Untuk adik kecil,
yang baru saja merasakan atmosfer bumi
yang belum lama merasakan genggaman jemari.
Mungkin tidak hari ini,
Tapi akan ada masanya,
ketika dirimu mampu mengeja kata,
masa dimana Kau mampu menelaah makna.
Maka tunggulah sampai saat itu tiba,
**
Sekian
tahun yang lalu, ketika tanah itu masih terlihat lapang, ketika kota
kelahiranmu belum sepadat sekarang, aku melihatnya sebagai seorang perempuan
muda yang bersemangat. Menggenggam banyak mimpi, memiliki antusiasme
tersendiri. Garis mukanya menunjukkan betapa ia memiliki keyakinan akan pilihan
hidupnya. Hari itu ia terlihat cantik dengan busana violet-nya. Menambah
semarak keceriannya yang berpadu dengan sebuah ketegasan. Dan Kau perlu tahu,
Adik Kecil, perempuan muda itu adalah ibundamu.
**
VIOLETTERISM
Tentang Tapak Jejak Menuju Muara
Perjalanan
itu terasa begitu melelahkan. Bagaimana tidak, kisah yang tertulis ini bukan
cuma berbilang satu-dua tahun. Jemarinya sudah menulis kisah selama
bertahun-tahun. Sedari dulu. Sejak harapan masih tinggi melambung, hingga
harapan berada pada titik terendah yang justeru mengantarkannya pada puncak
kedekatan dengan sang Ilahi. Ia hidup dengan segala dedikasi dan penuh mimpi.
Satu per satu ia gapai, namun rupanya Tuhan hendak memberikan sebuah ujian
tanda cinta pada hamba-Nya. Ia menempuh sebuah perjalanan panjang yang tak
pernah terfikir sebelumnya. Ya, sebuah perjalanan panjang, dalam penantian.
Bagi
sebagian orang, menanti adalah pekerjaan membosankan. Melelahkan. Tapi tidak
dengan wanita itu. Kalau ada buku kumpulan cinta terindah di dunia, maka kisah
ibundamu sungguh layak ikut serta, Adik Kecil. Berbahagialah karena Kau lahir
dari rahim seorang wanita luar biasa. Ia menempuh perjalanan panjang.
Meyakinkan diri bahwa sungguh tiada ikhtiar yang luput dari pandangan Sang
Pencipta. Dua puluh delapan kali menerka sosok yang ternyata bukan jawaban;
percayalah, hanya keyakinan yang kuat yang mampu mengantarkannya hingga titik
ini. Ketika Kau hadir, menambah semarak indah kehidupannya; menjadi jawaban
atas kesabarannya. Ya, sebelum menikah dengan papamu, perjalanan bundamu
sungguh bukan sembarang perjalanan. Dan menanti kehadiranmu adalah momen
mendebarkan bagi dirinya, Adik Kecil.
Kau
pernah mendengar kisah Fathimah? Bagaimana puteri Rasulullah ini menjaga
hatinya sedemikian rupa. Bagaimana ia menjaga perasaan naluriah yang hadir
dalam dadanya, hingga tiada seorang pun tahu. Bagaimana Fathimah menjadi
mempelai Ali melalui titah langsung Sang Ilahi Rabbi. Menjaga hati bukanlah
perihal mudah, Kau perlu tahu itu. Dan tanyakan kepada ibumu tentang bagaimana
caranya. Tak serupa kisah Fathimah, ibumu memiliki kisahnya sendiri.
Berkali-kali proses ta’aruf; perkenalan itu berakhir begitu saja. Harapan indah
berujung ucapan akad tak kunjung tiba. Tapi ibumu tetap tegar, Dik. Ia paham
betul bahwa sedih dan kecewa adalah rasa yang dimiliki setiap insan. Tapi apa
lantas itu menjadi sebuah alasan baginya untuk berlarut-larut? Nyatanya ia
tetap tegar. Tetap melangkah. Tetap melanjutkan perjalanan. Bukan karena siapa,
bukan karena apa-apa. Kukabarkan sekali lagi, itu karena keyakinannya yang luar
biasa pada Sang Pencipta.
Proses
itu dimulai sejak sepuluh tahun silam. Ketika belum bundamu tapaki tanah tempat
perjumpaannya dengan papamu. Setiap proses memiliki kisahnya tersendiri,
memiliki hikmahnya tersendiri. Rentetan peristiwa yang diberikan oleh Sang Maha
Mengatur, disadari ataupun tidak, membentuk ibundamu menjadi sosok yang lebih
kuat. Menjadi pribadi yang diam-diam memberi hikmah; menginspirasi.
Pada
proses perdana, rupanya Tuhan hendak mengabarkan kepada ibundamu bahwa sungguh;
membangun rumah tangga adalah soal menuju cinta-Nya bersama. Maka yang pertama
berakhir dengan alasan ketidak-samaan pemikiran; perbedaan cara dalam
mencintai-Nya. Pun yang kedua, sebuah episode yang begitu singkat. Berganti
tahun memang, namun hanya terbilang beberapa hari. Yang ketiga tidak serumit
diskusi-komunikasi dengan yang pertama, pun tidak secepat durasi yang kedua.
Ini tentang bagaimana mempertimbangkan sebuah keputusan besar. Kau bisa
membayangkan, ketika Kau berada dalam dua pilihan. Yang satu adalah impian
besarmu, sementara yang lain adalah harapan yang hadir untuk mewujudkan mimpi
yang lain. Pada akhirnya, pilihan adalah pilihan. Dan upaya manusia adalah
upaya semata. Sementara hasil? Itu sepenuhnya hak Tuhan. Nyatanya ibumu tak
meraih keduanya. Tidak mimpi besar untuk terbang menyebrangi pulau, tak pula
harapan itu. Tapi sungguh, yang Tuhan berikan lebih daripada sekadar keinginan
hamba-Nya.
Kalau
memang berjodoh, maka selalu ada jalannya. Itu adalah nasihat lama yang mashyur
hingga saat ini. Maka kalau memang tak berjodoh pun selalu ada jalannya.
Seperti upaya bundamu dalam proses berikutnya, tak hanya mencoba sekali.
Menerka; mungkin inilah saatnya berlabuh. Tapi ketika memang bukan jalannya,
selalu saja ada persimpangan yang muncul. Berbentur jarak, menabrak jadwal,
berpacu dengan waktu. Bahkan ada bagian yang memunculkan memori masa lalu.
Wanita
itu, ibundamu, merupakan sosok yang begitu menjunjung sebuah ikatan
persaudaraan. Ia menghargai setiap relasi yang ada. Jadi bisa kukatakan bahwa
proses ini adalah salah satu yang terberat untuknya; ketika ia harus
menggadaikan relasi pertemanan yang telah dibangun sekian lama. Sepuluh tahun
berkawan dan proses ta’aruf itu sempat memutus komunikasi untuk sekian lama. Menghadapi kenyataan bahwa satu per satu
kawan melepas kesendiriannya, menghadirkan fikir tersendiri dalam benak
ibundamu. Dik, ia beristikharah sebelum akhirnya memutuskan untuk menjalani
proses ta’aruf dengan kawannya itu. Dengan sosok yang sungguh ia anggap sebagai
teman baik. Dan berakhir. Lagi-lagi, bukan
jalannya. Menyayat ketika bundamu mendapati tiada undangan ditujukan kepadanya saat kawannya sendiri
tengah melangsungkan pernikahan. Tidak diundang, dan tanpa alasan. Tapi
sungguh, Tuhan selalu punya rencana. Selalu ada alasan dibalik itu semua.
Bagi
sebagian orang, menanti adalah kegiatan menjenuhkan. Menunggu. Tapi bagi
bundamu, menanti adalah saatnya bebenah diri. Menanti adalah memanfaatkan waktu
sebaik mungkin. Menanti adalah sejarah momentum romantis antara dirinya dengan
Sang Kuasa. Menanti, bagi bundamu, terbayar lunas pada hari itu. Menanti, bagi
bundamu, terbayar lunas dalam indahnya penantian akan hadirnya dirimu, Dik.
Muhammad
Zahid Al-Zayyan. Sebuah do’a luar biasa yang disematkan kepadamu. Sarat makna. Muhammad, nama junjungan kita, nama Rasul penutup
akhir zaman; ‘orang yang terpuji’. Sedang Zahid adalah cerminan Bunda-Papamu
yang berharap akan dirimu, agar menjadikan dunia cukup di genggaman tangan dan
tidak memperbudak hati. Al-Zayyan; indah, bercahaya, hiasan. Penuh
harapan. Zayyan; Kau tahu selain merupakan kata dalam bahasa arab, ia miliki
sebuah makna ‘terselubung’?
aku
takkan mengabarkan padamu soal itu. Bunda-papamu tentu lebih berhak. Hanya
saja, Dik. Kau harus tahu kisah sederhana ini. Bagaimana sebuah perjalanan
panjang menemukan muaranya. Tentang bagaimana sebuah muara menemukan hulunya.
**
Siang menjelang sore, aku melihat bundamu tengah duduk
menatap laut dari pinggir pulau. Kutengok teman-temanku sejenak. Mereka sedang
asyik berfoto ria. Mengabadikan momen berharga di tahun terakhir kami. Hari itu
kami berkunjung ke kepulauan seribu; sebuah ajang refreshing bagi para penikmat
ujian di penghujung tahun ajaran. Aku berjalan perlahan menghampiri bundamu.
Menyapanya seperti biasa. Lantas duduk di sampingnya, ikut menikmati nostalgia
bersama laut. Kamu akan merasakannya suatu saat, Dik. Sensasi ketika partikel
angin laut menerpa wajahmu yang begitu mengasyikkan. Semoga saja manusia tidak
terlalu tega untuk menghilangkan fenomena itu.
Aku tidak ingat betul bagaimana perbincanganku dengan
bundamu bermula. Berbincang kesana-kemari, seperti biasa. Cerita tentang salah
satu guru kami yang akan pindah dari kawah candra dimuka. Cerita tentang momen
perpisahan guru-guru kami, yang bundamu bilang sungguh mengharukan. Bagaimana
tidak, bertahun ukhuwah itu dibangun di atas keyakinan akan cita dan harapan
untuk kebaikan masa depan. Dan tidak lama lagi mungkin akan berpisah raga oleh
jarak. Adalah wajar adanya, ketika kesedihan bertengger di hati masing-masing
insan. Aku pun tengah merasakan hal yang sama saat itu. Aku tahu, tak lama lagi
akan meninggalkan tanah berjuta kisah itu. Aku tidak ingat betul, Dik. Tapi
perbincangan kami tahu-tahu sampai pada bagian ketika bundamu berkisah tentang
harapannya yang belum lagi menemukan muara. Kali ini tentang perbedaan
kepentingan, pun terbatas pada wilayah. Jika bundamu berlabuh disana, ia
diharuskan pergi jauh dari pulau jawa. Itu berarti harus meninggalkan sanak
saudara. Terpisah jarak.
Aku mendengarkan dengan seksama. Meski sesekali suara
bundamu berbaur dengan isak tawa dari belakang, dengan semilir angin yang
berhembus pelan. Tidak banyak aku berkomentar. Hanya anggukan-anggukan. Atau
gumaman seadanya. Agak suprised
sebenarnya. Karena tahu-tahu bundamu
menceritaka hal demikian padaku. Bagian hebatnya, pada siang menjelang sore
itu, aku tidak membaca ada garis-garis sedih atau apapun dari bundamu. Justru
aura ketenangan, santai, dan apa adanya. Meski sesekali terlihat kaku memilih
kata. Tapi harus kuakui, perbincangan siang-menjelang sore itu adalah yang
menjadi favoritku selama aku mengenal bundamu. Terlepas dari isi percakapan
kami, rasanya latar tempat sangat mendukung. Itu yang kukira menjadi alas an
mengapa bundamu berbicara tanpa beban. Lepas. Tapi ternyata tidak, Dik.
Sepertinya aku salah besar.
**
Dan tibalah pagi bersejarah itu. Pagi itu, aku bersama
puluhan siswi lainnya berbaris seperti biasa. Membentuk banjar-banjar. Suasana
pagi kerap menjadi saksi aneka macam ekspresi wajah kami. Menjadi wartawan
sejati aktivitas awal hari kami. Ah ya, dulu aku menjadi salah satu yang senang
sekali minta tolong pada bundamu untuk dibelikan sesuatu. Sepertii jeruk nipis,
misalnya. Obat andalan ketika edisi suara habis tengah melandaku. Oke, Dik,
kembali ke pagi bersejarah itu. Pagi itu, seperti biasa, bundamu bericara di
depan kami. Awalnya kufikir hanya opening
day yang memang biasa beliau lakukan. Entah pengumuman kecil, entah memberi
motivasi. Tapi rupanya ada yang berbeda. Pagi itu, aku –dan puluhan siswi
lainnya- dibuat kaget oleh deklarasi bundamu yang menyatakan akan menikah.
Bundamu akan menikah. Siapa yang tidak berbahagia atas kabar luar biasa itu?
Dan lebih tepatnya, siapa yang tidak dibuat kaget? Aku ingat sekali, banyak
yang menangis terharu, termasuk aku. Selintas aku ingat perbincanganku dengan
bundamu beberapa saat sebelumnya, di tepi pulau menghadap laut.
Dan yang tidak kusangka-sangka sebelumnya, adalah
bagian ini. Ketika tangis haru itu seketika bermetamorfosa menjadi
teriakan-teriakan kecil. Ada juga yang mencapai tingkat histeris. Adalah ketika
salah satu di antara kami membacakan, siapa gerangan calon abi kami? Siapa yang
akhirnya memenangkan harapan bundamu itu? Dan entah bagaimana, nama ini yang
keluar, Dik.
Muhammad Zainuri
Tanpa ba-bi-bu, bundamu langsung dikelilingi
belasan-mungkin puluhan siswi. Memeluk. Menangis terharu. Memaki lembut; bukan
marah, melainkan semacam geregetan. Aku sempat terdiam. Kaget. Bersyukur. Jadi, obrolan di tepi laut itu apa
maksudnya, Bu? Batinku dalam hati. Gemas. Tapi di atas itu semua, hari itu
sungguh membahagiakan. Dan hebatnya, memang dasar bundamu itu. Ia bahkan sudah
menyiapkan skenario, menyediakan kamera untuk kami. Kehedonan pagi itu
terdokumentasikan dengan baik sekali.
Apa yang salah dengan Muhammad Zainuri? Tidak, bukan
namanya yang kami permasalahkan. Lagipula kau juga pasti tahu, itu nama papamu,
kan? Hhe J
Dik, biar kuberitahu. Papamu adalah guru bahasa arab kami. Ya, bundamu juga
guru bahasa arab kami. Mengetahui bundamu, orang yang kami sayangi, akan menuju
bahtera yang telah lama ia rindukan –terlebih dengan orang yang juga kami kenal
dan kami sayangi- sungguh merupakan kebahagiaan yang teramat istimewa.
Berita tentang bunda-papamu sukses menjadi trending topic pada hari itu.
Mengalahkan topik-topik hebat lainnya. Tentang kegiatan OSIS, tentang
penyambutan UN, tentang block test,
tentang apapun, topic-topik itu pergi ke laut untuk sejenak. Tidak, bukan hanya
ke laut, tapi tenggelam jauh sampai ke dasar. Kami menjadi orang norak sejak
pagi, yang diam-diam menyembunyikan undangan pernikahan berwarna ungu di bawah
meja. Lantas semakin norak ketika undangan bertuliskan bunda-papamu itu legal
untuk disebar-luaskan. Lebih-lebih ketika berpapasan dengan papamu. Tiada henti
mungkin, kami menggoda beliau dengan sebuah kata sederhana: ‘cie Bapak…’. Dan papamu hanya membalas
dengan deret giginya. Tersenyum bahagia. Tapi kau cukup tahu, Dik, kenorakan
kami adaah ekspresi nyata tentang harap dan cinta yang kami rasa.
**
Bundamu mondar-mandir. Agak bingung dengan berita yang
baru saja ia dengar. Ternyata pemuda itu bukan temannya, bukan kerabatnya,
bukan guru di wilayah Jakarta seperti yang ia bilang. Melainkan pemuda itu
adalah dirinya sendiri. Benar lah kata Bu Dini –karib bundamu- beberapa waktu
lalu. Rupanya rencana perjodohan itu adalah ‘modus’ belaka. (maaf pak Zain,
hhe)
Di tengah padatnya rutinitas, bundamu mencoba untuk
berfikir jernih. Menyerahkan segala sesuatunya kepada Sang Esa. Ajaib, alam
terasa begitu merestui. Tidak seperti proses-proses sebelumnya, yang seringkali
ibumu lah yang kerap bertindak aktif, mengikhtiarkan kepastian, kali ini
semuanya terasa begitu mengalir. Ibarat proses replikasi DNA, tidak ada fragmen
okazaki yang harus diberdayakan. Tidak ada aral melintang yang berarti di
tengah jalan. Lancar. Bundamu, berada pada titik kepasrahan utuh. Tidak
mengiyakan, tidak pula menolak. Bersandarkan keputusan orang tua seutuhnya. Toh
ridha Allah ada pada ridha orangtua. Jika selama ini banyak proses yang tidak
berlabuh karena tiada izin dari orangtua, maka biar kali ini bundamu menyerahkan
seutuhnya. Hatinya sudah terlalu lelah untuk meminta. Sudah terlalu takut untuk
menaruh harap. Meski tiada bisa dipungkiri, secercah harapan itu pasti ada.
Seumur-umur, wanita pecinta ungu itu, bundamu, tidak
pernah membayangkan kejadian itu. Ketika yang menghampiri kedua orangtuanya
adalah kerabat kerjanya sendiri. Yang biasa bertemu di ruang kantor, yang
bahkan pada awalnya dianggap junior oleh bundamu karena tergolong guru baru di
kawah candra dimuka itu. Sukses sudah wajah bundamu bertemankan bantal.
Seutuhnya memasrahkan diri. Duduk. Tidak banyak berkata-kata. Membiarkan
kakekmu berbincang dengan teman satu kantornya; dengan orang yang hendak
melamarnya.
Allah selalu memiliki alasan untuk menghadirkan
seseorang dalam hidup kita. Selalu. Rumusan itu pasti dan tidak pernah meleset
sepersekian millimeter pun. Ini berlaku untuk semua orang, Dik. Jika memang
tidak berjodoh, maka selalu saja ada alasan untuk tidak bertemu. Dan tentu saja, selalu ada cara untuk
dipertemukan, jika memang berjodoh. Langit hari itu menjadi saksi akan
kemudahan yang dijanjikan Tuhan. Bersama kesulitan ada kemudahan. Lihatlah
betapa sederhananya kalimat persetujuan itu keluar dari mulut kakekmu.
Menyetujui anak bungsunya yang hendak dipinang oleh Muhammad Zainuri; dipinang oleh
papamu. Dan perjalanan dua puluh delapan kali itu terbayar indah pada yang ke
dua puluh sembilan. Apakah bundamu menyesal? coba tanyakan padanya. Karena
kurasa, sama sekali tidak.
**
Kami perlu waktu cukup lama sampai akhirnya mendapat
cerita itu langsung dari bundamu. Membayar rasa penasaran kami yang
bertanya-tanya, kenapa begitu tiba-tiba? Dan ternyata prosesnya memang tidak
lama. Cepat. Lagi, tidak hanya memberi kejutan pada kami, juga memberi kejutan
pada guru-guru lain. Lucunya, papamu sukses mendapat ledekan dari guru lain
perihal ibundamu yang tahu-tahu sudah dilamar. Tanpa ia tahu, bahwa si pelamar
tak lain adalah papamu sendiri. Maka tidaklah hiperbola rasanya, kalau
kukatakan berita-kisah-cerita itu menggemparkan. Meramaikan hari-hari
berasrama. Di ruang kantor, di kamar, di koridor sekolah, di jalan-jalan
lembaga pendidikan kami. Dan hebatnya, bundamu siap siaga mendokumentasikan
kekagetan orang-orang atas hot news
nya. Boleh lah sewaktu-waktu kau minta untuk diperlihatkan film dokumenter itu
oleh bundamu. Semoga masih tersimpan rapi. (:
**
Menjelang hari pengikraran akad suci,
Ibundamu terlihat begitu berenergi, beraura positif. Semakin hari semakin
bertambah kecantikannya. Kami berbondong-bondong menyewa bis besar, menuju
Tasikmalaya demi menyaksikan kedua orangtuamu bersanding di pelaminan. Macet
luar biasa, namun sungguh, sukses terbayar kelelahan yang ada ketika sampai di
sana. Diam-diam kami menertawai diri sendiri. Mungkin ini rasanya jadi Bu Novi.
Menelan pil pahit macet yang pada akhirnya berbuah indah menyaksikan kedua guru
kami mengenakan seragam pengantin. Maka panjang perjalanan yang sungguh tak
sebanding dengan lama kami berdiam di Tasik terbayar lunas. Ada getar
tersendiri, bagi siapa pun yang mengetahui kisah panjang ibundamu, Adik Kecil
yang baik. Begitu juga kami. Begitu juga aku.
**
Maka, Adik Kecil, berbahagialah. Karena Kau hadir melalui proses panjang yang mengandung hikmah. Aku tidak menuliskan detail urutan kejadian dengan jelas, biar bundamu yang melanjutkan kisahnya. Yang melengkapi skenarionya yang terpenggal-penggal. Tanyakan pada wanita violet itu, bagaimana debar yang ia rasa ketika hendak menanti hadirmu. Bagaimana kecemasan yang mampu ia balut dalam ketenangan bahkan ketika tengah berada di rumah sakit (Hei, bundamu ini sungguh ajaib. Bahkan masih sempat meminta doa via BBM, WA, FB, pada karib kerabat menjelang saat-saat sakral itu). Tanyakan padanya, bagaimana mengendalikan sugesti negatif yang tegah melanda diri. Orang biasa akan mudah terbawa pendapat yang mengatakan bahwa melahirkan di usia 30tahunan beresiko tinggi. Tapi bersyukurlah, wanita itu, bundamu, adalah sosok luar biasa.
Satu hal lagi
Kau perlu tahu, bahwa harapan kedua orangtuamu terhadap sosokmu adalah; seorang terpuji serta zuhud yang senantiasa menjadi perhiasan bagi mereka-bagi sesama. Amini doa mereka, Dik. Karena ridha Allah ada pada ridha orangtua. :)
Aamiin allahumma aamiin...
***
Ketika percakapan tepi laut itu berlangsung. Kepulauan seribu. |
Muhammad Zahid Al-Zayyan; ini sosokmu. Masih ingat? :D |
Pada suatu hari nanti,
Jasad kita tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini.
Kita tak akan pergi menghapus diri.
Pada suatu hari nanti,
Suara kita tiada akan terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini,
Peradaban akan tetap kita siasati
Pada suatu hari nanti,
Impian kita pun tiada dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Maka tidak akan ada letihnya kita mencari.
(Terinspirasi dari puisi Sapardi Djoko Damono; Pada Suatu Hari Nanti)
**
Teruntuk Bu Novi, semoga dengan ini hutang saya bisa terhitung lunas *aamiin* mungkin ibu tidak tahu, maka dari itu saya hendak mengabarkan. Ini adalah hasil coret-ganti berkali-kali demi melunasi janji. Selebihnya ada beberapa dokumen yang membeku begitu saja dimakan waktu. Menjadi sampah dalam buku-buku jurnal, dalam dokumen di laptop saya. Ini diawali pada sehari tepat setelah Adik Kecil Eza lahir, dan resmi dituntaskan pada hari ini, di bulan suci Ramadhan. Saya hampir melupakan janji saya untuk menulis tentang ibu, tapi kalimat ibu; "Kenapa pengen ke Riris? karena ibu jatuh cinta dengan kata2 dalam tulisan Riris." dalam percakapan kita sukses membuat saya tertegun. Meski jadinya begini adanya, maafkan jika diluar harapan. Karena jujur, menulis tentang seseorang yang real saya kenal, apalagi kisah hidupnya, susah sekali. Jadilah samar-samar tidak jelas seperti ini. Lagi, ini malah jadi surat buat De Eza. Hhe. Biar lah, ya, izinkan dia membaca suatu saat nanti, Bu.Jazakumullahu khairan katsiiran, Ibu Guru Kehidupan. :)
Violetterism; karena melihat violet mengingatkanku akan sosokmu
***
Bogor, 6 Ramadhan 1435 H
No comments:
Post a Comment