"Masjidnya bagus ini," ujar seorang bapak yang baru saja aku temui ketika hendak pulang usai mengajar hari itu.
"Oh iya ya Pak?" aku menoleh ke arah masjid yang dimaksud. Memperhatikan sekilas. Bagus memang. Temaram lampu menghiasi batang-batang pohon di sekitarnya.
"Masjid baru. Bagus, tapi sayang kalau malam masjidnya dikunci," ujar si bapak lagi. Aku mengangguk-angguk.
"Oh saya baru tau Pak, jarang lewat sini sih."
"Habis kuliah?"
"Bukan, Pak. Saya habis ngajar bimbel."
"Ooh.. iya Neng, masjid itu kalau malam dikunci. Sayang sekali kan. Alasannya sih takut ada maling atau apa lah, tapi harusnya masjid itu terbuka. Kan tempat ibadah."
"Punya pribadi mungkin ya, Pak?" aku belum bisa menebak arah perbincangan kami.
"Ya tetap aja harusnya nggak dikunci meski yang membangun pribadi. Kalau perlu dilengkapi sama security. Barangkali orang mau i'tikaf atau apa di masjid," terdengar ia begitu bersemangat. Suaranya menggebu melawan bising suara kendaraan di jalan raya.
Obrolan kami kemudian berlanjut, membahas fenomena masjid yang saat ini tak sedikit seolah hanya jadi tempat wisata untuk foto-foto. Padahal ia punya fungsi luar biasa, tempat ibadah, tempat belajar.
"Pokoknya dalam hidup ini mah Neng, yang penting itu tauhid. Beres udah. Saya ini dulunya mualaf. Baru bener-bener belajar Islam enam tahun belakangan. Baru bisa azan, baru berangkat solat ke masjid. Zaman sekarang orang udah aneh-aneh aja, mimpi dikit, dibilang dapat wahyu dari Allah. Aduh jangan percaya Neng sama yang begitu-begitu!" ujarnya. Mungkin mengigat fenomena raja-rajaan yang sempat marak awal tahun lalu.
Kemudian dengan semangatnya, bapak usia 46 tahun itu bercerita pengalaman beliau belajar Islam. Ia dibesarkan sebagai non-muslim, hingga memilih untuk masuk Islam ketika duduk di bangku SMA. Ia belajar tentang Islam dari salah seorang guru, sampai pada satu titik gurunya tersebut meninggal dunia dan hidupnya morat-marit, berantakan. Ia kehilangan sosok yang menuntunnya.
"Ya begitu Neng, udah jatuh banget hidup. Berantakan. Jalanin agama seadanya aja."
Sampai pada suatu ketika, beliau jatuh sakit. Kakinya bengkak dan bernanah, tak kuasa berjalan.
"Satu tahun Neng, Bapak nggak bisa jalan. Duh waktu itu susah banget, udah segala macam obat dicoba. Mulai dari dokter sampai yang katanya orang pinter, tapi nggak ada yang bikin sembuh," tuturnya.
"Kakinya kok bisa sakit begitu, Pak?" tanya saya.
"Iya digigit kalajengking. Rumah Bapak dekat pabrik, lembab. Pas tidur di bawah, terus digigit kalajengking."
Segala upaya sudah beliau coba, tapi hasilnya nihil. Sudah nyaris putus asa dan mengira selesai lah riwayat hidup kakinya, dan ia takkan bisa berjalan lagi. Sampai suatu ketika, salah seorang kawan berkunjung menjenguknya.
"Sampai temen Bapak ada yang jenguk. Terus dia ini nasihatin Bapak, 'Apa yang kamu alami bisa jadi cara Allah nunjukin kasih sayang-Nya'. Kalau nggak begitu, mungkin Bapak lupa sama Allah, makin jauh sama Allah," kenangnya.
"Ternyata bener, Neng. Mau kita usaha macem-macem, mau beli obat mahal pun, kalau Allah nggak kasih sembuh ya nggak bakal sembuh. Tapi sebaliknya kalau Allah udah kasih, mau kita cuma pake obat murah, mau kita berobat seadanya, ya tetep bisa sembuh. Tugas kita cuma ikhtiar. Bener Neng, akhirnya atas izin Allah Bapak sembuh. Padahal cuma pake obat murah."
Beliau juga menyampaikan bahwa selama satu tahun sakit itu, ia seperti menemukan cahaya yang sudah lama hilang; belajar Islam.
"Umur 40 tahun, kalau kata orang mah udah ketuaan. Tapi bener banget, Neng. Kalau Allah mah nggak begitu. Kalau Allah bilang jadi, maka jadilah. Kalau Allah mau ngajarin ilmu, ya diajarin ga peduli usianya berapa," sampai disini, beliau membacakan ayat Al-Qur'an.
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
"Sekarang Bapak emang udah nggak muda, tapi semangat Bapak nggak kalah sama yang muda-muda. Malah suka aduuh, geregetan Neng kalau liat anak muda zaman sekarang pada males kerja. Maunya dapat duit tapi kerjanya males."
"Wah saya dong Pak, anak muda zaman sekarang. Jadi kesindir Pak," aku tertawa kecil.
"Yaa ini mah Bapak ngomongin anak muda yang laki-laki Neng, terutama. Anak laki itu kan nanti jadi pemimpin, jadi kepala keluarga," timpalnya.
Beliau kemudian melanjutkan ceritanya.
"Suatu hari Bapak denger azan dari masjid. Seumur-umur, meski udah mengaku Islam, Bapak nggak pernah kepikiran sebenernya azan itu apa. Nggak ngerti azan. Nggak paham. Tapi habis itu Bapak ke masjid. Begitu aja tahu-tahu Bapak bisa azan," ia diam sejenak. Aku bisa menangkap sinyal haru dari beliau.
"Nggak ada yang mustahil bagi Allah, Neng. Sekarang Bapak bersyukur banget pernah sakit. Ternyata itu caranya Allah nolongin Bapak supaya kembali ngaji, kembali ke jalan yang bener."
Aku tidak banyak bicara. Memberi ruang seluas-luasnya untuk beliau bercerita dan memberikan nasihat. Aku bahkan tidak tahu siapa namanya, tapi kehadiran beliau sesaat sebelum aku pulang usai mengajar hari itu benar-benar sesuatu sekali. Seolah Allah tengah memberi pelajaran langsung, usai aku menyampaikan pada anak-anak didikku tentang ujian dan tentang mensyukuri apa yang Allah beri.
Ya, bahan ajarku hari itu adalah tentang menghadapi ujian. Baru saja aku mendiskusikan tentang ujian-ujian yang dihadapi para Rasul Ulul Azmi, baru saja menjawab pertanyaan anak-anak SMP itu seputar bagaimana cara bersyukur di tengah ujian yang menghadang. Persis setelahnya akulah yang mendapat jawab dari tanya-tanya milikku, melalui beliau.
"Bapak tuh dulu kalau ngeliat orang yang Bapak nggak suka, rasanya muak bener, pengen muntah aja bawaannya. Kesel. Tapi habis belajar Islam, habis belajar tauhid, ternyata nggak begitu. Harusnya kita doain. Bahkan kalau dia itu orang yang menzalimi kita."
"Iya ya, Pak..."
"Iya, Neng. Doain biar diri kita sama dia dapat hidayah. Itu pas Bapak praktekkin, rasanya enak banget. Daripada hati kita jadi nyimpen penyakit, mendingan jadi doa. Kalau udah minta sama Allah, Allah akan kasih yang terbaik buat kita. Sekarang jadi Bapak kalau ngeliat orang yang asalnya nyebelin, bukan jadi marah atau benci. Jadinya malah kasihan, Neng." lanjutnya diiringi tawa. Aku mencatat nasihat-nasihat beliau di kepala.
Tak lama kemudian, perbicangan kami usai. Kuucapkan terima kasih sebelum kemudian permisi.
Kan sudah ku bilang, Allah selalu saja punya cara. Aku tak pernah menyangka pesan-pesan berharga itu akan ku dapat dari orang yang tak aku kenal, tak ku tahu siapa, dan tak pernah aku bertukar sapa sebelumnya.
Terima kasih banyaak, Bapak!
Jazakallahu khaiir.
Alhamdulillah bini'matih tatimussaalihaat. ^_^
Sumber |
Ditulis pada 19 Februari 2020, 14.00 WIB
No comments:
Post a Comment