Tuesday, September 24, 2013

Air Mail #1

Madinah adalah kota cinta. Udaranya adalah kumpulan partikel cinta. Langitnya adalah atap rumah cinta. Bangunan-bangunannya adalah potret keteguhan cinta. Pun penduduknya, tercipta karena cinta. Kota ini sempurna indah karena cinta sang tercinta yang dicinta oleh Maha Pemilik Cinta.


Razen tersenyum tipis. Matanya menatap teduh ke sudut-sudut penjuru sejauh ia mampu memandang. Siang hari di kota Masjid Nabawi sungguh menantang peluhnya. Terik. Lebih-lebih di hari pertama bulan Ramadhannya tahun ini. Tapi pemuda itu tidak berhenti. Langkahnya masih gagah menyusuri kota Madinah, -kota cintanya-.
**
Assalamu’alaikum. Ini aku, kawan lamamu; Razen. Masihkah kau ingat aku, Aster? Entah ini surat udara ke berapa yang aku layangkan untukmu. Tak tertulis, tak terkirim, tak pernah terbaca. Yang sudah-sudah memang banyak yang tak penting. Tapi untuk kali ini, sungguh, aku benar-benar berharap kau dapat ‘membacanya’. Kau tahu? Aku sedang berada di Madinah. Di kota dambaan setiap pencinta, termasuk kau dan aku. Rasanya baru kemarin kujanjikan padamu untuk berjumpa di tanah ini. Ramadhan kali ini pun adalah Ramadhan ke 10 sejak kau lempari aku dengan segenggam lumpur. Awal pertemuan getir masa kecil yang mampu membuatku terganggu dengan bayangan namamu dalam setiap kesempatan; Aster.
**
“Jual bunga Aster, Tuan?”
Menggeleng. Lagi-lagi pertanyaannya disambut dengan tatapan aneh. Razen tahu pasti, kota Madinah dengan suhu ektremnya bukanlah tempat sang Aster untuk mekar. Tapi bukankah ini kota cinta? Bukankah Ramadhan adalah bulan penuh cinta? Bukankah tak ada yang mustahil bagi Sang Pemilik Cinta? Maka biarkanlah Razen menyelami kota cintanya. Sekedar untuk mencoba.
**
“Kamu tahu tempat ini?” tanyamu pelan dengan logat bahasa lokal yang terdengar aneh. Kau membiarkan es krim dalam genggaman tanganmu menetes ke tanah. Meleleh. Entahlah, mungkin ini bisa disebut sebagai pengakuan. Sebenarnya aku ingin tertawa melihat wajah polos milikmu saat itu. Tapi lihatlah, betapa gengsiku sudah sedemikian besar bahkan ketika aku masih menyandang gelar bocah berumur 9 tahun.

“Nggak.” Hanya itu. Sebatas itu. Aku enggan mengatakan lebih banyak kata padamu. Padahal aku kenal baik tempat itu. Tanah kelahiranku, kampung halamanku. Di tempat kita berpijak adalah padang rumput tua yang bila kau sedikit turun ke arah Selatan, akan tampak sebuah perkebunan stroberi milik Tuan Erdas; seorang lelaki paruh baya yang berkumis tipis dan murah senyum. Kalau kau berkunjung ke sana setiap hari Rabu, maka dipastikan kau tidak akan pulang dengan tangan hampa. Jika tidak sekeranjang stroberi, Tuan Erdas akan membekalimu dengan semangkuk sup istimewa hasil racikannya sendiri. Percayalah, bahkan aku yang mudah jenuh pun tak pernah bosan dengan sensasi rasa sup istimewa itu. Entah adonan macam apa yang beliau sajikan. Satu saat aku pernah bertanya, ia hanya tertawa kecil dan menjawab dengan sebuah kata sarat makna; cinta. Ya, cinta adalah adonan utamanya.

Lain lagi jika kau berkunjung ke arah Barat. Pernah aku menghitung langkah kakiku, kira-kira kau butuh lima puluh enam langkah hingga dapat menyaksikan ke aneka-ragaman di suatu tempat yang biasa kusebut ‘pasar aneka ragam’. Kunamai demikian karena tiap aku melirik kepadanya disaat matahari dalam perjalanan hendak mencapai puncak, segala macam fenomena kehidupan hampir tergambar sempurna disana. Seakan makhluk dari A sampai Z, kegiatan dari A sampai Z, dan segalanya dari A sampai Z, terjadi disana. Dalam satu waktu.

Ah, terlalu banyak yang ingin aku utarakan. Tapi tidak saat itu. Tidak saat es krim milikmu semakin menodai tanah. Tidak saat gengsiku menjadi prioritas utama. Tidak, saat aku belum mengerti apa arti mengenalmu, Aster.
**
“Maaf, Razen.” Kau berkata pelan. Menunduk. Tanganmu menjulurkan sekantung plastik hitam berisi segala macam pemberianku selama tujuh tahun belakangan. Aku tak banyak berkata. Lidahku terlalu kelu melihat tanganmu gemetar. Saat itu aku sama sekali tak punya ide tentang apa yang sedang terjadi padamu. Saat dimana aku merasa begitu bodoh.

“Aku akan pergi. Jaga dirimu baik-baik.” Lanjutmu. Aku bisu seketika. Tak berani menebak hendak kemana arah perbincangan kita. Tak berani menebak hendak kemana kau pergi.
Dan benar saja.
Kau benar-benar pergi.

***

dibuatpadaRamadhan1433H

No comments:

Post a Comment