Friday, January 15, 2016

Surat (untukmu)

Tiga puluh tahun yang lalu, pertama kali aku mengenalmu. Dalam suasana biasa. Kelas biasa, seragam anak SD biasa, kenakalan-kenakalan masa kecil yang biasa. Tak ada yang benar-benar spesial. Hanya satu. Kutemui Kau di tempat ini. Tempat dimana kini aku berpijak di atas tanahnya—menantimu.

Sambil menunggumu pulang, izinkan aku menulis penggalan surat untukmu. Sudah lama kan, aku tidak melakukannya?

Dulu, aku selalu bertanya kepada Uma tentang sosokmu. Bagaimana bisa ada anak yang bandelnya tidak karuan, tapi masih saja disayang oleh Ustadz Mukhlis, guru ngaji di desa. Mendengar pertanyaan polosku saat itu, Uma hanya tertawa sambal mengelus kepalaku pelan. Aku tidak terlalu peduli sehingga tidak bertanya lagi. Belakangan, aku baru tahu bahwa ternyata Kau adalah anak angkat Ustadz Mukhlis. Orangtuamu meninggal dilahap api ketika usiamu masih tiga tahun. Ustadz Mukhlis lantas membawamu pulang.

Yang membuat aku takjub bahwa ternyata di balik kebandelanmu itu, Kau memiliki pemikiran yang cerdas lagi jenaka. Kau juga tumbuh menjadi sosok yang percaya diri dan berani mengambil risiko. Paling tidak, pandanganku terhadapmu berubah ketika kita mulai beranjak meninggalkan masa kanak-kanak. Bukan tanpa kontribusi Uma. Uma bilang, Kau itu bukan bandel. Hanya saja memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Kabarnya, kedua almarhum orang tuamu adalah sosok berpengaruh di desa kita. Sepasang guru muda luar biasa yang malangnya terjebak api ketika hutan sebelah Barat desa terbakar.

Aku ingat betul kali pertama aku berbicang-bincang denganmu. Sebelumnya kita hanya saling tahu tanpa pernah bertukar sapa sekali pun. Saat itu, kita tengah bersama-sama ada di dapur umum belakang rumah Ustadz Mukhlis. Di tengah-tengah persiapan acara santunan anak yatim, Kau menyapaku yang sedang menyiapkan hidangan untuk konsumsi para undangan.

“Kenapa tatanan kuenya harus melingkar begitu?” kau mengomentari susunan kue apem tepung beras yang baru saja selesai aku tata.

“Memangnya kenapa?” jawabku agak kaku. Takut kalau-kalau ada yang salah dari apa yang aku kerjakan.

“Hha, tidak apa-apa. Aku hanya penasaran. Pada acara apapun, Kamu selalu menyusun dengan cara seperti itu. Melingkar,” katamu sambal melukis lingkaran di udara dengan jari telunjuk, “Susunan cangkir teh minggu lalu di rumah Abah Sapri, Kamu juga kan yang melakukannya?” mendengarmu saat itu, aku diam lantas mendongakkan kepala. Kau lalu memalingkan muka.

“Uma juga melakukannya di rumah. Aku belajar dari Uma,” ujarku sambil kembali melanjutkan pekerjaan.

“Hmm, aku suka,” kau bergumam seraya menunjuk susunan kue apem itu, “boleh kuambil satu?”

“Silahkan,” kataku pelan. Lalu kamu mengambil satu. Bukan satu buah, melainkan satu piring utuh. Kau pergi keluar dapur dengan mataku yang tidak lepas memandangi punggungmu. Diam-diam aku tertawa sambil geleng-geleng kepala.

Kau pernah menjulukiku sebagai manusia yang paling tidak peka. Dulu aku tak mengerti, mengapa Kau sebut aku demikian. Kau selalu saja menghidupkan pemikiran-pemikiranku. Memberiku tantangan agar aku mampu memecahkan persoalan lebih cerdas, berfikir lebih cermat, menyikapi lebih bijaksana. Sekarang aku jadi berfikir, mungkin Kau memang dewasa lebih cepat dibanding kebanyakan orang. Kau bahkan tahu ke mana urusan ikan lele Abah Sapri harus dibawa, ketika ketua RT kampung kita pun angkat bahu akan hilangnya lele muda itu.

Kini telah ada begitu banyak kenangan bersamamu yang telah terukir dalam dalam setiap detik anugerah yang Tuhan karuniakan. Setelah perbincangan-perbincangan kaku yang ada antara kita, Kau lantas mendatangi Uma. Meminta izin untuk meminangku. Tidak berselang lama, akad pun terucap. Paman menjabat tanganmu mantap. Kita hidup dalam kebersamaan yang indah. Tidak dengan harta yang melimpah, tapi dengan cita rasa kehidupan yang berkah.

Ketika Uma meninggal dunia, Kau lantas mengajakku bersama-sama merantau ke Jakarta. Kita ditempa oleh kerasnya kehidupan ibu kota. Kalau Tuhan tidak menjadikan Kau ada bersamaku, mungkin aku memilih untuk pasrah dan menyerah. Tapi aku bersyukur bahwa nyatanya Tuhan begitu baik karena menjadikan kita saling melengkapi. Kau mengajariku makna perjuangan, bahwa segala sesuatu tidak ada yang luput dari perhitungan Tuhan.

Usaha dan tekad keras yang Kau teladankan padaku itu berbuah hasil. Keadaan kita semakin membaik. Aku tidak bicara tentang ekonomi atau materi saja. Melainkan bicara tentang pemahaman dan pemaknaan hidup, serta seni untuk berbahagia dalam setiap keadaan. Aku semakin takjub akan kebaikan Tuhan mempertemukanku denganmu ketika aku dikabarkan mengidap kanker rahim. Kamu tahu, tidak ada kabar yang lebih buruk bagi seorang perempuan selain berita bahwa dirinya mengidap kanker rahim dan harus merelakan rahimnya diangkat. Aku takkan pernah bisa menjadi seorang ibu biologis. Aku hancur saat itu. Tapi Kau, disaat seperti itu, membelai kepalaku lembut dan berkata  sambil tersenyum bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Kita lantas membangun rumah singgah. Di dalamnya, banyak tinggal anak-anak seperti aku dan Kau di masa lalu. Anak-anak yang tiada lagi memiliki ayah, tidak memiliki ibu, atau keduanya. Seperti aku yang hanya hidup bersama Uma. Sepertimu yang diangkat anak oleh Ustadz Mukhlis dan tinggal di rumahnya. Tahun-tahun yang kita lalui bersama mereka di rumah singgah jadi begitu menyenangkan. Aku hampir-hampir lupa bahwa tidak ada satupun di antara mereka yang syurganya berada di bawah telapak kakiku. Hampir-hampir tidak ingat kesedihan yang menghujam batinku ketika operasi pengangkatan rahim beberapa tahun sebelumnya baru saja aku lalui.

Kehidupan yang aku lalui bersamamu begitu mendamaikan. Bukan tanpa aral dan tantangan. Ada tentu saja. Sebagaimana setiap manusia yang dicintai Tuhan akan menemui ujiannya masing-masing. Namun bersamamu, semuanya jadi indah terasa. Kau selalu mengatakan bahwa kita satu sama lain, sama sekali tidak bisa saling bergantung. Bahkan aku kepadamu sekalipun. Manusia tidak akan pernah bisa menggantungkan hidupnya pada manusia lain tanpa berujung kecewa. Kau bilang, kita hanya boleh bergantung pada Tuhan. Entah sejak kapan, aku mendapatimu lebih religius. Dan aku bersyukur akan itu. Beberapa kali kudapati dirimu mendirikan shalat sebelum tidur. Ketika kutanyai apa yang Kau lakukan, Kau bilang dirimu baru saja menyelesaikan shalat taubat. Takut kalau-kalau cintamu padaku melebihi cintamu pada-Nya.


Kau mengajarkan padaku untuk memaknai apa itu yang disebut manis, dan apa itu yang disebut pahit. Kau menguatkanku ketika aku pun sebenarnya tahu bahwa Kau butuh dikuatkan. Terimakasih untuk segala rela yang Kau tuangkan pada setiap curah waktu pemberian Tuhan. Terimakasih telah membersamaiku dengan begitu tulusnya pada tahun-tahun belakangan. Terimakasih untuk tidak pernah alpa memiliki waktu untuk sekadar berbagi cerita, bercanda, tertawa, dan membahas hari-hari kita. Terimakasih untuk tidak pernah kehabisan cara menjadikan keluarga kita bahagia dengan apa yang ada. Terimakasih telah menjadi salah satu cara Tuhan menunjukkan kebesaran-Nya padaku.

Hidupku tidak akan lama lagi. Paling tidak, itu yang dikatakan tim medis beberapa hari lalu. Untuk pertama kalinya, aku mendapatimu menjadi seorang yang begitu gusar. Kau beberapa kali kudapati berbicara dengan intonasi tinggi kepada anak-anak di rumah singgah. Kau kudapati salah memasukkan garam ke dalam toples gula, bahkan menggunakan sandal yang tidak sepasang. Aku, paling tidak sekali dalam hidupku, izinkan aku menjadi sosok yang menguatkanmu. Jika selama ini energi itu lebih banyak kau pancarkan daripada kau serap, izinkan ini menjadi bagianku. Ketahuilah, bahwa apa yang telah kita lalui selama ini menjadikan aku begitu bersyukur. Bahwa perjumpaanku dengamu sungguh-sungguh menguatkanku. Jika memang takdirnya aku yang pergi lebih dulu, bukankah Kau yang mengatakan padaku; bahwa manusia selamanya tidak akan pernah bisa bergantung pada manusia. Bahkan aku kepadamu. Bahkan Kau terhadapku. 

Pada detik-detik penghabisan ini, izinkan aku melewati hari-hari terbaik dalam kehidupanku. Ajak aku berbincang seperti biasa. Membicarakan perkembangan anak-anak, mendisusikan masa depan rumah singgah, mengomentari kebiasaan-kebiasaanmu yang kadang membuatku kesal namun menghadirkan rindu tak terkira. Ajak aku bercanda seperti biasa. Menikmati pagi di halaman belakang rumah singgah, melihatmu mendongeng di depan anak-anak, membuat kue apem tepung beras seperti biasa.

Waktu tidak akan pernah memiliki toleransi, Sayang.. Ia akan tetap melaju.

Maka pada detik-detik terakhir ini, izinkan aku bersamamu seperti biasa.
Izinkan aku meninggalkanmu dengan perasaan berharga, bahwa kita bahagia.
Izinkan aku bersyukur pada Tuhan, bahwa nyatanya kita pernah ditakdirkan bersama.



**

Saya menemukan dua penggal paragraf tersimpan sejak dua tahun lalu di salah satu dokumen laptop. Tidak ingat betul, dahulu apa yang hendak saya tuliskan dengan dua penggal paragraf tersebut. Namun mendapati pelajaran-pelajaran hidup yang saya terima dalam beberapa waktu belakangan, jadilah tulisan ini saya rampungkan. Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang selalu bersyukur dan memaknai bahagia dari sisi yang membahagiakan.

No comments:

Post a Comment