Thursday, March 5, 2020

Tanpa Punya Daya

Petang itu saya kembali ke rumah, meski pagi harinya baru saja tiba di Kota Bogor. Namun kabar duka menggiring langkah saya untuk kembali pulang. Ada salah satu dari keluarga besar kami yang tutup usia.

Siangnya, pemberitaan tentang virus corona tengah menyeruak. Baru saja bapak presiden mengkonfirmasi bahwa ada dua warganya yang positif terkena virus asal China tersebut. Perjalanan pulang saya sore itu jadi agak berbeda dari biasanya.

Saya memang biasa mengenakan masker jika tengah dalam perjalanan. Tapi kala itu, pengguna masker jauh meningkat pesat. Di dalam bus, di jalanan, bahkan saya menemui pedagang kaki lima yang berjualan dilengkapi dengan masker. Tidak bisa bohong, mental saya sempat ciut. Seolah tengah memasuki jalan-jalan yang belum pernah saya lalui sebelumnya, padahal nyaris setiap pekan saya melewati jalan itu.

Ada suasana yang berbeda. Kala itu penumpang bus tidak saling bicara, sampai ketika saya nyaris tiba di tujuan, seorang bapak masuk sambil lantas mengambil posisi duduk di sebelah saya. Saat itu saya sedang dalam kondisi berduka, dan agaknya pikiran saya juga sedikit berantakan. Lebih-lebih menyaksikan keanomalian perilaku orang-orang di sepanjang jalan akibat ramainya pemberitaan tentang corona.

"Penuh banget, jadi saya mau ke Bogor naik dari sini aja," begitu ujar si Bapak. Saya hanya mengangguk sambil menjawab pelan.

"Oh, iya Pak," timpal saya dari balik masker.

"Iya ini saya udah satu jam mbak nungguin, penuh terus bisnya. Jadi saya mundur harus naik dari sini supaya dapat kursi. Kalau dari Bogor sih lancar, sepi ya?" bapak itu menyahuti saya, tampak ingin sekadar mencurahkan lelahnya atas penantian bis menuju Bogor.

"Ooh.. iya Pak, kosong kalau dari Bogor," jawab saya sekenanya. Bapak itu lantas merogoh kantong, lalu mengeluarkan sebuah masker.

"Udah ada dua ya di Depok," gumamnya lagi. Saya mengangguk. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, tapi agaknya kami sama-sama tahu apa yang tengah kami perbincangkan.

"He eh, iya Pak," saya menanggapi singkat.

Malam itu, begitu sampai rumah dan membersihkan diri, saya menuju rumah duka yang letaknya persis di samping rumah kami. Menjumpai banyak wajah-wajah keluarga yang tanpa saya sadari sudah tak sama lagi seperti belasan tahun lalu, kala saya masih duduk di bangku ibtidaiyah. Sudah banyak berubah, tentu saja.

Saya ingat, malam-malam sebelumnya suara Baba dari rumah sebelah masih terdengar dari rumah kami. Tapi kini sudah tak ada, dan beliau berpulang. Beliau adalah pamannya Ayah; adik dari almarhum kakek saya.

Pada pagi keesokan harinya, pemakaman baru dilakukan. Saya ikut tiba di pemakaman keluarga, menyaksikan telah ada beberapa nisan yang telah lebih dulu menetap. Salah satu yang sungguh membuat saya ingin pulang dan menyaksikan pemakaman Baba adalah, karena saya telah beberapa kali kehilangan momen ini. Beberapa kali saya tidak ada di rumah ketika bagian dari keluarga besar kami berpulang. Bukan hanya satu-dua kali, hingga tak jarang saya dibuat bingung jika momen lebaran tiba. Saya lupa kalau beberapa dari beliau telah tiada, dan saya masih mencari-cari sosoknya.

Saya benar-benar lupa.

Pemakaman Baba hari itu menyisakan perenungan yang tidak sedikit. Saya ikut sedih melihat Nyak sedih. Tapi Nyak tabah sekali, bahkan masih sempat menyapa cucu kesayangannya di tengah persiapan pemakaman. Saya memperhatikan satu per satu wajah paman, bibi, bahkan kakak dan orang tua saya sendiri. Terbesit pertanyaan di sela-sela proses pemakaman itu.

“YaAllah, jika pada akhirnya kami sesedih ini sebab berpisah, untuk apa kami dipertemukan di dunia?”

Tapi pertanyaan itu tak bertahan lama, sebab dari dalam sana, meski terdengar sayup, terdengar ada suara yang menjawab.

“Itulah mengapa, bukankah sudah dikatakan bahwa dunia hanya tempat ujian? Harusnya manusia tak mencari apa-apa selain ridho-Nya saja.”

Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Kematian bukan untuk dirisaukan, sebab datangnya memang pasti. Ketidaksiapan diri lah yang harusnya lebih layak untuk dirisaukan. Sebab harusnya, jika kita yakin dengan sebenar-benar yakin bahwa Allah Mahakuasa, bahwa ada kehidupan kekal nanti di akhirat, kita tak akan risau sedemikian rupa.

Apa-apa yang telah Allah takdirkan, akan terjadi. Apa-apa yang tidak Allah takdirkan, takkan pernah terjadi. Dan segala sesuatu yang berasal dari Allah untuk hamba-Nya, tak pernah ada yang membuat rugi.

Mahabesar Allah Yang Maha Mengetahui Segala Isi Hati.

Sumber

Kemudian pada rupa-rupa ujian yang kita rasa berat, ada nasihat manis dari seseorang. Bagi saya, ianya sebagai pelengkap pada edisi menampar diri sendiri untuk kali ini:

"Apapun, jalani dengan berusaha ikhlas dan ridho. Allah nggak mungkin ngasih sesuatu yang buruk kan buat hamba-Nya? kalau dirasa berat, itu supaya kita ingat kalau nggak ada manusia yang berdaya, dan kita lemah tanpa minta kekuatan ke Allah."


Ditulis di Bogor,
pada 4 Maret 2020, 16.33 WIB

No comments:

Post a Comment