Assalamu’alaikum,
ini aku, Razen. Apa kabarnya dirimu? Jemariku selalu saja gemar tuliskan surat
di udara. Tak peduli akankah Kau baca, akankah Kau tahu. Hanya ada semacam
kepuasan tersendiri karena mengukir kisah di udara. Hanya ada harap yang
berbisik semoga saja ini bisa jadi bermanfaat. Kabarku baik, kuharap Kau
demikian. Beberapa minggu yang lalu aku mencoba datang ke rumahmu. Tak banyak
yang berubah. Ibundamu masih juga rajin merawat taman aster miliknya. Cantik.
Rumahmu bernafaskan violet, bernadakan hijau, beratmosfer biru. Aku percaya
rumah sederhana itu mengandung kenangan yang tak sederhana. Kalau Kau masih
disini, Kau akan bangga memandang ibumu. Wanita yang tak lagi bisa dibilang
muda itu begitu tegar. Begitu bersemangat. Meski kudapati ada bulir air mampir
di kedua pipinya ketika kami berbincang; berbagi kenangan tentang dirimu. Namun
bulir air itu sama sekali tak mengurangi ketegarannya. Justru dari sanalah aku
mampu menyimpulkan, ibumu benar-benar sosok yang hebat. Kau patut berbangga.
Bukan apa-apa,
aku hanya mengunjungi kampung halaman kita. Aku masih ingat betul, ketika Kau
dan keluargamu pertama kali datang. Ayahmu pemilik senyum yang menawan.
Terlihat bersahabat sekali. Pun ibumu, berhasil menyulap tanah yang telah lama
mati itu menjadi padang bunga. Lantas mengajak kami sama-sama berkontribusi.
Sungguh menyenangkan. Aku dan teman-temanku selalu saja menjadikan keluargamu
sebagai perbincangan mengagumkan kami. Orangtuamu sungguh membuat kami takjub. Sementara
Kau, anak tengil yang terlihat
bahagia setiap lemparan lumpurmu sukses mendarat tepat sasaran; menghantam
tubuh-tubuh kami. Dalam banyak hal, aku bertanya-tanya bagaimana Kau bisa
begitu tidak karuan jika kuingat ibumu, sosok wanita itu, terlihat begitu
bersahaja. Diam-diam aku cemburu padamu. Sungguh. Bersyukurlah, aku selalu
mendambakan kasih seorang ibu.
Ini aku, Razen;
kawan lamamu. Aster, masihkah Kau ingat aku?
**
Madinah adalah kota cinta
Muara rindu setiap pendamba
Jembatan
indah bagi para pejalan
Perahu agung menuju kejayaan
Madinah, sebuah potret kasih ibunda
Tanah dimana sayang tak hanya sekadar kata…
**
Aster yang baik,
Kau pernah mengatakan padaku bahwa ibumu adalah wanita super. Dengan bangga,
kau katakan bahwa beliau mampu menghilang. Aku tertawa. Kau aneh sekali, begitu
fikirku. Tapi Kau justru menekuk muka. Rupanya Kau benar-benar serius berkata
demikian. Dengan tangan mengepal, Kau tinggalkan aku sendirian. Petang itu
taman ilalang kita terlihat aneh sekali. Tak menari seperti biasanya. Membuatku
terpaku sempurna. Aku tak pernah menemui bocah perempuan sepertimu, Aster.
“Razen, seorang
teman tak seharusnya membantah perkataan temannya sendiri.” Kau berbisik dari
balik jendela.
“Aku tidak
membantah,” kutanggapi sambil memainkan rerumputan yang sudah meninggi di
halaman belakang rumahmu
“Tapi Kau
tertawa, Razen.”
“Aku hanya
tertawa”
“Ibuku bisa
menghilang. Harusnya Kau percaya itu.” Kau lantas menutup jendelamu.
Meninggalkan aku sendirian lagi. Dan saat itu aku benar-benar tidak mengerti
jalan fikiranmu.
**
Yang aku tahu,
ibumu amat mengagumkan. Wanita itu kerap kali mengajak aku dan teman-teman di
rumah asuhan berkunjung ke rumahmu. Bagian yang paling menyenangkan adalah
ketika ibumu mulai memetik beberapa buah merah ranum, lantas membagi-bagikannya
kepada kami. Kau bisa katakan, aku dan teman-teman merasa miliki sosok seorang
ibu. Ya, kau tahu, kami tak mengenal apa itu orangtua, terlebih seorang ibu.
Dan ibumu datang memberikan definisi itu pada kami. Sedikit banyak, kami jadi mengerti.
Dan tidak pernah kutemui ibumu tiba-tiba menghilang. Kau pasti bercanda, Aster.
Sampai akhirnya Kau berpamitan padaku pun, mengatakan bahwa tidak bisa lagi
menjadi temanku, tak pernah kita membahas tentang kekuatan super ibumu itu.
Sekalipun tidak. Bahkan hingga akhirnya Kau benar-benar pergi; tak sekadar
menarik diri dari berbincang denganku, benar-benar
pergi. Masih banyak hal yang ingin aku ketahui. Kau terbuka yang menyimpan
banyak rahasia. Periang yang diam dalam makna.
Beberapa minggu
lalu, kutemui ibumu di rumah sederhana kalian yang dipenuhi bunga. Tak banyak
yang berubah. Ibundamu masih juga rajin merawat taman aster miliknya. Cantik.
Rumahmu bernafaskan violet, bernadakan hijau, beratmosfer biru. Aku
dipersilahkan duduk di beranda rumah. Memandang bunga-bunga yang menghampar
luas. Ibumu hanya tersenyum, lantas menyodoriku secangkir coklat hangat. Tak ada
yang benar-benar spesial. Hanya perbincangan seadanya ditemani suara riang tawa
anak-anak yang sedang bermain lempar lumpur di pekarangan belakang; rutinitas
masa kecil kita, Kau ingat? Selang beberapa menit, beliau masuk ke dalam rumah;
mengatakan hendak mengambil kue coklat dari dapur. Aku mengangguk, mengiyakan.
Menunggu sambil memutar episode masa kecil bersamamu.
Dua puluh menit,
aku masih sendirian. Kupanggil ibumu, tak ada jawaban. Masih terdengar suara
riang anak-anak kecil dari pekarangan belakang. Aku merapikan cangkir coklat
yang kini telah kosong. Bergegas menyusuri taman aster milik ibumu, menuju
halaman belakang. Kupandang dari kejauhan, ibumu yang berada di tengah-tengah
riang tawa bocah-bocah itu. Melihat mereka saling melempar lumpur, sesekali
berlarian mencari tempat mengumpat. Langit jingga petang itu jadi terlihat
sempurna indah. Aku terperanjat. Wanita itu benar-benar miliki kekuatan super.
**
Aster, aku
berada di Madinah. Kota dambaan setiap pecinta, termasuk Kau dan aku. Aku
berada di tanah cinta; dimana kasih sayangnya seorang ibu diabadikan oleh waktu.
Ada sebuah kisah sederhana yang sangat berarti bagiku. Saat itu seorang ibu
tengah memangku kedua anaknya yang masih balita. Sekadar beristirahat di tengah
sibuknya dunia. Satu ketika, seseorang melewati mereka bertiga dan merasa iba.
Aster, kalau kau melihatnya, sungguh akan menjadi lukisan yang indah sekali,
kurasa. Orang tak dikenal itu menjulurkan tangannya. Memberikan tiga buah kurma,
Lantas sang ibu memberikan pada anaknya masing-masing satu buah kurma. Ketika
wanita itu hendak memakan kurma ketiga, kurma bagiannya, si anak dengan fikiran
masa kanak-kanaknya meminta kurma itu dari ibundanya. Tak peduli lapar, tak
ingat akan dirinya, wanita itu memberikan kurma terakhir pada anaknya. Ada
sebuah kebahagiaan tak tergambarkan disana. Ada garis sahaja yang terekam dari
tindaknya. Begitulah cinta ibu, Aster. Cinta yang tak pernah mengharap balasan.
Cinta yang hadirkan rasa bahagia karena memberi kepada anaknya. Kau tahu? Mengetahui
kisah tersebut, lelaki itu, ya, lelaki yang sama-sama kita rindukan untuk bertemu
dengannya, beliau berkata "Si Ibu itu masuk surga, karena memberikan kasih
sayang kepada anaknya". Itulah cinta seorang ibu. Cinta kasih yang bahkan
mampu membuka pintu syurga.
**
Maka lewat surat
udara ini, kuberitahukan padamu, Aster. Menghilang adalah cara ibumu memberikan
cinta-kasihnya. Sekali lagi, Kau patut berbangga. Bersyukurlah. Karena sampai
detik ini pun, aku masih merindukan kasih seorang ibu. Maafkan aku yang telah
menertawaimu saat itu. Kau benar, ibumu bisa menghilang. Kau benar, Aster.
Menghilang tak melulu melupakan. Dalam banyak hal, diam-diam banyak kenangan
yang terbawa dalam proses menghilang itu. Terimakasih karena telah mengajariku
konsep sederhana ini. Sungguh, kuucapkan terimakasih.
Razen.
***
No comments:
Post a Comment