— sejak awalnya, kita adalah pemenang. Maka kita, yang dititah sebagai khalifah, sekaligus dikata bersifat salah nan lupa, berada di ranah tengah. Pada ranah itulah tugas kita untuk merayakan kesungguhan.

Karena setiap cinta membutuhkan ketegasan; apalagi dalam mencintai Ar-Rahman.


Jayakarta, April 2017
H-30 Ramadhan 1438 H


Sunday, April 23, 2017

Dear, you

Dear, you.

Mengeja kembali syair-syair yang pernah kita lalui. Seberapa jauh kita telah melangkah hingga hari ini? adakah dibanding satu tahun lalu, lima— sepuluh tahun lalu, keimanan kita bertambah? Atau justru ia terjun payung— menurun?  Apa kabar idealisme kita? Apa kabar mimpi-mimpi yang pernah kita canangkan bersama? Apa kabar semangat dan keberpasrahan kita?

Aku tidak lupa. Kita pernah menggores tinta bersama di atas catatan yang dahulu, kita duga akan menyejarah. Setidaknya untuk diri kita sendiri. Hari ini, beberapa tercoret. Sebagian besar yang lain masih menunggu giliran. Tapi agaknya, ada nafas yang berbeda. Ada ritme yang tidak lagi sama. Ada keharusan akan intorspeksi keistiqomahan dan kesadaran diri. Sense of jihad itu, dia ada dimana sekarang?

Aku tahu betul, kamu bukan tipe orang yang mudah mengizinkan dirimu untuk mengeluh. Karena kamu percaya, kehidupan, dilihat dari sudut pandang manapun, memang bukan tempatnya untuk dikeluhkan; kecuali pada Dia saja. Sebab, katamu, “toh hidup ini kan memang sudah dibilang dari awal, ia ujian. Permainan pula. Jadi mengeluh, apalagi sama manusia, buat apa?” Mungkin kamu tidak tahu, tapi diam-diam aku meniru. Dan memang, kamu selalu mengajakku untuk seperti itu.

Tapi, belakangan, aku mendapati diriku merindukanmu yang demikian. Entah kamu menyadari atau tidak, tapi kurasa masing-masing kita ada yang berbeda. Kebaikan-kebaikan kita agaknya mengendor. Semoga aku salah. Tapi kurasa, ada baiknya kita saling mengingatkan. Mungkin, kita memang tengah lupa. Bukankah salah satu manfaat bersahabat adalah dengan saling mengulang kembali syair kebaikan yang nyaris hilang di kepala?

Semoga bukan karena kita bosan untuk berfikir baik; merasakan hal-hal baik; melakukan perbuatan baik. Tidak ada yang terlambat, bukan? Mari kita mulai lagi dengan satu langkah sederhana: istighfar. Ikhtiar untuk meninggalkan segala laku maksiat yang melahirkan dosa.

It's never too late to be what you might have been, Dear.


Jayakarta, April 2017

Thursday, April 20, 2017

Ramadhan

"UMMIIII... sudah ada iklan sirup Mi, di TV!" Amira berlari kencang menghampiri ibunya yang tengah asyik menyiram tanaman di halaman belakang. Perempuan yang biasa disapa 'ummi' itu tertawa kecil, seperti biasa.

"Terusnya kenapa memang kalau ada iklan sirup?" yang bertanya pura-pura tidak mengerti maksud anaknya.

"Ummi gimana sih, itu artinya... dikit lagi bulan puasa, Mii.." Amira tersenyum sumringah. Kedua tangannya diayunkan lebar ke udara membentuk lingkaran.

"Hihi, emangnya siapa yang bilang kalau ada iklan sirup tandanya dikit lagi bulan puasa, Sayang?" Ummi berjalan ke teras mendekati Amira.

"Eh ng.... katanya Nasya tadi di sekolah! hehe..." gadis kecil bermata bulat itu nyengir. Ummi geleng-geleng kepala sambil tertawa.

**

"Ummi, kenapa sih bulan Ramadhan cuma 30 hari?"

"Karena Allah menetapkannya begitu, Sayang"

"Terus hikmahnya apa?"

"Hikmahnya banyaak sekali. Salah satunya supaya jadi spesial, ada sesuatu yang ditunggu-tunggu. Seperti Amira yang suka menunggu-nunggu cerita Abi tentang sirah Nabi setiap hari Jum'at," jawab Ummi sambil tersenyum.

"Oooh iya ya, Mi. Supaya nggak bosan ya?" tanya Amira polos.

"Hmm... bisa jadi. Karena Allah tahu, manusia itu, senang diberi hal-hal spesial. Kadang-kadang kalau setiap hari ada, akhirnya lupa disyukuri."

"Maksudnya gimana, Mi?"

"Coba sini... dengerin Ummi," wanita itu lantas menyejajarkan tingginya dengan Amira, kemudian melanjutkan, "Amira sudah bersyukur hari ini?"

"Sudaah, Mii," jawab Amira bangga. Matanya berbinar.

"Apa saja Sayang, yang sudah disyukuri? Ummi boleh tahu?"

"Bersyukur karena.... tadi Amira dipuji Ibu guru. Katanya tulisan Amira bagus. Terus tadi Nasya bagi cokelat untuk Amira. Terus tadi pagi Abi juga kasih Amira... ups!" Amira refleks menutup mulutnya.

"Ayoo Abi kasih apa?"

"Yah ketahuan Ummi deh," Amira menepuk dahinya,

"Hihi, nggak apa kalau nggak mau kasih tau Ummi. Terus apa lagi yang Amira syukuri?"

"Nanti ya Ummi, Amira tanya Abi dulu boleh nggak kasih tau Ummi," mendengar pernyataan polos anaknya, perempuan itu tertawa, "Hmm... yang Amira syukuri... apa lagi ya, Mi..."

"Amira bernafas hari ini?"

"Loh iya dong, Ummi..."

"Amira melihat?"

"Iya."

"Amira bisa makan hari ini, Sayang? bisa bertemu air?"

"Iya, Ummiii.... Amira tahu!"  perempuan kecil itu mengajungkan jari telunjuknya ke udara.

"Tahu apa?"

"Amira lupa bersyukur karena sudah bernafas, melihat, bisa makan dan bertemu air. Kita suka lupa bersyukur sama yang ditemui setiap hari. Ummi mau bilang itu, kan?"

"Hihi, anak Ummi sekarang sudah makin pintar ya, Alhamdulillah," perempuan itu mengecup pipi anaknya, seraya melanjutkan, "jadi, salah satu hikmah kenapa Ramadhannya 30 hari saja, adalah supaya manusia sadar dan memanfaatkan waktu-waktu indah itu dengan sebaik-baiknya." mendengar penjelasan ibunya, Amira mengangguk-anggukkan kepala. 

"Satu lagi loh, Mi. Amira juga bersyukur punya Ummi. Ummi juga jangan lupa bersyukur punya Amira, Walaupun setiap hari ketemu, jangan sampai lupa ya, Mi. Hehe..."

***


Tulisan ini sudah menjadi draft selama berbulan-bulan.
Alhamdulillah, ternyata sekarang sudah sungguhan dekat Ramadhannya. :)
#welcomingramadhan

Cerita Romantis (1)

كهيعص

"Kaaf Haa Yaa 'Ain Shaad." – (QS.19:1)

Mari bicara tentang cinta. Tentang kisah romantis. Tentang cerita manis. Tentang apa yang dapat membuat hati terketuk pintunya. Tentang syahdu dan merdunya skenario semesta.

Cukuplah histori penuh hikmah tentang Zakaria ‘alaihi salam, akan pinta tulusnya agar memiliki keturunan. Ianya terpotret abadi dalam Al-Quran surat Maryam, nan disebut-sebut sebagai rahmat Tuhan. 

ذِكْرُ رَحْمَةِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا

"(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Rabb-kamu kepada hamba-Nya Zakaria," – (QS.19:2)

Ia, Zakaria, memperoleh rahmat oleh keyakinan utuh yang tercermin dalam lembut doa pada Yang Maha. Ia mengiba. Memohon dengan tulus. Harapnya tumpah hanya kepada Allah. Maka Zakaria— nabi Allah itu, telah nyata mengajarkan pada kita tentang adab berdoa.

إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا

"yaitu, tatkala ia berdo'a kepada Rabb-nya, dengan suara yang lembut." – (QS.19:3)

Dengan suara yang lembut. Dengan rayuan mesra, dengan semerbak kekhusyuan; paduan indah antara khauf dan raja. Maka ayat selanjutnya; ayat keempat dari surat Maryam ini, ialah romantisme luar biasa; adalah sedalam-dalamnya gambar keagungan cinta.

Ia adalah kisah manis ekslusif antara seorang hamba dengan Rabb-nya...

قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا

"Ia berkata: 'Ya Rabb-ku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo'a kepada Engkau, ya Rabb-ku." – (QS.19:4)

Pada titik terlemah. Pada daya yang dirasa habis. Pada pengakuan diri akan ketidakmampuan. Namun pada titik harap paling tinggi. Tidakkah itu luar biasa? Tidakkah ia membutuhkan kelapangan hati nan kejernihan fikir? Pencinta macam apakah seorang Zakaria? Yang bahkan, ia menyatakan seterang-terang, bahwa dirinya tidak pernah kecewa. Sekali lagi, tidak pernah kecewa.

Ya, ia tidak pernah kecewa atas harap  pada Rabb-nya.

Maka, jika ada pinta atas nikmat yang selayaknya paling kita damba, ialah itu nikmat berharap; nikmat untuk tidak pernah kecewa pada-Nya. Sebab, bukankah telah jadi rahasia dunia bahwa tanpa harap, akan mati manusia?



Jayakarta, April 2017


Kontemplasi

Aku bisa menyaksikan berbagai macam tabiat manusia dari sini. Ada banyak fenomena yang menarik untuk dibahas, kamu tahu? Akhir-akhir ini aku sering berkontemplasi sendirian, merenungi hakikat berbagai macam hal. Kehidupan manusia, seringnya terlihat seperti komedi. Meski aku tahu, jika diperjelas, akan nampak ia serupa tragedi. Ada banyak haru-biru yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Kehidupan penuh drama. Karena, bukankah apa yang sedang mereka jalani semata-mata memang hanya berlakon di atas panggung sandiwara?

Tapi ada hal yang cukup membuatku iba sekaligus berdecak kagum pada manusia. Betapa kekuatan manusia seringnya ditentukan juga oleh tragedi-tragedi yang mereka jumpai dalam kehidupan. Mereka akan mendapat ujian, kemudian lelah, terpuruk, menangis, berserah. Lantas saksikanlah bahwa mereka tidak akan pernah menjadi manusia yang sama lagi. Mereka menjelma menjadi lebih kuat. Kekuatannya mengganda, berkembang hingga sekian. Entah berapa kali lipat.

Sebagian dari mereka melihat orang lain hidup dalam kenyamanan, tanpa ujian yang berarti. Sebagian yang lain memandang hidupnya menyedihkan dan penuh kesia-siaan. Kadang aku terkekeh mendapati kenyataan semacam itu. Manusia memang unik. Bagaimana bisa mereka begitu percaya diri? Bagaimana bisa, mereka yang berakal itu, sedemikian sok tahu menyikapi kehidupan? Ah, coba saja mereka bisa melihat serangkaian jejaring kausalitas antar makhluk Tuhan. Mungkin saja sebenarnya homeostasis alam raya semesta ini nyata. Mungkin saja ungkapan tentang roda kehidupan yang berputar memang bukan kiasan belaka. Mungkin saja, tugas manusia memang sungguh-sungguh berada pada dimensi syukur dan sabar seutuhnya. Siapa tahu?

Mungkin bukan komedi, bukan pula tragedi. Yang jelas, dunia ini nyata fana dan tidak abadi.


Ditulis di Kota Hujan,
beberapa hari lalu pada April 2017.

Seperti Dia, Misalnya

Seiring berjalannya waktu, kita akan jadi saling tahu, bahwa pada akhirnya, kata-kata takkan pernah seutuhnya membantu kita untuk mengungkapkan perasaan. Aku jadi semakin mengilhami, bahwa yang namanya speechless itu memang nyata adanya. Semakin spesial sesuatu, semakin sulit untuk dijelaskan. Semakin emosional, semakin teraduk-aduk isi hati kita, semakin sulit untuk diutarakan. Mungkin itu sebab, menangis adalah bahasa yang istimewa. Bahasa yang didamba penghamba yang mengaku cinta manakala berhadapan dengan Rabb-nya. Bahasa yang paling sulit untuk direkayasa, yang paling jujur, yang paling mendalam, yang paling apa adanya. Hanya orang-orang tertentu yang mampu membuat menangis jadi kabur makna dan “ada apanya”. Aku fikir, menangis memerlukan energi lebih jika pun ia ingin dibuat-buat nan direkayasa. Bukankah dibandingkan menangis, kita bisa lebih mudah tersenyum kepada orang asing? Bukankah ketika mata ingin menitikkan air mata, yang kita cari adalah yang terdekat— yang terhangat? seperti Dia, misalnya.


Ditulis di Kota Hujan,
beberapa hari lalu pada April 2017.