Ahad lalu ketika
melihat-lihat isi rak buku, mata saya tertuju pada sebuah buku karya Dr.
Ibrahim Elfiky. Melihat buku itu, bukannya membuat saya teringat akan isinya,
melainkan pada hal lain. Salah satu penyesalan saya atas waktu, sebab terlalu mengundur-undur
mengirimkan buku tersebut pada salah seorang kawan yang kini telah berpulang.
Kami sekelas pada tingkat
satu perkuliahan, tahun 2013. Dia jurusan Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, sementara saya jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen. Beberapa kali
kami terlibat dalam satu kelompok mata kuliah. Pernah juga satu kelompok
asistensi Pendidikan Agama Islam. Interaksi lainnya ya di kelas perkuliahan
saja, kalau tidak salah dia rajin duduk di barisan depan. Yah, sebenarnya kami
tidak dekat-dekat amat. Bahkan seingat saya kami pernah terlibat konflik, alhamdulillah hanya sedikit. Begitu
masuk tingkat dua, kami tidak sekelas lagi. Tidak ada interaksi yang berarti.
Agaknya hanya terkoneksi oleh media sosial saja, seadanya.
Pada akhir tahun 2016, ia
tiba-tiba mengirimkan saya pesan singkat (SMS). Saya sudah lupa isinya, dan
mungkin tidak saya balas. Sampai ia menghubungi saya via direct message Instagram. Sebut saja namanya Eka.
“Ada apa Ka? Waktu itu Eka
SMS Riris juga bukan?”
“Gak ada apa-apa Riz, kepingin
curhat aja, minta saran... iya SMS.”
Begitu pembuka obrolan
kami di DM instagram.
Obrolan kami kemudan
berlanjut di WA. Eka adalah mahasiswi yang tekun, rajin, dan—tentu saja—tepat
waktu. Ia ikut dalam program akselerasi supaya bisa menuntaskan perkuliahan
strata 1 hanya dalam waktu 3,5 tahun. Hari itu Eka menyampaikan kegelisahannya
pada saya, sebab sudah satu tahun belakangan ia bolak-balik rumah sakit, dan
dikatakan oleh dokter dirinya mengidap lupus. Padahal, ia sudah harus memulai
penelitiannya supaya sesuai dengan target yang diberikan. Berita itu
sedikit-banyak membuat mental Eka jatuh. Apalagi pencarian aktifnya di internet
berujung pada ketakutan luar biasa. Ia cemas.
Payahnya, saya sungguh
tidak bisa membantu banyak. Saya benar-benar tidak fokus membantu Eka, bahkan
untuk sekadar jadi pendengar yang baik. Beberapa kali respons saya terbilang
lama, dan tidak aktif menanyakan kabar beserta hal-hal lain yang boleh jadi
sedang Eka butuhkan; support. Saya
juga tidak mengerti mengapa Eka tidak menceritakan ini pada teman-teman satu
jurusannya, pada teman-teman terdekat bahkan kawan sekosannya. Saat itu Eka
meminta saya untuk tidak menceritakan pada siapa-siapa. Hal itu juga yang
membuat saya tidak bisa mengabarkan pada beberapa kawan yang terbilang cukup
dekat dengan kami berdua ketika dulu sekelas di tahun pertama. Yang bisa saya
lakukan adalah memberi saran, supaya setidaknya ada teman sekelas yang tahu
mengenai kondisinya. Saya katakana bahwa ia tidak boleh terlalu capek.
Tahun 2017 adalah salah
satu masa terberat saya, jujur saja. Ada banyak persoalan yang harus saya
hadapi sembari mengerjakan tugas akhir di perkuliahan S-1 yang sudah
dikejar-kejar deadline sebab saya pun
mengikuti program fasttrack. Ditambah
ada hal lain yang juga menguras pikiran, dan kelelahan fisik keliling Tangerang
Selatan serta bolak-balik Jakarta-Bogor. Kehidupan saya rasanya habis di jalan
saat itu. Sungguh saya tidak aktif berkomunikasi dengan Eka. Dia yang justru
lebih banyak menghubungi saya untuk bercerita, yang sayangnya, tidak saya
tanggapi secara optimal.
Hebatnya, di tengah ujian
yang luar biasa, ia berhasil lulus tepat waktu dan wisuda dua bulan lebih cepat
dari saya, dan agaknya sudah terlihat baik-baik saja. Bahkan saya yang saat itu
tengah asyik tenggelam dalam problematika pribadi sungguh tak ingat, apakah
saya mengucapkan selamat padanya atau tidak. Betapa payahnya.
Suatu ketika kami kembali
terlibat perbincangan.
“Riz, Eka butuh baca
buku-buku motivasi deh supaya semangat. Riris ada nggak?” kurang lebih, begitu
ucapnya (saya sudah lupa sebab chat
history kami raib bersamaan dengan rusaknya HP saya Januari 2018 lalu).
“Adaa, Ka. Motivasi kayak
apa?”
“Iya buku motivasi apa
aja tentang kehidupan.”
Usai membaca
permintaannya, saya serta-merta mengecek rak buku di kamar, barangkali ada buku
yang cocok untuk dibaca Eka. Saya kemudian menemukan buku karya Dr. Ibrahim
Elfiky berjudul “Excellent Life”. Saya foto buku tersebut, lantas
mengirimkannya pada Eka.
“Ini bagus deh, Ka.
Bacaannya ringan tapi memotivasi.”
Kemudian diam-diam saya
bertekad hendak mengirimkan buku itu. Namun mengingat tampilannya yang sudah
tak ciamik, ingin rasanya membelikan Eka satu buku yang masih baru.
Qadarullah
menjelang akhir tahun 2017, Eka turut menjadi pembaca buku saya yang berjudul
TEMU. Ia menghubungi saya, memesan satu buku, dan mengirimkan alamat tempat ia
tinggal saat itu di Kawasan Tangerang. Bisa dibilang tidak begitu jauh dari
tempat saya tinggal.
**
Saya mendapatkan alamat
Eka tanpa memintanya. Tentu saja karena ia turut membeli buku TEMU melalui form online yang tersebar. Saya
mendapatkan alamatnya secara cuma-cuma. Harusnya bukan hal yang sulit bagi saya
untuk sekadar mengirimkan sebuah buku yang sudah saya punya. Bermodalkan
membungkus buku tersebut, menuliskan alamat, dan cukup berjalan beberapa
langkah ke ekspedisi terdekat dari rumah. Ya, harusnya sesederhana itu.
Tapi keinginan saya yang
terlalu muluk—mencari buku baru yang lebih baik tampilannya—menjadikan hal yang
tadinya sederhana jadi lebih rumit. Saya kerap menunda-nunda, hingga akhirnya
lupa dan justru tidak terlaksana.
Pada tahun 2018, beberapa
kali kami masih terlibat perbincangan. Karena saya merasa sangat minim dalam
membantu Eka, saya mencoba mencari info pada beberapa kerabat yang mungkin saja
dapat memberi saran terkait lupus dan bagaimana bisa meng-encourage mereka. Saya bahkan sampai melemparkan pertanyaan ke grup
angkatan Aliyah, mengingat tidak sedikit kawan saya yang kuliah di jurusan
kedokteran. Saya juga menanyakan pada sahabat saya yang salah satu keluarganya
juga merupakan seorang odapus (pasien lupus).
Alhamdulillah saya
memperoleh pencerahan. Lantas mengabarkan pada Eka beberapa kontak yang mungkin
bisa membantunya, menghubungkan Eka dengan sahabat saya, serta mengenalkan Eka pada salah satu ketua komunitas peduli
lupus. Kata seseorang, yang terpenting untuk odapus adalah bahwa mereka
memiliki teman untuk saling berbagi, bahwa dirinya sungguh-sungguh tidak
sendirian.
**
Beberapa bulan kemudian,
tanpa ada kabar apa-apa, tanpa ada intro yang saya terima, tahu-tahu saya
mendapat berita dari salah seorang kawan sejurusan, bahwa Eka telah tiada pada
22 Oktober 2018. Ketika mendapat informasi tersebut, segera saya memastikan
kebenarannya melalui beberapa kawan. Betapa payahnya saya, sebab ternyata
meninggalnya Eka tidak serta-merta. Ia telah dirawat di rumah sakit dalam waktu
yang cukup lama—dan saya tidak tahu apa-apa.
Saya sempat menyesali
diri sendiri hingga enggan mencari tahu lebih lanjut. Merasa menyesal sebab
tidak pernah saya bertukar kabar dengannya usai saya berikan beberapa kontak.
Saya kembali asyik tenggelam dalam rutinitas diri yang kembali disibukkan
menyelesaikan tugas akhir (lagi, kali ini S-2). Saya melewatkan banyak hal,
pada masa-masa itu. Dan salah satu yang paling menyedihkan bagi saya adalah
tentang Eka. Betapa tidak, bahkan dari awal hingga akhir, saya tidak pernah menyempatkan
diri bertatap langsung dengannya. Sejak awal tahun 2016 ia
menceritakan tentang dirinya pada saya, sampai tiba saatnya ia berpulang pada
2018 lalu, kami tidak pernah bertatap muka sekali pun. Padahal jarak kami
sungguh tidak sejauh itu. Kami masih di kota yang sama, atau paling tidak saya
hanya perlu nyebrang ke kota sebelah.
Maaf, Ka. Buku itu pada
akhirnya benar-benar tidak terkirim.
**
Sudah lama sekali ingin menceritakan
ini, entah pada siapa. Bagi saya, pengalaman ini sungguh memberi saya pelajaran bahwa
kadang kita tak perlu menunggu segala sesuatunya untuk tepat nan sempurna.
Dalam banyak hal, ketepatan waktu perlu dicipta meski dalam kondisi tidak
optimal seutuhnya. Tidak apa-apa. Kalau kita hanya punya satu kaki, bukankah
lebih baik terus melangkah meski pincang, daripada tidak melangkah sama sekali?
Saya yakin seutuhnya,
bahwa Allah tidak pernah salah alamat dalam mengirimkan seseorang untuk hadir
dalam kehidupan setiap manusia. Tak terkecuali hadirnya Eka dalam kehidupan
saya. Allah-lah yang menggerakkan Eka untuk menghubungi saya, meski antara saya
dengannya tidak ada hubungan yang benar-benar dekat, hanya sebatas teman
sekelas biasa yang beberapa kali berada di satu kelompok belajar yang sama.
Allah-lah yang mengarahkan Eka untuk menyampaikan keinginnanya membaca buku
tentang motivasi kehidupan pada saya, Allah juga yang menggerakkan Eka membeli
buku TEMU, meski pada akhirnya kami tak juga mencipta temu. Pasti ada pelajaran
yang hendak Allah sampaikan pada saya untuk dipetik hikmahnya dan menjadi bekal
untuk pelajaran selanjutnya.
Ketepatan waktu itu dicipta, bukan ditunggu. Beberapa kali saya mengatakan ini pada orang lain—terlebih pada diri sendiri.
Terima
kasih, Eka. Maafin Riris.
**
Ditulis di Kota Hujan
Bogor,
Diselesaikan pada Hari
Jum’at, 15 November 2019