Monday, December 29, 2014

Disaat Terdesak, Kita Semakin Kuat!

“Ingat ini, Rein. Disaat terdesak, kita semakin kuat. Kamu percaya, kan, kalau ujian itu hakikatnya meningkatkan kemampuan kita? Kalau kamu bingung, coba saja ingat-ingat kebiasaanmu dulu. Setiap mau ujian tinggal terhitung hari, kekuatanmu dengan mudahnya jadi berpuluh kali lipat bukan? Padahal biasanya kamu dicap paling pemalas. Tapi kalau H-2 ujian, kamu lantas menjelma jadi manusia paling rajin seantero jagad raya. Tidak begitu baik, memang. Tapi paling tidak, itu memudahkanmu untuk membuat analogi sederhana. Disaat terdesak, kita semakin kuat. Jadi kalau saat ini kamu merasa terdesak, merasa kesulitan, sebenarnya Tuhan membersamai begitu banyak kemudahan dalam dirimu pada saat yang sama. Ini bukan soal percaya pada aku sebagai mas-mu. Tapi percaya pada konsep ini termasuk bagian dari percaya pada Gusti Allah, Tuhan kita.”

Salah satu hujanan kata Mas Rean yang kuhapal di luar kepala. Baiklah, aku percaya itu, Mas. Disaat terdesak, kita semakin kuat. J

Jogjakarta, 2014
Adikmu, Reina.




Tuesday, December 23, 2014

Tanpa Diajarkan, Ternyata Ruru Hafal Surat Asy-Syams

Dua hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah kakak perempuan saya yang tengah mengandung empat bulan. Bukan untuk bertemu si empunya rumah, melainkan menemani adik sepupu saya yang datang berkunjung ke Bogor. Kakak saya dan suaminya justru sedang tidak ada di rumah. Mereka pergi ke Sukabumi karena ada suatu urusan.

Berhubung kakak saya ini tengah mengandung, maka tidak heran kalau rumahnya diisi dengan segala atribut pengetahuan tentang kandungan dan masa kehamilan. Mulai dari tabel ideal berat badan ibu hamil, sampai buku pengetahuan seputar kandungan. Tapi yang membuat saya tertarik adalah sebuah majalah yang tergeletak di atas meja. Majalah Tarbawi dengan judul tertulis pada sampulnya "Lima Perempuan itu Perdengarkan Al Qur'an untuk Anak Mereka Sejak dalam Kandungan" keluaran Februari 2010. Hampir lima tahun yang lalu. Meski edisi lama, saya tahu kenapa majalah tersebut bisa ada di rumah kakak saya. Tentu saja karena berhuungan dengan kandungan.

Tanpa pikir panjang, saya mulai membuka lembar demi lembar dan membacanya dengan seksama. Ada kisah tentang ibu yang kekuatannya lebih kuat dari seribu laki-laki, kisah keluarga pecinta Al Qur'an,hingga cerita Farih Abdurrahman: anak ajaib yang kesulitan berbicara namun lancar menghapal ayat Al Qur'an. MasyaAllah. Hingga saya sampai pada sebuah artikel bertajuk begini: "Dewi Kusmayanti, Dokter, Ibu 4 Orang Anak. Tanpa Diajarkan, Ternyata Nurul Hafal Surat Asy-Syams"

Sebenarnya saya mulai tidak konsentrasi membaca karena artikel tersebut berada pada pertengahan majalah. Tapi sampai pada halaman kedua, mata saya dipaksa melihat lebih jeli memastikan informasi yang saya dapat. Pasalnya, disana tertulis nama yang benar-benar tidak asing bagi saya. Nama anak kamar saya semasa duduk di masa Aliyah: Nurul Iffat Wirusanti. Saya biasa memanggilnya Ruru. Sontak saya membalik halaman lagi dan memerhatikan foto dengan sesama. Benar. Itu wajah kawan saya, mungkin sekitar empat atau lima tahun yang lalu. Ditambah informasi profesi ibunya yang dokter, dan nama adik Ruru yang juga disbeutkan disini: Muhammad Luthfi Rusdinur. Juga yang paling saya ingat dari cerita Ruru, bahwa ibunya tidak membolehkan ada TV di rumahnya.

Begini cuplikan artikel tersebut.

Interaksi Dewi dengan Al Qur'an terus berlanjut hingga dirinya menikah dan memiliki anak. Upayanya mengenalkan Al Qur'an kepada anaknya pun muncul. Saat itu Dewi menemani anaknya bermain dengan membiarkannya asyik mengutak-atik mainannya. Memang, Dewi sendiri sengaja tidak membeli TV sebagai hiburan keluarga, karena menurutnya sangat sediikit manfaat yang bisa diambil dari acara-acara TV. Sehingga dia sangat mengusahakan agar anaknya selalu bermain dengan ibunya. Ketika anaknya asyik bermain, Dewi mengulang-ulang hapalan juz 30 nya. Terus menerus dia ulang-ulang di hadapan anaknya yang  asyik bermain. Bahkan setelah membacakan buku cerita menjelang tidur, Dewi pun juga mengulang hapalannya. Begitu terus setiap hari.

Sampai suatu hari, Dewi datang untuk mengikuti pengajian ibu-ibu. Karena tidak ada yang menjaga di rumah, Dewi membawa anak pertamanya yang bernama Nurul Iffat Wirusanti ini ke pengajian tersebut. Saat penceramah sedang mempersiapkan materi ceramah, tiba-tiba Nurul melantukan surat Asy-Syams. Seluruh jamaah begitu terkejut, sekaligus kagum, "Saya baru tahu, meskipun dia asyik dengan mainannya, ternyata dia juga mendengarkan," ujar perempuan berusia 42 tahun ini. Dalam usia dua tahun, anak pertamanya sudah bisa menghapal separuh juz 30. Hingga kini, paling tidak sudah 3 juz yang dihapal Nurul. Agar anak pertamanya ini bisa lebih rajin dan semangat menghapal, Dewi sekeluarga bergabung pada sebuah lembaga bimbingan Al Qur'an di Condet, Jakarta Timur. "Sejak tiga tahun terakhir, saya dan keluarga berangkat ke sana setiap hari Sabtu," tambahnya.

**
Tanpa Diajarkan, Ternyata Nurul Hafal Surat Asy-Syams

Tarbawi Edisi 222 Rabiul Awal 1431 H.

Sehari setelahnya, saya mendapat telepon dari Solo: kawan kamar saya yang lain, namanya Ucit. Sudah lama tidak berkomunikasi membuat kami saling bertukar kabar. Kemudian saya menceritakan temuan saya ini kepada Ucit. "Ya ampun Ririis, ternyata banyak yang kita gak tauu," begitu ucapnya. Saya jadi ingat kawab kamar kami yang lain; Ocha. Ocha juga pernah bercerita tentang Abi-Umminya yang masuk majalah dalam tajuk keluarga sakinah (atau apa ya, saya agak lupa, :D). MasyaAllah, ada saja caranya Allah untuk me-recall ingatan hamba-Nya. Semoga kita termasuk dalam generasi cinta Al Qur'an yaa. Aamiin Allahumma Aamiin. :')

Ruruuu titip salam buat ibunya. Bilang makasih sudah menginspirasi. :D 

Wednesday, December 17, 2014

Potret Pantai

Malam, semesta. Apa kabarnya kalian? Bintang-gemintang, rembulan, cahaya malam? Seharian ini kuhabiskan waktu menikmati debur ombak di pantai. Selagi kalian beserta bumi pijakanku saling mencari, hingga langit mempertemukan kita malam ini. Pagi tadi, seorang kawan mengambil gambarku. Di tepi pantai. Yang hadir hanyalah siluet, bayangan hitam tergambar dalam kamera. Temanku tertawa kecil mendapati jepretannya terlihat jauh lebih baik, begitu katanya. Dia bilang, foto itu melankolis sekali. Hha, dasar. Bahkan aku tidak betul-betul yakin apakah ia sungguhan mengerti arti dari melankolis itu sendiri. Tapi aku jadi tergelitik mendapati perkataannya. “Hei, bikin kata-kata buat foto ini dong. Ini melankolis bangeet.” Kali itu aku tertawa. Aku jadi berfikir, mengapa banyak yang mengidentikkan pantai, hujan, rembulan, cahaya bintang, malam, atau segala macam hal yang sebenarnya menjadi favoritku itu sebagai sesuatu yang entah apakah sedih, mellow, atau bahkan yang paling tidak kusukai, galau; sebuah kosakata yang jadi beken di kalangan anak muda pada beberapa waktu belakangan. Apa kalian tahu? Padahal, aku sungguh-sungguh menikmati tiap berjumpa dengan kalian, hei bintang, rembulan, ombak, malam, hujan. Melihat rembulan membuatku takjub menyebut asma-Nya. Selalu ada hal indah yang patut kita syukuri. Adapun hujan, seringkali didekat-dekatkan dengan kebimbangan, atau rintiknya yang dikatakan mengaburkan air mata. Padahal, tiap hujan turun, kutengadahkan wajah kepada langit sambil tersenyum lebar. Berbisik pelan, terimakasih Tuhan, atas kado rahmat hujannya hari ini. Kemudian tentang pantai. Memandang laut dari tepinya selalu saja membuatku terperanjat. Betapa beruntungnya aku, menjadi satu dari sekian banyak manusia yang bersapa dengan alam. Seperti debur ombak pagi tadi. Kenapa juga mereka bilang itu suatu hal yang melambai-melankolis-atau semacamnya? Padahal memandang ombak selalu saja menyenangkan –dan menenangkan. Memang, tidak banyak yang tahu bahwa aku pun tersenyum saat itu. Memamerkan gigi ketika mendapati sapaan pasir pantai yang memberi salam pada satuan partikel hidup para jemari.

Biar kutebak.
Kalaupun tidak kuberitahu, kalian pun menganggap ini semacam foto 'kebimbangan', bukan? :)


Tapi baiklah, kurasa aku punya caption yang cocok untuk potret yang satu ini.

"Kau boleh merasa jadi seorang penikmat alam sendirian. Memberi senyum pada satuan pasir tepi pantai sendirian. Tapi pada waktu yang sama, pada pijakan bumi dan dibawah naungan langit yang sama, ada seorang, dua orang, -atau bahkan lebih- yang juga menyuarakan senyum serupa. Jadi dengarkan aku. Kau tidak pernah benar-benar sendirian."


(Foto diperoleh dari seorang kawan, pada 1436 H)

Monday, December 15, 2014

Konsep Diri

Hari ini adalah kuliah terakhir Psikologi Perkembangan Anak sebelum akhirnya kami harus menghadapi UAS. Bicara tentang diri sendiri, tentang self, tentang konsep diri. Sepanjang dosen menjelaskan, tidak sedikit dari kami yang mengangguk-angguk tanda setuju: merasa mendapati fenomena demikian dalam dirinya. Dan salah stau yang akrab dengan masa remaja saya adalah tentang konsep diri. Bu Mely, nama dosen kami, mengatakan bahwa manusia pada akhirnya memang tidak mampu memahami dirinya secara utuh dengan mandiri. Dalam artian, ada hal-hal bawah sadar yang pemahamannya seringkali butuh batuan dari pihak luar. Saya rasa hal tersebut ada benarnya. Saya mengalami hal semacam itu, ketika bahkan saya sendiri tidak memahami akan diri sendiri. Dan itu rasanya rumit sekali.

Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal tuhannya. Ialah kalimat penuh makna itu yang menjadi motivasi, bahwa saya harus mengenal diri saya. Titik. Mungkin ini terdengar aneh, tapi saya mengalami kebingungan tentang diri saya sendiri, terutama ketika duduk di bangku Tsanawiyah (setingkat SLTA/SMP). Saya tidak mengerti apakah saya ini tergolong anak yang seperti apa. Sampai saya menemukan sebuah titik puncak ketika saya memutuskan untuk mengakhiri kebingungan saya dengan mengambil kesimpulan: saya punya sifat gado-gado. :D Daripada dipusingkan dengan penggolongan-penggolongan, lebih baik menjadi diri sendiri saja dengan orientasi yang lebih baik.

Pelajaran hari ini membuat saya menarik kembali segala macam memori masa lalu, dan mencoba melakukan semacam analisis sederhana. Dikatakan bahwa usia SD adalah masa-masa penilaian terhadap diri sendiri dan segala sesuatu secara berlebihan dibanding masa lainnya. Saya jadi ingat betapa berlebihannya saya dan kakak, ketika kami berdua menangisi pohon ceri kami yang ditebang, seharian. (meski kalau ingat pun saya maklum. Itu pohon ceri panjatan favorit kami yang ada di belakang rumah). Juga bagaimana kami berada pada kesedihan mendalam ketika tidak punya dede bayi, ketika kelinci peliharaan kami mati dimakan kucing, dan saat pohon mangga pun menyusul untuk ditebang. Baiklah. Jika bahagianya anak kecil adalah sederhana, mungkin sedihnya pun demikian, ya. Sederhana juga. :)

Saya tarik maju pada masa depan. Pada akhirnya pandangan dan penilaian kita terhadap diri sendiri sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Keluarga? Tentu saja. Dari keluarga-lah nilai-nilai kehidupan itu ditanamkan. Dasar-dasar pemahaman diajarkan. Dari mama, saya belajar untuk menghargai, terlebih menyayangi mereka yang hadir dalam setiap episode kehidupan. Jadi kalau saya katakan bahwa saya sayang kalian, sungguh itu bukan gombal. Kemudian dari ayah, saya belajar tentang detail, kreativitas, dan bagaimana mengambil sikap pada setiap persoalan. Sayang, saya terkendala mewarisi kinerja detail beliau. Ayah saya super sekali dalam urusan rapi, tertata, juga terjadwal. Dan saya tengah belajar akan hal itu. Kemudian terangkum dari keduanya, adalah agar senantiasa menyertakan Allah dalam setiap kesempatan. Saya sungguh belajar akan hal itu dari ayah-mama berdua.

Kemudian adalah dari teman. Bukankah Rasulullah Muhammad SAW pun berpesan kepada kita akan pertemanan? Teman dalam artian luas. Saudara, sepupu, kawan di sekolah, bahkan mereka yang bertemu kita pada kesempatan-kesempatan lain. Semuanya. Hanya catatannya disini, ialah agar kita pandai-pandai mencari teman untuk diajak berbagi kisah, hikmah, lagi dimintai pendapat. Simpelnya, teman berbagi cerita. Disadari atau tidak, relasi kita akan berpengaruh besar tentang bagaimana cara kita melakukan penilaian. Terhadap lingkungan, terlebih kepada diri kita sendiri. Dan saya merasakan langsung efek teman ini. Bertemanlah, dan jadikan ia sebagai sarana simbosis mutualisme. Saling menguntungkan. Tentu bukan (saja) dalam hal ekonomi, melainkan terletak pada urusan kualitas diri. Lebih istimewa lagi, kedekatan pada Ilahi Rabbi.

Menurut saya, ini menarik sekali. Tentang persepsi, tentang konsep diri, tentang sejarah pola fikir manusia. Saya rasa setiap orang yang saya jumpai pada masa kini, telah melewati serangkaian kisah menakjubkan yang membentuknya menjadi pribadi seperti saat ini. Dengan mengetahui, kita jadi mengerti. Tidak menjuri apalagi menghakimi. Kadang saya berfikir, mungkin tidak ada yang bisa disalahkan atas sebuah pilihan manusia. Kita hanya membutuhkan proses. Masing-masing kita berproses menuju lebih baik. Dengan catatan, hanya jika hati kita menerima dan terbuka terhadap perbaikan itu sendiri.

Pada akhirnya, kadang kita harus dengan bijak menghapus segala macam definisi kaku lagi penggolongan-penggolongan tertentu. Sebuah psikologi kesempurnaan. Menjadi seorang extrovert yang introvert, introvert yang extrovert, melankolis yang koleris, plagmatis yang sanguinis, dan segala macam kolaborasi lainnya. Menjadi pendiam yang banyak bicara, pemikir yang banyak kerja. Menempatkan segala sesuatu sesuai pada bagiannya. Diam pada waktunya. Angkat bicara pada masanya. Marah pada kondisinya. Lemah-lembut pada bagiannya. Akhirnya, kita sungguh adalah kita, yang spesial adanya. Dengan masing-masing perspektif dan jalan cerita, Masing-masing ujian. Juga masing-masing nikmat dari Yang Kuasa. Ajaibnya, kita tidak pernah dibiarkan hidup sendiri-sendiri. Ada keterkaitan antara masing-masing kita. Bisa jadi, konsep diri kita pun demikian: saling berhubungan dan kemudian membentuk satu keutuhan kisah.

Kemudian tentang konsep diri, adalah tentang bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Pada bagian ini saya teringat, bahwa sungguh, Allah beserta prasangka hamba-Nya. Teori afirmasi sebenarnya hanya nama lain dari teorinya seorang muslim: berprasangka baik pada Allah, bahwa Dia selalu memberikan kita yang terbaik. Termasuk dalam urusan memberi karunia kebermanfaatan dan kualitas diri kepada kita. Dan Allah akan membersamai kita dalam prasangka baik tersebut. In syaAllah. :) 


Menyapa Saudara

Suatu saat, kita akan bertemu, kan? Mendapat informasi tentang kalian melalui berbagai kesempatan, membuatku semakin rindu. Rindu berjumpa dengan saudara-saudara seperjuangan dari berbagai belahan bumi. Suatu saat, kita akan bertemu, kan? Aku rasa kita sama-sama terhibur ketika saling mengetahui keberadaan masing-masing. Mengetahui perjuangan masing-masing. Kita sama sekali tidak sendiri. Semangat itu tersebar dari segala penjuru. Dari berbagai macam ranah yang menghampar pada permukaan tanahNya. Terimakasih karena kehadiran kalian menyadarkanku, bahwa perjuangan sungguh-sungguh tidak boleh berhenti sampai disini.

Meski kini aku hanya menatap kalian melalui layar, meski kita belum saling mengenal. Mengetahui bahwa kita adalah saudara, rasanya sudah lebih dari cukup untuk saling merindu. Suatu saat, kita akan bertemu, kan? Jika pun tak di bumi cintaNya, semoga di syurga kelak pertemuan itu ada. Aamiin.

Aku percaya kita terhubung melalui suatu sistem MahaAgung.
Tidak ada jarak yang terlalu jauh bagi sebuah do'a, bukan?


Klik untuk melihat sumber gambar.

Monday, December 8, 2014

Ialah itu Cinta

Jika ada keindahan yang perlu dikoreksi
Ialah itu cinta.

Kabarkan padaku tentang cinta
Predikat yang tiada mampu dilukiskan oleh tinta
Kata yang jutaan kalimat pun tiada sanggup mendefinisikannya

Karena cinta,
Bukan hanya sekadar kata
Melainkan kekaguman penuh pada semesta
Yang syahdu terasa dalam hening malam sepertiga
Yang lembut disentuh untaian thayyibah saat mengudara

Cinta
Maka saksikanlah cintaku yang sederhana
Yang dicaci hanya sebatas lisan belaka
Yang ditanya keberadaannya oleh berjuta logika

Inilah, cinta.
Kehadirannya menggugah jiwa
Menjadi alasan bagaimana seekor ulat bermetamorfosa
Menjadi jawab sebab keteguhan azzam satuan tanah Palestina

Inilah, milikku yang sederhana
Yang mendamba cinta tiada dua
Yang diam-diam menaruh cemburu pada banyak cinta
Karena sungguh,
Cinta macam apa yang dimiliki oleh sahabat Khalid bin walid?
Cinta yang bahkan mampu membuat belaian pedang jadi manis terasa
Cinta macam apakah yang terpatri dalam hati ibunda Asma?
Bahkan kondisi mengandung tak jadikan ia lemah menapaki gurun sahara

Sementara cintaku tiada sebanding dengan mereka
Tapi bukankah ini cinta?
Meski miskin cintaku dirasa
Meski sederhana
Meski kadang aku alpa, lantas mendua
Hei, bukankah ini tetap cinta?

Maka izinkan aku mencinta
Maka biarkan aku menyelami lautan cinta-Nya
Dalam definisi yang sederhana
Dalam kekagumanku pada Sang Pemilik Semesta

Karena jika ada keindahan yang perlu dikoreksi
Ialah itu, cinta.


 Posting ulang, dibuat pada 1435 H
 Wordspic bisa didapatkan disini

Saturday, December 6, 2014

Jeda

Ada saatnya dalam hidupmu, engkau ingin sendiri saja bersama angin,

menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata.


-Bung Karno


Ini adalah kali pertama saya berdiam diri di kamar kosan. Sendirian. Menyengaja. Mengabsenkan diri dari kegiatan-kegiatan weekend. “Banyak istirahat, banyakin minum, jangan kemana-mana, di kosan aja. Minum obat, beli buah, jangan sayang-sayang.” Demikian bunyi suara wanita setengah abad yang amat saya cintai itu mengudara tadi malam. Maka hari ini saya tidak kemana-mana. Diam-diam menyesalkan diri yang kadang lupa akan pesan sederhananya: jaga kesehatan.

Sebenarnya pada satu sisi, saya merasa kerdil sekali, absen dari kegiatan hanya karena soal tubuh yang sebenarnya tidak seberapa ini. Bagaimana dahulu para pejuang, orang-orang tangguh itu mampu terus melaju bahkan ketika tubuhnya terhempas pedang? Adalah saya, sama sekali bukan apa-apa. Tapi saya pahami betul pesan beliau di atas. Ibunda saya, yang mengasuh dan mendidik saya sejak sekian tahun ini. Tidak apa mundur sedikit, untuk kemudian maju melesat. Seperti anak panah. Anak panah ditarik mundur, kemudian melesat tajam menuju sasaran. Bukan begitu?

Sudah berjalan satu minggu lebih, dan pemulihan tubuh saya berjalan lambat sekali. Saya sampai makan jeruk satu setengah kilo dengan motivasi supaya suaranya tidak hilang seperti yang sudah-sudah terjadi. Dan saya rasa jurus itu berhasil. I hope there is no #hiddenvoice anymore. Suara saya masih aman untuk berbicara meski sedikit terdengar sengau. Tapi yang agaknya sulit dikompromi adalah soal sakit kepala, ditambah gusi di mulut sebelah kanan saya juga sempat bengkak. Seiring bengkaknya hilang, berganti mata kanan saya yang mengaku-ngaku sakit. Tapi sebenarnya tidak serumit yang mungkin pembaca fikirkan. Karena semuanya berjalan biasa saja. Bukan sebuah persoalan berat, toh saya tetap masuk kuliah dan tertawa seperti biasanya.

Dan pagi ini saya sungguh-sungguh di kamar. Tidak kemana-mana. Mengamati tiap sudut kamar saya dengan lebih detail. Mengamati ekspresi pagi penghuni kosan dengan lebih rinci. Tiba-tiba saya tersadar, bahwa tempat ini belum sungguh-sungguh saya warnai dengan jiwa. Saya seperti penumpang gelap yang tahu-tahu hadir di kosan hanya untuk menumpang tidur atau sekadar menjemur pakaian. Jiwa saya masih ada dimana-mana. Dan pagi ini untuk pertama kalinya setelah hampir satu semester, saya mengucap pagi pada tetangga. Menawari roti panggang. Mengetuk pintu mereka. Kemudian sarapan bersama. Satu hal yang saya rindukan dari kehidupan berasrama.

Bukan hanya itu, saya merasa Allah tengah memberi saya kesempatan untuk istirahat dan mengevaluasi ulang tentang apa-apa saja yang telah dan akan saya lakukan. Bagian mana yang harus saya revisi, yang harus diperbaiki, dan bagian apa yang perlu saya rancang dan segera lakukan. Pagi ini, saya belajar tentang kehidupan dengan cara yang sederhana sekali. Yang kadang luput dari perhatian saya. Kita belajar melalui bangku kuliah, melalui seminar, melalui cerita seorang kawan, melalui nasihat guru, melalui organisasi. Tapi hari ini, Allah mengajakan saya untuk belajar melalui hal sederhana: sebuah pagi.

Lalu kenapa saya meletakkan quote Bung Karno tersebut di atas? “Ada saatnya dalam hidupmu, engkau ingin sendiri saja bersama angin, menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata.” Karena pagi ini saya merasakan hal tersebut. Ternyata, ada saatnya dalam episode kehidupan kita, dimana kita membutuhkan jeda. Seperti sebuah buku, ada jeda antar subjudul di dalamnya. Seperti paragraf, ada jeda yang membuatnya indah beraturan. Seperti kalimat, terdapat jeda antar kata yang menjadikan ia bermakna. 

Lalu tentang air mata? 

Saya menuliskan ini selepas menafkahi persendian dengan shalat sunnah dhuha. Selepas tumpah air mata saya atas haru, betapa Allah sungguh Maha Penyayang pada segenap makhluk-Nya. 

Berikut adalah salah satu tulisan yang saya buat ketika duduk di masa Aliyah: 

Percayalah,
kalau hidup ini adalah Dia,
maka semua sempurna indah

Ada dialog-dialog
yang maknanya tak semudah bertutur
Dia yang tahu
meski tak diberitakan
Yang paling baik
Yang paling pengertian
Yang paling mengetahui

Peduli apa pandangan mereka
yang penting Dia tahu kau
Karena semua sempurna indah
ketika hidup ini adalah Dia

Entah meski mungkin tidak begitu relevan, tapi menuliskan ini membuat saya tiba-tiba teringat akan kumpulan kalimat yang saya tuliskan beberapa tahun lalu tersebut. Kadang manusia dibuat repot dengan penilaian orang lain. Adalah hal yang jauh lebih penting, yakni tentang bagaimana nilai kita di hadapan sang Mahacipta Allah Subhanahu Ta'ala.

Ada jeda, yang menjadikan ia bermakna.
Bogor, 13 Shafar 1436 H pada 11.41 WIB

Monday, December 1, 2014

Bahari

Adalah bangga yang kami rasa.
Adalah takjub kepada Sang Esa.
Siapa pula tiada bahagia?
Jika lahir dari  tanahmu yang kabarnya subur mendunia.
Jika meneguk dari airmu yang katanya tiada dua.

Namun entah siapa yang menaruh pinta.
Lantas bangga hanya jadi sejarah belaka.
Terkikis seiring berganti masa, bergulir waktu secepat cahaya.
Memudar, terlupa. Menghilang, nestapa.
Duhai, kemanakah bakti para penghuninya?

Maka, wahai  Ibunda…
Mohon izinkan kami mengudara.
Melintasi cakrawala samudra.
Terbang mengangkasa di lautan raya.
Menyelami sukmamu yang menggugah jiwa.
Menyapamu dengan aksara cinta.

Karena meski kami tiada merindu bangga,
kami rindu hamparan airmu yang jadi permata.


Koleksi pribadi, diambil di pantai Sawarna, Banten pada 2012.

“Kau takkan pernah mampu menghindari ombak. 
Gunakan papan selancarmu, dan menarilah bersamanya.”

Bogor, 17 September 2014