Kurang
lebih dua minggu sejak pertama kali saya menjadi penghuni tetap tanah ini. Tak
berbeda dengan teman-teman kebanyakan, meski kembali tinggal di asrama,
adaptasi jelas mutlak adanya. Tanah yang dipijak berbeda, jelas peraturan,
sistem, pergaulan, lingkungan-pun juga berubah. Semua ini butuh adaptasi. Butuh
format ulang, formula baru, jurus andalan yang baru. Dinamis. Sekarang, saya
jadi benar-benar memahami makna dari kalimat yang dilontarkan salah seorang
guru saya di madrasah Aliyah dahulu; “Insan Cendekia itu dunia imajinatif,
fantasi. Semua orang baik. Di luar gak seperti ini.” Kurang lebih begitu. Yup,
saya juga jadi lebih paham kalimat “hidup itu ga seindah di IC, De. Aman,
nyaman, tentram, gak seindah itu”. Belum lagi mendengar cerita kawan-kawan
seperjuangan yang sama-sama hinggap di tanah juangnya yang baru. Benar. Dunia
ini logis. Dan kita harus pandai-pandai menyeleksi mana kelogisan yang hendak
kita ambil. Harus meningkatkan daya kritis. Tapi soal hidup ini indah, saya
yakin 100% benar adanya. Kan sudah diatur sama Dia. :D
Nyatanya,
pernah menapaki kaki di Insan Cendekia sebagai seorang siswi adalah nikmatNya
yang luar biasa. Saya dipaksa untuk tahu diri, dipaksa untuk tahu malu pada
diri sendiri, pada negeri sendiri. Label anak beasiswa yang saya dan
teman-teman rasakan menjadi ‘beban’ dalam artian luas. Kami benar-benar punya
hutang pada negeri ini. Baru beberapa hari yang lalu masa perkenalan kampus
saya telah selesai. Tak lama lagi akan dilaksanakan peresmian sebagai mahasiswa
baru. Insya Allah. Tak akan saya bahas disini, soal masa perkenalan kampus yang
tahu-tahu jadi agak hambar karena diri sendiri yang malah terngiang-ngiang
bagaimana dulu digembleng selama satu minggu dalam Pekan Ta’aruf Siswa ketika
hendak memasuki madrasah aliyah boarding school itu. Yang saya sadari, benar
sekali pepatah yang berbunyi “yang kedua dan seterusnya akan terasa lebih mudah
dibanding yang pertama”.
Tentang
halte baru saya ini; Institut Pertanian Bogor. J
Alhamdulillah, setelah proses panjang, melalui fase-fase bingung dan segala
turunannya, pada akhirnya tiba juga saya disini. Kota Bogor yang terkenal
menyandang gelar kota hujan lantaran curah hujannya yang terbilang cukup
tinggi. Jurusan? IKK (Ilmu Keluarga dan Konsumen). Sebuah jurusan yang
jangankan Anda, saya pun baru mendengarnya kurang lebih satu tahun lalu. Agak berliku.
Psikologi, pendidikan, biologi, teknologi pangan, sampai akhirnya menemukan
yang namanya IKK ini justru disaat saya sedang mencari tahu tentang jurusan
biologi. Sempat hampir mantap mengambil jurusan teknologi pangan dengan
beasiswa S1 di salah satu perguruan tinggi swasta daerah Kuningan, ternyata
pada akhirnya yang saya ambil ya IKK ini. Apapun, saya yakin rencanaNya tidak
pernah salah dan selalu indah. Insya Allah. :D tentu bukannya tanpa
pertimbangan dan tanpa tujuan. Saya punya alasan kenapa memilih disini,
institut ini, dengan jurusan yang telah saya sebutkan di atas.
Mengetahui
bahwa kita tidak sendirian di tanah baru adalah hiburan tersendiri. Ada
beberapa yang sudah saya kenal disini. Teman MAN, MTS, MIN, juga ada
kenalan-kenalan baru yang terhubung secara ajaib; networking. Saya jadi ingat syair Imam Syafi’I yang dahulu sempat
menjadi sajak penyemangat saya di masa-masa awal ketika harus melakukan
perantauan kecil saat Aliyah.
Orang
berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan
negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah,
kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah,
manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat
air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika
mengalir menjadi jernih
Jika tidak,
kan keruh menggenang
Singa jika
tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah
jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
Jika
matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu
manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas
bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu
tak ubahnya kayu biasa
Jika di
dalam hutan
-Imam
Syafi’i-
Pertama kali mengetahui sajak ini dari acara bedah
buku yang diadakan perpustakaan sekolah saya. Mengundang Ahmad Fuadi, membahas
novel dari triloginya yang pertama; Negeri 5 Menara. Saat itu, sajak ini
seperti punya daya tarik tersendiri bagi saya. Menyemangati sekali. Saya tulis
dimana-mana. Saya baca berulang-ulang. Saya promosikan ke teman-teman. Lewat
tulisan, lisan, telepon, apapun. Tahu-tahu jadi hapal. Hhe. Dan di halte baru
saya ini, saya punya ‘jargon’ andalan. Ingat kata-kata seorang teman melalui
pesan singkat di suatu siang. Hari kedua saya tinggal di tempat baru ini.
Begini;
“Selamat kembali berjuang..
Ayo kita niatkan mencari ridhoNya J
Inget ini:
Man kharaja fii thalabil 'ilmi fahuwa fii sabiilillaahi hattaa yarji'a"
Barangsiapa keluar untuk menuntut ilmu, maka ia ada di
jalan Allah hingga pulang. Ini janji yang keren abis. 8) jadi alarm supaya
harus selalu ingat, niat awal melangkahkan kaki ke halte baru ini. Memang,
jarak rumah dengan tempat rantauan saya ini terbilang dekat. Katakanlah Jakarta-Bogor.
Jauh dibandingkan teman-teman saya yang lain. Jawa Timur, Aceh, hingga Papua.
Tapi ini dia janjiNya yang keren. Ga ada syarat jarak disana. Semua orang dapet
kesempatan yang sama. Adil. Sama rata. J
Perbedaan lagi yang sangat perlu dikondisikan. Di
asrama masa Aliyah, tidak ada yang namanya barang-barang elektronik seperti HP
atau laptop berkeliaran di asrama. Peraturannya yang mengharuskan seperti itu.
Berbeda, sekarang dibolehkan. Yang namanya mahasiswa tentu memiliki kebutuhan
yang berbeda dengan siswa, kan? Nah, dimana-mana, yang namanya kebijakan pasti
punya dampak positif dan negatif. Asyiknya dulu adalah, antar kawan satu asrama
jadi banyak sharingnya. Mau ngapain lagi, teman ngobrol ya yang ada di depan
mata. Gak ada dunia maya-mayaan itu. Banyak sharing, lebih dekat. Susahnya,
kalau mau ada acara kumpul atau rapat, komunikasinya jadi lebih kompleks. Hhe.
Lagi, hidup terasa lebih sehat tanpa benda-benda elektronik. Serius. Sekarang,
bias ditebak. Ketika benda-benda itu bebas berkeliaran, semuanya jadi terasa
lebih individualis. Asyik sama dunia maya masing-masing. Asik nonton film, asik
chatting. Nilai plusnya, tugas lebih mudah, bisa dipakai untuk sarana produktif
kayak nulis ginian, (meski tahu-tahu saya sadari, frekuensi menulis saya di buku
jurnal berkurang drastis. Kebanyakan nulis di media digital jadinya). Satu hal.
Harus pandai-pandai self control. Dan ini justru bagian yang paling sulit.
Kalau dulu rajin bolak-balik manggil orang untuk kumpul misal, sekarang tinggal
ketik pesan, send, selesai. Rasa malas benar-benar diuji. Serius. Dari sini
saya sadar, tantangan yang benerannya bukan saat saya berada di Aliyah dulu.
Justru ketika sudah menjadi alumni, dan menapaki halte baru. Sejauh mana
pengalaman yang sudah saya dapat mampu saya terapkan di kehidupan yang katanya
keras ini. Lagi! Tentang shalat lima waktu. Benar kata kakak-kakak yang sudah
mendahului jadi alumni. Yang namanya shalat lima waktu, tepat waktu, di masjid,
itu akan sangat dirindukan. Dan saya mulai merasakannya. Iya, benar sekali.
Kalau dahulu ke masjid merupakan rutinitas, ya sekarang tidak lagi. Memang,
perempuan kan lebih utama shalat di rumah. Soal tepat waktu pun, dahulu
kegiatan sudah diatur sedemikian rupa. Waktu sudah tersistem. Sekarang, memang
sih belum mulai kuliah. Tapi rasanya, benar sekali. Harus pandai mengatur waktu
sendiri. Harus mandiri.
Anak kecil. Sejak dulu saya senang ngeliatin anak
kecil. :D mereka mampu terlihat sangat yakin, dan bisa sangat percaya akan
suatu hal. Anak kecil punya kekuatan luar biasa yang bagi saya sungguh
inspiratif. Ini yang menjadi landasan saya bisa berkata dengan PDnya suatu
siang di gedung serba guna sekolah Aliyah saya, bahwa yang namanya cicak
terbang itu ada. Ini juga yang jadi landasan saya, berkoar-koar kalau saya
benar-benar punya indera ke6. Dan tidak masalah. Saya merasakan dampak luar
biasa. Anak kecil benar-benar inspiratif. Dan saya bersyukur pernah menyandang
gelar itu; menjadi seorang anak kecil. Kenapa tiba-tiba ngomongin anak kecil?
Hha. Soalnya, ini yang sempat saya khawatirkan; kehilangan semangat anak kecil
itu. Kata orang, seiring bertambah usia, pikiran manusia akan semakin realistis
dalam artian tidak out of box seperti anak kecil. Terbatas. Tapi dilihat-lihat,
itu bukan rumus mutlak. Makanya, biar saya ikat disini dengan menuliskannya.
Biar ingat, biar tetap yakin. Biar tetap childlike. Biar bisa berbagi. :D
Haha, loncat-loncat. Saya tidak memiliki point jelas,
daftar apa-apa yang hendak saya tuliskan. Memang bukan tipe orang yang
terstruktur. Biarkan saja lah, anak
kecil juga tidak terstruktur kan. :P #eh. Jadi begini saja. Apapun, semoga
halte baru ini menjadi tanah perjuangan saya dan kawan-kawan berikutnya. Aamiin Allahumma
Aamiin. Insya Allah. :D
Bogor,
August 31st 2013 5.27 pm.
Bersama 6 orang kawan seperjuangan dari tanah Serpong yang hijrah ke Bogor. "Kami pernah menapaki tanah ini. Pergi, kembali, kelak untuk negeri." Galang - Itse - Arif - Riz - Rowi - Zahra - Qomar |
Yey, bagus ris, ga make bandara aja ris biar lebih cepet... hehe
ReplyDeletepake pesawat tapi berentinya di halte. biar gereget. 8)
Deleteberlelah-lelah lah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang :)
ReplyDeletelompat2 tapi inspiratif riz :3