Friday, October 16, 2015

Inner Beauty

“Ada pertanyaan?” Ibu Istiq –dosen mata kuliah Manajemen Sumber Daya Keluarga- berbinar seperti biasa. Kedua bola matanya seakan menyapu seisi ruang kelas. Seorang mahasiswi berjilbab hijau toska mengacungkan tangan; hendak bertanya.

“Bu,” ujarnya, “tadi kan Ibu bilang, ada perempuan yang cantik secara fisik tapi lama kelamaan bosan dipandang. Ada yang biasa-biasa saja, tapi semakin lama berinteraksi semakin menarik. Inner beauty-nya keluar. Nah, itu  bagaimana bu supaya inner beauty bisa muncul?” mendengar pertanyaan tersebut, seketika kelas ricuh. Pasalnya, pagi itu kami tengah membahas sumber daya yang tersedia di keluarga dan bagaimana mengelolanya. Pembahasan soal perempuan atau inner beauty tidak pernah kami sangka akan muncul di kelas ini. Jadi kayak seminar kewanitaan saja.

Bu Istiq mengatakan perlunya untuk berbuat baik kepada seseorang, bagaimana membuat orang lain merasa nyaman untuk berinteraksi dengan kita, merasa dihargai, dan seterusnya. Mahasiswi yang bertanya tadi kembali berkomentar, “tapi bu, banyak kan sekarang niatnya cuma untuk pencitraan saja.”

Ibu Istiqlaliyah tersenyum. Beliau lalu menyodorkan mikrofon pada beberapa mahasiswa SC (Supporting Course; sebuah program di IPB di mana mahasiswa jurusan tertentu dapat mengambil mata kuliah dari jurusan lain) yang hari itu duduk di kursi bagian depan. Beliau memberikan kesempatan bagi siapa-siapa saja yang hendak menjawab. Ada banyak jawaban menarik yang muncul. Mulai dari ‘kun anta’ jadilah dirimu sendiri, jadi apa adanya saja, sampai saran untuk rajin berolahraga juga disebutkan. Salah satunya juga mengatakan, “Ya jadi aja diri sendiri. Tapi niatnya bukan supaya dilihat orang lain. Kalau berbuat baik nanti juga akan keluar sendiri inner beauty-nya.” Kelas mulai dibuat mengangguk. Tiga dari tiga jawaban seluruhnya disampaikan oleh mahasiswa (yang artinya semuanya laki-laki). Diam-diam saya berpikir keras. Seperti ada satu bagian yang terlupa. Pertanyaan ini sangat sederhana, tapi jawabannya –saya pikir tidak mudah.

Selama ini, inner beauty lebih sering diidentikkan dengan perempuan. Padahal keindahan, menuru hemat saya, ia bersifat universal. Setiap manusia memiliki inner beauty-nya. Nurani. Fitrah. Kharisma. Aura positif. Dengan segala kekayaan definisi, saya yakin ada hal yang lebih mendalam dari sekadar menjadi diri sendiri atau bagaimana membuat orang lain merasa nyaman.

Saya jadi ingat dengan seseorang yang inner beauty-nya kuat sekali –siapa lagi kalau bukan Rasulullah. Beliau, bahkan mampu membuat orang-orang jatuh hati meski telah ratusan tahun sosoknya tidak lagi di dunia. Beliau, bahkan mampu membuat pembunuh menjadi pembela. Menjadikan musuh menjelma sahabat. Dengan izin Allah, melunakkan hati pemaki menjadi seorang pendoa. Mengingat beliau, membuat saya menganggukkan kepala. Rasanya seperti menemukan jawaban yang sedari tadi saya cari. Mungkin memang benar bahwa keidealan menjadikan analisis lebih mudah dilakukan. Jadi, jawabannya adalah keikhlasan hati. Inner beauty muncul dan menyeruak karena sesuatu bernama ketulusan. :)

Sayang saya tidak mendapat kesempatan untuk turut mengemukakan pendapat hari itu di kelas. Tapi tidak masalah, hasilnya tangan saya jadi bersemangat untuk menuliskan ini.

Inner beauty seseorang yang semerbak kita rasakan, mungkin bisa jadi orang tersebut justru sama sekali tidak menyadari. Bahkan boleh jadi tidak peduli. Dia melakukan perbuatannya dengan segenap hati. Dengan tulus. Itulah mengapa ibunda kita terlihat cantik meski lelah dan berpeluh, meski garis mukanya bertambah dan menua. Itulah mengapa, ayah kita selalu terlihat tampan. Meski kepalanya mulai ditumbuhi uban. Meski tangannya semakin hari semakin kasar sebab bekerja. Keduanya memiliki hal yang sama: ketulusan. Ketulusan lah yang diam-diam memaksa kita jatuh hati kepada mereka, dalam takzim seorang anak terhadap orang tuanya.”

Ah, iya. Cara yang paling mudah melihat inner beauty, sebenarnya bisa dengan melihat anak-anak. Meski kadang mungkin yang muncul dominan jutsru sifat egosentris mereka. Tapi lihatlah ketika mereka tertawa, bermain lepas, berlari, juga ketika mereka bertanya lugu. Lantas saksikanlah betapa ketulusan terpancar dari diri mereka. :D



Sekali lagi, maka menurut saya inner beauty yang terpancar, tidak lain adalah buah dari hati yang bersih, dari keimanan yang kokoh, dari cinta yang tak bersyarat.

Jadi mari kita belajar untuk tulus dan ikhlas. Bukan supaya inner beauty kita muncul, melainkan karena memang seharusnya kita demikian; melakukan segala sesuatu dengan tulus dan ikhlas. Semoga. :)

4 comments:

  1. Masyaallah, terimakasih ya ris.. scr ga langsung ini sangat memoivasi ris.. bisa dibikin buku sudaaaahhh :)))

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete