Saturday, January 10, 2015

Hujan Merah Jambu

“Mau kemana?” tanyanya pelan.
“Pergi. Melihat lebih banyak.” Jawabku seadanya sambil menyungging senyum. Ia menyipitkan mata, menelisik isi tas ransel milikku.
“Haha kamu ini jalan-jalan terus. Gak takut jatuh miskin? Kita kan mahasiswa. Hidup di negeri orang pula.” Ujarnya sambil tertawa kecil, kemudian mendekap kepalaku dengan selimut tebal miliknya.
“Hehe, kan sudah kubilang. Aku jalan-jalan justru supaya jadi kaya.” Mendengar perkataanku, ia manggut-manggut sambil tersenyum. Aku bisa melihat senyum tulusnya itu dari balik selimut yang masih menutupi kepalaku. Kawanku yang satu itu memang menyenangkan.
“Oke oke. Kalau begitu kita mungkin punya cara kaya yang berbeda.” Ia angkat tangan. Aku menyahuti dengan tawa. Melepaskan balutan selimut di kepalaku.
“Oh jadi itu yang bikin kamu nggak pernah mau ikut jalan-jalan? Punya cara sendiri buat jadi kaya?” Ucapku dengan nada menuduh sambil kembali konsentrasi membenahi tas ransel.
“Tentu saja. Tapi kamu gak perlu tahu, kan?” ujarnya datar.
“Dasar pelit. Seperti biasa.” Aku mencibir lembut. Sahabatku itu hanya tersenyum menanggapi, kemudian ia keluar dari kamar.
“Hati-hati. Bawa ini.” Tak lama ia kembali datang, menyodoriku sebuah kotak kecil.
“Apa ini?” aku mengambil kotak jecil dari tangannya, kemudian kupandangi kotak itu lamat-lamat.
“Kompas. Biar kalau solat kamu gak asal-asalan lagi menghadapnya.” Perempuan yang lebih tinggi dariku beberapa senti itu berkata sambil menunjuk salah satu foto yang kupasang di dinding kamar. Foto perjalanan yang menjadi saksi kebiasaan buruk pasrahku: menentukan arah kiblat seenaknya, menggunakan insting.
“Haha, terimakasih banyaaak.” Aku menjabat kuat tangannya. Lagi, dia kembali membuatku takjub atas kejutan-kejutan kecil semacam ini.
“Itu aku sewakan. Jangan lupa bayar kalau nanti pulang.” Mendengar ucapannya, aku geleng-geleng kepala sambil tertawa. Aku tahu dia tidak sepelit itu.

**

Bagiku, hidup adalah perjalanan. Perjalanan yang sudah selayaknya diisi dengan proses pengkayaan diri. Pengkayaan hati. Pengkayaan nurani. Mudahnya, hidup adalah sebuah proses pembelajaran yang mengkayakan. Sebelumnya, fikiranku sederhana saja. Untuk mendapati lebih banyak, aku harus melihat sudut-sudut bumi ini –meski ia tak memiliki sudut sekalipun. Hingga akhirnya aku belajar dari sahabatku sendiri. Bahwa ternyata, perjalanan tidak serumit kita menabung untuk menjelajahi dunia. Pun tidak sesederhana mengarungi samudera dan mampir ke benua-benua dengan ber-backpacking ria. Perjalanan bukan tentang fisik semata. Kadang, yang terlihat diam pun sejatinya tengah melakukan sebuah perjalanan panjang. Setiap yang hidup melihat. Dan mereka yang melakukan perjalanan, akan melihat lebih banyak.



Lalu di bawah hujan merah jambu, 
Aku lantas menemukan perjalananmu.

No comments:

Post a Comment