Friday, July 4, 2014

Untuk Adik Kecil

Untuk adik kecil,
yang baru saja merasakan atmosfer bumi
yang belum lama merasakan genggaman jemari.
Mungkin tidak hari ini,
Tapi akan ada masanya,
ketika dirimu mampu mengeja kata,
masa dimana Kau mampu menelaah makna.
Maka tunggulah sampai saat itu tiba,

**

Sekian tahun yang lalu, ketika tanah itu masih terlihat lapang, ketika kota kelahiranmu belum sepadat sekarang, aku melihatnya sebagai seorang perempuan muda yang bersemangat. Menggenggam banyak mimpi, memiliki antusiasme tersendiri. Garis mukanya menunjukkan betapa ia memiliki keyakinan akan pilihan hidupnya. Hari itu ia terlihat cantik dengan busana violet-nya. Menambah semarak keceriannya yang berpadu dengan sebuah ketegasan. Dan Kau perlu tahu, Adik Kecil, perempuan muda itu adalah ibundamu.

**

VIOLETTERISM
Tentang Tapak Jejak Menuju Muara

Perjalanan itu terasa begitu melelahkan. Bagaimana tidak, kisah yang tertulis ini bukan cuma berbilang satu-dua tahun. Jemarinya sudah menulis kisah selama bertahun-tahun. Sedari dulu. Sejak harapan masih tinggi melambung, hingga harapan berada pada titik terendah yang justeru mengantarkannya pada puncak kedekatan dengan sang Ilahi. Ia hidup dengan segala dedikasi dan penuh mimpi. Satu per satu ia gapai, namun rupanya Tuhan hendak memberikan sebuah ujian tanda cinta pada hamba-Nya. Ia menempuh sebuah perjalanan panjang yang tak pernah terfikir sebelumnya. Ya, sebuah perjalanan panjang, dalam penantian.

Bagi sebagian orang, menanti adalah pekerjaan membosankan. Melelahkan. Tapi tidak dengan wanita itu. Kalau ada buku kumpulan cinta terindah di dunia, maka kisah ibundamu sungguh layak ikut serta, Adik Kecil. Berbahagialah karena Kau lahir dari rahim seorang wanita luar biasa. Ia menempuh perjalanan panjang. Meyakinkan diri bahwa sungguh tiada ikhtiar yang luput dari pandangan Sang Pencipta. Dua puluh delapan kali menerka sosok yang ternyata bukan jawaban; percayalah, hanya keyakinan yang kuat yang mampu mengantarkannya hingga titik ini. Ketika Kau hadir, menambah semarak indah kehidupannya; menjadi jawaban atas kesabarannya. Ya, sebelum menikah dengan papamu, perjalanan bundamu sungguh bukan sembarang perjalanan. Dan menanti kehadiranmu adalah momen mendebarkan bagi dirinya, Adik Kecil.

Kau pernah mendengar kisah Fathimah? Bagaimana puteri Rasulullah ini menjaga hatinya sedemikian rupa. Bagaimana ia menjaga perasaan naluriah yang hadir dalam dadanya, hingga tiada seorang pun tahu. Bagaimana Fathimah menjadi mempelai Ali melalui titah langsung Sang Ilahi Rabbi. Menjaga hati bukanlah perihal mudah, Kau perlu tahu itu. Dan tanyakan kepada ibumu tentang bagaimana caranya. Tak serupa kisah Fathimah, ibumu memiliki kisahnya sendiri. Berkali-kali proses ta’aruf; perkenalan itu berakhir begitu saja. Harapan indah berujung ucapan akad tak kunjung tiba. Tapi ibumu tetap tegar, Dik. Ia paham betul bahwa sedih dan kecewa adalah rasa yang dimiliki setiap insan. Tapi apa lantas itu menjadi sebuah alasan baginya untuk berlarut-larut? Nyatanya ia tetap tegar. Tetap melangkah. Tetap melanjutkan perjalanan. Bukan karena siapa, bukan karena apa-apa. Kukabarkan sekali lagi, itu karena keyakinannya yang luar biasa pada Sang Pencipta.

Proses itu dimulai sejak sepuluh tahun silam. Ketika belum bundamu tapaki tanah tempat perjumpaannya dengan papamu. Setiap proses memiliki kisahnya tersendiri, memiliki hikmahnya tersendiri. Rentetan peristiwa yang diberikan oleh Sang Maha Mengatur, disadari ataupun tidak, membentuk ibundamu menjadi sosok yang lebih kuat. Menjadi pribadi yang diam-diam memberi hikmah; menginspirasi.

Pada proses perdana, rupanya Tuhan hendak mengabarkan kepada ibundamu bahwa sungguh; membangun rumah tangga adalah soal menuju cinta-Nya bersama. Maka yang pertama berakhir dengan alasan ketidak-samaan pemikiran; perbedaan cara dalam mencintai-Nya. Pun yang kedua, sebuah episode yang begitu singkat. Berganti tahun memang, namun hanya terbilang beberapa hari. Yang ketiga tidak serumit diskusi-komunikasi dengan yang pertama, pun tidak secepat durasi yang kedua. Ini tentang bagaimana mempertimbangkan sebuah keputusan besar. Kau bisa membayangkan, ketika Kau berada dalam dua pilihan. Yang satu adalah impian besarmu, sementara yang lain adalah harapan yang hadir untuk mewujudkan mimpi yang lain. Pada akhirnya, pilihan adalah pilihan. Dan upaya manusia adalah upaya semata. Sementara hasil? Itu sepenuhnya hak Tuhan. Nyatanya ibumu tak meraih keduanya. Tidak mimpi besar untuk terbang menyebrangi pulau, tak pula harapan itu. Tapi sungguh, yang Tuhan berikan lebih daripada sekadar keinginan hamba-Nya.

Kalau memang berjodoh, maka selalu ada jalannya. Itu adalah nasihat lama yang mashyur hingga saat ini. Maka kalau memang tak berjodoh pun selalu ada jalannya. Seperti upaya bundamu dalam proses berikutnya, tak hanya mencoba sekali. Menerka; mungkin inilah saatnya berlabuh. Tapi ketika memang bukan jalannya, selalu saja ada persimpangan yang muncul. Berbentur jarak, menabrak jadwal, berpacu dengan waktu. Bahkan ada bagian yang memunculkan memori masa lalu.

Wanita itu, ibundamu, merupakan sosok yang begitu menjunjung sebuah ikatan persaudaraan. Ia menghargai setiap relasi yang ada. Jadi bisa kukatakan bahwa proses ini adalah salah satu yang terberat untuknya; ketika ia harus menggadaikan relasi pertemanan yang telah dibangun sekian lama. Sepuluh tahun berkawan dan proses ta’aruf itu sempat memutus komunikasi untuk sekian lama. Menghadapi kenyataan bahwa satu per satu kawan melepas kesendiriannya, menghadirkan fikir tersendiri dalam benak ibundamu. Dik, ia beristikharah sebelum akhirnya memutuskan untuk menjalani proses ta’aruf dengan kawannya itu. Dengan sosok yang sungguh ia anggap sebagai teman baik. Dan berakhir. Lagi-lagi, bukan jalannya. Menyayat ketika bundamu mendapati tiada undangan ditujukan kepadanya saat kawannya sendiri tengah melangsungkan pernikahan. Tidak diundang, dan tanpa alasan. Tapi sungguh, Tuhan selalu punya rencana. Selalu ada alasan dibalik itu semua.

Bagi sebagian orang, menanti adalah kegiatan menjenuhkan. Menunggu. Tapi bagi bundamu, menanti adalah saatnya bebenah diri. Menanti adalah memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Menanti adalah sejarah momentum romantis antara dirinya dengan Sang Kuasa. Menanti, bagi bundamu, terbayar lunas pada hari itu. Menanti, bagi bundamu, terbayar lunas dalam indahnya penantian akan hadirnya dirimu, Dik.

Muhammad Zahid Al-Zayyan. Sebuah do’a luar biasa yang disematkan kepadamu. Sarat makna. Muhammad, nama junjungan kita, nama Rasul penutup akhir zaman; ‘orang yang terpuji’. Sedang Zahid adalah cerminan Bunda-Papamu yang berharap akan dirimu, agar menjadikan dunia cukup di genggaman tangan dan tidak memperbudak hati. Al-Zayyan; indah, bercahaya, hiasan. Penuh harapan. Zayyan; Kau tahu selain merupakan kata dalam bahasa arab, ia miliki sebuah makna ‘terselubung’? aku takkan mengabarkan padamu soal itu. Bunda-papamu tentu lebih berhak. Hanya saja, Dik. Kau harus tahu kisah sederhana ini. Bagaimana sebuah perjalanan panjang menemukan muaranya. Tentang bagaimana sebuah muara menemukan hulunya.

**

Siang menjelang sore, aku melihat bundamu tengah duduk menatap laut dari pinggir pulau. Kutengok teman-temanku sejenak. Mereka sedang asyik berfoto ria. Mengabadikan momen berharga di tahun terakhir kami. Hari itu kami berkunjung ke kepulauan seribu; sebuah ajang refreshing bagi para penikmat ujian di penghujung tahun ajaran. Aku berjalan perlahan menghampiri bundamu. Menyapanya seperti biasa. Lantas duduk di sampingnya, ikut menikmati nostalgia bersama laut. Kamu akan merasakannya suatu saat, Dik. Sensasi ketika partikel angin laut menerpa wajahmu yang begitu mengasyikkan. Semoga saja manusia tidak terlalu tega untuk menghilangkan fenomena itu.

Aku tidak ingat betul bagaimana perbincanganku dengan bundamu bermula. Berbincang kesana-kemari, seperti biasa. Cerita tentang salah satu guru kami yang akan pindah dari kawah candra dimuka. Cerita tentang momen perpisahan guru-guru kami, yang bundamu bilang sungguh mengharukan. Bagaimana tidak, bertahun ukhuwah itu dibangun di atas keyakinan akan cita dan harapan untuk kebaikan masa depan. Dan tidak lama lagi mungkin akan berpisah raga oleh jarak. Adalah wajar adanya, ketika kesedihan bertengger di hati masing-masing insan. Aku pun tengah merasakan hal yang sama saat itu. Aku tahu, tak lama lagi akan meninggalkan tanah berjuta kisah itu. Aku tidak ingat betul, Dik. Tapi perbincangan kami tahu-tahu sampai pada bagian ketika bundamu berkisah tentang harapannya yang belum lagi menemukan muara. Kali ini tentang perbedaan kepentingan, pun terbatas pada wilayah. Jika bundamu berlabuh disana, ia diharuskan pergi jauh dari pulau jawa. Itu berarti harus meninggalkan sanak saudara. Terpisah jarak.

Aku mendengarkan dengan seksama. Meski sesekali suara bundamu berbaur dengan isak tawa dari belakang, dengan semilir angin yang berhembus pelan. Tidak banyak aku berkomentar. Hanya anggukan-anggukan. Atau gumaman seadanya. Agak suprised sebenarnya.  Karena tahu-tahu bundamu menceritaka hal demikian padaku. Bagian hebatnya, pada siang menjelang sore itu, aku tidak membaca ada garis-garis sedih atau apapun dari bundamu. Justru aura ketenangan, santai, dan apa adanya. Meski sesekali terlihat kaku memilih kata. Tapi harus kuakui, perbincangan siang-menjelang sore itu adalah yang menjadi favoritku selama aku mengenal bundamu. Terlepas dari isi percakapan kami, rasanya latar tempat sangat mendukung. Itu yang kukira menjadi alas an mengapa bundamu berbicara tanpa beban. Lepas. Tapi ternyata tidak, Dik. Sepertinya aku salah besar.

**

Dan tibalah pagi bersejarah itu. Pagi itu, aku bersama puluhan siswi lainnya berbaris seperti biasa. Membentuk banjar-banjar. Suasana pagi kerap menjadi saksi aneka macam ekspresi wajah kami. Menjadi wartawan sejati aktivitas awal hari kami. Ah ya, dulu aku menjadi salah satu yang senang sekali minta tolong pada bundamu untuk dibelikan sesuatu. Sepertii jeruk nipis, misalnya. Obat andalan ketika edisi suara habis tengah melandaku. Oke, Dik, kembali ke pagi bersejarah itu. Pagi itu, seperti biasa, bundamu bericara di depan kami. Awalnya kufikir hanya opening day yang memang biasa beliau lakukan. Entah pengumuman kecil, entah memberi motivasi. Tapi rupanya ada yang berbeda. Pagi itu, aku –dan puluhan siswi lainnya- dibuat kaget oleh deklarasi bundamu yang menyatakan akan menikah. Bundamu akan menikah. Siapa yang tidak berbahagia atas kabar luar biasa itu? Dan lebih tepatnya, siapa yang tidak dibuat kaget? Aku ingat sekali, banyak yang menangis terharu, termasuk aku. Selintas aku ingat perbincanganku dengan bundamu beberapa saat sebelumnya, di tepi pulau menghadap laut.

Dan yang tidak kusangka-sangka sebelumnya, adalah bagian ini. Ketika tangis haru itu seketika bermetamorfosa menjadi teriakan-teriakan kecil. Ada juga yang mencapai tingkat histeris. Adalah ketika salah satu di antara kami membacakan, siapa gerangan calon abi kami? Siapa yang akhirnya memenangkan harapan bundamu itu? Dan entah bagaimana, nama ini yang keluar, Dik.

Muhammad Zainuri

Tanpa ba-bi-bu, bundamu langsung dikelilingi belasan-mungkin puluhan siswi. Memeluk. Menangis terharu. Memaki lembut; bukan marah, melainkan semacam geregetan. Aku sempat terdiam. Kaget. Bersyukur. Jadi, obrolan di tepi laut itu apa maksudnya, Bu? Batinku dalam hati. Gemas. Tapi di atas itu semua, hari itu sungguh membahagiakan. Dan hebatnya, memang dasar bundamu itu. Ia bahkan sudah menyiapkan skenario, menyediakan kamera untuk kami. Kehedonan pagi itu terdokumentasikan dengan baik sekali.

Apa yang salah dengan Muhammad Zainuri? Tidak, bukan namanya yang kami permasalahkan. Lagipula kau juga pasti tahu, itu nama papamu, kan? Hhe J Dik, biar kuberitahu. Papamu adalah guru bahasa arab kami. Ya, bundamu juga guru bahasa arab kami. Mengetahui bundamu, orang yang kami sayangi, akan menuju bahtera yang telah lama ia rindukan –terlebih dengan orang yang juga kami kenal dan kami sayangi- sungguh merupakan kebahagiaan yang teramat istimewa.

Berita tentang bunda-papamu sukses menjadi trending topic pada hari itu. Mengalahkan topik-topik hebat lainnya. Tentang kegiatan OSIS, tentang penyambutan UN, tentang block test, tentang apapun, topic-topik itu pergi ke laut untuk sejenak. Tidak, bukan hanya ke laut, tapi tenggelam jauh sampai ke dasar. Kami menjadi orang norak sejak pagi, yang diam-diam menyembunyikan undangan pernikahan berwarna ungu di bawah meja. Lantas semakin norak ketika undangan bertuliskan bunda-papamu itu legal untuk disebar-luaskan. Lebih-lebih ketika berpapasan dengan papamu. Tiada henti mungkin, kami menggoda beliau dengan sebuah kata sederhana: ‘cie Bapak…’. Dan papamu hanya membalas dengan deret giginya. Tersenyum bahagia. Tapi kau cukup tahu, Dik, kenorakan kami adaah ekspresi nyata tentang harap dan cinta yang kami rasa.

**

Bundamu mondar-mandir. Agak bingung dengan berita yang baru saja ia dengar. Ternyata pemuda itu bukan temannya, bukan kerabatnya, bukan guru di wilayah Jakarta seperti yang ia bilang. Melainkan pemuda itu adalah dirinya sendiri. Benar lah kata Bu Dini –karib bundamu- beberapa waktu lalu. Rupanya rencana perjodohan itu adalah ‘modus’ belaka. (maaf pak Zain, hhe)

Di tengah padatnya rutinitas, bundamu mencoba untuk berfikir jernih. Menyerahkan segala sesuatunya kepada Sang Esa. Ajaib, alam terasa begitu merestui. Tidak seperti proses-proses sebelumnya, yang seringkali ibumu lah yang kerap bertindak aktif, mengikhtiarkan kepastian, kali ini semuanya terasa begitu mengalir. Ibarat proses replikasi DNA, tidak ada fragmen okazaki yang harus diberdayakan. Tidak ada aral melintang yang berarti di tengah jalan. Lancar. Bundamu, berada pada titik kepasrahan utuh. Tidak mengiyakan, tidak pula menolak. Bersandarkan keputusan orang tua seutuhnya. Toh ridha Allah ada pada ridha orangtua. Jika selama ini banyak proses yang tidak berlabuh karena tiada izin dari orangtua, maka biar kali ini bundamu menyerahkan seutuhnya. Hatinya sudah terlalu lelah untuk meminta. Sudah terlalu takut untuk menaruh harap. Meski tiada bisa dipungkiri, secercah harapan itu pasti ada.

Seumur-umur, wanita pecinta ungu itu, bundamu, tidak pernah membayangkan kejadian itu. Ketika yang menghampiri kedua orangtuanya adalah kerabat kerjanya sendiri. Yang biasa bertemu di ruang kantor, yang bahkan pada awalnya dianggap junior oleh bundamu karena tergolong guru baru di kawah candra dimuka itu. Sukses sudah wajah bundamu bertemankan bantal. Seutuhnya memasrahkan diri. Duduk. Tidak banyak berkata-kata. Membiarkan kakekmu berbincang dengan teman satu kantornya; dengan orang yang hendak melamarnya.

Allah selalu memiliki alasan untuk menghadirkan seseorang dalam hidup kita. Selalu. Rumusan itu pasti dan tidak pernah meleset sepersekian millimeter pun. Ini berlaku untuk semua orang, Dik. Jika memang tidak berjodoh, maka selalu saja ada alasan untuk tidak bertemu.  Dan tentu saja, selalu ada cara untuk dipertemukan, jika memang berjodoh. Langit hari itu menjadi saksi akan kemudahan yang dijanjikan Tuhan. Bersama kesulitan ada kemudahan. Lihatlah betapa sederhananya kalimat persetujuan itu keluar dari mulut kakekmu. Menyetujui anak bungsunya yang hendak dipinang oleh Muhammad Zainuri; dipinang oleh papamu. Dan perjalanan dua puluh delapan kali itu terbayar indah pada yang ke dua puluh sembilan. Apakah bundamu menyesal? coba tanyakan padanya. Karena kurasa, sama sekali tidak.

**

Kami perlu waktu cukup lama sampai akhirnya mendapat cerita itu langsung dari bundamu. Membayar rasa penasaran kami yang bertanya-tanya, kenapa begitu tiba-tiba? Dan ternyata prosesnya memang tidak lama. Cepat. Lagi, tidak hanya memberi kejutan pada kami, juga memberi kejutan pada guru-guru lain. Lucunya, papamu sukses mendapat ledekan dari guru lain perihal ibundamu yang tahu-tahu sudah dilamar. Tanpa ia tahu, bahwa si pelamar tak lain adalah papamu sendiri. Maka tidaklah hiperbola rasanya, kalau kukatakan berita-kisah-cerita itu menggemparkan. Meramaikan hari-hari berasrama. Di ruang kantor, di kamar, di koridor sekolah, di jalan-jalan lembaga pendidikan kami. Dan hebatnya, bundamu siap siaga mendokumentasikan kekagetan orang-orang atas hot news nya. Boleh lah sewaktu-waktu kau minta untuk diperlihatkan film dokumenter itu oleh bundamu. Semoga masih tersimpan rapi. (:

**

            Menjelang hari pengikraran akad suci, Ibundamu terlihat begitu berenergi, beraura positif. Semakin hari semakin bertambah kecantikannya. Kami berbondong-bondong menyewa bis besar, menuju Tasikmalaya demi menyaksikan kedua orangtuamu bersanding di pelaminan. Macet luar biasa, namun sungguh, sukses terbayar kelelahan yang ada ketika sampai di sana. Diam-diam kami menertawai diri sendiri. Mungkin ini rasanya jadi Bu Novi. Menelan pil pahit macet yang pada akhirnya berbuah indah menyaksikan kedua guru kami mengenakan seragam pengantin. Maka panjang perjalanan yang sungguh tak sebanding dengan lama kami berdiam di Tasik terbayar lunas. Ada getar tersendiri, bagi siapa pun yang mengetahui kisah panjang ibundamu, Adik Kecil yang baik. Begitu juga kami. Begitu juga aku.

**

Maka, Adik Kecil, berbahagialah. Karena Kau hadir melalui proses panjang yang mengandung hikmah. Aku tidak menuliskan detail urutan kejadian dengan jelas, biar bundamu yang melanjutkan kisahnya. Yang melengkapi skenarionya yang terpenggal-penggal. Tanyakan pada wanita violet itu, bagaimana debar yang ia rasa ketika hendak menanti hadirmu. Bagaimana kecemasan yang mampu ia balut dalam ketenangan bahkan ketika tengah berada di rumah sakit (Hei, bundamu ini sungguh ajaib. Bahkan masih sempat meminta doa via BBM, WA, FB, pada karib kerabat menjelang saat-saat sakral itu). Tanyakan padanya, bagaimana mengendalikan sugesti negatif yang tegah melanda diri. Orang biasa akan mudah terbawa pendapat yang mengatakan bahwa melahirkan di usia 30tahunan beresiko tinggi. Tapi bersyukurlah, wanita itu, bundamu, adalah sosok luar biasa.

Satu hal lagi
Kau perlu tahu, bahwa harapan kedua orangtuamu terhadap sosokmu adalah; seorang terpuji serta zuhud yang senantiasa menjadi perhiasan bagi mereka-bagi sesama. Amini doa mereka, Dik. Karena ridha Allah ada pada ridha orangtua. :)
Aamiin allahumma aamiin...

***

Ketika percakapan tepi laut itu berlangsung. Kepulauan seribu.


Muhammad Zahid Al-Zayyan; ini sosokmu. Masih ingat? :D

Pada suatu hari nanti,
Jasad kita tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini.
Kita tak akan pergi menghapus diri.

Pada suatu hari nanti,
Suara kita tiada akan terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini,
Peradaban akan tetap kita siasati

Pada suatu hari nanti,
Impian kita pun tiada dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Maka tidak akan ada letihnya kita mencari.

(Terinspirasi dari puisi Sapardi Djoko Damono; Pada Suatu Hari Nanti)

**


Teruntuk Bu Novi, semoga dengan ini hutang saya bisa terhitung lunas *aamiin* mungkin ibu tidak tahu, maka dari itu saya hendak mengabarkan. Ini adalah hasil coret-ganti berkali-kali demi melunasi janji. Selebihnya ada beberapa dokumen yang membeku begitu saja dimakan waktu. Menjadi sampah dalam buku-buku jurnal, dalam dokumen di laptop saya. Ini diawali pada sehari tepat setelah Adik Kecil Eza lahir, dan resmi dituntaskan pada hari ini, di bulan suci Ramadhan. Saya hampir melupakan janji saya untuk menulis tentang ibu, tapi kalimat ibu; "Kenapa pengen ke Riris? karena ibu jatuh cinta dengan kata2 dalam tulisan Riris." dalam percakapan kita sukses membuat saya tertegun. Meski jadinya begini adanya, maafkan jika diluar harapan. Karena jujur, menulis tentang seseorang yang real saya kenal, apalagi kisah hidupnya, susah sekali. Jadilah samar-samar tidak jelas seperti ini. Lagi, ini malah jadi surat buat De Eza. Hhe. Biar lah, ya, izinkan dia membaca suatu saat nanti, Bu.Jazakumullahu khairan katsiiran, Ibu Guru Kehidupan. :)

Violetterism; karena melihat violet mengingatkanku akan sosokmu

***
Bogor, 6 Ramadhan 1435 H

No comments:

Post a Comment