Thursday, July 3, 2014

Air Mail #4

Debu berputar, berpilin, menyeruak masuk. Membentuk metamorfosa terselubung. Dibalik bayang, dibawa udara, ditelan samudra. Adakah kau perhatikan bagaimana jejak pasir bersembunyi malu-malu sebelum waktunya tiba? Atau, bagaimana helai daun menaruh harap pada satuan tanah di daratan?

Assalamu’alaikum, Aster.
Seperti biasa, ini aku, Razen.

AIR MAIL 

“Razen, bukankah ini hebat sekali?” tanyamu dengan mata berbinar sambil menyodorkan sehelai kertas padaku. “Aku selalu bangga pada kalian, Razen. Ajari aku bagaimana caranya” ujarmu lagi, tanpa menghiraukan aku yang tengah sibuk memeriksa kertas apa itu. Ukurannya cukup besar. Lembarannya berisikan pengumuman. Liputan media tentang penghargaan yang belum lama kami –aku dan anak-anak panti lainnya- peroleh. Aku tersenyum demi memandang jejeran nama kami tertulis satu persatu. “Hei, Razeen,” kau tahu-tahu menarik ujung jaketku. Menyadarkanku yang sejak tadi tidak menjawab celotehanmu.

“iya? Kenapa?” tanyaku sambil tetap menatap kertas itu
“Aku bangga pada kalian. Ajari aku bagaiman caranya.” Aku menoleh ke arahmu. Intonasi suaramu datar. Mimik mukamu serius.
“Ajari apa? Bukankah ini cuma penghargaan untuk anak-anak panti? Penghargaan biasa, kan?” tanpa kuduga, kau tertawa mendengar pertanyaanku. Belakangan, aku tahu bahwa itu adalah tawa getir.
“Bukan ituu. Ajari aku untuk bersungguh-sungguh, melakukan sesuatu sepenuh hati. Seperti kalian.” Kau berkata sambil tersenyum. Tidak menatapku yang ada di sampingmu, melainkan menatap lurus ke depan.
“Hha, Aster. Bukankah hampir tiap petang kau melempari kami lumpur dengan sepenuh hati?” kalimat itu; kalimat bodoh yang aku lontarkan. Kau tahu, aku terlalu salah tingkah, Aster. Kenapa tahu-tahu kau menanyakan hal semacam itu?
 Kau mundur selangkah, bertolak pinggang, lantas cengegesan. Nyengir.
“Hhe, aku lupa. Maafkan aku.” Kita diam sesaat, disusul tawa. “Razeeen! Itu burung elang!” telunjukmu mengarah ke langit. Gelombang suaramu berpantulan di dinding-dinding bukit. Menghasilkan gaung yang saling bersahutan. Hei, Aster, kenapa kau harus memanggilku begitu kencang sementara aku jelas-jelas ada di sampingmu?

Sepasang mataku menatap angkasa. Benar sekali. Itu burung elang yang –mungkin- sama pada hampir setiap petang kita. Kau mungkin tidak menyadari, tapi saat itu ekspresimu jauh lebih menarik dibanding burung elang itu sendiri. Matamu terbelalak, mulutmu terbuka. Kau tersenyum lebar, memperlihatkan jejeran gigi yang berbaris rapi. Lalu tanganmu melambai-lambai, seakan si elang mengerti arti lambaian itu. Seakan ia tahu bahwa kau ada disini. Bahwa kita berdiri disini; memandangnya dari kejauhan. Menikmati padang ilalang seperti biasa.

Baiklah.
Itu tentang masa kecil kita.



***

Kita beranjak dewasa, seiring waktu. Sejak kecil, aku mengagumimu. Dan aku tahu, ada sesuatu yang tidak terdefinisi muncul diluar rasa kagum itu. Ada keinginan untuk melindungimu. Ada sesuatu yang mendorongku untuk menjagamu dari apapun. Pahitnya, kau seakan terlalu kuat untuk membutuhkan perlindunganku, Maka aku selalu saja merasa senang setiap kali kau memanggil namaku, meminta pertolonganku untuk hal sesederhana apapun. Kau memang kuat, tapi ada bagian terlemah yang diam-diam membuatku bersyukur. Entah bagaimana, kau takut pada cicak. Cicak, hewan kecil yang konon membawa kebaikan dari Tuhan jika kita membunuhnya. Dan hebatnya, diantara teman-teman, hanya aku yang tahu rahasia kecil itu. Hanya aku, dan hanya aku yang bisa kau mintai tolong untuk mengusir cicak yang kerap muncul di pojok-pojok panti ketika kau berlagak hebat menjadi mandor kami. Maafkan aku untuk membuka rahasia kecilmu di surat ini. Tak apa, kan? toh rahasia-rahasia milikku pun sudah tidak jadi rahasia lagi.

Aku mengagumimu sejak dulu. Semua orang tahu itu. Hanya dirimu yang tidak tahu, tidak pernah menyadari akan kekagumanku. Dan aku baru saja tahu, bukan hanya kekaguman istimewaku yang tidak kau ketahui. Melainkan Kau sama sekali tidak menyadari betapa kami teramat mengagumimu.

"Siapa yang paling menginspirasimu, Razen?" kau sering seperti itu. tahu-tahu melemparkan pertanyaan mematikan. Mempersempit pembuluh darahku dalam seketika.
"Kau." Aku tidak punya pilihan lain.
"Kau? maksudmu aku?" Kau terbelalak seakan tak yakin
"Iya, Kau, Aster menyebalkan." aku menjawab datar sembari meninggalkanmu. Pergi. Entah apa yang kau lakukan kemudian. Entah apa yang kau fikirkan.

Lagi, aku akan memberitahumu rahasia kecilku. Tidak mudah bagiku untuk melabel seseorang menjadi menyebalkan. Dan beruntung, label itu tersemat padamu. Kau sungguh-sungguh meyebalkan. Mulai dari kecemburuanku padamu atas sosok ibu yang luar biasa, hingga keberanianmu dan keteguhanmu. Aku sangat mengagumi jiwa optimismu, dan kau menjelma menjadi begitu menyebalkan, Ketika kita mulai sering berbincang. Ketika aku tahu ada sesuatu yang berubah. Ketika kau sering sekali memberiku pertanyaan mematikan yang membuatku ingin tenggelam ke laut untuk sejenak.

Membaca tumpukan suratmu dalam kotak kayu berukirkan bunga, membuatku berfikir lebih dalam. Aster, bukankah benar kata Tuan Erdas, pemilik kebun stroberi itu, bahwa Tuhan sungguh hebat sekali? kita dipertemukan dengan banyak insan, dan kita dibuat kagum pada insan-insan tertentu. Hingga tanpa disadari, sebenarnya kita saling menaruh kagum satu sama lain. Lantas apakah ada yang berganti? kehidupan tetap berjalan seperti biasa. Kita tetap mengagumi orang lain tanpa berfikir untuk mengagumi diri sendiri. Manusia dianugerahi sepasang mata yang menghadap ke depan. Menatap lingkungan. Mungkin itu sebab, mengapa kita seringkali menatap orang lain lebih bercahaya. Seperti aku yang melihatmu begitu mengagumkan. Seperti kau, yang bahkan aku baru tahu bahwa kau pun mengagumi banyak orang, termasuk aku.

Aster, Ramadhan ini aku kembali ke Madinah. Ke kota cinta. Aku tahu, suatu saat jemariku akan mulai bosan menulis surat udara untukmu. Akan mulai lelah mengingat-ingat segala macam hal tentangmu. Kau pernah membunuhku pada hari itu, Ketika segala macam hal yang pernah kuberi kau kembalikan secara sepihak. Ketika kau tertunduk dan memohon maaf; mengatakan akan pergi. Seperti ditusuk pisau bertubi, kau berlalu tanpa mempersilahkan aku bicara lebih. Kemudian kau menghilang tanpa jejak. Bahkan hingga saat-saat terakhir. Mungkin nanti jemariku mulai jenuh mengukirkan udara untukmu, Mungkin nanti, akan tiba masa ketika aku harus menyudahi kebiasaan anomaliku ini; menuliskan surat udara untukmu. Yang boleh jadi tak terkirim, tak pernah terbaca.

Tapi Aster, aku sungguh berterima kasih padamu. Kau harus tahu betapa aku belajar banyak dari sosokmu, dari pribadimu. Dari perjalanan hidupku dalam mengenalmu. Kau pernah memintaku untuk mengajarkan, bagaimana melakukan sesuatu dengan sepenuh hati. Ketahuilah, Aster. Hidup kita tidak sesempit rumusan-teori. Kau adalah contoh nyata, bahwa melakukan sesuatu dengan sepenuh hati, dengan keikhlasan yang terpatri, justru ketika diri tidak menyadari. Dan tahu-tahu memberikan kontribusi yang berarti. Seperti kau yang menginspirasi namun tak menyadari -sama sekali.

Aster, Ramadhan ini, kota cinta kita tiada banyak berubah. Terik tetap melanda. Istimewanya tetap mendunia. Tiada dua. Aster yang baik, adakah kau perhatikan bagaimana jejak pasir bersembunyi malu-malu sebelum waktunya tiba? Atau, bagaimana helai daun menaruh harap pada satuan tanah di daratan?


**

Razen menatap ke sudut-sudut kota, memerhatikan fenomena kehidupan di sekitarnya. Tidak banyak berubah, Aster yang ia cari tak juga ditemui. Langit menyuarakan panggilan syurga bagi para pengiman. Membuat para pengais rezeki merehatkan sejenak barang dagangan, menutup pertokoan. Beranjak menjawab panggilan; shalat. Razen tersenyum tipis. Pemuda itu kembali melangkahkan kaki, menuju rumah Tuhan yang siang itu menjadi pusat penjuru. Bak sumber mata air, dihampiri para insan yang beruntung berada di atas ketetapan hati pada Rabb-nya.

Madinah adalah kota cinta
Langitnya adalah atap rumah cinta
Bangunan-bangunannya adalah potret keteguhan cinta
Pun penduduknya, tercipta karena cinta
Kota ini sempurna indah karena cinta sang tercinta yang dicinta oleh Maha Pemilik Cinta

***
AkhirSya'ban-AwalRamadhan 1435 H

No comments:

Post a Comment