Tuesday, January 19, 2016

Api Tauhid [Bukan Resensi]


"Bismillah"
pangkal segala kebaikan,
permulaan segala urusan penting,
dan dengannya juga
kita memulai segala urusan.

-- Badiuzzaman Said Nursi

Usai membaca resensi novel Api Tauhid tulisan salah satu sahabat saya Itta Raisah Fitriyani, saya jadi ingat dengan novel Api Tauhid saya yang dibeli pada Islamic Book Fair tahun lalu di Senayan. Waktu itu saya langsung membacanya ketika liburan. Namun belum selesai menyelesaikan beberapa bab terakhir, saya kembali ke Bogor dan meninggalkan novel itu di Jakarta. Naasnya, (hhe) novel tersebut terlupakan untuk diteruskan bacaannya. Selama berbulan-bulan, ia nangkring di rak buku ayah bersama puluhan buku-buku lainnya. Tapi ada satu pelajaran yang menghujam sekali dalam benak saya selama itu; ialah tentang pendidikan dzikir. Bagaimana sosok Mirza, ayahanda dari ulama besar Badiuzzaman Said Nursi, diajarkan oleh ayahnya untuk terus berlatih agar setiap tarikan dan embusan nafasnya adalah dzikir.

Huwa Allah

Huwa Allah

Huwa Allah

Saat menarik nafas ia berdzikir "huwa" yang adalah dhamir menunjuk pada Allah, dan setiap mengembuskan nafas ia berdzikir "Allah".

Saya paling ingat bagian itu. Allah.. betapa kerennya keluarga yang dibahas oleh Kang Abik dalam novelnya yang satu ini. Begitu fikir saya. 

Januari ini, saya segera memeriksa rak buku Ayah, tempat novel Api Tauhid karangan  Ustadz Habiburrahman El Shirazy itu tersimpan berbulan-bulan --kemudian menyelesaikan beberapa bab terakhir, bagian puncak perjuangan ulama besar Badiuzzaman Said Nursi. Ada satu benang merah yang saya tarik usai menyelesaikan hingga bab terakhir. Bahwa kualitas seseorang sangat ditentukan oleh pola pengasuhan yang ia terima. Memang pada perkembangan manusia, akan ada begitu banyak faktor yang menentukan hal tersebut. Namun tidak bisa dipungkiri, keluarga menjadi pondasi utama. Hal ini sejalan dengan percakapan saya bersama sahabat Hilda Nur Laila beberapa waktu lalu ketika membicarakan tentang rekomendasi buku terkait anak dan parenting. Ia juga menyebutkan bahwa ada pelajarang pengasuhan yang luar biasa dalam kisah Badiuzzaman Said Nursi.

Adalah Mirza, sejak belia ia dididik untuk menjaga diri dari segala sesuatu yang haram. Bahka lembu-lembunya tidak ia izinkan makan rumput yang tidak jelas kehalalannya. Seperti yang sudah saya tuliskan di atas, Mirza juga selalu menghiasi setiap nafasnya dengan dzikir kepada Allah. Hal itu adalah didikan ayahnya sejak kecil.

Adalah Nuriye, seorang perempuan penghafal Al-Qur'an yang selalu menjaga dirnya dalam keadaan berwudhu. Ia memperoleh pendidikan homeschooling dari orangtuanya sendiri. Tumbuh menjadi perempuan yang sangat menjaga diri. Ia tidak menginjakkan kaki di bumi kecuali dalam keadaan suci, dan tidak meninggalkan shalat malam kecuali saat uzur. Ia tidak membiarkan dirinya menyusui anak-anaknya termasuk Badiuzzaman Said Nursi, dalam keadaan tidak suci.

Ya, Mirza dan Nuriye adalah orang tua dari ulama besar itu; Badiuzzaman Said Nursi. Sampai disini saja, dapat dilihat betapa ada sebuah pola keren dalam silsilah keluarga mereka. Tidak heran, sahabat saya Itta memulai resensinya dengan pertanyaan menantang, "Siapa yang BERANI meneladani!!?" 

Badiuzzaman Said Nursi. Pemikirannya yang cerdas luar biasa, daya kritis, analisis yang tajam, keteguhan, keberanian, dan seabrek keajaiban lainnya. Tak heran jika Said Nursi, ulama yang menghapal Al-Quran dalam waktu 20 hari dan menguasai puluhan kitab hanya dalam waktu 3 bulan (normalnya 15 tahun) ini diberikan gelar Badiuzzaman (keajaiban zaman) oleh gurunya sendiri. Bukan hanya kecerdasan inteletual tentu saja, tapi akhlaknya pun luar biasa. Ia seperti lentera yang dibawa kemanapun tetap menerangi lingkungan sekitarnya. Dua puluh lima tahun hidup dari penjara ke penjara, bukannya terasing, namanya justru semakin mendunia.

Tapi silsilah pendidikan keluarga tersebut ternyata tidak sependek itu. Kang Abik (sapaan akrab Ustadz Habiburrahman El Shirazy) dalam Api Tauhid menyertakan catatan kaki di halaman 141 yang meyebutkan bahwa berdasarkan penuturan beberapa murid Badiuzzaman Said Nursi, ulama besar itu menyebutkan bahwa nasab ayahnya sampai kepada Hasan bin Abi Thalib ra, dan ibunya sampai pada Husein bin Abi Thalib. Artinya, nasab beliau sampai pada ahlul bayt, keturunan Nabi Muhammad saw.

Mari kita berfikir sejenak. Boleh jadi, pada waktu yang sangat panjang itu, terdapat kausalitas mahadahsyat. Terdapat pendidikan ketauhidan yang turun temurun, menciptakan generasi-generasi unggul pada masanya. Masih ingatkah kita, kisah Salahuddin Al Ayubi, --seorang tokoh yang pada masanya mengembalikan Baitul Maqdis ke sisi umat muslim-- juga lahir dari orang tua luar biasa? Jika Mirza (ayah dari Badiuzzaman Said Nursi) dinikahkan dengan Nuriye (ibu dari Badiuzzaman Said Nursi) dengan skenario berupa permohonan maaf Mirza yang tanpa sengaja, gembalaannya memakan rumput milik orangtua Nuriye dan membuat ayahanda Nuriye kagum akan kejujurannya, berbeda dengan Najmuddin Ayyub (ayah dari Salahuddin Al Ayubi).

Najmuddin Ayyub hidup pada masa dimana Baitul Maqdis dijajah oleh pasukan salib. Ketika ditanyai oleh saudaranya perihal pernikahan, ia menjawab, “Aku menginginkan istri yang salihah yang bisa menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia tarbiyah dengan baik hingga jadi pemuda dan ksatria serta mampu mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin.” itulah alasan Najmuddin Ayyub menolak putri sultan dan putri raja yang hendak dijodohkan dengannya. Hingga suatu hari Najmuddin tengah duduk bersama seorang syaikh di Masjid Tirkit. 

Datang seorang gadis memanggil syaikh dari balik tirai dan syaikh tersebut meminta izin Najmuddin untuk berbicara dengan gadis tersebut. "Kenapa kau tolak utusan yang datang ke rumahmu untuk meminangmu?” ujar syaikh. Gadis itu menjawab, “Wahai, Syaikh. Ia adalah sebaik-baik pemuda yang punya ketampanan dan kedudukan, tetapi ia tidak cocok untukku.” Syaikh lantas berkata, “Siapa yang kau inginkan?” Gadis itu kembali menjawab, “Aku ingin seorang pemuda yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan darinya anak yang menjadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin.

Cocok. Saat itu juga, Najmuddin menyatakan ingin menikahi gadis tersebut. Maka lihatlah kisah Salahuddin Al Ayubi, anak dari pernikahan visioner yang diikuti dengan pengasuhan keren. Salahuddin Al Ayubi sungguh-sungguh menjadi seorang ksatria yang mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin. Jika Said Nursi diberi gelar kehormatan "Badiuzzaman" yang artinya keajaiban zaman, Salahuddin Al Ayubi pada era sebelumnya mendapat gelar kehormatan The Wise. Akhlak beliau luar biasa, bahkan kepada musuh-musuhnya sekalipun.

Suatu ketika dalam perang salib, Salahuddin Al Ayubi melihat Raja Inggris, Richard I, menyongsong serangan pasukan muslim dengan berjalan kaki bersama para prajuritnya. Salahudin Al Ayubi yang melihat Richard dalam kondisi seperti itu berkata kepada saudaranya : ” Bagaimana mungkin seorang raja berjalan kaki bersama prajuritnya? Pergilah ambil kuda arab ini dan berikan kepadanya, seorang laki-laki sehebat dia tidak seharusnya berada di tempat ini dengan berjalan kaki “.

Ada nafas yang sama diantara orang-orang keren di seluruh dunia, baik saat ini maupun yang telah tercatat dalam sejarah peradaban. Ialah nafas cinta yang sama-sama berusaha untuk meneladani Nabi Muhammad saw.

Maka jika hari ini kita merasa sebagai manusia yang biasa-biasa saja, merasa tidak lahir dari keluarga sehebat yang dimiliki oleh Salahuddin Al Ayubi maupun Badiuzzaman Said Nursi, sekolah TK, SD, SMP, SMA, kuliah, atau bahkan tidak menempuh pendidikan formal, apa adanya, jangankan ilmu hadits, tafsir, fikih, atau hapal Al-Qur'an, toh tilawah saja masih dikejar-kejar misalnya, ketahuilah bahwa akar dari kabar gembira itu adalah meneladani akhlak sebaik-baik teladan; Nabi Muhammad saw.

Selagi kita meneladani sebaik-baik teladan, maka kesempatan itu akan selalu ada, kesempatan untuk menjadi bagian dari bangkitnya peradaban dan menyalakan api tauhid. Jika kita menganggap diri kita sudah terlalu lambat untuk berlatih menjadi se-heroik Badiuzzaman Said Nursi atau segagah dan setangguh Salahuddin Al Ayubi, curigalah. Boleh jadi kita ada untuk menjadi kakak, paman-bibi, orang tua, kakek-nenek, atau bahkan entah uyut ke berapa dari ksatria-ksatria dan para pejuang di masa depan. Jadi ketika tahu fakta bahwa diri kita biasa-biasa saja, bukan saatnya terpuruk dan jadi malas bergerak. Ingatlah bahwa perjuangan tidak berhenti dengan berhentinya nafas kita di dunia. Usia kita boleh pendek, namun nafas cinta dan perjuangan itu akan terus hidup. Kita harus turut andil di dalamnya. Tidak apa sedikit demi sedikit memperbaiki diri, daripada tidak ada usaha sama sekali?

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata,

"Untunglah kita tidak diwajibkan untuk sampai ke ujungnya.
Kita hanya diperintahkan untuk mati di atasnya.”

**

Terakhir, supaya tidak jadi utopis, mulailah bergerak mengusahakan dari lini-lini terkecil. Perhatikan barang-barang di kamar kita, adakah disana hak milik orang lain yang kita pakai tanpa izin, atau kita pinjam sudah lama sekali dan belum dikembalikan? coba cek daftar hutang kita, adakah materi yang belum terlunasi atau janji yang belum terealisasi? periksa jam, sudahkah kita shalat tepat waktu hari ini?

Baiklah, seperti yang sudah-sudah, tulisan ini pun sungguh-sungguh nasihat untuk diri sendiri.

Catatan:
Resensi Api Tauhid oleh Itta Raisah Fitriyani bisa dibaca disini. Selain itu, Ustadzah saya, Ibu Eva Novita juga menuliskan resensi novel yang sama disini. Selamat berkunjung. :)

2 comments: