“Logikamu itu perlu di-upgrade”
“Kenapa?” aku memicingkan mata.
“Kamu ini pinter, tapi kenapa logikanya sedangkal itu, sih?”
mendengar Kakak sangsi, aku melengos pergi.
“Daripada kamu, Kak. Pinter tapi nggak mau bagi-bagi.” Aku
menjulurkan lidah. Kakak yang satu ini memang agak menyebalkan.
“Heh, enak saja. Gini ya Kakak bilangin,” tangannya menarik
pundakku mundur, “kalau kamu beranggapan hal kayak gitu nggak masuk akal,
berarti akalmu yang perlu di-upgrade”
“Secara logika ya Kak, mana mungkin dia bisa seperti itu?
Dia dapat keajaiban darimana? Nggak mungkin lah ujug-ujug jadi. Pasti ada
sesuatunya.”
“Nah, itu!” Kakak menjitak kepalaku pelan, “nah itu kamu
sudah dapat konsepnya. Benar sekali, pasti ada sesuatunya.”
“Apaan sih aku nggak ngerti,” aku menampis tangan Kakak yang
masih nyangkut di kepalaku.
“Gini ya Dek, jangan pakai pikiran dangkal. Kamu ini jangan
seperti orang yang nggak percaya Tuhan.” Ujarnya menasihati.
“Gini-gini aku anak madrasah, Kak.” Aku menekukkan alis; tidak
terima atas pernyataanya barusan.
“Nah, kan. Benar, pasti ada keajaiban dan pasti ada
sesuatunya. Jangan sok tahu. Pengetahuanmu tentang logika sudah sejauh mana
memangnya?” mendengar pertanyaan Kakak, aku terdiam. “Kalau kamu ini beriman
sama Allah, pertanyaanmu itu harusnya nggak akan muncul. Allah kan Mahakuasa atas
segala sesuatu. Masukkan konsep itu dalam logikamu, Anak Pintar. Allah
Mahakuasa. Berarti hal semacam itu sangat masuk akal. Apa sih yang Allah nggak
bisa? Bulan aja bisa terbelah atas izin-Nya. Apalagi persoalan remeh-temeh
kayak gini.” Beberapa detik suasana hening.
“Hm.. terus?” aku bergumam pelan.
“Terus ya, memangnya kamu tahu, disana dia berbuat apa saja?
Siapa tahu dia sungguh-sungguh meminta sama Allah. Kamu jangan sok tahu.
Logikamu nggak sama dengan logikanya Tuhan.”
“Hm.. oke, makasih lah.” Aku menepuk pelan bahunya yang
tinggi.
“Haha, dasar bocah!” kepalaku kembali dijitak. Kakakku ini
memang keterlaluan kadang-kadang. Tapi aku bersyukur. Diam-diam aku membenarkan
perkataannya. Mungkin memang benar, logikaku harus segera di-upgrade.
“Ya, ya. Makasih Kak.” Aku mengangguk-angguk. Tidak mau
secara eksplisit mengakui kedangkalan pemikiranku. Agak gengsi -jujur saja.
“Sama-sama,” jawabnya seraya tersenyum.
“Omong-omong, jangan sebut aku Anak Pintar. Kalau Kakak yang
bilang, lebih terdengar sebagai sindiran daripada pujian.” Aku tertawa kecil.
“Haha baik. Kakak ganti saja jadi doa ya, Anak Salihah.”
Kali ini Kakak membelai kepalaku.
No comments:
Post a Comment