Kali ini biarkan saya menulis
edisi #haltekehidupan, terdedikasi untuk ayah-bunda luar biasa di tanah berjuta
kisah, Insan Cendekia. Malam ini saya baru saja menyaksikan cuplikan-cuplikan
performa adik-adik di salah satu stasiun televisi; mengikuti sebuah ajang
olimpiade. Ini memang kali pertama saya berhasil streaming setelah minggu-minggu sebelumnya gagal. Alhamdulillah.
Seperti alumni kebanyakan, saya pun jadi ikut-ikutan melambung pada beberapa
bulan lalu. Pada dua-tiga tahun lalu, ketika kaki-kaki saya masih intens
menapaki tanahnya. Ketika langkah saya masih secara rutin terekam pada setiap
pagi-sore-petang ranahnya. Ketika tatap saya masih kerap menyapa langitnya.
Nostalgia. Dan salah satu cara terbaik mengekspresikan nostalgia adalah melalui
tulisan.
Beberapa waktu belakangan saya
tengah dalam masa jenuh. Merindukan sense
of jihad, merindukan ustadz-ustadzah pembakar semangat, merindukan keajaiban
kawan-kawan seperjuangan, merindukan civitas luar biasa yang saling menbar
senyum-salam sapa. Dan akhir-akhir ini pula, rekaman dalam memori saya
me-rewind masa putih abu-abu saya. Masa tiga tahun yang jika mereka bilang masa
paling indah adalah masa SMA, maka saya fikir statement itu tidak terlalu keliru.
Satu tahun lebih setelah berlabel
alumni, dan tanpa saya sadari sebelumnya, diam-diam saya merindukan suasana
pagi Insan Cendekia. Merindukan sapaan hangat pak Suhali tiap pagi tentang es
krim kulit semangka atau janji beliau yang hendak memberi saya nilai tambah di
rapor lantaran saya ikut-ikutan mengecat tepi jalanan. Merindukan senyum Emak
di kantin tiap saya mengucap salam untuk disendoki makanan. Saya juga
merindukan Teh Euis, Teh Ratna. Saya masih ingat betul bagaimana untuk pertama
kalinya saya pergi reguler dibonceng Teh Ratna, lalu kami makan es krim
bersama.
Hei, tiba-tiba informasi yang
terpanggil begitu banyak dan saya jadi bingung menuliskan darimana. Tahu-tahu
setiap sudut tanah itu tergambar jelas di kepala.
Salah satu yang sungguh membekas
dalam kepala saya adalah tentang guru-guru, tentang ustadz-ustadzah, tentang
para pendidik yang kaya dan mengkayakan. Kaya semangat, kaya motivasi, kaya
akan inspirasi. Saya ingat Bu Dini. Masa-masa di Pekan Ta’aruf Siswa, beliau
mengatakan pada kami di Audio Visual Room, “Allah itu dekat, Nak.” Lalu kami
diminta menepuk-nepuk posisi jantung. Melafadzkan asma-Nya. Air mata kami
tumpah. Dan jujur saja, sampai saat ini saya sering melakukan hal itu. Ketika
saya di ambang lupa, bahwa Allah itu sungguh dekat.
Ada perkataan dari seorang guru
Biologi, Bu Etty namanya, yang sampai kini saya ingat dan saya bawa kemana-mana:
“Kalian ada disini, bukannya kebetulan. Tangan Allah yang langsung menempatkan
kalian disini. Bukan karena kalian pintar atau apa,” mungkin ini adalah bagian
dari awal saya memiliki keyakinan penuh bahwa kausalitas itu nyata. Bahwa Allah
selalu memiliki cara spesial untuk masing-masing hamba-Nya.
Tiba-tiba saya jadi ingat
percakapan saya dengan Asma (anak perempuan syaikh). Percakapan yang tidak
jelas arahnya, karena bahasa ibu kami berbeda. Tapi namanya anak kecil, ia akan
menganggap saya mengerti sepenuhnya apa yang ia katakan. Sore itu saya tengah
duduk di depan asrama guru, lalu bocah kecil itu datang dan tahu-tahu duduk di
samping saya. Dia mengatakan beberapa hal –dengan bahasa arab, tentu saja- yang
kira-kira begini:
“Lihat langitnya!” matanya
berbinar, lantas menunjuk langit
“Ya?”
“Aku suka langitnya, cantiik
sekali. Ya kan?”
Lalu saya speechless. Rasanya ingin bilang banyak hal, tapi miris memang,
anak ini tidak mengerti bahasa Indonesia. Dan saya tidak tahu bagaimana
mengungkapkan isi kepala saya dengan Bahasa Arab.
"Iya, aku juga. Kenapa Asma suka langitnya?" Jawab saya
sambil nyengir mengingat Bahasa Arab saya yang acak-acakan. Namun Asma terlihat tidak terlalu peduli dengan saya yang tidak
banyak bicara. Kemudian dia meneruskan kata-katanya, banyak.
Berkalimat-kalimat, dan sesungguhnya saya tidak mengerti. Tapi saya rasa dia
membicarakan hal yang menyenangkan. Matanya berbinar. :)
Memandang langit di ranah ini
memang selalu saja mengasyikkan. Apalagi jika subuh pagi bulan masih bertengger
di singgasananya. Jarak bangunan yang berjauhan, jalanan lebar, menjadi
fasilitas pendukung bagi siapa-siapa yang mau menikmati jamuan langit di Insan
Cendekia.
Langit sore itu juga, yang
menjadi salah satu penghibur kami. Di koridor depan ruang guru. Masa-masa
remedial yang mungkin saat itu rasanya agak menyedihkan, memang. Tapi masa-masa
itulah yang mengajarkan saya tentang makna berjuang. Tentang esensi kejujuran.
Yang juga saya rindukan adalah ujian di Insan Cendekia. Didikan
ustadz-ustadzah, agar kami memahami esensi pengawasan. Bahwa yang Maha Mengawasi
adalah Allah. Maka tidak heran, jika masa ujian cukuplah para insan itu duduk
manis, mengerjakan dengan baik. Hening. Ketika mendapati ujian yang sulit,
diam-diam saling menerka dalam hati, “Ini cuma saya doang yang merasa susah,
apa emang susah beneran?” dan barulah ramai itu pecah ketika waktu ujian usai.
Barulah saling tanya-menanya perihal jawaban. Tanpa ada pengawas ujian. Toh
meski kadang kita lupa kehadiran mereka, pengawas kanan-kiri selalu siap sedia
mencatat setiap amal kebaikan dan pelanggaran yang dilakukan. Bukan begitu?
Kalau ditanya apa cita-cita saya,
saya akan menjawab ingin menjadi seorang guru, seorang pendidik. Tidak bisa
dipungkiri, lingkungan menjadi salah satu motivasi saya. Sejak kecil saya biasa
berhadapan dengan para guru; sebut saja kedua orangtua saya (yang membicarakan keduanya bukan perihal mudah sebab teramat istimewa..).
Inspirator-inspirator ulung yang sedikit-banyak mempengaruhi pola fikir saya pun
adalah guru. Meski secara luas, semua orang adalah guru, alam raya adalah sekolahnya (Semua orang itu guru, alam raya sekolahku –Pontoh- tertulis di koridor lantai
dua gedung pendidikan Insan Cendekia). Sayang, rasanya menyebutkan satu per satu
ustadz-ustadzah, guru-guru terbaik saya, tidak mudah diungkapkan dalam satu
waktu. Karena begitu menyebutkan satu nama, maka bukan hanya nama yang akan
saya kabarkan, melainkan bagaimana kesan saya, kisah saya, persepsi saya
terhadap beliau. Dan itu membutuhkan halaman yang (sangat) panjang.
Adalah salah seorang ustadzah
saya, Bu Evi namanya. Sebagai guru asuh, Bu Evi suatu ketika memanggil saya
pada tahun pertama. Kami berbincang-bincang. Dan bagian ini selalu saya ingat.
Bahkan tidak dapat dipungkiri, mengambil peranan besar dalam perjalanan hidup
saya hingga kini. Pemahaman akan esensi kesuksesan. Bahwa menjadi bagian dari
kesuksesan sesseorang meski presentasenya hanya nol koma sekian persen, adalah
sebuah kebahagiaan dan kesuksesan tersendiri. Beliau mengajarkan saya tentang
makna keihkhlasan dan pentingnya berbuat baik sekecil apapun. Bahkan untuk
sekadar mendengarkan cerita orang lain. Karena kita tidak pernah tahu perbuatan
apa yang akan menjadi tiket kita menuju syurga. In syaAllah.
Lagi, saya ingat perkataan Bunda
Iffat, ketika kami studi banding ke Bandung dan mengunjungi ITB pada tahun
kedua. Saat itu kami berkeliaran dengan bebas. Maklum, anak asrama yang
kesehariannya berada di penjara yang membebaskan. Saat itu beliau membawa
beberapa barang bawaan, saya sempat menawari bantuan. Lantas beliau berkata, “Gak
usah, seneng-senenglah kalian. Ibu mah senang lihat kalian senang begini.” Beliau
melanjutkan, “Ya namanya guru senang kan kalau liat murid-muridnya senang.” Mungkin
redaksinya berbeda, tapi kurang lebih maknanya demikian.
Ustadz Away Baidhowy pernah
membicarakan tentang halte. Halte-halte kehidupan, dan Insan Cendekia adalah
salah satunya. Hebatnya, bapak-ibu guru kami, ustadz-ustadzah kami, tetap
disana. Tetap melakukan pengabdian. Jika kami pernah mengaku bosan menjalani
rutinitas yang ‘begitu-begitu’ saja, apakah beliau-beliau merasakan demikian,
menghadapi para peserta didiknya? Lantas adakah yang lebih mulia dari
pengabdian di jalan kebaikan yang telah menjadi rutinitas?
Ah, ingin sekali mengungkapkan
banyak terimakasih. Kepada ayah-bunda yang tidak bisa ananda sebutkan satu
persatu. Terimakasih karena telah mengajarkan kami tentang nilai-nilai
kehidupan. Mengajarkan pada kami tentang kreativitas, tentang makna seyuman, tentang
kehangatan. Terimakasih telah mengajarkan kami bahwa ketegasan dan kejujuran
adalah salah satu ekspresi cinta.
Mohon doa agar ilmu yang telah terbagikan ini mampu menjadi pemberat amal, mampu bermanfaaat bagi sesama dan semesta. Semoga ayah-bunda, ustadz-ustadzah, diberikan kemudahan, selalu dalam dekap hangat Allah Subhanahu Ta'ala. Aamiin. Salam sejuta sayang dan rindu dari kami, anak didikmu.
Ditulis di Kota Hujan, pada 27 Muharram 1436H