“Mau kemana?” tanyanya pelan.
“Pergi. Melihat lebih banyak.”
Jawabku seadanya sambil menyungging senyum. Ia menyipitkan mata, menelisik isi
tas ransel milikku.
“Haha kamu ini jalan-jalan terus.
Gak takut jatuh miskin? Kita kan mahasiswa. Hidup di negeri orang pula.”
Ujarnya sambil tertawa kecil, kemudian mendekap kepalaku dengan selimut tebal
miliknya.
“Hehe, kan sudah kubilang. Aku
jalan-jalan justru supaya jadi kaya.” Mendengar perkataanku, ia manggut-manggut
sambil tersenyum. Aku bisa melihat senyum tulusnya itu dari balik selimut yang
masih menutupi kepalaku. Kawanku yang satu itu memang menyenangkan.
“Oke oke. Kalau begitu kita
mungkin punya cara kaya yang berbeda.” Ia angkat tangan. Aku menyahuti dengan
tawa. Melepaskan balutan selimut di kepalaku.
“Oh jadi itu yang bikin kamu
nggak pernah mau ikut jalan-jalan? Punya cara sendiri buat jadi kaya?” Ucapku
dengan nada menuduh sambil kembali konsentrasi membenahi tas ransel.
“Tentu saja. Tapi kamu gak perlu
tahu, kan?” ujarnya datar.
“Dasar pelit. Seperti biasa.” Aku
mencibir lembut. Sahabatku itu hanya tersenyum menanggapi, kemudian ia keluar
dari kamar.
“Hati-hati. Bawa ini.” Tak lama
ia kembali datang, menyodoriku sebuah kotak kecil.
“Apa ini?” aku mengambil kotak
jecil dari tangannya, kemudian kupandangi kotak itu lamat-lamat.
“Kompas. Biar kalau solat kamu
gak asal-asalan lagi menghadapnya.” Perempuan yang lebih tinggi dariku beberapa
senti itu berkata sambil menunjuk salah satu foto yang kupasang di dinding
kamar. Foto perjalanan yang menjadi saksi kebiasaan buruk pasrahku: menentukan
arah kiblat seenaknya, menggunakan insting.
“Haha, terimakasih banyaaak.” Aku
menjabat kuat tangannya. Lagi, dia kembali membuatku takjub atas
kejutan-kejutan kecil semacam ini.
“Itu aku sewakan. Jangan lupa
bayar kalau nanti pulang.” Mendengar ucapannya, aku geleng-geleng kepala sambil
tertawa. Aku tahu dia tidak sepelit itu.
**
Bagiku, hidup adalah perjalanan.
Perjalanan yang sudah selayaknya diisi dengan proses pengkayaan diri.
Pengkayaan hati. Pengkayaan nurani. Mudahnya, hidup adalah sebuah proses pembelajaran yang mengkayakan. Sebelumnya, fikiranku sederhana saja. Untuk mendapati lebih banyak, aku harus
melihat sudut-sudut bumi ini –meski ia tak memiliki sudut sekalipun. Hingga akhirnya
aku belajar dari sahabatku sendiri. Bahwa ternyata, perjalanan tidak serumit
kita menabung untuk menjelajahi dunia. Pun tidak sesederhana mengarungi
samudera dan mampir ke benua-benua dengan ber-backpacking ria. Perjalanan bukan tentang fisik semata. Kadang,
yang terlihat diam pun sejatinya tengah melakukan sebuah perjalanan panjang. Setiap
yang hidup melihat. Dan mereka yang melakukan perjalanan, akan melihat lebih
banyak.
Lalu di bawah hujan merah jambu,
Aku lantas menemukan perjalananmu.
No comments:
Post a Comment