Tuesday, September 24, 2013

Air Mail #2

Assalamu’alaikum, ini aku, Razen. Apa kabarnya dirimu? Jemariku selalu saja gemar tuliskan surat di udara. Tak peduli akankah Kau baca, akankah Kau tahu. Hanya ada semacam kepuasan tersendiri karena mengukir kisah di udara. Hanya ada harap yang berbisik semoga saja ini bisa jadi bermanfaat. Kabarku baik, kuharap Kau demikian. Beberapa minggu yang lalu aku mencoba datang ke rumahmu. Tak banyak yang berubah. Ibundamu masih juga rajin merawat taman aster miliknya. Cantik. Rumahmu bernafaskan violet, bernadakan hijau, beratmosfer biru. Aku percaya rumah sederhana itu mengandung kenangan yang tak sederhana. Kalau Kau masih disini, Kau akan bangga memandang ibumu. Wanita yang tak lagi bisa dibilang muda itu begitu tegar. Begitu bersemangat. Meski kudapati ada bulir air mampir di kedua pipinya ketika kami berbincang; berbagi kenangan tentang dirimu. Namun bulir air itu sama sekali tak mengurangi ketegarannya. Justru dari sanalah aku mampu menyimpulkan, ibumu benar-benar sosok yang hebat. Kau patut berbangga.

Bukan apa-apa, aku hanya mengunjungi kampung halaman kita. Aku masih ingat betul, ketika Kau dan keluargamu pertama kali datang. Ayahmu pemilik senyum yang menawan. Terlihat bersahabat sekali. Pun ibumu, berhasil menyulap tanah yang telah lama mati itu menjadi padang bunga. Lantas mengajak kami sama-sama berkontribusi. Sungguh menyenangkan. Aku dan teman-temanku selalu saja menjadikan keluargamu sebagai perbincangan mengagumkan kami. Orangtuamu sungguh membuat kami takjub. Sementara Kau, anak tengil yang terlihat bahagia setiap lemparan lumpurmu sukses mendarat tepat sasaran; menghantam tubuh-tubuh kami. Dalam banyak hal, aku bertanya-tanya bagaimana Kau bisa begitu tidak karuan jika kuingat ibumu, sosok wanita itu, terlihat begitu bersahaja. Diam-diam aku cemburu padamu. Sungguh. Bersyukurlah, aku selalu mendambakan kasih seorang ibu.

Ini aku, Razen; kawan lamamu. Aster, masihkah Kau ingat aku?



**
Madinah adalah kota cinta
Muara rindu setiap pendamba
                                                      Jembatan indah bagi para pejalan                                     
Perahu agung menuju kejayaan
                                                                                                
Madinah, sebuah potret kasih ibunda
Tanah dimana sayang tak hanya sekadar kata…
**

Aster yang baik, Kau pernah mengatakan padaku bahwa ibumu adalah wanita super. Dengan bangga, kau katakan bahwa beliau mampu menghilang. Aku tertawa. Kau aneh sekali, begitu fikirku. Tapi Kau justru menekuk muka. Rupanya Kau benar-benar serius berkata demikian. Dengan tangan mengepal, Kau tinggalkan aku sendirian. Petang itu taman ilalang kita terlihat aneh sekali. Tak menari seperti biasanya. Membuatku terpaku sempurna. Aku tak pernah menemui bocah perempuan sepertimu, Aster.

“Razen, seorang teman tak seharusnya membantah perkataan temannya sendiri.” Kau berbisik dari balik jendela.

“Aku tidak membantah,” kutanggapi sambil memainkan rerumputan yang sudah meninggi di halaman belakang rumahmu

“Tapi Kau tertawa, Razen.”

“Aku hanya tertawa”

“Ibuku bisa menghilang. Harusnya Kau percaya itu.” Kau lantas menutup jendelamu. Meninggalkan aku sendirian lagi. Dan saat itu aku benar-benar tidak mengerti jalan fikiranmu.

**

Yang aku tahu, ibumu amat mengagumkan. Wanita itu kerap kali mengajak aku dan teman-teman di rumah asuhan berkunjung ke rumahmu. Bagian yang paling menyenangkan adalah ketika ibumu mulai memetik beberapa buah merah ranum, lantas membagi-bagikannya kepada kami. Kau bisa katakan, aku dan teman-teman merasa miliki sosok seorang ibu. Ya, kau tahu, kami tak mengenal apa itu orangtua, terlebih seorang ibu. Dan ibumu datang memberikan definisi itu pada kami. Sedikit banyak, kami jadi mengerti. Dan tidak pernah kutemui ibumu tiba-tiba menghilang. Kau pasti bercanda, Aster. Sampai akhirnya Kau berpamitan padaku pun, mengatakan bahwa tidak bisa lagi menjadi temanku, tak pernah kita membahas tentang kekuatan super ibumu itu. Sekalipun tidak. Bahkan hingga akhirnya Kau benar-benar pergi; tak sekadar menarik diri dari berbincang denganku, benar-benar pergi. Masih banyak hal yang ingin aku ketahui. Kau terbuka yang menyimpan banyak rahasia. Periang yang diam dalam makna.

Beberapa minggu lalu, kutemui ibumu di rumah sederhana kalian yang dipenuhi bunga. Tak banyak yang berubah. Ibundamu masih juga rajin merawat taman aster miliknya. Cantik. Rumahmu bernafaskan violet, bernadakan hijau, beratmosfer biru. Aku dipersilahkan duduk di beranda rumah. Memandang bunga-bunga yang menghampar luas. Ibumu hanya tersenyum, lantas menyodoriku secangkir coklat hangat. Tak ada yang benar-benar spesial. Hanya perbincangan seadanya ditemani suara riang tawa anak-anak yang sedang bermain lempar lumpur di pekarangan belakang; rutinitas masa kecil kita, Kau ingat? Selang beberapa menit, beliau masuk ke dalam rumah; mengatakan hendak mengambil kue coklat dari dapur. Aku mengangguk, mengiyakan. Menunggu sambil memutar episode masa kecil bersamamu.

Dua puluh menit, aku masih sendirian. Kupanggil ibumu, tak ada jawaban. Masih terdengar suara riang anak-anak kecil dari pekarangan belakang. Aku merapikan cangkir coklat yang kini telah kosong. Bergegas menyusuri taman aster milik ibumu, menuju halaman belakang. Kupandang dari kejauhan, ibumu yang berada di tengah-tengah riang tawa bocah-bocah itu. Melihat mereka saling melempar lumpur, sesekali berlarian mencari tempat mengumpat. Langit jingga petang itu jadi terlihat sempurna indah. Aku terperanjat. Wanita itu benar-benar miliki kekuatan super.

**

Aster, aku berada di Madinah. Kota dambaan setiap pecinta, termasuk Kau dan aku. Aku berada di tanah cinta; dimana kasih sayangnya seorang ibu diabadikan oleh waktu. Ada sebuah kisah sederhana yang sangat berarti bagiku. Saat itu seorang ibu tengah memangku kedua anaknya yang masih balita. Sekadar beristirahat di tengah sibuknya dunia. Satu ketika, seseorang melewati mereka bertiga dan merasa iba. Aster, kalau kau melihatnya, sungguh akan menjadi lukisan yang indah sekali, kurasa. Orang tak dikenal itu menjulurkan tangannya. Memberikan tiga buah kurma, Lantas sang ibu memberikan pada anaknya masing-masing satu buah kurma. Ketika wanita itu hendak memakan kurma ketiga, kurma bagiannya, si anak dengan fikiran masa kanak-kanaknya meminta kurma itu dari ibundanya. Tak peduli lapar, tak ingat akan dirinya, wanita itu memberikan kurma terakhir pada anaknya. Ada sebuah kebahagiaan tak tergambarkan disana. Ada garis sahaja yang terekam dari tindaknya. Begitulah cinta ibu, Aster. Cinta yang tak pernah mengharap balasan. Cinta yang hadirkan rasa bahagia karena memberi kepada anaknya. Kau tahu? Mengetahui kisah tersebut, lelaki itu, ya, lelaki yang sama-sama kita rindukan untuk bertemu dengannya, beliau berkata "Si Ibu itu masuk surga, karena memberikan kasih sayang kepada anaknya". Itulah cinta seorang ibu. Cinta kasih yang bahkan mampu membuka pintu syurga.

**

Maka lewat surat udara ini, kuberitahukan padamu, Aster. Menghilang adalah cara ibumu memberikan cinta-kasihnya. Sekali lagi, Kau patut berbangga. Bersyukurlah. Karena sampai detik ini pun, aku masih merindukan kasih seorang ibu. Maafkan aku yang telah menertawaimu saat itu. Kau benar, ibumu bisa menghilang. Kau benar, Aster. Menghilang tak melulu melupakan. Dalam banyak hal, diam-diam banyak kenangan yang terbawa dalam proses menghilang itu. Terimakasih karena telah mengajariku konsep sederhana ini. Sungguh, kuucapkan terimakasih.

                              Razen.
***

 dibuatpadaDzulqa'dah1434H


No comments:

Post a Comment