Inspired by my millionsstoriesland,
this one made for Bahasa Indonesia task
given by my extraordinary teacher;
Mr. Rapiq.
Thanks, Sir. Jazakallahu khair. :)
__________________________________
Ini hanyalah sebuah fiksi.
__________________________________
Sejujurnya, aku tak tahu harus mulai dari mana. Kurasa hal yang sama juga
dirasakan oleh sebagian besar mereka yang hendak mengisahkan
ini. Oleh sebagian besar mereka yang mendapat kesempatan untuk mengetahui sisi
ini lebih dalam. Dan aku termasuk ke dalam mereka. Kusebut ini sebuah kesialan
yang menguntungkan.
Baiklah, dimulai dengan satu buah pertanyaan; kau tahu Insan Cendekia?
_________________________________________________
INSAN CENDEKIA
Sebuah Tanah Berjuta Kisah Craz
_________________________________________________
Aku sungguh mengutuk keadaan. Semua ini benar-benar di luar perencanaan.
Mana yang katanya institut pendidikan paling maju seantero negeri? Ternyata
seperti yang kuduga sebelumnya, semua ini hanya tentang bualan semata. Omong
kosong yang sudah merakyat. Insan Cendekia. Sukses memecahkan rekor dalam hidup
yang mampu membuatku mengutuk seharian penuh, seminggu penuh, sebulan penuh,
setahun penuh. Penuh. Kepalaku sukses penuh oleh kutukan-kutukan. Tempat ini
benar-benar memuakkan. Bagaimana tidak, manusia-manusia yang hinggap disini
begitu datar menjengkelkan. Pandangan tajam, dingin, berbuat tanpa berkata,
tidak ramah sama sekali. Itu ada dalam satu periode. Pada periode yang lain
mereka terlihat sangat bersahabat. Menyapa, tersenyum, dan menanyakan kabar. Dua
fase ini yang benar-benar membuatku naik darah. Dan sialnya, secara tak sadar,
tahu-tahu aku terbawa pada rutinitas itu. Seperti manusia yang tak memiliki
identitas, tak memiliki karakter jelas. Mengerikan.
Kutukan-kutukanku semakin bertambah mengingat institut ini dilindungi oleh
sebuah materi super yang selalu mampu mengekang siapapun yang mulai berani
membangkang atas hukum-hukum yang berlaku. Kondisi ini semakin membuatku gila
akan keadaan kontradiktif yang menjemuhkan. Pernah aku berniat untuk kabur,
membawa segala perbekalan untuk segera terlepas dari institut menjengkelkan
ini. Kandas. Aku bahkan tak mampu melanjutkan perjalanan lebih dari lima
langkah. Materi super itu terlalu menyilaukan untuk kulawan. Aku tahu aku
takkan mampu. Dan aku semakin jengkel, semakin muak mengingat betapa lemahnya
aku.
Satu tahun pertama berlalu dengan kesibukan-kesibukanku untuk mengutuk. Mencoba
memahami meski hasilnya aku tak pernah paham. Semuanya tak berubah. Kau pernah
membayangkan, orang yang baru saja menyuguhimu minum, sepersekan detik
berikutnya lantas menendangmu hingga terjungkal? Kau sebut apa keadaan itu
selain sebuah kegilaan? Ironisnya, kegilaan-kegilaan itu lantas berubah menjadi
sebuah kenormalan karena aku mengalaminya setiap hari, menjumpainya setiap saat,
terbiasa akan fenomena itu. Tapi aku ini hanyalah seorang biasa yang dituntun
oleh hukum alam. Mau tidak mau, sadar tidak sadar, ketetapan itu berlaku. Aku
masuk dalam sebuah rutinitas gila. Rutinitas anomali di tempat yang kusebut ‘sebuah
tanah berjuta kisah’; Insan Cendekia.
Setidaknya, tercebur dalam kebiasaan
mengutuk membuatku sadar bahwa hukum Gossen itu benar-benar berlaku. Aku
mengutuk kejenuhan hingga merasa jenuh oleh kutukan itu sendiri. Ah, manusia
memang mudah bosan. Tak seperti kucing besar abu-abu di tempat ini, yang tak
bosan-bosannya menunggu siapapun untuk segera selesai makan dan berharap
mendapat sisa-sisa konsumsi manusia. Mungkin itu yang disebut soal akal.
Entahlah. Berawal dari perjalananku mengelilingi tanah ini, -sebuah pelarian,
sebenarnya. Saat itu aku tengah diburu oleh seorang petugas kebun dengan mesin
pemotong rumput di tangan kanannya- aku menemukan tangki air di dekat taman
bagian depan institut ini. Tangki itu berwarna biru yang awalnya kukira
bertuliskan ‘EXOEL’. Tapi ternyata setelah kucoba naik ke atas dan melihatnya
lebih dekat, tangki itu bertuliskan ‘EXCEL’. Bagian yang ingin aku tekankan
tentu bukan pada persoalan tulisan di tangki. Tapi di sanalah aku memulai fase
baru dari kehidupanku di tanah berjuta kisah ini. Fase baru setelah aku takjub
akan pemandangan yang dapat kulihat dari posisi di atas tangga tangki itu;
komposisi bangunan yang membentuk letter huruf bertuliskan ‘Insan Cendekia’ dan
dapat dibaca secara bolak-balik, sisi atas-bawah, atau yang biasa dikenal
dengan istilah ambigram. Ya, sebuah
fase baru; bertanya. Lebih dari sekadar mengutuk, kini akumulasi
kutukan-kutukanku mulai kudaftar dalam bentuk pertanyaan. Awalnya, aku pesimis
untuk bertanya, mengingat penghuni tanah ini begitu labil. Begitu tidak
terdeteksi kapan aku bisa melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab. Tak
mungkin aku bertanya pada alam, berharap memiliki kekuatan magic untuk mampu berbincang dengannya. Maka kumulai pertanyaanku dengan
menghampiri seorang lelaki paruh baya yang biasa duduk di pojok perpustakaan.
Setahuku, dia penghuni baru. Dan aku yakin kelabilannya belum menjadi soal.
Setidaknya sampai satu bulan kedepan.
“Permisi, Tuan.”
“Ya?” jawabnya agak tersentak sambil setengah membungkukkan badan. Kulihat
tubuhya tinggi kurus dengan sebuah topi coklat menutupi sebagian kepalanya.
“Boleh aku bertanya?” kumulai percakapan itu sedatar mungkin, senormal
mungkin. Meski enggan, kuakui tanganku bergetar untuk memulai perbincangan
ketiga selama satu setengah tahun belakangan.
“Tentu.” jawabnya singkat. Garis-garis wajahnya
menyiratkan kelelahan panjang. Bagian bawah matanya terlihat menghitam seperti
orang yang tidak pernah tidur. Baru pertama kali aku memperhatikannya, ada
beberapa noda kehitaman lain yang menghiasi wajah bening lelaki paruh baya itu.
“Ada apa dibalik fenomena itu?” tanpa basa-basi. Kuarahkan jari telunjukku
pada dua orang perempuan yang beberapa waktu lalu baru saja membuka buku,
hendak belajar bersama. Tapi sekarang justru berjauhan, bahkan saling mencibir..
“Namamu?” tanpa kuduga, lelaki paruh baya di hadapanku justru menatap
tajam. Menyelidik, menegerutkan dahi. Menanyakan siapa gerangan namaku.
“Ng.. nama?” aku ragu. Belum pernah aku memperkenalkan diri secara langsung
selama berada di tempat ini.
“Ya, beritahu aku namamu dan aku akan beritahu Kau tentang apa yang
mengganggu pikiranmu.”
“Ini.” Kutunjukan kartu pelajar milikku, menunjukkan namaku pada lelaki
itu. Sejenak ia melihat wajahku. Memastikan bahwa aku benar-benar yang tertera
pada kartu pelajar itu. Tanganku masih terjulur.. Berharap episode kutukanku
akan memulai titik cerah. Berganti dengan episode baru.
***
Tahun kedua, entah bagaimana aku mulai dapat mengerti siklus harian para
makhluk anomali yang hinggap di tanah ini. Meski mengertiku masih jauh dari
paham, namun paling tidak berbincang dengan mereka bukan lagi hal yang sebegitu
menjengkelkannya. Yah, mampu berbincang selama lima menit saja sudah
benar-benar mengagumkan. Karena lebih dari itu, aku harus siap menanggung
resiko. Entah diacuhkan, entah ditatap sinis, atau yang cukup ekstrim;
ditendang. Tentu saja. Aku pernah ditendang. Berkali-kali. Yang paling sering
melakukannya adalah Razba. Pemuda berkacamata itu yang paling sulit ditebak
siklusnya. Kuhitung-hitung, sudah lebih dari lima puluh kali aku ditendang
olehnya. Tahun pertama, tentu aku masih mengkal tak karuan. Kutarik kacamatanya
secara paksa usai ia menendangku dengan keras untuk pertama kalinya. Dia
pikir aku ini makhluk apa, hah?! Kau tahu? Bagian paling menjengkelkan
adalah ketika ia justru tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku. Lantas
menyodoriku segelas teh lemon dingin yang sudah berkeringat. Sungguh gila.
Seumur hidup aku tak pernah membayangkan akan berperilaku seperti itu.
Berbincang dengan seseorang, berbaik hati, semenit kemudian menendangnya tanpa
sungkan, lantas menolongnya dan menyodorinya minum.
Lain lagi dengan Kaia. Sebenarnya Ia tak terlalu mengganggu. Hanya saja
sangat tidak masuk akal setiap hendak masuk atau keluar ruangan kelas. Kaia
akan menghantamkan kepalanya di pintu setiap kali pelajaran usai, dan akan
menedang pintunya keras-keras setiap kali memasuki ruang kelas. Awalnya,
kupikir ini semacam penyakit kejiwaan. Tapi ternyata tidak. Kaia terlihat
normal pada kesempatan lain. Ia bahkan masuk pada urutan nama peraih olimpiade
tingkat bumi tahun ini. Selain itu, Kaia tidak berperilaku sama pada semua
pintu. Ada dua pintu yang tidak pernah ia perlakukan seperti itu. Belakangan
aku tahu Kaia hanya menendang dan menghantam kepalanya ketika menemui pintu
yang bergaris sembilan dan sedikit transparan. Anomali. Dan secara alamiah aku
mulai mengerti kapan aku bisa berkata, bertanya, dan kapan aku harus bersembunyi
di loteng Gedung Serba Guna, atau naik ke atas tangki air untuk menghindari
kegilaan para penghuni tanah ini. Sehari minimal satu kali.
Kau mungkin bertanya-tanya bagaimana bisa aku terus membicarakan soal
penghuni tanah ini, seakan-akan aku tak termasuk di dalamnya. Kuberitahu, bahwa
kurasa semua orang yang tinggal disini mengalaminya –hanya saja dalam bentuk
dan soal yang lebih bervariasi-. Aku baru saja tahu tentang fakta ini pada
tahun ketiga. Setelah perbincangan-perbincangan singkatku dengan lelaki pojok
perpustakaan. Perbincangan-perbincangan singkat, karena ternyata ia adalah
penghuni lama. Hanya saja sebelumnya ia bertugas sebagai penjaga studio di
Gedung Serba Guna sebelum akhirnya dipindah ke perpustakaan. Dan otomatis,
lelaki paruh baya itu pun juga bertingkah gila. Lima menit sekali, dan aku akan
menemukannya berdiri di atas rak buku, atau memaki kursi yang didudukinya.
Tapi, yah, paling tidak aku mendapat cukup banyak jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang telah kudaftar. Dan lambat laun aku sedikit tahu
tentang fenomena gila yang aku jumpai di tanah ini.
“Hei, Razba. Kau ingat pernah menendangku?” tanyaku suatu hari pada Razba
“Tidak. Kapan?” ia tersenyum ramah. Aku menelan ludah.
“Lima detik yang lalu, kau menendangku untuk yang ke tiga puluh lima
kalinya.”
“Tidak. Aku bersumpah tidak pernah menendangmu. Sungguh.” Razba
menggelengkan kepalanya cepat. Alisku mengangkat secara otomatis. Bagaimana
mungkin dia tidak ingat sama sekali? “Kau tidak percaya? Kau bisa tanyakan
pada siapapun. Aku tak pernah menendangmu.” Razba menatapku yakin
Kau tahu apa yang terjadi? Sedetik kemudian Razba kembali menedangku untuk
yang ke tiga puluh enam kali. Persis setelah ia membuat pengakuan kalau ia tak
pernah menendangku. Konyol? Ya. Bukan cuma sekali aku mendapati percakapan aneh
semacam itu. Dan yang lebih aneh adalah bahwa apa yang dikatakannya itu benar. Aku
bertanya banyak orang dan tak ada yang mengaku pernah melihatku ditendang
olehnya. Lantas aku mulai merasakan
sensasi mengasyikkan atas semua kejadian aneh di tanah ini. Lelaki pojok
perpustakaan yang kudatangi tiap satu minggu dua kali itu kerap memberitahuku
apa-apa yang hampir membuatku gila permanen. Hiperbola? Tidak juga. Berlebihan?
Kukatakan ‘ya’.
Tumpukan pertanyaan yang terus berputar-putar dalam benak mengantarkanku
untuk sering mengunjungi perpustakaan. Secara alami aku tahu persis posisi dan
letak semua komponen perpustakaan, bahkan hingga tempat penyimpanan rahasia
sepatu cadangan milik si pustakawan. Pustakawan
itu selalu siap sedia sepatu cadangan. Berjaga-jaga kalau hari hujan dan
sepatunya basah. Aku tahu, Dia selalu ingin tampil necis. Tapi yang
paling menarik adalah Pojok Arsip. Kalau Kau memasuki perpustakaan tanah ini, Kau
cukup berjalan lima langkah, menghadap kiri, berjalan tiga langkah ke depan dan
mulai memasuki lorong sebelah kanan hingga Kau menemukan sebuah papan
bertuliskan ‘Pojok Arsip’. Di sanalah aku mengetahui banyak hal. Tentang
sejarah institut ini, tentang fenomena aneh para penghuninya, tentang jawaban
segudang pertanyaan ‘mengapa’. Dan Pojok Arsip benar-benar membuatku kagum akan
semua fenomena gila itu.
Data-data yang aku peroleh benar-benar menakjubkan. Tapi ada satu informasi
yang ternyata menjadi akar dari semua fenomena gila yang terjadi di tanah
berjuta kisah ini; craz. Jangan tanyakan Aku soal apa itu craz, karena sampai saat ini pun aku
belum megetahuinya secaa jelas. Sejauh yang aku mengerti, craz adalah apa yang selama ini kusebut tindak anomali. Jadi, denah institut ini sebenarnya mengandung
kode-kode yang menyatakan keanomalian sifat para penghuninya. Dan ternyata
keanomalian seperti menendang atau menghantam pintu bukan hanya terjadi pada
Razba dan Kaia. Mereka berdua hanyalah generasi ke sekian yang berperilaku
sama. Setiap penghuni tanah ini memiliki yang berbeda satu sama lain dan
tergambarkan seutuhnya pada denah institut ini. Semua penghuni tanah ini
dipastikan memiliki craz. Hal ini kudapati melalui Pojok Arsip secara
valid dan akurat. Ada daftar rentetan nama penghuni tanah ini disertai craz
dari masing-masing mereka. Lebih
dari itu, bahkan masing-masing craz ini didefinisikan secara mendetail
pada Halaman Identifikasi yang
terdiri dari lima puluh ribu halaman terhitung sejak enam belas tahun yang lalu.
Menakjubkan. Sungguh. Bahkan ada macam craz
lebih gila yang tidak kudapati selama dua setengah tahun belakangan; memasuki
layar, bersayap ketika hujan, mengamuk lima kali setiap detik.
Bukan hanya Kau, saat itu aku pun bertanya-tanya craz macam apa yang
aku miliki. Sempat terfikir, jangan-jangan tim penyeleksi ujian masuk institut
ini luput untuk memperhatikan namaku, atau mungkin aku ini objek nyasar.
Karen jujur saja, aku merasa paling normal. Dan bergidik ngeri setiap
makhluk-makhluk disini bertindak anomali; menunjukkan craz mereka. Kutatap
satu persatu deretan nama yang tertera dalam Buku Besar Data Craz itu, tapi tak
kutemukan namaku. Tak mudah, memang. Mengingat banyaknya jumlah halaman yang
tertera. Setengah miliar halaman. Tapi semua itu tak terasa memberatkan
mengingat aku sedang mencari tahu, terlebih mencari tahu tentang diriku
sendiri. Dan waktu pun berlalu. Sayangnya, tidak ada. Aku tidak menemukannya dimanapun setelah empat puluh
delapan jam berkutat penuh dengan semua arsip mulai dari kertas yang telah
menguning hingga kertas yang masih jernih berwarna putih bersih. Tak ada namaku
disana. Jujur saja, sebenarnya aku kecewa. Tapi yah, apalah itu yang dinamakan craz.
Aku bahkan tak mengenalnya sebelum ini.
Hari sore, jadwalku menemui lelaki pojok perpustakaan. Aku mengadukan
perihal diriku yang tidak terdaftar dalam Buku Besar Identifikasi Craz. Awalnya
ia kaget setelah kukabarkan bahwa aku telah mengecek buku enam puluh lima ribu
lembar halaman itu sebanyak tiga kali sebelum aku pasrah dan membuat konklusi
bahwa namaku memang tak tertera disana. Sejurus kemudian, lelaki itu tertawa
hingga giginya kelihatan. Senyum pertama miliknya yang berhasil kutangkap –atau mungkin memang
itulah senyumnya yang perdana-. Diam-diam
kulirik jam tangan milikku. Lima menit lagi, lelaki di hadapanku akan
menunjukkan craz-nya. Dia kerap menekuk alis dan naik ke atas rak buku
di sebelah barat setiap sore. Setiap pustakawan necis itu hendak
merapihkan buku-buku yang berserakan ulah para pengunjung perpustakaan.
“Kenapa tertawa, Tuan?” Aku melambaikan tangan kananku tepat di hadapan
wajahnya.
“Haha, tidak. Kau bukan yang pertama.” Ia menepuk pundakku tegas. Aneh.
Tidak serius seperti biasanya. Sore ini lelaki itu terasa lebih bersahabat.
“Maksud Tuan?”
“Selamat, Nak. Ada banyak hal yang belum aku dan Kau ketahui. Seperti
halnya persoalan craz ini. Beruntunglah karena kau memiliki craz luar biasa. Craz langka.” Tiba-tiba ia berjalan melewatiku. Memintaku untuk mengikutinya.
“Mau kemana?” Ujarku sambil melirik jam tangan. Empat menit lagi, dan aku
akan kehilangan episode seru ini.
“Kau tentu tahu Pojok Arsip, kan?” Yang ditanya balik bertanya.
“Ya. Dari sana aku mencari tahu semua fenomena gila ini.” Aku pasrah.
Mengikuti Lelaki di depanku berjalan menuju ruangan tempat si pustakawan biasa
menatap layar komputer; mengerjakan apa yang biasa disebut pekerjaan.
“Tapi Kau pasti belum tahu Pintu Arsip.” Lelaki itu membalikkan badan.
Tepat ketika kami berdiri di depan pintu ruangan si pustakawan.
“Pintu Arsip? Maksudmu pintu yang itu?” kutunjuk pintu coklat bertuliskan ‘Oui’.
Sebuah kata Prancis yang artinya ‘ya’. Pustakawan necis itu memang kerap
kali berkata oui. Pertama kali berjumpa, kupikir dia tak memiliiki
kosakata lain selain kata asing singkat itu.
“Bukan. Ikuti aku.” Ia membuka pintu dan kami mulai menelusuri ruangan. Hal
yang baru saja Aku ketahui adalah bahwa ruangan si pustakawan ternyata tak
sekecil yang aku perkirakan. Meski aku tahu persis seluk-beluk perpustakaan,
benar-benar tak sampai kepada tahap ini. Tahap dimana aku menatap sebuah pintu
biru keemasan bertuliskan ‘Pintu Arsip’ dengan font yang membuatnya terlihat
seperti pintu masuk gudang perkakas.
***
Tidak. Dugaanku tepat sekali. Ini sudah menit kelima sejak pertama kali
kulirik jam tanganku sore ini. Dan benar saja. Lelaki itu mulai bertindak gila.
Baru saja kami memasuki ruangan persegi yang bentuknya jadi terlihat seperti
segi enam karena tatanan rak-rak buku di dalamnya. Dan tahu-tahu ia berteriak
keras lantas berlari kencang ke luar ruangan. Mencari rak buku di sebelah barat
ruang perpustakaan, kurasa. Seperti biasanya. Dan hening. Suara lelaki itu semakin
hilang seiring kepergiannya. Kutarik nafasku pelan. Diam-diam bersyukur karena
masih diberi hidup meski kuakui, aku hampir frustasi.
Fenomena di dalam ruang ini terasa lebih gila dibandingkan yang selama ini
kuanggap gila. Lampu satu-satunya di dalam ruangan ini memekik sekali entah
tiap berapa satuan waktu. Jam tanganku rusak karena hantaman bola basket yang
tiba-tiba keluar dari sebuah tabung transparan di salah satu rak yang berderit
setiap aku menyentuhnya. Dan yang paling buruk, aku terkunci dalam ruangan gila
ini. Sedikit kusesali, kenapa tak kuikuti saja si lelaki pojok perpustakaan keluar
dari tempat ini. Entahlah apakah ini karma, kutukan, atau hanya sebuah
kebetulan yang menyebalkan. Yang jelas,
aku terperangkap.
Lima puluh dua jam, dan aku hampir mati kelaparan. Kehausan, lebih tepatnya. Bagaimana bisa tak ada
yang menyadari bahwa aku terkunci di ruangan ini? Sementara rak-rak buku di
tempat ini mulai bertingkah. Melayang-layang. Sebuah mesin berbentuk prisma
aktif secara otomatis. Melalu definisi singkat yang tertera di bagian bawah
mesin, kuketahui itu merupakan mesin peminimalisasi gaya berat. Belakangan
kusadari bahwa ruangan ini memuat berbagai macam penemuan-penemuan ilmiah dari
setiap generasi. Sejauh ini, yang kulakukan adalah membaca literatur-literatur,
mencoba mencari tahu tentang apa yang terjadi. Sesekali kucoba mengoperasikan
berbagai macam mesin yang ada di dalam ruangan bercat biru ini. Dan inilah
hasilnya. Kutemukan satu unit komputer mini dengan layar berukuran 3x5 cm. Dapat
kuoperasikan dengan password berupa sidik jari telunjuk sebelah kanan.
Beruntungnya, komputer mini ini mampu menangkap sinyal wireless perpustakaan. Tak berfikir lama, aku segera menuliskan ini
dan hendak menerbitkannya ke internet. Supaya ada yang membaca, supaya Kau
membaca, supaya ada –siapapun- yang datang dan segera menolongku untuk keluar
dari ruangan gila ini. Karena aku semakin gila usai membaca definisi yang
tertera pada bagian bawah komputer mini yang kini sedang kugunakan.
Komputer Mini. Hanya dapat digunakan oleh jalur generasi murni yang mampu
melihat fenomena craz dengan kasat mata tanpa menggunakan kacamata pendeteksi
craz. Diperuntukkan bagi generasi murni yang berkeinginan untuk memiliki craz.
Komputer Mini tersistem secara otomatis untuk men-download craz dan
meng-upload-nya kepada generasi yang menggunakannya. Proses penampilan craz
akan berlangsung dalam tiga tahap; satu jam untuk download , satu jam untuk
upload, dan satu jam berikutnya untuk proses peng-install-an. Craz akan bekerja secara
otomatis setelah tiga proses tersebut selesai.
Perhatian : Proses dimulai sejak generasi murni memasukkan password berupa
sidik jari tangan kanan.
Sudah satu jam berlalu. Aku percaya dua jam lebih dari cukup bagimu untuk
sekadar membuka pintu perpustakaan, meminta lelaki paruh baya untuk menemanimu
ke tempat ini (tak perlu ragu karena lelaki itu selalu duduk di sebelah timur
perpustakaan –kecuali jika craz-nya
sedang kambuh-), dan menolongku untuk segera keluar melalui Pintu Arsip. Cepatlah, sebelum aku menjelma menjadi manusia setengah gila dengan memilki tindak
anomali itu; CRAZ.
Kau pernah, mengalaminya?
Tentang kesialan yang menguntungkan.
***
Rizky Sahla Tasqiya
3200016
2012/2013