Baiklah, ini adalah cerita santai kedua yang tertunda lama sekali. Sebenarnya saya sudah mulai menulis ini di jurnal pribadi sejak tanggal 25 Juli 2020 lalu, hanya saja memang baru dipublikasikan di sini. Jadi yuk kita cerita-cerita lagi! :)
Saya nyaris selalu ingat penggalan tausiyah dari salah seorang guru di mimbar masjid sekolah. Tausiyah singkat itu bercerita tentang manusia dan problematikanya. Ya, setiap manusia boleh jadi punya masalah. Tapi masalah itu berbeda-beda sesuai dengan kapasitas dari si manusia. Guru saya saat itu menyebutkan nama Pak Habibie. Sekelas Pak Habibie pun pasti punya masalah, tapi masalah beliau agaknya bukan lagi seputar tersinggung oleh omongan orang, bukan lagi urusan salah paham dengan teman sekelas. Kalaupun iya itu masalah, tapi bukan masalah yang menjadi prioritasnya. Ada masalah yang jauh lebih "penting" untuk dipikirkan dan dicari solusi. Yup, katakanlah lebih urgent.
Sampai di sini terbaca kah arah cerita santai kita?
Tanpa sadar, boleh jadi selama ini kita telah banyak buang-buang waktu untuk sesuatu yang kita anggap masalah padahal nyatanya tidak. Kebiasaan kita yang mengutuk kondisi macet, kebiasaan kita yang mengeluh atas hari yang tiba-tiba hujan hingga jalanan menjadi becek, juga kebiasaan kita menanggapi komentar negatif dari orang lain yang sifatnya nyinyir. Itu adalah beberapa contoh dari betapa buang-buang waktunya diri kita.
Apa yang saya pelajari di tiga tahun terakhir, salah satunya adalah tentang ini. Tentang memberi respons dan menentukan prioritas. Bagaimana merespons perilaku orang lain yang tidak sesuai harapan kita? Bagaimana merespons perkataan orang lain yang terdengar menyakitkan? Bagaimana merespons ketidaksukaan orang lain pada diri kita?
Hmm... pertanyaannya, apakah kita memang harus merespons? sepenting apa omongan orang lain untuk kehidupan kita? Mengapa kita kadang dibuat terlalu sibuk pada hal-hal yang mengusik diri, hingga lupa pada hal-hal yang sebenarnya telah memberi kenyamanan di hati?
Guru saya yang lain, berkali-kali menasihati. Jika kita dihina atau direndahkan, itu bukan berarti kita hina atau benar-benar rendah. Perkataan orang lain sama sekali tidak mendefinisikan diri kita yang sebenarnya. Kitalah yang lebih tahu kualitas diri kita. Tapi, pada kesempatan yang lain, beliau juga berkali-kali menyentil diri. Jika kita dicibir buruk, tidak perlu marah sebab keburukan kita yang asli boleh jadi lebih banyak, hanya saja ia tidak mengetahuinya. Bukankah Allah Mahabaik sebab Dia menutupi aib-aib kita?
Hal yang ingin saya sampaikan di sini, adalah tentang memberi respons dan menentukan prioritas. Waktu kita sedemikian terbatas. Harusnya, kita bisa dengan apik memilih mana hal yang perlu kita respons, persoalan apa yang harus kita seriusi, hal-hal apa saja yang menjadi prioritas kita. Alih-alih mengurusi perasaan, pikiran, atau tindakan orang lain yang berada di luar kontrol kita, akan lebih baik jika kita mengurusi diri sendiri. Ialah itu tentang cara kita menanggapi segala sesuatu yang terjadi.
Mungkin kita tidak asing mendengar atau membaca petuah bahwa ujian seseorang sesuai dengan level dan kapasitas dirinya. Barangkali sudah saatnya kita naik level, bukan? Tidak lagi meletakkan pikiran dan perasaan orang lain sebagai masalah, tapi lebih memprioritaskan pikiran dan perasaan kita sendiri.
Lalu apakah kita harus menutup telinga kita? tentu saja tidak. Bukankah salah satu tanda kebaikan hati manusia terletak pada kelapangannya menerima nasihat? Bukankah salah satu tanda kearifan hidup adalah mengambil hikmah dari apa-apa yang terjadi di sekitar kita? Artinya, kita perlu mendengarkan. Kita juga perlu introspeksi serta memperbaiki diri. Namun tentu, sekali lagi, tentukan prioritas. Bergeraklah secara proporsional.
Daripada mengutuk kemacetan, kita bisa memilih untuk mengisi waktu dengan membaca. Daripada menghabiskan waktu untuk mencari tahu mengapa seseorang membenci, kita bisa memilih untuk memperbaiki diri. Daripada mengungkit-ungkit sumber masalah, kita bisa mulai mencari dan menentukan solusi.
Tapi itu semua tidak menjadikan kita buta, bisu, atau tuli. Kita tetap bisa memberi kritik yang membangun terkait kemacetan. Kita tetap bisa belajar tentang berbagai macam watak manusia. Kita juga tetap bisa melakukan evaluasi supaya kesalahan hari kemarin tidak terulang di kemudian hari.
Tetaplah berprasangka baik, tetaplah merasa yang baik-baik, tetaplah menjadi orang baik. Mohon pertolongan pada yang Mahabaik. InsyaAllah, tidak ada itikad baik yang sia-sia di sisi-Nya.
Diselesaikan di Tangerang,
pada 17 Oktober 2020
No comments:
Post a Comment