Pemandangan bulan akhir-akhir ini mengingatkan saya akan dongeng masa kecil. Dulu, ketika duduk di bangku ibtidaiyah, saya punya sebuah buku cerita bergambar yang isinya kumpulan dongeng-dongeng dari Jepang. Salah satu yang terkenal adalah kisah nelayan Urashima Taro yang diundang ke istana laut karena menolong seekor penyu.
Bukan, bukan kisah tentang si nelayan ini yang muncul ketika saya melihat bulan. Melainkan cerita tentang Si Pembohong Besar.
Dalam cerita tersebut dikisahkan tentang Rama; anak laki-laki yang kerap berbohong dan menjahili seisi desa. Alhasil, tidak ada satu pun yang mau berkawan dengan Rama. Hingga pada suatu hari, Rama menemukan seekor ikan emas yang dapat berbicara dan membawanya menjadi sosok yang kaya raya. Rama menjadi saudagar dan memiliiki seorang istri yang cantik. Sementara si ikan emas hidup tenang dalam peliharaannya. Suatu ketika, sang istri kehabisan ide untuk memasak makanan karena Rama tidak memberikannya uang untuk berbelanja. Malang nian, ikan emas yang selama ini mejadi sumber kekayaan Rama dimasak oleh sang istri. Tanpa mengetahui fakta tersebut, Rama memakannya. Begitu menyadari bahwa yang ia makan adalah si ikan emas, Rama frustasi. Ia menangis sejadi-jadinya. Kemudian tulang belulang ikan emas ditanamnya di bawah tanah. Selang beberapa waktu, dari tulang-belulang itu muncul pohon yang tumbuh dengan cepat. Rama memegang pohon itu erat-erat hingga pohon tumbuh semakin besar dan kemudian terepas dari bumi. Terbang tinggi. Meninggalkan istrinya yang hanya bisa memanggil-manggil Rama dari kejauhan. Rama terbang tinggi hingga sampai ke bulan. (Cerita lengkapnya bisa dilihat disini)
Sejujurnya, saya tidak ingat runtutan cerita yang telah saya paparkan. Itu hanya rangkuman singkat hasil googling di dunia maya. Bagian yang melekat di kepala saya hanya bagian akhir cerita dari Si Pembohong Besar. Dalam buku dongeng masa kecil itu, disebutkan, bahwa hingga saat ini, jika kita menatap bulan baik-baik, maka akan tampak si pembohong besar bersama pohon beringinnya yang tinggi. Sejak dulu saya tahu itu cuma dongeng. Saya tidak percaya bahwa manusia bisa dibawa terbang oleh pohon kemudian nyangkut di bulan. Hei, tapi bukankah setiap anak kecil juga begitu? bilang tidak percaya, tapi akan terus mencari tahu. Maka diam-diam saya kerap menyelidik bulan. Mencari-cari sosok pembohong besar yang tengah bersandar, atau mungkin berdiri tidak jauh dari pohonnya.
Seiring meningkatnya level bacaan, saya menemukan kisah yang jauh lebih keren tentang bulan. Ajaibnya, kisah ini bukan dongeng, melainkan fakta. Pernah dengar, kisah tentang terbelahnya bulan? Sekitar empat belas abad tahun yang lalu, sekumpulan orang kafir Quraisy menghadap Rasulullah dan meminta Rasulullah untuk membelah bulan sebagai pembuktian akan kenabian beliau.
"Seandainya kamu benar-benar seorang nabi, maka belahlah bulan menjadi dua."
"Apakah kalian akan masuk Islam jika aku sanggup melakukannya?" tanya Rasulullah (saw)
"Ya" jawab mereka.
Kemudian Rasulullah berdoa kepada Allah agar bulan terbelah menjadi dua. Beliau memberikan isyarat dengan jarinya, dan terbelahlah bulan. Demikian jauh antara belahan bulan yang satu dengan belahan bulan yang lain, hingga gunung Hira pun terlihat di antara dua belahan bulan tersebut. Akan tetapi, meskipun fakta itu nyata, kaum kafir Quraisy tetap tidak mengakui dan mengklaim bahwa apa yang mereka saksikan semata-mata hanyalah sihir. Mereka mengingkari janjinya sendiri untuk bersaksi memeluk Islam. Atas kisah ini, Allah berfirman dalam surat Al-Qamar (dalam bahasa Indonesia, Qamar berarti bulan).
” Telah dekat saat itu (datangnya kiamat) dan bulan telah terbelah. Dan jika orang2 (kafir) menyaksikan suatu tanda (mukjizat), mereka mengingkarinya dan mengatakan bahwa itu adalah sihir.” (QS Al Qamar 54:1-2)
Tentang cerita berabad tahun silam ini, terbelahnya bulan menjadi bukti akan kekuasaann-Nya. Seperti kisah api yang tidak panas ketika menyentuh Nabi Ibrahim, atau tentang tongkat Nabi Musa yang berubah jadi ular. Sama sekali bukan sihir. Kisah ini tertulis dalam Al-Qur'an. Kalamullah yang dijamin keasliannya hingga akhir zaman. (Selengkapnya bisa dilihat disini)
Adik saya yang duduk di kelas empat SD suatu ketika menulis puisi tentang bulan. Menyebutkan betapa bulan bersinar dengan indah menggantikan matahari pada malam hari. Serta merta saya tersenyum jahil. Bukan bersinar, De. Yang bersinar itu matahari. Kalau bulan memantulkan cahaya. Anak kecil mana pula yang berfikir sampai sejauh itu? saya pun kalau tidak dikabarkan di bangku formal sekolah, mungkin tidak berfikir sampai kesana. Tentang urusan mana bersinar, mana memantulkan cahaya.
Bulan dikenal sebagai satu-saunya satelit alami yang dimiliki oleh bumi. Entah mungkin karena pesona keindahannya, ia kerap disebut-sebut dalam berbagai kesempatan. Dalam bait-bait puisi penyair, dalam cerita-cerita masa kecil, dan tentu saja pelajaran di instansi-instansi pendidikan. Saya mulai berfikir jangan-jangan dongeng semisal Si Pembohong Besar dibangun dari mimpi si pembuat untuk melintas langit menuju bulan. Atau tentang imajinasinya setiap malam, melihat siluet manusia disana, ketika menatap bulan. Yah, atau mungkin karena kalau matahari jadinya akan terlalu panas. Siapa tahu?
No comments:
Post a Comment