Kurang-lebih satu
minggu yang lalu, lorong asrama saya disibukkan dengan hadirnya kotoran kucing
di tengah koridor. Tepat berada di depan kamar saya. Mengganggu memang.
Bagaimana tidak, selain baunya yang tidak sedap, letaknya yang ‘strategis’
sempurna membuat anggota lorong harus melewatinya setiap bolak-balik kamar.
Bagi saya yang sudah pernah menjadi anak asrama sebelumnya, hal semacam ini
jadi biasa saja. Toh dulu malah saya pernah mendapati induk kucing yang
melahirkan di atas lemari saya. Jadi kalau perihal kotoran kucing sih, bukan
hal luar biasa lagi.
Hari itu, saya
merasa agak lelah. Fisik yang beberapa waktu belakangan sedikit bekerja ekstra.
Beruntung, akhirnya saya bisa pulang siang hari dan tidur di atas kasur setelah
beberapa waktu terakhir tidur di lantai. Sore hari, sayup-sayup saya terbangun
oleh ocehan beberapa kawan yang (masih juga) membicarakan kotoran kucing.
Awalnya saya acuh. Lagipula kepala saya rasanya tengah diisi beberapa persoalan
yang belum selesai. Lalu entah darimana, ada suatu dorongan kuat untuk
bergerak. Melakukan sesuatu.
Saya ingat
sebuah peristiwa ketika saya masih duduk di masa aliyah. Saat itu, kamar kami
terasa tidak nyaman. Tiga hari yang dilingkupi aroma tidak sedap. Awalnya, kami
berfikir mungkin aroma itu hadir dari atap genteng. Bangkai tikus, misalnya.
Sampai suatu ketika, ada salah seorang dari kami yang mendapati bahwa ternyata
aroma tak sedap itu berasal dari anak kucing di atas lemari yang sudah tak
bernyawa. Kami sempat dibuat bingung. Bagaimana cara memindahkan bangkai kucing
dari atas lemari. Ditambah umurnya yang sudah terbilang puluhan jam. Menyengat.
Menusuk hidung.
Saya lupa
bagaimana awalnya. Yang jelas, pada akhirnya kami bersama-sama memindahkan
bangkai kucing itu, lantas membersihkan TKP. Menyemproti atas lemari kami
dengan ramuan pengharum. Menghapus jejak-jejak aroma tak sedap. Yang masih saya
ingat betul adalah ketika kami saling menyemangati. Ayolah, yang mau jadi dokter, masa sama ginian aja ga berani. Guru
keren! Gimana nanti bisa jadi keren di hadapan murid-murid kalo Cuma perihal
mindahin bangkai kucing aja nyalinya tumpul!. Dahulu, sentilan semacam itu ngena sekali. Kami sadar, cita-cita kami
bukan perihal mudah. Lantas, hal sederhana seperti ngurusin bangkai kucing
saja, masa kami masih juga geleng kepala. Nggak
keren, kan? Disanalah awalnya,
bagaimana anak kucing tak bernyawa itu akhirnya berhasil pergi dari atas lemari
kami.
Maka sore itu
saya mencoba bergerak. Mencoba membenahi kotoran kucing yang sudah sekian jam
menjadi akar pengganggu. Menjadi sumber keluhan-keluhan insan. Hei, siapa
bilang kotoran kucing itu perihal sepele? Nyatanya ia mampu membuat banyak
insan alpa dari bersyukur. Disinilah hebatnya. Siapa sangka, ketika saya mulai
membersihkan kotoran kucing tersebut dengan alat seadanya; sebuah kantung plastik
dan beberapa lembar kertas bekas, kejaiban itu datang. Salah seorang teman saya
keluar kamar dan tertegun memandangi saya –yang tengah membersihkan kotoran
kucing- lantas dia berkata “wow Riris, kamu hebat sekali. Pahlawan, mamen!”
saya hanya menjawab sambil tertawa. Tanpa diminta, tahu-tahu ia menjadi partner
saya membersihkan kotoran kucing. Peralatan kami semakin lengkap, segayung air
dan sebuah kain pel. Tak lupa sarung tangan plastik demi melindungi
tangan-tangan kami dari –yang katanya- makhluk asing itu. Kemudian ada seorang
kawan lagi yang keluar kamar. Melihat kami, ia pun turut bergerak.
Menyempurnakan aksi dengan sebotol pengharum dan juga sekotak tissue. Diam-diam
saya kagum. Takjub. Hey, isn’t it cool? I
didn’t know what will i do if there was only a plastic bag and some papers.
Mission completed! Selesai. Perihal
kotoran kucing itu tuntas hanya dalam hitungan beberapa menit. Beberapa anggota
lorong yang melihat aksi kami bahkan memberikan titel pada kami sore itu.
Mereka menyebut bahwa kami –hha, apalah itu- adalah pasukan pahlawan bangsa.
Saya jadi ingat kalimat yang belum lama saya jadikan status facebook dan
diamini banyak orang. Tentang sebuah teori fisika sederhana. Dalam urusan gaya
gesek,
. Bahwa kita tentu membutuhkan gaya yang
lebih besar saat hendak menggerakkan sesuatu. Mengubah posisi kedudukan benda
agar tidak statis. Ketika sedikit saja sudah terlampaui ambang batasnya, maka
gaya gesekan akan semakin kecil terasa. It’s
quite hard to start our first step. Second, third, fourth,... you’ll get them
easier than the first one. Memulai selalu saja membutuhkan energi lebih.
Pikiran mumet
saya hari itu terbayarkan. Benar, Allah selalu menunjukkan keajaiban yang
seringkali diluar dugaan. Benar sekali, ada semacam kepuasan tersendiri ketika
kita menemukan kebermanfaatan untuk lingkungan. Sekecil apapun nilai manfaat
itu. Padahal ini hanya perihal kotoran kucing yang sering luput dari perhatian.
Siapa sangka, kotoran kucing mampu mengangkat pamor kami dengan sebuah sebutan
keren; pahlawan bangsa. :P
seperti biasa : luar biasa!
ReplyDeleteriris... lanjutkan! cerita keren dari kisah hidup riris yg nggak kalah keren.. memberi motivasi dan renungan diri, tersirat dan tersurat.. makasih ris, sudah ditag dan diingatkan ;)
ReplyDelete#banggapunyatemanyangsalingmengingatkanmelaluikreativitasyangdimilikinya:)
makasih juga uci, kembali kasih :D keephamasah caiy!
DeleteTakjub ane ama riris! masya Allah, punya temen hebat!
ReplyDelete*koreksi spelling, It’s quiet hard > It's quite hard
makasih koreksinya bung :)
Delete