“Jika kau katakan bahwa memilikiku adalah
sebuah perjuangan,
maka diperjuangkan olehmu, ialah perjuangan tersendiri bagiku.”
maka diperjuangkan olehmu, ialah perjuangan tersendiri bagiku.”
Profesi Paling Bergengsi
Hati perempuan itu tidak menentu.
Bagaimana bisa ia tidak menyadari adanya kehidupan baru yang hadir dalam
rahimnya sendiri? Usia kandungannya menginjak satu setengah bulan dengan
keadaan teramat lemah. Jika diukur dalam skala nol sampai sepuluh, mungkin angka harapan
hidupnya berada pada angka nol koma.
“Ini janinnya lemah sekali, Bu. Ini sih
karena Ibunya kelelahan. Kecapekan, ya?” Dokter Abdullah-lelaki setengah abad
itu, memberikan pernyataan sekaligus pertanyaan. Mendengarnya, diam-diam ibu
dua anak itu mengiyakan. Akhir-akhir ini, fisiknya memang tengah dalam
rutinitas yang padat. Ayahanda tercintanya tengah dirawat di rumah sakit. Maka
selain mengurus rumah bersama suami,
mendidik kedua anaknya, mengajar di sekolah, agenda hariannya bertambah lagi:
menemani sang ayah di rumah sakit. Pulang-pergi rumah-sekolah-rumah sakit
setiap hari, nyatanya cukup menguras energi. Meski tentu, pada akhirnya cinta
yang ia miliki menjadikan semua itu terasa indah.
Tapi ini bukan lagi soal lelah dunia.
Ini tentang hidup dan mati buah hatinya. Tentang harga diri seorang ibu di
hadapan Rabb-nya. Hari itu, ia ditemani suami dirujuk untuk menuju Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo yang berlokasi di Jakarta Pusat. Rupanya, kelengkapan alat di tempat praktik
Dokter Abdullah tidak cukup memadai. Betapa berkecamuk hatinya, ketika
dikabarkan bahwa saran dokter untuk kandungannya adalah dikiret, atau bahasa
lainnya, dikeluarkan dari rahim. Tentu bukan tanpa pertimbangan. Hal itu karena
kondisi janin yang sudah nyaris tidak ada harapan –jika tidak mau dikatakan
bahwa perempuan itu berada pada ambang keguguran dan tinggal menunggu waktunya
tiba.
Pada belahan bumi manapun,
seorang ibu selalu memiliki harapan baik akan anaknya. Berharap agar anaknya
baik-baik saja. Berharap agar anaknya menjadi manusia yang berhasil dalam
artian luas. Begitu juga dengan perempuan yang satu ini. Kalau bukan karena
harap dan keyakinannya, kalau bukan karena kepercayaan bahwa segala sesuatu
perlu diperjuangkan, tentu ia akan pasrah begitu saja menerima keadaan. Tapi
ternyata tidak. Tidak semudah itu melemahkan mental seorang perempuan. Tidak
semudah itu memupuskan harapan seorang ibu.
“Dok,
tolong anak saya jangan dikiret.”
“Tapi ini lemah sekali, Bu.” ujar sang dokter tidak yakin.
“Saya mau perjuangkan anak ini, Dok.”
Air matanya membasahi pipi. Dokter menghela nafas panjang. Tidak beberapa lama,
terjadi perundingan oleh tim dokter. Hei, siapa pula yang tega memutus
perjuangan seorang ibu?
“Ya sudah. Tapi
ibu harus bedrest selama dua minggu.
Tidak boleh kemana-mana. Tidak boleh beranjak dari kasur, termasuk untuk buang
air. Cukup aktifitasnya di atas kasur saja. Sanggup?”
“Sanggup. In
syaAllah.” Jawabnya mantap.
Di sanalah
perjuangan itu bermuara. Meski awalnya mendapat saran untuk dirawat, namun
perempuan itu berhasil meyakinkan tim dokter bahwa ia mampu melakukannya di
rumah. Bahkan disaat genting seperti itu, yang ada dalam benaknya adalah
tentang keseharian anak-anaknya. Juga bagaimana repot keluarganya, jika harus
bergantian menemaninya di rumah sakit padahal sang ayah baru saja pulang usai
dirawat. Terlebih, bagaimana repot suaminya, yang harus merawat dan meluangkan
waktu lebih banyak untuk mengurusi dirinya, ditambah mengurusi kedua anak
mereka. Ah, isi kepala seorang ibu selalu saja menakjubkan, bukan?
**
Satu minggu
dengan aktifitas di atas kasur terus-menerus adalah waktu yang lama. Pendarahan
yang ia alami (yang juga menjadi pemberi kabar bahwa ternyata ada kehidupan
baru dalam rahimnya) tidak kunjung berhenti. Hidup di atas kasur, meluruskan
kaki, dan tidak beranjak kemana-mana, sungguh amat menjenuhkan. Namun bosan
yang ada terhapus dengan buncah rasa dan semerbak harapan. Hingga pada
akhirnya, kesabaran itu berbuah hasil. Pendarahan yang ia alami terhenti pada
hari ke delapan. Dengan mengucap syukur, ia beserta suami kembali menuju rumah
sakit. Tidak peduli dengan waktu yang belum sampai dua minggu. Perempuan itu
sudah tidak sabar untuk mengetahui apa yang terjadi pada buah hatinya.
Mendapati
kehadiran mereka, sang dokter memberikan sambutan hangat. Setelah perempuan itu
dan suaminya mengutarakan apa yang telah terjadi, USG pun dilakukan.
“Alhamdulillah. Bagus ini Bu
janinnya!” seru dokter kandungan itu sambil tersenyum lebar. Mendengarnya,
perempuan itu tak henti mengucap syukur. Mungkin itu memang bukan keajaiban
pertama yang pernah ia dialami. Namun bagi siapapun, kabar baik selalu saja
menggembirakan.
Tapi ternyata
belum selesai. Bulan-bulan berikutnya dilalui dengan pendarahan yang tak
kunjung henti. Hingga usia kandungannya tujuh bulan, perempuan itu terus
mengalami pendarahan. Ditambah lagi, ia
diharuskan mengkonsumsi berbagai obat demi menunjang kehidupan si buah hati.
Angka enam ratus ribu rupiah per bulan tentu bukan sebuah nominal yang kecil,
terlebih di era 90an. Jika diperkirakan dengan nilai mata uang saat ini, itu
berarti sekitar enam juta per bulan. Maka
tak dapat dipungkiri, pasangan suami-istri yang sama-sama berprofesi sebagai
guru itu harus menuntaskan pembayaran obat setiap bulannya. Bersyukurlah si
janin dalam kandungan. Ia begitu diperjuangkan oleh kedua orangtuanya. Terlebih
ibunya.
**
Jika menjadi
seorang ibu adalah profesi, maka ia akan menjadi profesi paling bergengsi.
Penghargaan padanya tidak lagi bicara soal harga di bumi, melainkan mengetuk
dan menggetarkan pintu langit. Do’a-doanya menjelma serupa senjata bagi
kebaikan sang buah hati. Hadirnya menjadi pelipur lara, sementara senyumnya
menjelma motivasi tiada tara. Dekap hangatnya, ialah transfer energi yang
menghangatkan jiwa.
Perempuan itu diantar
dengan sepeda motor bersama kakak laki-lakinya dari tempat kerja. Teriring doa
dari keluarga dan rekan sejawat. Disusul suaminya yang segera bergegas
mengambil perlengkapan dan menuju bidan di Jakarta. Anak ketiganya lahir pada
hari Senin, 10 April 1995; pada hari dimana ia tetap pergi mengajar di sekolah
seperti biasa. Perjuangannya terbayarkan. Untai doanya terjawab. Anaknya lahir dengan normal dan
selamat. Tangis harunya pecah. Dengan segenap syukur dan
bahagia, ia dan suaminya menamai anak ketiga mereka Rizky Sahla Tasqiya –yang
rezekinya mudah mengalir.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti
kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada kedua orangtuamu dan hanya kepada-Kulah kembalimu.“ (QS Luqman: 14)
**
Pada suatu
hari, belasan tahun setelah peristiwa itu. Seorang ibu mengudarakan nasihat
sederhana untuk anak perempuannya.
“Ade semangat
ya. Dulu mama berjuang untuk punya ade. Sekarang, kita berjuang sama-sama.”
Anaknya
tertegun. Jika
kau katakan bahwa memilikiku adalah sebuah perjuangan, maka diperjuangkan
olehmu, ialah perjuangan tersendiri bagiku (Rizky Sahla Tasqiya).
***
***
Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di websitehttp://nulisbarengibu.com