Friday, January 30, 2015

Profesi Paling Bergengsi

“Jika kau katakan bahwa memilikiku adalah sebuah perjuangan,
maka diperjuangkan olehmu, ialah perjuangan tersendiri bagiku.”

Profesi Paling Bergengsi

Hati perempuan itu tidak menentu. Bagaimana bisa ia tidak menyadari adanya kehidupan baru yang hadir dalam rahimnya sendiri? Usia kandungannya menginjak satu setengah bulan dengan keadaan teramat lemah. Jika diukur dalam skala nol sampai sepuluh, mungkin angka harapan hidupnya berada pada angka nol koma.
“Ini janinnya lemah sekali, Bu. Ini sih karena Ibunya kelelahan. Kecapekan, ya?” Dokter Abdullah-lelaki setengah abad itu, memberikan pernyataan sekaligus pertanyaan. Mendengarnya, diam-diam ibu dua anak itu mengiyakan. Akhir-akhir ini, fisiknya memang tengah dalam rutinitas yang padat. Ayahanda tercintanya tengah dirawat di rumah sakit. Maka selain mengurus rumah  bersama suami, mendidik kedua anaknya, mengajar di sekolah, agenda hariannya bertambah lagi: menemani sang ayah di rumah sakit. Pulang-pergi rumah-sekolah-rumah sakit setiap hari, nyatanya cukup menguras energi. Meski tentu, pada akhirnya cinta yang ia miliki menjadikan semua itu terasa indah.
Tapi ini bukan lagi soal lelah dunia. Ini tentang hidup dan mati buah hatinya. Tentang harga diri seorang ibu di hadapan Rabb-nya. Hari itu, ia ditemani suami dirujuk untuk menuju Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang berlokasi di Jakarta Pusat. Rupanya, kelengkapan alat di tempat praktik Dokter Abdullah tidak cukup memadai. Betapa berkecamuk hatinya, ketika dikabarkan bahwa saran dokter untuk kandungannya adalah dikiret, atau bahasa lainnya, dikeluarkan dari rahim. Tentu bukan tanpa pertimbangan. Hal itu karena kondisi janin yang sudah nyaris tidak ada harapan –jika tidak mau dikatakan bahwa perempuan itu berada pada ambang keguguran dan tinggal menunggu waktunya tiba.
          Pada belahan bumi manapun, seorang ibu selalu memiliki harapan baik akan anaknya. Berharap agar anaknya baik-baik saja. Berharap agar anaknya menjadi manusia yang berhasil dalam artian luas. Begitu juga dengan perempuan yang satu ini. Kalau bukan karena harap dan keyakinannya, kalau bukan karena kepercayaan bahwa segala sesuatu perlu diperjuangkan, tentu ia akan pasrah begitu saja menerima keadaan. Tapi ternyata tidak. Tidak semudah itu melemahkan mental seorang perempuan. Tidak semudah itu memupuskan harapan seorang ibu.
“Dok, tolong anak saya jangan dikiret.
Tapi ini lemah sekali, Bu.” ujar sang dokter tidak yakin.
Saya mau perjuangkan anak ini, Dok.” Air matanya membasahi pipi. Dokter menghela nafas panjang. Tidak beberapa lama, terjadi perundingan oleh tim dokter. Hei, siapa pula yang tega memutus perjuangan seorang ibu?
“Ya sudah. Tapi ibu harus bedrest selama dua minggu. Tidak boleh kemana-mana. Tidak boleh beranjak dari kasur, termasuk untuk buang air. Cukup aktifitasnya di atas kasur saja. Sanggup?”
“Sanggup. In syaAllah.” Jawabnya mantap.
Di sanalah perjuangan itu bermuara. Meski awalnya mendapat saran untuk dirawat, namun perempuan itu berhasil meyakinkan tim dokter bahwa ia mampu melakukannya di rumah. Bahkan disaat genting seperti itu, yang ada dalam benaknya adalah tentang keseharian anak-anaknya. Juga bagaimana repot keluarganya, jika harus bergantian menemaninya di rumah sakit padahal sang ayah baru saja pulang usai dirawat. Terlebih, bagaimana repot suaminya, yang harus merawat dan meluangkan waktu lebih banyak untuk mengurusi dirinya, ditambah mengurusi kedua anak mereka. Ah, isi kepala seorang ibu selalu saja menakjubkan, bukan?
**
Satu minggu dengan aktifitas di atas kasur terus-menerus adalah waktu yang lama. Pendarahan yang ia alami (yang juga menjadi pemberi kabar bahwa ternyata ada kehidupan baru dalam rahimnya) tidak kunjung berhenti. Hidup di atas kasur, meluruskan kaki, dan tidak beranjak kemana-mana, sungguh amat menjenuhkan. Namun bosan yang ada terhapus dengan buncah rasa dan semerbak harapan. Hingga pada akhirnya, kesabaran itu berbuah hasil. Pendarahan yang ia alami terhenti pada hari ke delapan. Dengan mengucap syukur, ia beserta suami kembali menuju rumah sakit. Tidak peduli dengan waktu yang belum sampai dua minggu. Perempuan itu sudah tidak sabar untuk mengetahui apa yang terjadi pada buah hatinya.
Mendapati kehadiran mereka, sang dokter memberikan sambutan hangat. Setelah perempuan itu dan suaminya mengutarakan apa yang telah terjadi, USG pun dilakukan.
“Alhamdulillah. Bagus ini Bu janinnya!” seru dokter kandungan itu sambil tersenyum lebar. Mendengarnya, perempuan itu tak henti mengucap syukur. Mungkin itu memang bukan keajaiban pertama yang pernah ia dialami. Namun bagi siapapun, kabar baik selalu saja menggembirakan.
Tapi ternyata belum selesai. Bulan-bulan berikutnya dilalui dengan pendarahan yang tak kunjung henti. Hingga usia kandungannya tujuh bulan, perempuan itu terus mengalami pendarahan.  Ditambah lagi, ia diharuskan mengkonsumsi berbagai obat demi menunjang kehidupan si buah hati. Angka enam ratus ribu rupiah per bulan tentu bukan sebuah nominal yang kecil, terlebih di era 90an. Jika diperkirakan dengan nilai mata uang saat ini, itu berarti sekitar enam juta per bulan.  Maka tak dapat dipungkiri, pasangan suami-istri yang sama-sama berprofesi sebagai guru itu harus menuntaskan pembayaran obat setiap bulannya. Bersyukurlah si janin dalam kandungan. Ia begitu diperjuangkan oleh kedua orangtuanya. Terlebih ibunya.
**
Jika menjadi seorang ibu adalah profesi, maka ia akan menjadi profesi paling bergengsi. Penghargaan padanya tidak lagi bicara soal harga di bumi, melainkan mengetuk dan menggetarkan pintu langit. Do’a-doanya menjelma serupa senjata bagi kebaikan sang buah hati. Hadirnya menjadi pelipur lara, sementara senyumnya menjelma motivasi tiada tara. Dekap hangatnya, ialah transfer energi yang menghangatkan jiwa.
Perempuan itu diantar dengan sepeda motor bersama kakak laki-lakinya dari tempat kerja. Teriring doa dari keluarga dan rekan sejawat. Disusul suaminya yang segera bergegas mengambil perlengkapan dan menuju bidan di Jakarta. Anak ketiganya lahir pada hari Senin, 10 April 1995; pada hari dimana ia tetap pergi mengajar di sekolah seperti biasa. Perjuangannya terbayarkan. Untai doanya terjawab. Anaknya lahir dengan normal dan selamat. Tangis harunya pecah. Dengan segenap syukur dan bahagia, ia dan suaminya menamai anak ketiga mereka Rizky Sahla Tasqiya –yang rezekinya mudah mengalir.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepada-Kulah kembalimu.“ (QS Luqman: 14)

**
Pada suatu hari, belasan tahun setelah peristiwa itu. Seorang ibu mengudarakan nasihat sederhana untuk anak perempuannya.
“Ade semangat ya. Dulu mama berjuang untuk punya ade. Sekarang, kita berjuang sama-sama.”
Anaknya tertegun. Jika kau katakan bahwa memilikiku adalah sebuah perjuangan, maka diperjuangkan olehmu, ialah perjuangan tersendiri bagiku (Rizky Sahla Tasqiya).

***


***

Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di websitehttp://nulisbarengibu.com

No comments:

Post a Comment