Syukur dan Sabar pun Butuh Ilmu
“Mengosongkan gelas
adalah salah satu adab penting bagi seorang penuntut ilmu.”
Ustadz Abdullah Gymnasiar pernah mengatakan yang kurang
lebih seperti ini: indahnya menjadi hamba yang ahli taubat dan ahli syukur.
Keduanya menyeimbangkan. Menentramkan qalbu.
Taubat dan syukur. Ibarat respon yang lahir dari nurani
seorang penghamba. Antara raja dan khauf. Antara rasa harap dan merasa takut.
Lain lagi, Amirul Mukminin Umar bin Khattab pernah berkata
bahwa jika sabar dan syukur adalah kendaraan, maka ia tak peduli lagi harus
mengendarai yang mana.
Sabar dan syukur. Ibarat dua sahabat yang saling
memerdekakan. Yang satu menjadi kunci bagi yang lain. Yang satu menjadi nikmat
bagi yang lain.
Sungguh benar apa yang diucapkan Rasulullah, bahwa menjadi muslim
adalah sebuah keindahan. Ketika diuji ia bersabar, ketika diberi nikmat ia
bersyukur.
Maka yang paling menyenangkan adalah ketika definisi karunia
serta nikmat dalam hati kita adalah kedekatan dengan Allah. Adalah berkahnya
kehidupan kita di bawah ridha Allah. Jika demikian, akan tiada lagi ujian
kesusahan yang mencipta derita. Akan tiada lagi uji pujian yang berbuah ujub,
sum’ah, pun riya. Yang ada adalah ujian berbuah istighfar. Ujian berbuah
taubat. Ujian berbuah penghambaan.
Sayang, manusia tempatnya lupa.
Inilah titik terlemah kita. Lupa untuk apa hidup di dunia.
Bahkan ekstremnya, lupa siapa yang mencipta diri kita. Lupa, bahwa apa-apa yang
ada saat ini adalah semu dan senda gurau belaka. Kita dibuat derita oleh ujian
dunia, dibuat sibuk tuk dipuja dunia fana. Dibuat terlena -lupa untuk membuat
diri dikenal oleh segenap penduduk langit disana.
Kita tempat lupa. Titik terlemah kita –sekaligus karunia.
Fluktuasi yang ada, gejolak yang tercipta, menjadikan sebuah
perjuangan terasa indah dan nyata. Jangan buru-buru protes betapa Tuhan kejam
menciptakan manusia meski tahu bahwa akan ada banyak yang berlaku dosa. Jangan
buru-buru mengatakan betapa Tuhan teramat tega membiarkan kita hidup dalam
gunungan pertanyaan yang tak jua kita temui jawaban pastinya.
Toh sebelum ini, bukankah kita sudah pernah ditanyai? Lantas
kita menjawab lantang ‘qaalu bala syahidna!’
Sungguh, itulah karunia.
Indahnya proses kita berpulang, berharap jumpa dengan
diri-Nya.
Sungguh, itulah kaunia.
Indahnya perjalanan kita harap-harap cemas sebab prasangka
baik yang kadang diekori takut oleh dosa yang membukit-menggunung.
Sungguh, itulah karunia.
Maha Besar Allah yang menjadikan kita, manusia, sebagai
makhluk yang sempura dengan akal. Tanpa akal, rasa kan jadi hambar. Tanpa akal,
tiada lagi taubat, syukur, serta sabar.
Bersyukurlah untuk memiliki syukur. Bertaubatlah atas syukur
yang dirasa belum tulus. Bersabarlah, karena kesabaran untuk bertaubat serta
bersyukur tidak akan mengantarkan kita kemana-mana kecuali pada kebaikan.
Syukur dan sabar pun ternyata butuh ilmu.
Ditulis di Kota Hujan,
Pada 20 September 2015
Untuk seorang sahabat yang malam ini bertanya. :) Syukur dan sabar pun ternyata butuh ilmu, Sis.
No comments:
Post a Comment