Wednesday, November 18, 2020

Langkah

 Pembacaku yang baik,
kamu pernah menasihatiku pada suatu hari.

Masih ingat?


Kamu bilang, kadang kita butuh jeda.
Sebab seperti susunan kata, ia akan sulit bermakna jika tak ada jarak.

Ya, serupa jarak pada kata, jeda pun demikian.


Jeda, artinya kita berhenti sejenak.
Kita melihat ke belakang sebentar,
kemudian kembali melihat ke depan.

Bukan apa-apa, hanya saja untuk memastikan,

Apakah langkah kaki kita masih mengarah pada satu tujuan?
Apakah napas kita masih berembus pada ruangan yang tepat?


Begitulah.
Kadang kita terlalu keras,
juga kadang terlalu lunak.

Padahal seperti yang kamu bilang,
kita semua barangkali butuh jeda.

Sebab kita manusia.


Pembacaku yang baik.
terima kasih.

Mari melaju lagi!
Semangat.

Semoga langitmu semakin menyenangkan. :)



Ditulis ketika hujan,
Riz.

Saturday, October 17, 2020

Tiga Tahun Terakhir: Memberi Respons dan Menentukan Prioritas

Baiklah, ini adalah cerita santai kedua yang tertunda lama sekali. Sebenarnya saya sudah mulai menulis ini di jurnal pribadi sejak tanggal 25 Juli 2020 lalu, hanya saja memang baru dipublikasikan di sini. Jadi yuk kita cerita-cerita lagi! :)

Saya nyaris selalu ingat penggalan tausiyah dari salah seorang guru di mimbar masjid sekolah. Tausiyah singkat itu bercerita tentang manusia dan problematikanya. Ya, setiap manusia boleh jadi punya masalah. Tapi masalah itu berbeda-beda sesuai dengan kapasitas dari si manusia. Guru saya saat itu menyebutkan nama Pak Habibie. Sekelas Pak Habibie pun pasti punya masalah, tapi masalah beliau agaknya bukan lagi seputar tersinggung oleh omongan orang, bukan lagi urusan salah paham dengan teman sekelas. Kalaupun iya itu masalah, tapi bukan masalah yang menjadi prioritasnya. Ada masalah yang jauh lebih "penting" untuk dipikirkan dan dicari solusi. Yup, katakanlah lebih urgent.

Sampai di sini terbaca kah arah cerita santai kita?

Tanpa sadar, boleh jadi selama ini kita telah banyak buang-buang waktu untuk sesuatu yang kita anggap masalah padahal nyatanya tidak. Kebiasaan kita yang mengutuk kondisi macet, kebiasaan kita yang mengeluh atas hari yang tiba-tiba hujan hingga jalanan menjadi becek, juga kebiasaan kita menanggapi komentar negatif dari orang lain yang sifatnya nyinyir. Itu adalah beberapa contoh dari betapa buang-buang waktunya diri kita.

Apa yang saya pelajari di tiga tahun terakhir, salah satunya adalah tentang ini. Tentang memberi respons dan menentukan prioritas. Bagaimana merespons perilaku orang lain yang tidak sesuai harapan kita? Bagaimana merespons perkataan orang lain yang terdengar menyakitkan? Bagaimana merespons ketidaksukaan orang lain pada diri kita?

Hmm... pertanyaannya, apakah kita memang harus merespons? sepenting apa omongan orang lain untuk kehidupan kita? Mengapa kita kadang dibuat terlalu sibuk pada hal-hal yang mengusik diri, hingga lupa pada hal-hal yang sebenarnya telah memberi kenyamanan di hati?  

Guru saya yang lain, berkali-kali menasihati. Jika kita dihina atau direndahkan, itu bukan berarti kita hina atau benar-benar rendah. Perkataan orang lain sama sekali tidak mendefinisikan diri kita yang sebenarnya. Kitalah yang lebih tahu kualitas diri kita. Tapi, pada kesempatan yang lain, beliau juga berkali-kali menyentil diri. Jika kita dicibir buruk, tidak perlu marah sebab keburukan kita yang asli boleh jadi lebih banyak, hanya saja ia tidak mengetahuinya. Bukankah Allah Mahabaik sebab Dia menutupi aib-aib kita?

Hal yang ingin saya sampaikan di sini, adalah tentang memberi respons dan menentukan prioritas. Waktu kita sedemikian terbatas. Harusnya, kita bisa dengan apik memilih mana hal yang perlu kita respons, persoalan apa yang harus kita seriusi, hal-hal apa saja yang menjadi prioritas kita. Alih-alih mengurusi perasaan, pikiran, atau tindakan orang lain yang berada di luar kontrol kita, akan lebih baik jika kita mengurusi diri sendiri. Ialah itu tentang cara kita menanggapi segala sesuatu yang terjadi.

Mungkin kita tidak asing mendengar atau membaca petuah bahwa ujian seseorang sesuai dengan level dan kapasitas dirinya. Barangkali sudah saatnya kita naik level, bukan? Tidak lagi meletakkan pikiran dan perasaan orang lain sebagai masalah, tapi lebih memprioritaskan pikiran dan perasaan kita sendiri.

Lalu apakah kita harus menutup telinga kita? tentu saja tidak. Bukankah salah satu tanda kebaikan hati manusia terletak pada kelapangannya menerima nasihat? Bukankah salah satu tanda kearifan hidup adalah mengambil hikmah dari apa-apa yang terjadi di sekitar kita? Artinya, kita perlu mendengarkan. Kita juga perlu introspeksi serta memperbaiki diri. Namun tentu, sekali lagi, tentukan prioritas. Bergeraklah secara proporsional.


Daripada mengutuk kemacetan, kita bisa memilih untuk mengisi waktu dengan membaca. Daripada menghabiskan waktu untuk mencari tahu mengapa seseorang membenci, kita bisa memilih untuk memperbaiki diri. Daripada mengungkit-ungkit sumber masalah, kita bisa mulai mencari dan menentukan solusi.

Tapi itu semua tidak menjadikan kita buta, bisu, atau tuli. Kita tetap bisa memberi kritik yang membangun terkait kemacetan. Kita tetap bisa belajar tentang berbagai macam watak manusia. Kita juga tetap bisa melakukan evaluasi supaya kesalahan hari kemarin tidak terulang di kemudian hari.

Tetaplah berprasangka baik, tetaplah merasa yang baik-baik, tetaplah menjadi orang baik. Mohon pertolongan pada yang Mahabaik. InsyaAllah, tidak ada itikad baik yang sia-sia di sisi-Nya.


Diselesaikan di Tangerang,

pada 17 Oktober 2020

Thursday, September 17, 2020

Jika Kita adalah Langit dan Laut Menjadi Cerminnya

Jika kita adalah langit dan laut menjadi cerminnya

Kadang kita merona jingga

Kadang kita pilu membiru

Kadang kita merah membara

Kadang kita sendu kelabu

Dan laut menjadi cerminnya. :)



Ditulis di Tangerang,
pada 16 Juni 2020

Wednesday, September 16, 2020

Memaafkan Lebih dari Titik Nol

Jika kita disakiti atau dikecewakan oleh seseorang, apakah kita bisa sungguh-sungguh bersikap netral kepadanya? Secara manusiawi, tentu tak mudah. Kita terlalu sulit untuk tidak peduli atas segala sesuatu yang mengusik diri. Bersikap netral berarti ada di tengah-tengah, dan kita tahu bahwa menjaga keseimbangan tidak lebih mudah daripada condong ke salah satunya.

Sadar atau tidak, kita punya kecenderungan untuk lebih condong pada perasaan negatif terhadap orang yang telah menyakiti. Sebagian diri kita boleh jadi sebenarnya sadar, hanya mungkin terlalu enggan untuk mengakui. Lalu dengan manisnya, kita berkata pada diri sendiri dan orang lain, “Aku sudah maafin dia, kok. Sudah gak apa-apa, biasa aja.”

Hei, yakinkah kita, bahwa ketika mengatakan kalimat semacam itu, kita benar-benar telah memaafkannya?

Yah, sebenarnya (berusaha) mengambil posisi di tengah-tengah seperti itu tidak ada salahnya, sih. Tapi bersikap netral sama sekali tidak mudah bagi manusia yang secara fitrah memiliki rasa. Lalu apa akibatnya jika dipaksa? Bisa dipastikan, pada akhirnya kita akan merasa lelah. Apalagi kalau kita berusaha mati-matian untuk membohongi diri sendiri, mencekoki nurani dengan dusta yang halus sekali.

Pernah main jungkat-jungkit? Saya pernah, dulu ketika masih kecil. Saya biasa bermain jungkat-jungkit berdua dengan sepupu. Kami main di halaman belakang masjid, atau di TK tempat Mama mengajar. Saya ingat betapa sulitnya jika kami berdua sama-sama ingin berada di atas udara. Tentu tidak mudah, kalau tak mau dikatakan sama sekali tidak bisa. Pernah sesekali saya coba berdiri sendirian di tengah-tengah titik tumpu, mengandalkan kedua kaki kanan dan kiri sebagai kontrol. Rasanya penasaran ingin coba untuk menyeimbangkan mainan legendaris itu. Memang ternyata bisa, sih. Tapi lama-lama capek juga.

“Tapi lama-lama capek juga.” Nah, inilah analoginya ketika kita memaksakan diri berada di tengah-tengah pada titik nol. Mungkin kita bisa melakukannya beberapa saat, namun pada akhirnya kita akan merasa lelah. Sebab secara nurani, boleh jadi sebenarnya kita memang tidak bisa netral. Akan ada kecenderungan ke salah satu sisi, entah positif atau negatif. Meski entah seberapa besar persentasenya. Hei, lalu apa kaitannya dengan memaafkan?

Yah, ternyata memaafkan melampaui kondisi hati yang netral. Ia tidak berada di titik nol. Mari sedikit mengingat-ingat cerita tentang sosok yang merupakan kecintaan kita semua, Rasulullah . Beliau adalah kekasih Allah, dan hidupnya di dunia telah dijamin berujung syurga. Tapi apakah itu berarti Nabi Muhammad tidak pernah dizalimi? Apakah itu berarti beliau tidak pernah merasa sedih dan dibuat kecewa? Ternyata jawabannya tidak.

Kesedihan beliau tergambar jelas saat terjadinya peristiwa di Thaif.

Saat itu tahun ke-10 kenabian. Rasulullah ﷺ pergi dari Makkah menuju Thaif dengan berjalan kaki, ditemani oleh anak angkatnya, Zaid bin Haritsah. beliau hendak menyampaikan keindahan ajaran Islam di daerah yang terkenal subur tersebut. Tahu apa yang terjadi selanjutnya? Penduduk Thaif tidak memercayai sama sekali. Bahkan selama tinggal di sana sepuluh hari, Rasulullah tak memperoleh penerimaan yang baik. Beliau diusir dan ditumpahi caci-maki.

Hei, siapa yang sampai hati berbuat seperti itu pada manusia paling mulia? Orang macam apa yang tega melakukannya? Ingatkah kita, ternyata mereka melakukannya beramai-ramai. Benar, bukan hanya satu atau dua orang. Penduduk Thaif beserta budak-budak mereka berkumpul, dan mengusir Nabi bersama-sama, sambil melempari beliau dengan batu. Bahkan kedua sandal laki-laki mulia itu pun sampai tampak bersimbah darah.

Coba sejenak bayangkan. Betapa menyakitkannya ketika kita menyayangi seseorang, menginginkan kebaikan untuknya, namun upaya yang kita lakukan justru ditolak dengan cara yang sangat kasar? Bahkan bukannya menerima, ia justru menuduh kita berbohong dan hendak melakukan hal buruk padanya. Tidakkah itu cukup menjadi alasan bagi kita untuk mengubah cinta dan harap yang semula ada, menjadi pupus dan menghadirkan rasa benci saja?

Nah, sekarang coba kembali ingat kisah Nabi Muhammad . Kita semua tahu betapa Rasulullah sangat mencintai umatnya. Beliau begitu ingin supaya keindahan ajaran Islam meluas ke penjuru bumi, termasuk sampai pada penduduk Thaif. Tapi apa yang beliau terima? Tak lebih dari umpatan dan cacian. Lantas apakah itu menjadikan Rasulullah menaruh dendam dan benci? Apakah Rasulullah mengamini tawaran malaikat penjaga gunung yang dikirim Allah untuk menyanggupi jika beliau ingin supaya penduduk Thaif dihukum? Apakah Rasulullah menghendaki azab diturunkan kepada mereka? Ternyata tidak.

Beliau tidak melakukannya. Duh, sampai di sini saja saya dibuat haru akan indahnya akhlak beliau. Padahal beliau adalah kekasih Allah. Toh mengaminkan tawaran malaikat penjaga gunung untuk meratakan penduduk Thaif dengan gunung al-Akhasyabain juga bukan merupakan dosa bagi beliau. Tapi Nabi Muhammad sama sekali tidak melakukannya. Jangankan dendam atau benci, mengacuhkannya saja beliau tidak. Laki-laki mulia itu memaafkan penduduk Thaif, memaafkan dengan melampaui titik nol. Mari kita simak jawaban beliau pada malaikat penjaga gunung.

“Bahkan aku berharap kelak Allah memunculkan dari tulang punggung mereka suatu kaum yang menyembah Allah semata, dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun.”

See? Jawaban macam apakah yang keluar dari Nabiyullah kita tercinta? Sesuatu yang boleh jadi terdengar asing di telinga kita hari ini. Beliau justru mendoakan penduduk Thaif, supaya anak keturunan mereka menjadi penyembah Allah yang taat. Bayangkan ketika kita dikecewakan, dikhianati, dizalimi, tapi kita memilih untuk tidak membenci, tidak pula mengacuhkannya seolah-olah tak pernah hadir. Sebaliknya, kita memilih untuk mendoakannya dengan penuh kasih, “Ya Allah, mudahkanlah segala urusannya, jadikan keturunannya kelak menjadi hamba yang taat seutuhnya kepada Engkau.” Ya, itulah memaafkan yang dicontohkan oleh Rasul . Tidak hanya sampai “let it go,” tapi sampai pada level “wish them all the best”.

Maka, jika hari ini masih ada dari kita yang terbesit dalam kepala, “Gak apa-apa, aku sudah maafin dia. Nanti juga dia akan dapat balasannya, kok.” atau “Tuh kan dia jadi begitu, habisnya dulu ngezalimin orang sih.” Dear, semoga kita lekas sadar dan terselamatkan. Sadar bahwa kita adalah bagian dari umat Nabi Muhammad , yang sudah selayaknya meneladani beliau. Kita bisa memilih untuk mendoakan kebaikan-kebaikan sebagaimana Rasul telah mencontohkan. Kemudian, semoga kita selamat dari ujian memaafkan. Tidakkah cinta selalu membutuhkan pembuktian? Ketika kita mengaku cinta pada Dia, bukankah sudah selayaknya kita memberi bukti dengan meniru perangai kekasih-Nya supaya kita juga ikut dicinta?

Yuk, memaafkan lebih dari titik nol. Bukan apa-apa, sebab ia jauh lebih menenteramkan hati dan menghadirkan bahagia. Sebab itulah yang dicontohkan oleh suri tauladan kita tercinta.



Catatan

Memaafkan bukan berarti melupakan. Memaafkan adalah ketika kita ingat, dan kita baik-baik saja ketika mengingatnya, bahkan kita bisa mengambil hikmah darinya. Rasulullah pernah ditanya oleh Ibunda Aisyah, “Apakah engkau pernah menghadapi suatu hari yang lebih berat daripada perang Uhud?” kemudian beliau pun menjawab, bahwa peristiwa di Thaif dan perlakuan penduduknya adalah yang paling berat yang pernah beliau alami. Begitulah, Nabi Muhammad tidak lupa, tapi beliau tulus memaafkan.

“Wahai Zaid, sesungguhnya Allah akan memberi kemudahan dan jalan keluar…” begitu ucap beliau kepada Zaid, ketika keduanya hendak pulang dari Thaif menuju Makkah.

Keimanan yang paling indah, adalah yang dimiliki oleh dirinya, laki-laki paling keren yang pernah ada—Nabi Muhammad ﷺ.

 

Ditulis di Tangerang,

Pada 16 September 2020

2.12 am

Sunday, June 28, 2020

Apakah Memaafkan berarti Melupakan?

Suatu sore, dua orang saudara tengah berbincang di bawah rindang pohon kantin sekolah. Iya, ini cerita fiksi jadi tidak ada physical distancing. Sebut saja namanya Raza dan Azhar. Bukan, mereka berdua bukan pelajar melainkan seorang pelatih basket dan saudara kembarnya.

"Bang Az ngapain ke sini?" ujar Raza sambil menyodorkan segelas teh manis pada Azhar.

"Mama nyuruh ngecek kamu, abis gak pulang-pulang terus susah dihubungin," jawab Azhar, menyambut sodoran teh dari tangan adik kembarnya.

"Yaa Allah, bener-bener ya. Padahal anaknya udah segede ini," Raza geleng kepala, Azhar tertawa, "Malu sama murid-murid gua ini," lanjut Raza lagi.

"Haha, kayak nggak tau Mama aja. Kenapa gak bisa dihubungin, Za?"

"Gua belom sempet ngisi baterai, tuh mati," dikeluarkan olehnya gawai dari dalam tas, menunjukkan layarnya yang hitam tak menyala.

"Yaudah jangan lama-lama lah, kok tumben sampai sesore ini?"

"Tadi emang sengaja gua mundurin sih, Bang. Soalnya pas siang panas banget asli! walaupun latihan indoor, tapi ga kuat juga. Kasian anak-anak."

"Ooh, ini tapi udah mau selesai?"

"Iye, dikit lagi selesai, udah gak perlu diawasin lagi. Nanti jam setengah enam bubar mereka. Kenapa sih lu? tumben," Raza meneilsik kakak kembarnya. Tidak biasanya Azhar sedetail ini bertanya soal kegiatannya.

"Kangen lah, haha," goda Azhar sambil tertawa kecil.

"Halah bilang aja Bang, ada apaan? susah lu mau boong sama gua," Raza menepuk pelan pundak Azhar.

"Hmm," Azhar bergumam kecil, lantas melanjutkan, "Za, masih ingat sama Om Andre gak?"

"Hah, siapa?"

"Om Andre, yang dulu pernah ke rumah," Azhar bergumam pelan.

"Ooh, mantan calon bapak tiri kita yang ngedeketin Mama cuma gara-gara ngincer harta itu? ya inget lah Bang, gila aja, masa gua lupa," jawab Raza santai.

"Kamu ya Za, masih aja begini. Blak-blakan banget," Azhar menahan tawa.

"Haha ya tapi bener kan? kenapa emangnya?"

"Ternyata Om Andre yang itu, ayahnya Rasinta, Za."

"Hah? Rasinta calon lu Bang?"

"Iya," Azhar menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Yaa Allah Baang, terus emangnya kenapa? kan elu mau nikahin anaknya bukan bapaknya. Lagian itu kejadian udah lama banget, udah belasan tahun. Emangnya belum tobat juga itu om-om?"

"Nggak, Za, bukan gitu. Malah kemarin pas ketemu, Om Andre masih inget banget sama Abang. Beliau bahkan minta maaf berkali-kali. Katanya habis kejadian waktu itu, Om Andre pelan-pelan berubah, belajar agama, sampai akhirnya dijodohin sama istrinya yang sekarang, ibunya Ras. Rasinta juga kaget ternyata Abang sama Om Andre udah kenal. Heran, padahal dulu kita masih kecil ya Za, tapi Abang kebayang-bayang terus mukanya Om Andre. Walaupun tau itu udah masa lalu dan Om Andre udah berubah, kayanya susah deh, Za..."

"Bang, lu belom maafin Om Andre?"

"Udah, Za. Abang udah maafin kok beneran. Malah sebenarnya udah berusaha banget ngelupain kejadian yang dulu-dulu. Tapi minggu lalu pas ketemu lagi, mendadak pusing. Tiba-tiba ingat gimana dulu Mama dimaki-maki seenaknya di depan kita," kali ini Azhar mengusap mukanya pelan.

"Ah elu, Bang. Itu namanya belum maafin. Kalo kata guru agama di sini nih, kata Pak Hasan, itu namanya elu belum ridho. Belum bener-bener maafin kejadian yang udah lewat, belum bener-bener ngelepas masa lalu. Capek lu nanti kalau terus-terusan begitu, apalagi kalau bener jadi bapak mertua," Raza berujar sambil bangkit dari duduk sembari merapikan bajunya yang agak berantakan.

"Tumben Za, ngomongnya bener," Azhar terkekeh demi mendengar petuah adiknya, berusaha menyembunyikan badai pikiran dalam kepala.

"Serius gua. Itu namanya lu belum maafin. Maafin lah, Bang. Udah yang lalu udah berlalu."

"Hm," Azhar hanya menjawab dengan gumaman kecil.

"Lu tapi udah cerita belom ke Mama?"

"Udah."

"Terus?"

"Mama malah ternyata udah tau dari lama. Soalnya istrinya Om Andre ini juga kenalan mama di komunitas. Tapi Mama sengaja ga bilang ke Abang pas Abang ngajuin nama Rasinta."

"Nah kan cakeep. Yaudah itu mah masalahnya tinggal di elu. Dah ah, orang mo nikah ujiannya banyak, Bang. Jangan lu tambah-tambahin sendiri," lagi, Raza menepuk pundak Azhar pelan, "Gua pamit dulu ya sama anak-anak. Lu pulang duluan aja gapapa. Ntar kalo mau ngobrol lagi lanjut dah di rumah."

"Ya," timpal Azhar singkat.

***

Petang itu, Azhar terjebak dalam renungannya sendiri. Teh manis dari Raza masih utuh, belum tersentuh sama sekali. Memang benar apa kata Raza. Memaafkan sungguh tidak selalu berarti melupakan. Memaafkan adalah ketika kita bisa teringat akan suatu hal, kejadian, atau seseorang, dengan kondisi hati yang baik-baik saja. Memaafkan adalah ketika kita bisa mengingatnya dengan segenap ketenangan sebab ia tak lagi menyisakan luka, melainkan sebuah pelajaran yang berharga.


Lagipula ini bukan hanya soal Om Andre, tapi ini juga soal Rasinta-nya, kan?




Ditulis di Tangerang,
pada 28 Juni 2020 pukul 19.10 WIB

Tiga Tahun Terakhir: Tentang Memaafkan

Cerita santai yang pertama adalah tentang memaafkan. Yup, memaafkan. Sesuatu yang terdengar mudah dan tak asing di telinga, sebab setidaknya setahun sekali masyarakat kita terbiasa saling mengirim pesan permohonan maaf; mohon maaf lahir dan batin. Saya percaya memaafkan itu sangat penting, lagipula toh Allah yang kita sembah Maha Pemaaf. Apalah diri yang jauh dari sempurna, tempatnya salah dan dosa pula, tentu tak punya tempat untuk sombong nan angkuh. Apalagi kalau kita telah memegang prinsip bahwa apa yang terjadi adalah yang terbaik, al-khair khairutullah, tentu persoalan memaafkan akan jauh lebih mudah.

Ya, saling memaafkan telah jadi nasihat lama dari orang tua kita. Tapi kadang kita luput dari memaafkan dua hal. Pertama, memaafkan keadaan. Kedua, memaafkan diri sendiri. Memaafkan keadaan sebenarnya dekat sekali dengan konsep ridho atas apa yang telah Allah takdirkan. Kita tidak akan pernah tenang jika terus-menerus mengutuk keadaan yang berada di luar kendali kita. Di sisi lain, beberapa manusia terjebak pada masa lalu atas kesalahan yang ia perbuat. Taubat tentu membutuhkan penyesalan, sebab saat itu kita tengah memohon maaf pada Rabb yang paling tahu segala sesuatu. Tapi di sisi lain, jiwa kita juga butuh untuk dimaafkan oleh sosok yang paling dekat selain Rabb-Nya; diri kita sendiri.

Memaafkan akan memberi kita kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik, dan tidak berhenti di satu titik. Dengan memaafkan, kita bukan hanya meringankan orang lain, tapi juga menyelamatkan diri sendiri. Pelajaran di tiga tahun terakhir memberi saya pandangan baru yang lebih komprehensif tentang memaafkan.

Istilah Forgiveness Therapy saya dapatkan dari Pak Asep yang seorang psikolog. Saya pertama kali berjumpa dengan beliau di sebuah workshop bertajuk Family Therapy. Hal yang paling saya ingat dari Pak Asep adalah tentang konsep memaafkan ini. Beliau pernah mengatakan, bahwa tubuh kita tidak akan pernah bisa berbohong. Reaksi yang muncul tidak lain menggambarkan kondisi kita yang sebenarnya. Jika saja dada kita masih terasa sesak, pundak kita masih terasa berat ketika mengingat sesuatu/seseorang, boleh jadi sebenarnya kita belum memaafkan sesuatu/seseorang tersebut.

Saya jadi mengilhami bahwa ternyata memaafkan butuh perjuangan. Sebab tak cukup hanya dari lisan saja, tapi membutuhkan usaha ekstra hingga hati benar-benar lapang. Ada banyak tipuan yang kita lakukan pada diri sendiri, mendoktrin diri bahwa "aku sudah memaafkan, kok". Tapi pada kenyataannya ternyata belum. Sebab kita masih menggebu, sebab intonasi suara kita masih sedemikian keras, sebab hati kita masih panas, dada kita masih terasa sesak, sebab air mata kita masih mendesak keluar. Memaafkan butuh perjuangan, dan sungguh itu tak apa-apa.

"Sepertinya aku belum berhasil memaafkan, tapi aku sedang berusaha melakukannya," ini terdengar jauh lebih baik.


Mengapa memaafkan menjadi penting? tidak lain adalah untuk diri sendiri. Jiwa yang tidak memafkan, baik sadar atau tidak, hanya akan menjadi motor dengan kekecewaan dan amarah sebagai bahan bakarnya. Kita mungkin akan mendapat apa yang kita targetkan, segala macam rencana yang kita canangkan, tapi ketenangan dan kebahagiaan hati takkan pernah bisa dimanipulasi. Setidaknya di hadapan diri kita sendiri.

Saya pernah mendapat cerita tentang seorang perempuan yang terjebak dalam hal ini. Ia marah pada ayahnya, belum bisa memaafkan apa yang sang ayah lakukan di masa lalu. Ayahnya suka memukul dan membentak, bahkan menyakiti si ibu di hadapannya. Ia kecewa dan marah. Hingga pada saatnya ia menikah dengan seseorang yang ia cintai. Aneh, tapi dia seringkali menangis tiap menghadapi sang suami, padahal ia aku bahwa suaminya baik luar biasa. Hingga si perempuan ini merasa heran, sebab entah bagaimana ia kerap takut dan marah pada suaminya sendiri. Ternyata, ada bayang-bayang sang ayah pada diri suaminya. Ada semacam gerak tangan suaminya yang mirip sekali dengan si ayah, yang membuat ia menangis tanpa terkendali. Ia sungguh masih menyimpan marah pada ayahnya, dan tanpa sadar hal itu menjadi bahaya bagi kehidupan rumah tangganya sendiri. Jadi bagaimana akhir ceritanya? bisa ditebak, ia belajar memaafkan masa lalu, belajar memaafkan ayahnya. Mudah? tentu saja tidak. Tapi perlahan bayang-bayang itu berkurang seiring waktu.

Allah Mahabaik. Dalam tiga tahun terakhir, selain ilmu dan teori yang saya dapat dari kelas, Allah berikan pula sarana untuk mengaplikasikan ini di beberapa kesempatan. Setelah trial and error serta proses jatuh-bangun hhe, ternyata ada rumus mudah untuk memaafkan orang lain. Apa itu? mendoakannya.

Ya, mendoakannya. Ini berlaku untuk siapapun, bahkan untuk seseorang yang telah tiada di dunia (sebab tidak sedikit orang yang belum memaafkan orang yang telah berpulang). Saya percaya bahwa doa adalah ekspresi paling tulus, sebab hanya diri dan Tuhan saja yang tahu. Ketika kita mendoakan seseorang yang kita rasa menyakiti atau mungkin menzalimi kita, saat itu pula kita mengangkat urusan kita pada Allah, menyerahkannya pada yang Mahakuasa. Bukankah baik diri kita maupun dirinya adalah makhluk ciptaan Allah yang masing-masing hatinya dibolak-balik oleh Allah?

Kalau kamu adalah pejuang memaafkan, cobalah mendoakannya. Doakan apa saja, doakan kebaikan-kebaikan untuknya. Doakan hatinya, doakan semoga dirimu dan dirinya mendapat hidayah. Doakan segala sesuatu, anggap saja di hadapan Allah kamu sedang merayu. "Yaa Allah, padanya yang kurasa menyakitiku, aku mendoakannya. Sungguh aku tidak mengharapkan apa-apa selain kasih sayang-Mu saja."

Sama halnya ketika kita berjuang memaafkan diri sendiri. Kadang ini justru sulit sekali dilakukan, sebab mata kita memang tercipta untuk melihat segala sesuatu di luar, bukan melihat diri sendiri. Di sisi lain, mata hati kita yang harusnya bisa memaknai lebih baik, jutsru seringnya lupa kita berdayakan untuk melihat diri sendiri.

Maka lihatlah, sampai hari ini, ada berapa banyak kebohongan kita pada diri sendiri? ada berapa banyak kesia-siaan yang kita lakukan hingga merugikan diri sendiri? apa kabar pula ragam penyakit hati yang kita cekoki hingga tanpa sadar menggerogoti diri kita sebagai pribadi? seberapa sering kata-kata cemooh tanpa sadar kita layangkan pada diri kita sendiri?

Sayang, cobalah sekali-sekali bercengkrama dengan diri sendiri. Izinkan ia punya sahabat baik, yaitu dirimu sendiri. Berterima kasihlah, maafkanlah, ajaklah ia berjuang sama-sama.


***

Pelajaran tentang memaafkan ini sungguh skill luar biasa. Sebenarnya, kalau saja kita mau belajar dari sejarah, sosok Nabi Muhammad Saw. telah menjadi sebaik-baik teladan dalam hal apapun termasuk dalam hal memaafkan. Jiwa beliau begitu besar, prioritas hidupnya jelas, sampai-sampai tak ada ruang dalam hatinya untuk menyimpan marah apalagi dendam. Serius. Coba tengok kisah beliau dengan penduduk Thaif yang melemparinya dengan batu tapi dibalas dengan doa. Tengok pula kisah beliau menghadapi petinggi kaum kafir Quraisy yang menyiksanya, bahkan hendak membunuhnya, tapi Rasul tetap berbuat baik. Apa yang menggerakkan dirinya sungguh bukan amarah, melainkan bentuk tanggung jawab atas tugas kenabian yang diembankan pada beliau. Lihat betapa Nabi Muhammad Saw. memuliakan orang-orang itu, provokator penyikasanya itu, ketika mereka pada akhirnya masuk Islam. Tak tanggung-tanggung, beberapa di antaranya bahkan diberi posisi terbaik. Harusnya jika kita mau, kita bisa meneladani beliau dengan memaknai bahwa tugas kita di dunia tidak lain adalah sebagai seorang hamba. Kita terlalu sibuk belajar menjadi hamba yang senantiasa bersabar dan bersyukur, sampai-sampai tak ada ruang bagi kita untuk tak memaafkan. Semoga kita bisa, ya. Semangat!

Begitulah memaafkan. Sekilas seperti upaya berbuat baik pada orang lain sebab kita telah memaafkannya. Padahal faktanya, memaafkan adalah perbuatan baik pada diri sendiri. Izinkan saya meminjam tagline buku Forgiveness Therapy karya Pak Asep, "Maafkanlah, niscaya dadamu lapang."


Buku Forgiveness Therapy

Daftar Isi Buku FT

Baik, cerita santainya sampai di sini dulu. Panjang sekali jika kita mau menjabarkan semua hal tentang memaafkan. Kalau kamu mau versi lengkap, bisa baca buku Forgiveness Therapy yang membahas tentang seluk-beluk memaafkan. 
Bagi kamu yang sedang berjuang memaafkan, percayalah, tidak ada sesuatu pun yang sia-sia. Semoga setiap inci usaha nan ikhtiarmu itu berbuah pahala di sisi Allah. Semoga Allah menghadiahkan kebaikan-kebaikan atas kesabaran dan jerih payahmu.

Salam hangat dari jauh, siapapun kamu. :)


Ditulis di Tangerang,
28 Juni 2020

Thursday, June 25, 2020

Tiga Tahun Terakhir: Ta'aruf dengan Diri Sendiri

Mari kita cerita kilas balik, setelah sekian lama tidak melakukannya di sini. Belakangan di masa pandemi, agaknya tidak sedikit orang yang melakukan kilas balik atas perjalanan hidupnya. Yah, setidaknya saya menjumpai beberapa teman dan public figure yang tahu-tahu membagikan entah itu dokumentasi atau tulisan yang berbau memori. Barangkali memang, waktu yang biasa kita habiskan di jalan, di tengah macet, di keramaian, entah seberapa persen ada yang teralih pada kegiatan ini: kilas balik.

Tiga tahun terakhir, saya mendapat deret pelajaran yang pada hari ini saya temukan benang merahnya. Inti dari semuanya adalah tentang pentingnya mengenal diri sendiri. Klise sih ya, kayaknya anak-anak belasan tahun yang baru naik kelas kemarin pun sudah biasa mendengar kalimat ini; "kenalilah dirimu sendiri". Tapi di sini saya ingin cerita sedikit, tentang proses ta'aruf dengan diri sendiri yang ternyata sungguh tidak semudah kedengarannya.


Kata orang, semakin kita banyak tahu, semakin tahu bahwa diri kita tidak tahu banyak (nah pusing nggak? hha). Yah begitulah, dan saya pikir itu benar adanya. Ada banyak hal yang saya alami di tiga tahun terakhir. Kesemua pengalaman itu mengantarkan saya setidaknya pada tiga hal ini (dengan mengenal diri sendiri sebagai puncak utamanya):

1. Memaafkan
2. Memberi respons dan menentukan prioritas
3. Mengenali diri sendiri

Setelah saya pikir-pikir sekarang, bangku kuliah seperti sebuah ilmu pengantar. Dengannya saya jadi punya bekal tentang teori dasar, melihat fenomena secara makro, dan tahu akan risiko serta tantangan apa saja yang mungkin dialami. Oh iya, saya kuliah di IPB, departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), kemudian lanjut ke Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak (IKA) silakan cek di sini kalau mau tahu lebih dalam.

Bersyukur sekali bahwa di bangku kuliah, saya belajar tentang keluarga. Karena biar bagaimana pun, setiap kita dilahirkan dan jadi bagian dari sebuah keluarga. Siapapun, sebenarnya membutuhkan ilmu ini (minimal ilmu-ilmu yang sifatnya aplikatif). Bangku kuliah memberikan landasan keilmuan bagi saya, sehingga apa yang saya dapat di kemudian hari lebih mudah diproses, sebab ada prior knowledge dari guru-guru kami sebelumnya. Bangku kuliah secara gamblang menjadi perantara bagi saya menapaki kelas-kelas berikutnya dengan ruang lingkup yang lebih personal dan lebih privat dalam diri manusia.

Alhamdulillah Allah beri kesempatan saya mengikuti beberapa kelas lain sembari menyelesaikan studi. Sebagian gratis, sebagian lagi berbayar, dan sebagian yang lain dibayari oleh orang-orang baik (terima kasih tulus, semoga Allah balas dengan kebaikan yang berlipat). Menarik sekali, sebab ternyata apa yang saya pelajari benar-benar saya rasakan sangat bermanfaat. Pertama dan utama, khususnya untuk diri sendiri. Iya, lebih banyak disimpan sendiri atau kalau ada yang bertanya saja. Bagi saya, pelajaran ini terlalu sensitif, apalagi saya juga belum bisa mengaplikasikannya secara utuh dan sifatnya yang sangat personal. Rasanya berbeda sekali ketika harus menyampaikan ilmu eksakta dibandingkan dengan menyampaikan ilmu seperti ini. Iya, lebih banyak takutnya, hhe.

Namun beberapa waktu lalu, kuliah bersama Ust. Budi Ashari dalam reuni keluarga Akademi Qur'an Al Fatih jelas menampar saya. Beliau katakan bahwa tingkatan orang berkaitan dengan ilmu dan amalnya ada tiga. Pertama adalah naqiyyah. Ibarat tanah yang bisa menahan air, ia lantas menumbuhkan tanaman dalam jumlah banyak hingga siapa saja bisa memperoleh manfaat darinya, keilmuannya berkah hingga mengalirkan kebaikan bagi makhluk hidup yang lain. Kedua adalah ajadid. Ibarat tanah yang bisa menahan air, bermanfaat pula untuk orang lain, tapi hanya sekadarnya saja. Sebatas orang lain mengambil ilmu darinya namun tak benar-benar berkarya. Yang ketiga, yang semoga kita tak termasuk perumpaan ini, adalah qi'an. Ibarat tanah yang jangankan menumbuhkan tumbuhan, menampung air pun ia tak mampu. Ia tak punya ilmu, pun tak punya karya.

Karena saya juga takut jadi bagian dari orang-orang di nomor tiga itulah, tulisan ini dibuat. Yah, mau bagaimana lagi. Toh latar keilmuan saya memang ini, jadi tak ada pilihan lain. Daripada menyampaikan ilmu yang lebih jauh lagi dari kapasitas, kan? Jadi mari kita cerita-cerita santai tentang tiga hal utama tadi; memaafkan, memberi respons dan menentukan prioritas, serta mengenali diri sendiri (dengan sesekali disangkutpautkan dengan keilmuan keluarga, ya). InsyaaAllah akan ditulis di postingan berikutnya.

Ayo belajar sama-sama. Tentu bukan tanpa alasan Allah menggerakkan segenap inderamu hingga kamu dengan sukarela membaca tulisan ini sampai di sini. :)



Ditulis di Tangerang,
Pada 23 Juni 2020

Saturday, June 13, 2020

Hati yang Dirindukan

Pernah ada cerita tentang seorang anak perempuan, ia baru saja mendapat sederet nasihat mengandung hikmah dari orang tua yang mengasuhnya. Dengan percaya diri, anak perempuan itu berjalan tegap seolah takkan lagi menemui kesulitan atas segala problematika hidup. Pada sebait nasihat yang disampaikan di petang sehari sebelumnya, ia sungguh merasa cukup.

"Lakukan yang terbaik, bersyukur, dan sabar," begitu bunyi nasihatnya. Hari-hari berlalu dengan sangat mudah. Ia tak gentar dihantam berbagai ujian, seolah tiada hal berarti yang bisa membuatnya goyah. Keyakinannya pada nasihat itu, ibarat bahan bakar yang terus menjadikan mesin dalam dirinya menyala. Ia tak tumbang meski keadaan begitu sulit lagi menghimpit. "Lakukan yang terbaik, bersyukur dan sabar," pesan itu terus bergema dalam kepalanya.

Hingga pada suatu hari, perempuan kecil itu mendapati bahwa ternyata keyakinan pun kadang berubah-ubah. Persoalan hidup seiring waktu semakin bertambah, dan ada begitu banyak hal baru yang tidak ia ketahui sebelumnya. Kalimat saktinya goyah. Bukan karena tak lagi relevan, namun ia hanya mendapati bahwa dirinya tak lagi cukup dikuatkan.

"Aku kira aku sudah punya semua rumusnya, tapi ternyata ada terlalu banyak hal yang belum kutahu," gumamnya dalam hati. Relungnya sempat berantakan, namun setelah melalui proses panjang, ia kembali mengingat resep terbaik itu. Lakukan yang terbaik, bersyukur, dan sabar.

Anak perempuan itu mengilhami, bahwa pengetahuan saja sungguh tak cukup. Ternyata ia memang harus terus melangitkan doa. Sebab pada segala hal yang ia telah lalui dengan baik, sungguh bukan karena ia mampu. Semua itu, semata karena ia dimampukan nan dikuatkan. Semata hanya karena kebaikan Tuhannya lah, ia disanggupkan.

Barangkali memang begitulah proses bertumbuh mengajarkan kita. Ya, bukan hanya si anak perempuan itu, tapi kita semua. Ujian-ujian yang kita hadapi, meski membuat kita terseok dan barangkali sempat berantakan, pada akhirnya akan mampu menjadikan kita sosok yang berbeda. Menjadi lebih tangguh, lebih kuat, lebih baik dari diri kita sebelumnya. Namun semua itu hanya jika kita benar-benar menjalankan nasihat lama tersebut, yakni melakukan yang terbaik dan diiringi dengan syukur serta sabar.

Hingga nanti, pada saat terbaiknya, yang kita lihat ketika menoleh ke belakang bukan lagi hal lain melainkan sebuah perjalanan berharga. Ialah itu perjalanan yang membuat syukur kita bertambah-tambah sebab pernah melalui dan mengambil ibrah darinya.

"Lakukan yang terbaik, bersyukur, dan sabar," nasihat itu masih menjadi pegangan si anak perempuan tadi, setelah perjalanan panjang yang ia lalui. Kali ini dengan pemahaman yang berbeda, yakni pemahaman yang lebih menyeluruh, mendalam, dan barangkali akan terus berubah lagi seiring waktu. Sebab dalam perjalanan hidupnya, ia tak tahu kejutan macam apalagi yang telah menunggu.


Sumber Gambar

Ditulis pertama kali di Tangerang,
pada 16 Mei 2020.

Tuesday, May 5, 2020

Pada Ketenangannya, Siapa Tak Jatuh Cinta?

Kemarin, 11 Ramadhan, kabarnya adalah hari wafat dari ibunda kita tercinta, Khadijah binti Khuwailid  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا. Aku tidak tau sih, kalau kamu bagaimana. Tapi aku sendiri sungguh membutuhkan waktu untuk memaknai kisah manis tentang beliau. Namanya memang tak asing di telinga sejak bertahun-tahun lalu, tentu saja. Yah, barangkali kamu juga sama. Siapa yang tak tahu bahwa Khadijah adalah istri pertama Nabi Muhammad , perempuan yang sangat Nabi cintai, dan padanya terhimpun frase indah "wanita salihah"?

Tapi untuk memaknai itu, aku sungguh butuh waktu. Dahulu, pengetahuan tentangnya mungkin hanya sekadar rentet peristiwa sejarah saja. Bahwa beliau begini dan begitu. Tapi semakin kesini, kisahnya semakin terdengar nyata. Jika padaku ada yang bertanya tentang definisi cantik itu apa, maka ketenangan dan kesahajaan seperti ibunda Khadijah adalah salah satu jawaban terbaiknya.

Hari ini, banyak perempuan mengeluhkan betapa sulitnya menyimpul senyum setiap hari ketika suami mereka pulang. Kondisi hati yang sering berubah-ubah menjadikan aktivitas senyum yang terdengar sederhana jadi pekerjaan tak mudah. Belum lagi jika ada begitu banyak tantangan keluarga dan rumah tangga, jangankan tersenyum atau menyiapkan minum, boleh jadi lisan justru sering lupa dan buru-buru bertanya, "Hari ini bagaimana?" atau "Ada apa? Kenapa kok mukanya begitu?" ketika mendapati pasangannya pulang dengan wajah lesu. Di kesempatan lain, hari-hari melelahkan atas urusan rumah pun membuat perempuan begitu cepat curhat dan berkeluh kesah, hingga tak jarang lupa menyerikan wajah padahal laki-lakinya baru saja tiba. Namun pada kisah Khadijah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا tidaklah demikian. Beliau sungguh memberi contoh luar biasa bagi kita.

Coba bayangkan. Suatu hari Rasulullah ﷺ pulang menunjukkan ekspresi takut dan tubuhnya menggigil. Beliau Saw. tak meminta apa-apa, hanya memohon pada istrinya Khadijah untuk diselimuti. Secara fitrah, perempuan umumnya akan bertanya-tanya. Sungguh bukan pekerjaan mudah mengatur lisan untuk tak melontarkan macam-macam pertanyaan hingga komentar, apalagi jika seharian sudah tak ada teman bicara. Tapi Khadijah mengatasinya dengan sangat baik. Padahal saat itu, sudah cukup lama Rasulullah bolak-balik ke Gua Hira untuk bertafakur. Sudah sering agaknya Khadijah ditinggal di rumah tanpa kehadiran suaminya. Bayangkan betapa tangguh dan kuatnya Khadijah.

Sungguh, ibunda kita itu tak hanya menyelimuti nabi secara fisik, namun juga dengan kekuatan batin yang luar biasa. Beliau memberikan ketenangan dengan sikap dan tindak-tanduk, dengan cintanya yang hangat dan menghangatkan.

"Muhammad," ujarnya kepada Nabi, "Janganlah engkau bersusah hati. Sebab tidak ada orang yang sebaik engkau yang akan memperoleh celaka. Tidak ada, suamiku."

"Tidak ada orang melarat yang datang kepadamu yang tidak engkau beri sumbangan. Si miskin tidak pernah pulang dari rumah ini dengan tangah hampa. Tidak ada orang lemah yang butuh pertolongan yang tidak engkau tolong," lanjut Khadijah.

Tak berhenti sampai disitu, bahkan ketika kondisinya sudah tenang, Khadijah juga menjadi teman diskusi nabi ﷺ dan menawarkan solusi. Ia tak hanya bijaksana, tapi juga merupakan seorang perempuan yang cerdas. Ia yang mengajak Nabi untuk pergi ke rumah Waraqah bin Naufal, seorang senior yang terkenal bijak yang pada akhirnya memberi pencerahan atas apa yang dialami Nabi malam itu.

Entahlah, kalau dibicarakan betapa menawannya akhlak beliau, mungkin tak akan usai. Ini hanya satu kisah, yakni ketika Rasul baru saja bertemu malaikat Jibril dan memperoleh wahyu pertama kali. Belum lagi kisah dakwah beliau, bagaimana Khadijah tanpa perhitungan mendukung dakwah suaminya itu secara totalitas, bahkan hingga pernah menyambut Nabi pulang dalam kondisi perut yang lapar namun tetap dengan penerimaan utuh tanpa syarat. Padahal kita semua tahu, Khadijah sebelumnya adalah perempuan Makkah yang terkenal kaya raya. Mungkin tersebab iman yang ada pada dirinyalah, cinta milik Khadijah jadi bisa sekuat dan semenenangkan itu. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Nabi  ﷺ dan orang-orang di sekeliiling, bahkan untuk kita yang belum pernah berjumpa dengan sosoknya.

Sumber Gambar

Atas kecintaan Rasulullah ﷺ pada Ibunda Khadijah, diriwayatkan dari Aisyah  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا, ia berkata, "Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi ﷺ selain kepada Khadijah, padahal aku tidak pernah menjumpainya..."
(Muttafaq 'alaih, HR Muslim 2435)

Riwayat Bukhari menyebutkan; beliau kadang menyembelih seekor kambing, kemudian beliau memotongnya menjadi beberapa bagian, setelah itu beliau kirimkan kepada teman-teman Khadijah. Aku kadang berkata pada beliau, "Seakan di dunia ini tidak ada wanita selain Khadijah!" Beliau berkata, "Dia begini dan begitu, aku memiliki anak darinya." (Shahih, HR Bukhari 3818 Kitab Fil Manaqib)

"Khadijah," ujar Rasulullah, "Ia beriman kepadaku kala orang-orang ingkar padaku. Ia membenarkanku kala orang-orang mendustakanku. Ia membantuku dengan hartanya kala orang-orang tidak memberiku. Dan, Allah memberiku anak-anaknya kala Dia tidak memberiku anak-anak dari wanita-wanita lain." (Hasan, HR Ahmad)

Semoga kita bisa meneladani beliau, ya. Minimal memiliki cita dan menuju seperti apa yang beliau teladankan. Aamiin..

*


Oh iya, beberapa hari lalu aku menulis penggal kisah tentang Ibunda Khadijah bersama Ibu Eko Yuliarti Siroj, bisa klik di sini untuk membaca atau di sini untuk mendengar versi yang sudah disuarakan oleh Ibu Elly Farida. Kemudian, ini ada catatan kuliah salah seorang sahabat, Ayu Nur Maulidian, tentang menjadi wanita setenang malam yang Ibunda Khadijah adalah sebaik-baik contohnya.

Catatan Kuliah @ayunurmaulidian
Sedikit penjelasan dari catatan di atas, bahwa di dalam Al-Qur'an kata "sakinah" yang artinya tenang hanya dipakai untuk dua hal. Yang pertama adalah wanita (dalam QS Ar-Rum ayat 21) dan yang kedua adalah malam (dalam QS Yunus: 67, QS Al Qasas: 73, dan QS Ghofir: 61). Sebaik-baik contoh tentang wanita yang menenangkan adalah Ibunda Khadijah  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا, hingga beliau mendapat karunia dari Allah berupa rumah kayu di surga, sebab tak pernah membuat kegaduhan dalam rumah tangga Nabi.

Persamaan wanita dengan malam, disebutkan dalam Al-Qur'an adalah fungsinya yang sebagai pakaian.  Wanita sebagai pasangan untuk laki-laki, merupakan pakaian. Begitu pun malam disebutkan sebagai pakaian, “Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (QS. An-Naba': 10-11).


Ditulis di Tangerang,
12 Ramadhan 1441 H

Sebagai pengingat,
untuk nanti dibaca lagi.