Madinah adalah kota cinta.
Udaranya adalah kumpulan partikel cinta. Langitnya adalah atap rumah cinta.
Bangunan-bangunannya adalah potret keteguhan cinta. Pun penduduknya, tercipta
karena cinta. Kota ini sempurna indah karena cinta sang tercinta yang dicinta
oleh Maha Pemilik Cinta.
Razen tersenyum tipis. Matanya
menatap teduh ke sudut-sudut penjuru sejauh ia mampu memandang. Siang hari di
kota Masjid Nabawi sungguh menantang peluhnya. Terik. Lebih-lebih di hari
pertama bulan Ramadhannya tahun ini. Tapi pemuda itu tidak berhenti. Langkahnya
masih gagah menyusuri kota Madinah, -kota cintanya-.
**
Assalamu’alaikum. Ini aku, kawan
lamamu; Razen. Masihkah kau ingat aku, Aster? Entah ini surat udara ke berapa
yang aku layangkan untukmu. Tak tertulis, tak terkirim, tak pernah terbaca.
Yang sudah-sudah memang banyak yang tak penting. Tapi untuk kali ini, sungguh,
aku benar-benar berharap kau dapat ‘membacanya’. Kau tahu? Aku sedang berada di
Madinah. Di kota dambaan setiap pencinta, termasuk kau dan aku. Rasanya baru
kemarin kujanjikan padamu untuk berjumpa di tanah ini. Ramadhan kali ini pun
adalah Ramadhan ke 10 sejak kau lempari aku dengan segenggam lumpur. Awal
pertemuan getir masa kecil yang mampu membuatku terganggu dengan bayangan
namamu dalam setiap kesempatan; Aster.
**
“Jual bunga Aster, Tuan?”
Menggeleng. Lagi-lagi
pertanyaannya disambut dengan tatapan aneh. Razen tahu pasti, kota Madinah
dengan suhu ektremnya bukanlah tempat sang Aster untuk mekar. Tapi bukankah ini
kota cinta? Bukankah Ramadhan adalah bulan penuh cinta? Bukankah tak ada yang
mustahil bagi Sang Pemilik Cinta? Maka biarkanlah Razen menyelami kota
cintanya. Sekedar untuk mencoba.
**
“Kamu tahu tempat ini?” tanyamu
pelan dengan logat bahasa lokal yang terdengar aneh. Kau membiarkan es krim
dalam genggaman tanganmu menetes ke tanah. Meleleh. Entahlah, mungkin ini bisa
disebut sebagai pengakuan. Sebenarnya aku ingin tertawa melihat wajah polos
milikmu saat itu. Tapi lihatlah, betapa gengsiku sudah sedemikian besar bahkan
ketika aku masih menyandang gelar bocah berumur 9 tahun.
“Nggak.” Hanya itu. Sebatas itu.
Aku enggan mengatakan lebih banyak kata padamu. Padahal aku kenal baik tempat
itu. Tanah kelahiranku, kampung halamanku. Di tempat kita berpijak adalah
padang rumput tua yang bila kau sedikit turun ke arah Selatan, akan tampak
sebuah perkebunan stroberi milik Tuan Erdas; seorang lelaki paruh baya yang
berkumis tipis dan murah senyum. Kalau kau berkunjung ke sana setiap hari Rabu,
maka dipastikan kau tidak akan pulang dengan tangan hampa. Jika tidak
sekeranjang stroberi, Tuan Erdas akan membekalimu dengan semangkuk sup istimewa
hasil racikannya sendiri. Percayalah, bahkan aku yang mudah jenuh pun tak
pernah bosan dengan sensasi rasa sup istimewa itu. Entah adonan macam apa yang
beliau sajikan. Satu saat aku pernah bertanya, ia hanya tertawa kecil dan
menjawab dengan sebuah kata sarat makna; cinta. Ya, cinta adalah adonan
utamanya.
Lain lagi jika kau berkunjung ke
arah Barat. Pernah aku menghitung langkah kakiku, kira-kira kau butuh lima puluh
enam langkah hingga dapat menyaksikan ke aneka-ragaman di suatu tempat yang
biasa kusebut ‘pasar aneka ragam’. Kunamai demikian karena tiap aku melirik
kepadanya disaat matahari dalam perjalanan hendak mencapai puncak, segala macam
fenomena kehidupan hampir tergambar sempurna disana. Seakan makhluk dari A
sampai Z, kegiatan dari A sampai Z, dan segalanya dari A sampai Z, terjadi
disana. Dalam satu waktu.
Ah, terlalu banyak yang ingin aku
utarakan. Tapi tidak saat itu. Tidak saat es krim milikmu semakin menodai
tanah. Tidak saat gengsiku menjadi prioritas utama. Tidak, saat aku belum
mengerti apa arti mengenalmu, Aster.
**
“Maaf, Razen.” Kau berkata pelan.
Menunduk. Tanganmu menjulurkan sekantung plastik hitam berisi segala macam
pemberianku selama tujuh tahun belakangan. Aku tak banyak berkata. Lidahku
terlalu kelu melihat tanganmu gemetar. Saat itu aku sama sekali tak punya ide
tentang apa yang sedang terjadi padamu. Saat dimana aku merasa begitu bodoh.
“Aku akan pergi. Jaga dirimu
baik-baik.” Lanjutmu. Aku bisu seketika. Tak berani menebak hendak kemana arah
perbincangan kita. Tak berani menebak hendak kemana kau pergi.
Dan benar saja.
Kau benar-benar pergi.
***
dibuatpadaRamadhan1433H
No comments:
Post a Comment