“Ada pertanyaan?” Ibu Istiq
–dosen mata kuliah Manajemen Sumber Daya Keluarga- berbinar seperti biasa.
Kedua bola matanya seakan menyapu seisi ruang kelas. Seorang mahasiswi
berjilbab hijau toska mengacungkan tangan; hendak bertanya.
“Bu,” ujarnya, “tadi kan Ibu
bilang, ada perempuan yang cantik secara fisik tapi lama kelamaan bosan
dipandang. Ada yang biasa-biasa saja, tapi semakin lama berinteraksi semakin
menarik. Inner beauty-nya keluar.
Nah, itu bagaimana bu supaya inner beauty bisa muncul?” mendengar
pertanyaan tersebut, seketika kelas ricuh. Pasalnya, pagi itu kami tengah
membahas sumber daya yang tersedia di keluarga dan bagaimana mengelolanya.
Pembahasan soal perempuan atau inner
beauty tidak pernah kami sangka akan muncul di kelas ini. Jadi kayak seminar kewanitaan saja.
Bu Istiq mengatakan perlunya
untuk berbuat baik kepada seseorang, bagaimana membuat orang lain merasa nyaman
untuk berinteraksi dengan kita, merasa dihargai, dan seterusnya. Mahasiswi yang
bertanya tadi kembali berkomentar, “tapi bu, banyak kan sekarang niatnya cuma
untuk pencitraan saja.”
Ibu Istiqlaliyah tersenyum.
Beliau lalu menyodorkan mikrofon pada beberapa mahasiswa SC (Supporting Course;
sebuah program di IPB di mana mahasiswa jurusan tertentu dapat mengambil mata
kuliah dari jurusan lain) yang hari itu duduk di kursi bagian depan. Beliau
memberikan kesempatan bagi siapa-siapa saja yang hendak menjawab. Ada banyak
jawaban menarik yang muncul. Mulai dari ‘kun anta’ jadilah dirimu sendiri, jadi
apa adanya saja, sampai saran untuk rajin berolahraga juga disebutkan. Salah
satunya juga mengatakan, “Ya jadi aja diri sendiri. Tapi niatnya bukan supaya
dilihat orang lain. Kalau berbuat baik nanti juga akan keluar sendiri inner beauty-nya.” Kelas mulai dibuat
mengangguk. Tiga dari tiga jawaban seluruhnya disampaikan oleh mahasiswa (yang
artinya semuanya laki-laki). Diam-diam saya berpikir keras. Seperti ada satu
bagian yang terlupa. Pertanyaan ini sangat sederhana, tapi jawabannya –saya pikir
tidak mudah.
Selama ini, inner beauty lebih sering diidentikkan dengan perempuan. Padahal
keindahan, menuru hemat saya, ia bersifat universal. Setiap manusia memiliki inner beauty-nya. Nurani. Fitrah.
Kharisma. Aura positif. Dengan segala kekayaan definisi, saya yakin ada hal
yang lebih mendalam dari sekadar menjadi diri sendiri atau bagaimana membuat
orang lain merasa nyaman.
Saya jadi ingat dengan seseorang
yang inner beauty-nya kuat sekali –siapa
lagi kalau bukan Rasulullah. Beliau, bahkan mampu membuat orang-orang jatuh hati
meski telah ratusan tahun sosoknya tidak lagi di dunia. Beliau, bahkan mampu
membuat pembunuh menjadi pembela. Menjadikan musuh menjelma sahabat. Dengan
izin Allah, melunakkan hati pemaki menjadi seorang pendoa. Mengingat beliau,
membuat saya menganggukkan kepala. Rasanya seperti menemukan jawaban yang
sedari tadi saya cari. Mungkin memang benar bahwa keidealan menjadikan analisis
lebih mudah dilakukan. Jadi, jawabannya adalah keikhlasan hati. Inner beauty muncul dan menyeruak karena
sesuatu bernama ketulusan. :)
Sayang saya tidak mendapat
kesempatan untuk turut mengemukakan pendapat hari itu di kelas. Tapi tidak
masalah, hasilnya tangan saya jadi bersemangat untuk menuliskan ini.
“Inner beauty seseorang yang semerbak kita rasakan, mungkin bisa
jadi orang tersebut justru sama sekali tidak menyadari. Bahkan boleh jadi tidak
peduli. Dia melakukan perbuatannya dengan segenap hati. Dengan tulus. Itulah
mengapa ibunda kita terlihat cantik meski lelah dan berpeluh, meski garis
mukanya bertambah dan menua. Itulah mengapa, ayah kita selalu terlihat tampan.
Meski kepalanya mulai ditumbuhi uban. Meski tangannya semakin hari semakin
kasar sebab bekerja. Keduanya memiliki hal yang sama: ketulusan. Ketulusan lah
yang diam-diam memaksa kita jatuh hati kepada mereka, dalam takzim seorang anak
terhadap orang tuanya.”
Ah, iya. Cara yang paling mudah
melihat inner beauty, sebenarnya bisa
dengan melihat anak-anak. Meski kadang mungkin yang muncul dominan jutsru sifat
egosentris mereka. Tapi lihatlah ketika mereka tertawa, bermain lepas, berlari,
juga ketika mereka bertanya lugu. Lantas saksikanlah betapa ketulusan terpancar dari
diri mereka. :D
Sekali lagi, maka menurut saya inner beauty yang terpancar, tidak lain adalah buah dari hati yang bersih, dari keimanan yang kokoh, dari cinta yang tak bersyarat.
Jadi mari kita belajar untuk
tulus dan ikhlas. Bukan supaya inner
beauty kita muncul, melainkan karena memang seharusnya kita demikian;
melakukan segala sesuatu dengan tulus dan ikhlas. Semoga. :)
keren ris :3
ReplyDeleteMasyaallah, terimakasih ya ris.. scr ga langsung ini sangat memoivasi ris.. bisa dibikin buku sudaaaahhh :)))
ReplyDelete:)) kembali kasih faah semoga manfaat
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete