Selagi bisa kujadikan ia sebagai
energi besar, selagi ada kebaikan yang tersimpan padanya. Tak apa. Tak masalah.
Selagi itu baik untukku. Namun, jika ada jalan lain yang mampu membuatku menari
bersama kebaikan yang lebih, tentu aku akan memilih jalan lain itu. Kita
mungkin takkan pernah mengetahui tentang kebaikan-kebaikan apa yang ada di
hadapan kita. Tentang seberapa kadar kebaikan yang hendak kita rengkuh atas
sebuah keputusan yang kita pilih. Tapi bukankah kita tahu, bahwa Tuhan Maha
mengetahui mana yang terbaik bagi penyembah-Nya? bahkan gerak partikel pun tahu, meminta pada Tuhan selalu
menjadi pilihan yang terbaik.
Thursday, December 26, 2013
Wednesday, December 25, 2013
Friday, December 13, 2013
Kotoran Kucing
Kurang-lebih satu
minggu yang lalu, lorong asrama saya disibukkan dengan hadirnya kotoran kucing
di tengah koridor. Tepat berada di depan kamar saya. Mengganggu memang.
Bagaimana tidak, selain baunya yang tidak sedap, letaknya yang ‘strategis’
sempurna membuat anggota lorong harus melewatinya setiap bolak-balik kamar.
Bagi saya yang sudah pernah menjadi anak asrama sebelumnya, hal semacam ini
jadi biasa saja. Toh dulu malah saya pernah mendapati induk kucing yang
melahirkan di atas lemari saya. Jadi kalau perihal kotoran kucing sih, bukan
hal luar biasa lagi.
Hari itu, saya
merasa agak lelah. Fisik yang beberapa waktu belakangan sedikit bekerja ekstra.
Beruntung, akhirnya saya bisa pulang siang hari dan tidur di atas kasur setelah
beberapa waktu terakhir tidur di lantai. Sore hari, sayup-sayup saya terbangun
oleh ocehan beberapa kawan yang (masih juga) membicarakan kotoran kucing.
Awalnya saya acuh. Lagipula kepala saya rasanya tengah diisi beberapa persoalan
yang belum selesai. Lalu entah darimana, ada suatu dorongan kuat untuk
bergerak. Melakukan sesuatu.
Saya ingat
sebuah peristiwa ketika saya masih duduk di masa aliyah. Saat itu, kamar kami
terasa tidak nyaman. Tiga hari yang dilingkupi aroma tidak sedap. Awalnya, kami
berfikir mungkin aroma itu hadir dari atap genteng. Bangkai tikus, misalnya.
Sampai suatu ketika, ada salah seorang dari kami yang mendapati bahwa ternyata
aroma tak sedap itu berasal dari anak kucing di atas lemari yang sudah tak
bernyawa. Kami sempat dibuat bingung. Bagaimana cara memindahkan bangkai kucing
dari atas lemari. Ditambah umurnya yang sudah terbilang puluhan jam. Menyengat.
Menusuk hidung.
Saya lupa
bagaimana awalnya. Yang jelas, pada akhirnya kami bersama-sama memindahkan
bangkai kucing itu, lantas membersihkan TKP. Menyemproti atas lemari kami
dengan ramuan pengharum. Menghapus jejak-jejak aroma tak sedap. Yang masih saya
ingat betul adalah ketika kami saling menyemangati. Ayolah, yang mau jadi dokter, masa sama ginian aja ga berani. Guru
keren! Gimana nanti bisa jadi keren di hadapan murid-murid kalo Cuma perihal
mindahin bangkai kucing aja nyalinya tumpul!. Dahulu, sentilan semacam itu ngena sekali. Kami sadar, cita-cita kami
bukan perihal mudah. Lantas, hal sederhana seperti ngurusin bangkai kucing
saja, masa kami masih juga geleng kepala. Nggak
keren, kan? Disanalah awalnya,
bagaimana anak kucing tak bernyawa itu akhirnya berhasil pergi dari atas lemari
kami.
Maka sore itu
saya mencoba bergerak. Mencoba membenahi kotoran kucing yang sudah sekian jam
menjadi akar pengganggu. Menjadi sumber keluhan-keluhan insan. Hei, siapa
bilang kotoran kucing itu perihal sepele? Nyatanya ia mampu membuat banyak
insan alpa dari bersyukur. Disinilah hebatnya. Siapa sangka, ketika saya mulai
membersihkan kotoran kucing tersebut dengan alat seadanya; sebuah kantung plastik
dan beberapa lembar kertas bekas, kejaiban itu datang. Salah seorang teman saya
keluar kamar dan tertegun memandangi saya –yang tengah membersihkan kotoran
kucing- lantas dia berkata “wow Riris, kamu hebat sekali. Pahlawan, mamen!”
saya hanya menjawab sambil tertawa. Tanpa diminta, tahu-tahu ia menjadi partner
saya membersihkan kotoran kucing. Peralatan kami semakin lengkap, segayung air
dan sebuah kain pel. Tak lupa sarung tangan plastik demi melindungi
tangan-tangan kami dari –yang katanya- makhluk asing itu. Kemudian ada seorang
kawan lagi yang keluar kamar. Melihat kami, ia pun turut bergerak.
Menyempurnakan aksi dengan sebotol pengharum dan juga sekotak tissue. Diam-diam
saya kagum. Takjub. Hey, isn’t it cool? I
didn’t know what will i do if there was only a plastic bag and some papers.
Mission completed! Selesai. Perihal
kotoran kucing itu tuntas hanya dalam hitungan beberapa menit. Beberapa anggota
lorong yang melihat aksi kami bahkan memberikan titel pada kami sore itu.
Mereka menyebut bahwa kami –hha, apalah itu- adalah pasukan pahlawan bangsa.
Saya jadi ingat kalimat yang belum lama saya jadikan status facebook dan
diamini banyak orang. Tentang sebuah teori fisika sederhana. Dalam urusan gaya
gesek,
. Bahwa kita tentu membutuhkan gaya yang
lebih besar saat hendak menggerakkan sesuatu. Mengubah posisi kedudukan benda
agar tidak statis. Ketika sedikit saja sudah terlampaui ambang batasnya, maka
gaya gesekan akan semakin kecil terasa. It’s
quite hard to start our first step. Second, third, fourth,... you’ll get them
easier than the first one. Memulai selalu saja membutuhkan energi lebih.
Pikiran mumet
saya hari itu terbayarkan. Benar, Allah selalu menunjukkan keajaiban yang
seringkali diluar dugaan. Benar sekali, ada semacam kepuasan tersendiri ketika
kita menemukan kebermanfaatan untuk lingkungan. Sekecil apapun nilai manfaat
itu. Padahal ini hanya perihal kotoran kucing yang sering luput dari perhatian.
Siapa sangka, kotoran kucing mampu mengangkat pamor kami dengan sebuah sebutan
keren; pahlawan bangsa. :P
Thursday, November 7, 2013
Dia (selalu) Tahu
Dia selalu tahu.
Dari seorang teman, pada 3 Muharram1435 H
23.38WIB
Untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi bukankah artinya kita harus menaiki anak tangga satu demi satu lagi
Bukankah untuk menjadi yang lebih baik lagi selalu ada hal yang perlu dikorbankan?
Dan terkadang yang perlu dikorbankan adalah yang berasal dari dalam diri kita sendiri
Sama halnya dengan kesulitan kita untuk menjalankan taubatan nasuha
Karena taubat pun ternyata perlu latihan
Sekali-dua kali
Berjanjilah agar tidak bosan meminta
Bertekadlah untuk tidak mudah menyerah
Kuatkan azzam dan tegarkanlah
Saat kembali kita memasuki fase jenuh
Putar kembali
Ingatlah lagi
Untuk apa sebenarnya kita berjuang
Untuk siapa sebenarnya kita berkorban
Dan jika masih merasa lemah dan ghirah yang padam
Maka mintalah Ia untuk menghidupkan ghirah itu
Untuk menyalakan lentera kecil yang akan kita bawa
Untuk menerangi sudut-sudut bumi yang tak tersentuh sinar matahari
"Wasta'inuu bis shabri wa shalaah""'ud'uunii astajib lakum""wa man yatawakkal 'alallah yaj'al lahuu makhraja, wayarzuquhuu min haitsu laa yahtasib""wa man yatawakkal 'alallah fahua hasbuhinnallaha baalighu amrih, qad ja'alallahu bikulli syaiin qadraa"
dan meminta tolonglah dengan sabar dan shalatberdoalah kepadaku niscahya aku kabulkandan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan menjadikan untuknya jalan keluar dan memberikannya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkadan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah maka Allah akan mencukupkan baginya keperluannya
sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nyadan Allah telah menentukan ketentuan bagi segala sesuatu(At Thalaq 2-3)Allah tidak pernah mengkhianati janji.
kita tidak perlu menuliskan doa kita di kertas kecil
dan melemparkannya jauh ke lautan
agar doa itu terkabul
kita tidak perlu menerbangkan layang layang ke langit yang tinggiiii
sampai tak terlihat lagi
agar impian kita dalam layangan itu sampai ke langit ke tujuh
tapi cukup dengan berbisik dalam hati
bahkan yang terlintas dalam diri
itu sudah cukup bagi-Nya untuk mengerti.
karena Ia dekatlebih dekat dari urat nadi kita sendiri"Wa idzaa sa alaka 'ibaadii 'annii faiinni qariib""Dan apabila hambaku bertanya padamu tentang Aku katakanlah bahwa sesungguhnya Aku dekat"Al Baqarah ^ ^
23.38WIB
Wednesday, November 6, 2013
Pengantar
***
Bising yang tenang
Harapan yang terbang
Padamu jua
Seperti embun yang berharap kepada samudera
Serupa udara yang mengiba akan perjalanan
Pengantar itu telah aku sampaikan
Sudikah semesta menjawab?
Tanya
Tanya pada kitab yang kau peluk
***
***
Tuesday, November 5, 2013
Selaksa (Rindu)
Wanita paruh baya itu duduk di
tepi pelabuhan. Kedua matanya memandang teduh laut yang luas menghampar.
Menerka; sedang apa gerangan hatinya merasa. Bertanya; apa rencana Tuhan yang
hendak ditujukan padanya. Ia tak pernah berfikir rumit. Sederhana. Hidup ini
adalah urusan pribadinya bersama Tuhan. Tidak kurang, tidak lebih. Maka ketika
ia ditinggal pergi dua orang terkasihnya pun, tak ada tanya mengapa. Maka
ketika menyadari dirinya sebatang kara pun, wanita itu hanya tahu bagaimana
berusaha tuk menyambung hidup. Ia menarik segala harap pada manusia. Garis
bijak wajahnya mengatakan bahwa menaruh harap pada selain Rabb Izzati akan
berujung pada kecewa. Rumus hidupnya hanya satu: bersyukur.
Tapi ada apa gerangan senja itu?
Hatinya begitu tak menentu. Ada semacam harap yang membuncah. Ada semacam rindu
yang melanda. Wahai alam, ternyata rumus itu tetaplah berlaku. Hati manusia
adalah media rekam hebat yang pandai memilah urut bedasarkan prioritas kesan.
Ada yang tersimpan rapi, ada yang bahkan tak melalui ruang rekam. Kehilangan
dua orang terkasihnya dalam satu waktu bukanlah perkara mudah. Tapi setidaknya
ia jadi memahami makna dari sebuah kalimat sederhana; “jarak adalah sebuah
ujian bagi perindu, namun menjadi kenikmatan tiada tara bagi seorang pendoa.”
Saturday, October 26, 2013
Sebelum Roda Berputar
Kemarin, 25 Oktober 2013, saya melakukan perjalanan pulang dari Bogor ke Jakarta. Akhir minggu sebelum menghadapi UTS yang akan dimulai tanggal 28 Oktober 2013. Nanggung memang. Tadinya saya berniat untuk pulang pasca UTS. Tapi faktanya, bertemu orang tua selagi mampu rasanya tidak menjadi sebuah kerugian. :D Berbekal pengalaman ngebolang ke Kebun Raya Bogor bersama teman-teman semasa tsanawiyah dulu, saya jadi merasa tidak asing dengan perjalanan Bogor-Jakarta. Dari kampus Institut Pertanian Bogor, cukup naik angkutan umum dua kali yang dilanjut dengan bis Agra Mas jurusan Lebak Bulus. Maka sampailah kita di Jakarta. \(^-^)/
Ketika saya menaiki angkutan umum yang kedua, (sebut saja 03). Saya mendapati hal yang menarik.
Ini foto yang saya ambil di tengah angkot yang sedang melaju. "Berdoalah sebelum roda berputar" what a great reminder! :D jujur, baru pertama kali mendapati tulisan semacam ini terpampang di angkot. Beberapa yang saya temui seperti "berhati-hatilah dalam mengemudi", "tengok belakang sebelum jalan", juga "tutup pintu" terdengar biasa saja. Maka 'berdoalah sebelum roda berputar' ini terdengar filosofis sekali. Maknanya luas. Tidak semata sebelum mobil mulai bergerak, tidak sesempit berdoa sebelum melakukan perjalanan. Tapi berdoa, sebelum perangkat kita memulai aktivitas. Mungkin kalau mau dibuat mendetail lagi bisa dijadikan 'berdoalah sebelum mesin menyala'. Hhe :D
Perjalanan, sekecil apapun, sedekat apapun jarak yang ditempuh, selalu saja memberikan kita pengalaman baru. Pelajaran baru. "You learn something everytime, if you pay attention" :)
Perjalanan, sekecil apapun, sedekat apapun jarak yang ditempuh, selalu saja memberikan kita pengalaman baru. Pelajaran baru. "You learn something everytime, if you pay attention" :)
"Berdoalah sebelum roda berputar."Ayo teman-teman mahasiswa seperjuangan,kita sambut UTS dengan doa :)
Saturday, October 5, 2013
Tuesday, September 24, 2013
Air Mail #2
Assalamu’alaikum,
ini aku, Razen. Apa kabarnya dirimu? Jemariku selalu saja gemar tuliskan surat
di udara. Tak peduli akankah Kau baca, akankah Kau tahu. Hanya ada semacam
kepuasan tersendiri karena mengukir kisah di udara. Hanya ada harap yang
berbisik semoga saja ini bisa jadi bermanfaat. Kabarku baik, kuharap Kau
demikian. Beberapa minggu yang lalu aku mencoba datang ke rumahmu. Tak banyak
yang berubah. Ibundamu masih juga rajin merawat taman aster miliknya. Cantik.
Rumahmu bernafaskan violet, bernadakan hijau, beratmosfer biru. Aku percaya
rumah sederhana itu mengandung kenangan yang tak sederhana. Kalau Kau masih
disini, Kau akan bangga memandang ibumu. Wanita yang tak lagi bisa dibilang
muda itu begitu tegar. Begitu bersemangat. Meski kudapati ada bulir air mampir
di kedua pipinya ketika kami berbincang; berbagi kenangan tentang dirimu. Namun
bulir air itu sama sekali tak mengurangi ketegarannya. Justru dari sanalah aku
mampu menyimpulkan, ibumu benar-benar sosok yang hebat. Kau patut berbangga.
Bukan apa-apa,
aku hanya mengunjungi kampung halaman kita. Aku masih ingat betul, ketika Kau
dan keluargamu pertama kali datang. Ayahmu pemilik senyum yang menawan.
Terlihat bersahabat sekali. Pun ibumu, berhasil menyulap tanah yang telah lama
mati itu menjadi padang bunga. Lantas mengajak kami sama-sama berkontribusi.
Sungguh menyenangkan. Aku dan teman-temanku selalu saja menjadikan keluargamu
sebagai perbincangan mengagumkan kami. Orangtuamu sungguh membuat kami takjub. Sementara
Kau, anak tengil yang terlihat
bahagia setiap lemparan lumpurmu sukses mendarat tepat sasaran; menghantam
tubuh-tubuh kami. Dalam banyak hal, aku bertanya-tanya bagaimana Kau bisa
begitu tidak karuan jika kuingat ibumu, sosok wanita itu, terlihat begitu
bersahaja. Diam-diam aku cemburu padamu. Sungguh. Bersyukurlah, aku selalu
mendambakan kasih seorang ibu.
Ini aku, Razen;
kawan lamamu. Aster, masihkah Kau ingat aku?
**
Madinah adalah kota cinta
Muara rindu setiap pendamba
Jembatan
indah bagi para pejalan
Perahu agung menuju kejayaan
Madinah, sebuah potret kasih ibunda
Tanah dimana sayang tak hanya sekadar kata…
**
Aster yang baik,
Kau pernah mengatakan padaku bahwa ibumu adalah wanita super. Dengan bangga,
kau katakan bahwa beliau mampu menghilang. Aku tertawa. Kau aneh sekali, begitu
fikirku. Tapi Kau justru menekuk muka. Rupanya Kau benar-benar serius berkata
demikian. Dengan tangan mengepal, Kau tinggalkan aku sendirian. Petang itu
taman ilalang kita terlihat aneh sekali. Tak menari seperti biasanya. Membuatku
terpaku sempurna. Aku tak pernah menemui bocah perempuan sepertimu, Aster.
“Razen, seorang
teman tak seharusnya membantah perkataan temannya sendiri.” Kau berbisik dari
balik jendela.
“Aku tidak
membantah,” kutanggapi sambil memainkan rerumputan yang sudah meninggi di
halaman belakang rumahmu
“Tapi Kau
tertawa, Razen.”
“Aku hanya
tertawa”
“Ibuku bisa
menghilang. Harusnya Kau percaya itu.” Kau lantas menutup jendelamu.
Meninggalkan aku sendirian lagi. Dan saat itu aku benar-benar tidak mengerti
jalan fikiranmu.
**
Yang aku tahu,
ibumu amat mengagumkan. Wanita itu kerap kali mengajak aku dan teman-teman di
rumah asuhan berkunjung ke rumahmu. Bagian yang paling menyenangkan adalah
ketika ibumu mulai memetik beberapa buah merah ranum, lantas membagi-bagikannya
kepada kami. Kau bisa katakan, aku dan teman-teman merasa miliki sosok seorang
ibu. Ya, kau tahu, kami tak mengenal apa itu orangtua, terlebih seorang ibu.
Dan ibumu datang memberikan definisi itu pada kami. Sedikit banyak, kami jadi mengerti.
Dan tidak pernah kutemui ibumu tiba-tiba menghilang. Kau pasti bercanda, Aster.
Sampai akhirnya Kau berpamitan padaku pun, mengatakan bahwa tidak bisa lagi
menjadi temanku, tak pernah kita membahas tentang kekuatan super ibumu itu.
Sekalipun tidak. Bahkan hingga akhirnya Kau benar-benar pergi; tak sekadar
menarik diri dari berbincang denganku, benar-benar
pergi. Masih banyak hal yang ingin aku ketahui. Kau terbuka yang menyimpan
banyak rahasia. Periang yang diam dalam makna.
Beberapa minggu
lalu, kutemui ibumu di rumah sederhana kalian yang dipenuhi bunga. Tak banyak
yang berubah. Ibundamu masih juga rajin merawat taman aster miliknya. Cantik.
Rumahmu bernafaskan violet, bernadakan hijau, beratmosfer biru. Aku
dipersilahkan duduk di beranda rumah. Memandang bunga-bunga yang menghampar
luas. Ibumu hanya tersenyum, lantas menyodoriku secangkir coklat hangat. Tak ada
yang benar-benar spesial. Hanya perbincangan seadanya ditemani suara riang tawa
anak-anak yang sedang bermain lempar lumpur di pekarangan belakang; rutinitas
masa kecil kita, Kau ingat? Selang beberapa menit, beliau masuk ke dalam rumah;
mengatakan hendak mengambil kue coklat dari dapur. Aku mengangguk, mengiyakan.
Menunggu sambil memutar episode masa kecil bersamamu.
Dua puluh menit,
aku masih sendirian. Kupanggil ibumu, tak ada jawaban. Masih terdengar suara
riang anak-anak kecil dari pekarangan belakang. Aku merapikan cangkir coklat
yang kini telah kosong. Bergegas menyusuri taman aster milik ibumu, menuju
halaman belakang. Kupandang dari kejauhan, ibumu yang berada di tengah-tengah
riang tawa bocah-bocah itu. Melihat mereka saling melempar lumpur, sesekali
berlarian mencari tempat mengumpat. Langit jingga petang itu jadi terlihat
sempurna indah. Aku terperanjat. Wanita itu benar-benar miliki kekuatan super.
**
Aster, aku
berada di Madinah. Kota dambaan setiap pecinta, termasuk Kau dan aku. Aku
berada di tanah cinta; dimana kasih sayangnya seorang ibu diabadikan oleh waktu.
Ada sebuah kisah sederhana yang sangat berarti bagiku. Saat itu seorang ibu
tengah memangku kedua anaknya yang masih balita. Sekadar beristirahat di tengah
sibuknya dunia. Satu ketika, seseorang melewati mereka bertiga dan merasa iba.
Aster, kalau kau melihatnya, sungguh akan menjadi lukisan yang indah sekali,
kurasa. Orang tak dikenal itu menjulurkan tangannya. Memberikan tiga buah kurma,
Lantas sang ibu memberikan pada anaknya masing-masing satu buah kurma. Ketika
wanita itu hendak memakan kurma ketiga, kurma bagiannya, si anak dengan fikiran
masa kanak-kanaknya meminta kurma itu dari ibundanya. Tak peduli lapar, tak
ingat akan dirinya, wanita itu memberikan kurma terakhir pada anaknya. Ada
sebuah kebahagiaan tak tergambarkan disana. Ada garis sahaja yang terekam dari
tindaknya. Begitulah cinta ibu, Aster. Cinta yang tak pernah mengharap balasan.
Cinta yang hadirkan rasa bahagia karena memberi kepada anaknya. Kau tahu? Mengetahui
kisah tersebut, lelaki itu, ya, lelaki yang sama-sama kita rindukan untuk bertemu
dengannya, beliau berkata "Si Ibu itu masuk surga, karena memberikan kasih
sayang kepada anaknya". Itulah cinta seorang ibu. Cinta kasih yang bahkan
mampu membuka pintu syurga.
**
Maka lewat surat
udara ini, kuberitahukan padamu, Aster. Menghilang adalah cara ibumu memberikan
cinta-kasihnya. Sekali lagi, Kau patut berbangga. Bersyukurlah. Karena sampai
detik ini pun, aku masih merindukan kasih seorang ibu. Maafkan aku yang telah
menertawaimu saat itu. Kau benar, ibumu bisa menghilang. Kau benar, Aster.
Menghilang tak melulu melupakan. Dalam banyak hal, diam-diam banyak kenangan
yang terbawa dalam proses menghilang itu. Terimakasih karena telah mengajariku
konsep sederhana ini. Sungguh, kuucapkan terimakasih.
Razen.
***
Air Mail #1
Madinah adalah kota cinta.
Udaranya adalah kumpulan partikel cinta. Langitnya adalah atap rumah cinta.
Bangunan-bangunannya adalah potret keteguhan cinta. Pun penduduknya, tercipta
karena cinta. Kota ini sempurna indah karena cinta sang tercinta yang dicinta
oleh Maha Pemilik Cinta.
Razen tersenyum tipis. Matanya
menatap teduh ke sudut-sudut penjuru sejauh ia mampu memandang. Siang hari di
kota Masjid Nabawi sungguh menantang peluhnya. Terik. Lebih-lebih di hari
pertama bulan Ramadhannya tahun ini. Tapi pemuda itu tidak berhenti. Langkahnya
masih gagah menyusuri kota Madinah, -kota cintanya-.
**
Assalamu’alaikum. Ini aku, kawan
lamamu; Razen. Masihkah kau ingat aku, Aster? Entah ini surat udara ke berapa
yang aku layangkan untukmu. Tak tertulis, tak terkirim, tak pernah terbaca.
Yang sudah-sudah memang banyak yang tak penting. Tapi untuk kali ini, sungguh,
aku benar-benar berharap kau dapat ‘membacanya’. Kau tahu? Aku sedang berada di
Madinah. Di kota dambaan setiap pencinta, termasuk kau dan aku. Rasanya baru
kemarin kujanjikan padamu untuk berjumpa di tanah ini. Ramadhan kali ini pun
adalah Ramadhan ke 10 sejak kau lempari aku dengan segenggam lumpur. Awal
pertemuan getir masa kecil yang mampu membuatku terganggu dengan bayangan
namamu dalam setiap kesempatan; Aster.
**
“Jual bunga Aster, Tuan?”
Menggeleng. Lagi-lagi
pertanyaannya disambut dengan tatapan aneh. Razen tahu pasti, kota Madinah
dengan suhu ektremnya bukanlah tempat sang Aster untuk mekar. Tapi bukankah ini
kota cinta? Bukankah Ramadhan adalah bulan penuh cinta? Bukankah tak ada yang
mustahil bagi Sang Pemilik Cinta? Maka biarkanlah Razen menyelami kota
cintanya. Sekedar untuk mencoba.
**
“Kamu tahu tempat ini?” tanyamu
pelan dengan logat bahasa lokal yang terdengar aneh. Kau membiarkan es krim
dalam genggaman tanganmu menetes ke tanah. Meleleh. Entahlah, mungkin ini bisa
disebut sebagai pengakuan. Sebenarnya aku ingin tertawa melihat wajah polos
milikmu saat itu. Tapi lihatlah, betapa gengsiku sudah sedemikian besar bahkan
ketika aku masih menyandang gelar bocah berumur 9 tahun.
“Nggak.” Hanya itu. Sebatas itu.
Aku enggan mengatakan lebih banyak kata padamu. Padahal aku kenal baik tempat
itu. Tanah kelahiranku, kampung halamanku. Di tempat kita berpijak adalah
padang rumput tua yang bila kau sedikit turun ke arah Selatan, akan tampak
sebuah perkebunan stroberi milik Tuan Erdas; seorang lelaki paruh baya yang
berkumis tipis dan murah senyum. Kalau kau berkunjung ke sana setiap hari Rabu,
maka dipastikan kau tidak akan pulang dengan tangan hampa. Jika tidak
sekeranjang stroberi, Tuan Erdas akan membekalimu dengan semangkuk sup istimewa
hasil racikannya sendiri. Percayalah, bahkan aku yang mudah jenuh pun tak
pernah bosan dengan sensasi rasa sup istimewa itu. Entah adonan macam apa yang
beliau sajikan. Satu saat aku pernah bertanya, ia hanya tertawa kecil dan
menjawab dengan sebuah kata sarat makna; cinta. Ya, cinta adalah adonan
utamanya.
Lain lagi jika kau berkunjung ke
arah Barat. Pernah aku menghitung langkah kakiku, kira-kira kau butuh lima puluh
enam langkah hingga dapat menyaksikan ke aneka-ragaman di suatu tempat yang
biasa kusebut ‘pasar aneka ragam’. Kunamai demikian karena tiap aku melirik
kepadanya disaat matahari dalam perjalanan hendak mencapai puncak, segala macam
fenomena kehidupan hampir tergambar sempurna disana. Seakan makhluk dari A
sampai Z, kegiatan dari A sampai Z, dan segalanya dari A sampai Z, terjadi
disana. Dalam satu waktu.
Ah, terlalu banyak yang ingin aku
utarakan. Tapi tidak saat itu. Tidak saat es krim milikmu semakin menodai
tanah. Tidak saat gengsiku menjadi prioritas utama. Tidak, saat aku belum
mengerti apa arti mengenalmu, Aster.
**
“Maaf, Razen.” Kau berkata pelan.
Menunduk. Tanganmu menjulurkan sekantung plastik hitam berisi segala macam
pemberianku selama tujuh tahun belakangan. Aku tak banyak berkata. Lidahku
terlalu kelu melihat tanganmu gemetar. Saat itu aku sama sekali tak punya ide
tentang apa yang sedang terjadi padamu. Saat dimana aku merasa begitu bodoh.
“Aku akan pergi. Jaga dirimu
baik-baik.” Lanjutmu. Aku bisu seketika. Tak berani menebak hendak kemana arah
perbincangan kita. Tak berani menebak hendak kemana kau pergi.
Dan benar saja.
Kau benar-benar pergi.
***
dibuatpadaRamadhan1433H
Subscribe to:
Posts (Atom)