Kamu tahu?
Hari ini hari Jum’at.
Hari ini hari Jum’at.
Kita memang jarang benar-benar berbincang.
Aku tahu itu. Entah karena kesibukan kita masing-masing, atau karena keadaan
kita yang memang tidak terbiasa untuk saling berbincang satu sama lain. Entah
karena kita memang belum lama kenal, atau karena kita adalah teman lama yang
kadang-kadang jadi sepert tak saling kenal –dan mungkin saja hanya sebatas tahu
nama. Atau bisa jadi karena kita memang tidak cocok untuk saling berbicara.
Tapi tak apa. Aku tahu, menulis seperti ini selalu mampu menjangkaumu lebih
dalam. Meski mungkin aku tidak tahu, dan kau pun begitu.
Jadi mari kita berbincang. Kau
bisa dengan tenang mengambil sepotong biskuit atau mulai membuat secangkir teh
untuk memulai perbincangan satu arah kita. Hari ini giliranku. Jadi kutunggu
milikmu sewaktu-waktu.
Aku dengar, akhir-akhir ini ada
begitu banyak hal yang hadir dalam hidupmu, ya? Katanya, kamu tengah berada
dalam sebuah fase pertengahan. Terombang-ambing, tidak jelas. Katanya, kamu
tengah berada di bawah suatu tekanan. Sedang jenuh dengan semua rutinitas yang
menuntut. Katanya lagi, hati kecilmu berontak ingin sekali menikmati hidup
seperti dulu. Seperti kanak-kanak. Seperti masa sekolah menengah dahulu. Waktu
kamu merasa bebas punya mimpi yang melangit. Tidak banyak realita yang kau fikirkan.
Tidak banyak pertimbangan yang membuat kepalamu seakan ingin kau hantamkan ke
tembok berkali-kali. Benarkah?
Tapi kudengar, kau juga tahu
bahwa semua itu sebenarnya tidak terlalu penting. Bahwa sebenarnya hal semacam
itu hanyalah jebakan fikiran dalam kepala kita. Seperti dinding yang kita
bangun sendiri. Hingga tahu-tahu tanpa sadar justru membatasi ruang gerak kita.
Ah, aku mengerti. Pada akhirnya
membicarakan teori dan motivasi tidak semudah mempraktikannya. Ya kan? Padahal
nurani kita tahu akan hal itu, tapi seringkali kolaborasi antara harapan,
keinginan, serta realita-lah yang menjadikannya rumit dan berbelit-belit.
Hei, aku juga mendengar kabar
tentang hatimu. Yang belakangan sering sekali kau sangsikan keikhlasan dan
ketulusannya. Membuatmu tak habis fikir bagaimana bisa ia sedemikian angkuhnya.
Entah apakah itu perasaan ingin didengar, ingin orang lain tahu, ingin dihormati,
ingin terkenal, ingin dianggap keren, ingin terlihat perhatian, ingin dinilai
menjaga lisan, ingin dikenal sebagai orang yang suka beramal, ingin
menghabiskan target bacaan karena pandangan orang-orang, hingga ingin-ingin
yang lain. Kesemua ingin itu menelisik dalam nuranimu dengan cara yang lembut
sekali. Bahkan seringkali tidak terdeteksi. Menyebalkan. Karena kau jadi
terpaksa membenci diri sendiri. Bagaimana bisa hatimu sedemikian angkuhnya? Benarkah?
Tapi kudengar, kamu juga tahu
tentang manjajemen hati. Tentang kita sebagai manusia yang memang demikian
adanya, tempat salah dan lupa. Bukan untuk dijadikan sebuah pemakluman,
melainkan menjadi motivasi agar tidak putus asa meraih cinta-Nya. Aku tahu kamu
tahu.
Apa? Tentang cinta? Oh iya, aku
juga dengar, kabarnya kamu tengah berhadapan dengan hal ini pula. Perasaan yang
banyak mereka bilang itu namanya cinta. Cinta dalam arti dan pemaknaan yang
sempit sekali. Kamu tidak perlu heran, apalagi merasa jadi manusia yang begitu
hina. Karena perasaan semacam itu adalah sebuah kewajaran bagi manusia. Tidak
perlu jadi rumit, terima saja apa adanya. Jadikan dirimu menjadi orang yang
pandai mengelola dan mengatur urusan perasaan, termasuk untuk yang satu ini. Untuk
saat ini, hal semacam itu sebenarnya adalah urusan kita dengan Pencipta, bukan
dengan manusia. Jadi tindaklanjuti saja dengan Dia, bukan dengan 'dia'.
Ya, Aku memang tidak berada di
posisimu. Tapi setidaknya aku pernah tahu bagaimana mengurusi hal semacam itu
dan mengimplementasikan pemahaman yang kuyakini pada kehidupan nyata. Siapa
bilang ini urusan gampang? Memang susah -jika kita tidak menyertakan-Nya. Jadi,
seperti yang kita sama-sama tahu, libatkan Dia dalam setiap kesempatan.
Termasuk dalam urusan yang satu ini. Tidak ada yang lebih apik mengurusi hati
kecuali Sang Pencipta Hati itu sendiri, kan?
Hei ternyata sudah ratusan kata
aku tuliskan dalam diskusi kita secara sepihak. Semoga kamu tidak berhenti
membaca sampai dsini.
Jadi bagaimana kabarmu? Adakah baik-baik
saja?
Sebenarnya banyak hal tentangmu
yang juga aku dengar. Tentang kabarmu yang katanya merasa tidak penting, merasa
tidak ada yang benar-benar peduli dan menanyakan kabarmu dengan tulus. Juga
fisikmu yang belakangan dirasa melemah, entah apakah itu efek perasaan, atau
memang nyata adanya. Kamu juga tengah berhadapan dengan urusan menyenangkan
yang biasa kita sebut dengan urusan akademik. Kewajiban menuntut ilmu yang
tahu-tahu memberikan tekanan tersendiri. Mungkin ada baiknya kita mulai
berfikir ulang tentang untuk apa kita duduk di bangku kelas dan mendengarkan
penjelasan guru di depan. Adakah untuk ilmu yang bermanfaat? Atau hanya sekadar
angka yang (katanya) bermanfaat?
Dan begitu banyak kabar lainnya.
Tapi aku hanya ingin kau tahu.
Apakah ini nasihat atau bukan, terserah padamu. Ketika permasalahan yang kita hadapi
berkutat melulu tentang perasaan- perasaan tak dianggap, perasaan kurang
berguna, peraaan belum belajar, perasaan nggak enakan, perasaan kalau agenda
yang hadir itu-itu saja, perasaan saya kerjanya ngomong doang, perasaan
sendiri, perasaan nggak ada yang peduli, perasaan ditinggal, perasaan yang lain
berkembang tapi saya stagnan, perasaan nggak produktif, dan seribujuta perasaan
yang lain, ketahuilah ini hanya soal prasangka kita. Bagaiama fikiran dan
keyakinan kitalah yang menjadikan perasaan-perasaan itu semakin kuat dan
menjelma nyata.
Aku tahu kamu pun tahu, bahwa
Pencipta kita beserta prasangka hambaNya. Keyakinan kita bekerja. Ketika kita berprasangka baik, akan baik jadinya. Begitu juga sebaliknya. Ini adalah konsep sederhana yang membutuhkan pemahaman tingkat tinggi dan usaha sungguh-sungguh dalam mengaplikasikannya pada dunia nyata. Tapi tidak sulit, jika saja kita mau belajar dan 'mengosongkan gelas'. Membuka fikiran kita, memandang segala sesuatu dari berbagai sudut.
Kamu boleh saja menggeledah semua
tulisanku disini, pada blog ini. Kamu boleh juga menganggap aku orang macam
apapun. Kamu boleh saja bilang aku aneh seperti kebiasaanmu sejak dulu, atau bilang aku pendiam, cerewet, banyak bicara, pelit kata, atau apapun. Tidak
masalah. Tapi aku mau minta maaf. Seperti yang sudah pernah aku katakan, aku
bukan mereka yang bisa dengan mudah mengirimu kalimat-kalimat mutiara yang
penuh dengan rentetan kata ukhuwah dan persaudaraan atau semacamnya. Meski
mungkin ada banyak kau temui disini; pada tulisan yang tidak kuungkap secara
eksplisit. Terkadang aku begitu, jadi salting dan tidak tahu mau berkata apa ketika berhadapan dengan orang-orang
tertentu -yang kuanggap berarti lebih.
Terakhir, kuharap kita tidak jadi
saling egois dengan menganggap diri tidak penting dan menganggap urusan ini
hanya urusan kita masing-masing. Siapapun kamu, yakin saja bahwa di atas bumi
ini, pada tanah cinta ini, akan selalu ada orang yang diam-diam mendoakan
kebaikan untukmu. Apakah itu orangtuamu, saudaramu, sahabatmu, atau mungkin
saja orang yang kau bantu ketika berpapasan di jalan. Atau bisa jadi tetangga
yang kemarin kau lemparkan senyum tulus padanya. Kuharap kita tidak begitu
sok tahu dengan secara sepihak menganggap ini urusan kita masing-masing. Karena siapapun kita, akan selalu ada orang yang peduli meski tidak bicara apapun. Meski tidak mengungkapkan apapun.
Aku ingin menulis banyak, agar
perbincangan kita berlangsung lebih lama. Tapi mungkin kini giliranmu angkat
pena; angkat bicara.
Silahkan. Berikutnya adalah bagianmu.
Oh iya, sekadar mengingatkan. Hari ini hari Jum’at.
Hari raya mingguan kita yang kabarnya istimewa sekali.
Titip namaku dalam doamu, ya. Kalau berkenan. :)
Hari raya mingguan kita yang kabarnya istimewa sekali.
Titip namaku dalam doamu, ya. Kalau berkenan. :)