Kali
ini kami akan membahas artikel berjudul How Infants and Toddlers React to Antisocial
Others yang dipublikasikan pada 2011 dan ditulis oleh Hamlin dkk. Dari
judulnya, sedikit banyak dapat diperkirakan bahwa artikel ini bicara tentang
bagaimana bayi dan anak balita memberi respon akan perilaku antisosial pada
orang lain.
Hal
yang bagi saya menarik dari penelitian ini adalah, bahwa Hamlin dkk. tidak
hanya sekadar melakukan penelitian tentang bayi dan balita, melainkan melibatkan bayi dan balita. Dengan kata
lain, penelitian ini menjadi kaya akan informasi dan menjelma jadi enlightenment. Ia tidak hanya berbicara
tentang teori dan bagaimana pandangan para ahli ataupun orang tua yang menjadi
narasumber, melainkan langsung menyentuh tokoh utama sebagai subjek penelitian.
Berikut tabel yang berisikan informasi mendasar mengenai artikel yang sedang
dibahas.
Judul
|
How infants and toddlers react to
antisocial others
|
Dipublikasikan pada
|
PNAS (Proceeding of The National Academy
of Sciences of the United State of America). 108(50): 19931-19936
|
Tahun
|
2011
|
Penulis
|
J. Killey Hamlin (a); Karen Wynn (a); Paul Bloom (b); Neha Mahajan (b)
|
Lembaga/instansi
|
a= Department of
Psychology, University of British Columbia
b= Department of
Psychology, Yale University, New Haven
|
Abstrak
|
Although adults generally prefer helpful behaviors
and those who perform them, there are situations (in particular, when the
target of an action is disliked) in which overt antisocial acts are seen as
appropriate, and those who perform them are viewed positively. The current
studies explore the developmental origins of this capacity for selective
social evaluation. We find that although 5-mo-old infants uniformly prefer
individuals who act positively toward others regardless of the status of the
target, 8-mo-old infants selectively prefer characters who act positively
toward prosocial individuals and characters who act negatively toward
antisocial individuals. Additionally, young toddlers direct positive behaviors toward prosocial
others and negative behaviors toward antisocial others. These findings
constitute evidence that the nuanced social judgments and actions readily
observable in human adults have their foundations in early developing
cognitive mechanisms.
Keywords: cooperation,
infancy
|
Penelitian
ini terdiri atas 5 eksperimen yang melibatkan bayi dan balita dengan berbagai
usia. Pada masing-masing eksperimen, subjek diberikan perlakuan untuk kemudian
dilihat reaksinya. Untuk lebih rinci, saya merangkum tujuan, subjek, metode,
dan hasil dari masing-masing eksperimen pada tabel berikut.
Tujuan
Penelitian
|
Untuk
memastikan perkembangan alami dari kemampuan untuk mengevaluasi keadaan
sosial pada bayi praverbal dan pada balita yang baru saja memasuki tahap
verbal.
|
Subjek
Penelitian
|
Eksperimen
1: Bayi usia 5 bulan dan 8 bulan
Eksperimen
2: Bayi usia 8 bulan
Eksperimen
3: Bayi usia 9 bulan
Eksperimen
4: Balita usia 19 bulan -23 bulan
Eksperimen
5: Balita usia 19.20 bulan – 22.29 bulan
|
Metode
Penelitian
|
·
Eksperimen 1
Bayi dipertontonkan tayangan
akan adanya tokoh (boneka tangan) yang mendapat pertolongan untuk membuka box
dari “boneka prososial” dan “boneka antisosial”. Kemudian setelah mengobservasi
interaksi tersebut, bayi diminta untuk mengevaluasi tokoh baru yang berlaku
sebagai penolong (kemudian disebut Giver)
dan berbahaya (kemudian disebut Taker)
bagi tokoh yang sebelumnya berperan sebagai boneka prososial dan boneka
antisosial.
·
Eksperimen 2
Serupa pada Eksperimen 1, namun
target diganti bukan menjadi pelaku melainkan menjadi korban (berbeda pada
Eksperiman 1 dimana target adalah boneka prososial dan boneka antisosial.
Pada eksperimen 2, target adalah korban dari perilaku kekerasan/antisosial).
Kemudian, target ditampilkan bermain bola yang diambil oleh Taker kemudian dikembalikan oleh Giver (Taker dan Giver
merupakan tokoh yang sama dengan yang ditampilkan pada Eksperimen 1)
·
Eksperimen 3
Subjek diganti dengan balita
berusia 19 bulan, dan diperlakukan sama seperti pada Eksperimen 1 dan
Eksperimen 2.
·
Eksperimen 4
Balita usia 9-23 bulan bermain
permainan pemanasan dengan diminta untuk memberikan “treats” kepada beberapa boneka hewan dengan meletakkan balok
kepada wadah masing-masing boneka hewan. Kemudian ditampilkan bahwa boneka
hewan sangat senang mendapat “treats”
tersebut.
Setelah itu balita
dipertontonkan tayangan seperti pada Eksperimen 1 dan Eksperimen 2, kemudian
diminta untuk memilih apakah akan memberi “treats”
pada Giver atau Taker. Balita dihadapkan pada dua
kondisi (Giving-a-treat dan Taking-a-treat)
·
Eksperimen 5
Sekelompok balita yang baru
diajarkan untuk memberi treat pada
hewan dan memilih dari dua karakter untuk memberi atau mengambil treat dari karakter tersebut. Balita
dipertontonkan tayangan yang sama seperti pada Eksperimen 2 melibatkan tokoh
yang ditolong dan diganggu. Kemudian diminta untuk memilih apakah memberi
atau mengambil kepada/dari Helpee (ditolong) dan Hinderee (diganggu)
|
Hasil
Penelitian
|
§ Eksperimen 1
-
12
dari 16 bayi 5 bulan dan 12 dari 16 bayi 8 bulan memilih Giver ketika target merupakan boneka prososial. ketika target
merupakan boneka antisosial, 14 dari 16 bayi 5 bulan memilih Giver sedangkan 13 dari 16 bayi 8
bulan memilih Taker.
-
Pada
usia 8 bulan, bayi memilih tokoh yang berlaku positif pada pihak prososial
dan memilih tokoh yang berlaku negatif pada pihak antisosial.
§ Eksperimen 2
-
13 dari 16 bayi memilih Giver
dari Taker. Berbeda signifikan
dengan pilihan bayi 8 bulan terkait tokoh antisosial pada Eksperimen 1.
§ Eksperimen 3
-
Pada target prososial= 12 dari 16 memilih Giver
-
Pada target antisosial= 14 dari 16 memilih Taker
-
Pada target sebagai korban= 13 dari 16 memilih Giver
§ Eksperimen 4
- 13 dari 16 balita memilih untuk memberi “treats”pada boneka
prososial.
- 14 dari 16 balita memilih untuk mengambil “treats” dari boneka antisosial.
- Pilihan balita sangat berbeda signifikan pada dua pilihan keadaan yang
dihadapkan (Giving-a-treat dan Taking-a-treat)
§ Eksperimen 5
-
11 dari 16 balita memilih untuk memberi pada Hinderee
-
13 dari 16 balita memilih untuk mengambil dari Helpee
-
Balita pada kondisi Taking menghindari mengambil treat dari tokoh yang telah mengalami gangguan sosial dari pihak
ketiga. Respon ini bertolak belakang dengan yang diprediksikan pada
Eksperimen ketika target sebagai korban.
- Menunjukkan bahwa balita yang lebih tua memiliki kemampuan memberi
empati. Balita menghindari mengambil dari karakter yang telah diganggu karena
mereka dapat merasakan simpatik padanya.
|
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bayi dapat melakukan evaluasi sosial secara sederhana dengan statement “prososial=baik” dan “antisosial=buruk”.
Selain itu, penelitian ini juga membuktikan bahwa balita dapat merasakan
simpatik kepada pihak lain di luar dirinya. Menurut saya pribadi, agaknya Hamlin
dkk. cukup berhasil menunjukkan bahwa setiap individu dewasa hari ini memiliki
fondasi kognitif moral sejak dini. Dalam bahasa lain, kita dapat mengatakannya
sebagai hati nurani, atau juga akrab dengan istilah fitrah; nilai-nilai yang tertanam sejak lahir secara manusiawi.
Saya
jadi ingat akan teori perkembangan moral dari Bandura yang menyebutkan bahwa perkembangan
moral anak merupakan hasil observasi dan imitasi— hingga dipertanyakan dimanakah
peran aspek internal? juga teori Piaget dan Kohlberg yang memperoleh
tanggapan kritis dari beberapa kalangan karena menyebutkan bahwa bayi tidak
memiliki moral reasoning. Teori
keduanya belum dapat menjelaskan tentang bagaimana pendidikan karakter pada
usia dini dapat dilakukan, mengingat baik Piaget maupun Kohlberg mengatakan
bahwa anak di bawah usia 4 tahun belum dapat memahami moral. Barulah Thomas
Lickona muncul dengan teori yang lebih komprehensif nan kiranya dapat lebih
menjelaskan dan menjawab teori-teori sebelumnya. Lickona menggabungkan berbagai
teori sekaligus (termasuk padangan Piaget dan Kohlberg) sehingga melahirkan 6
tahap perkembangan moral pada manusia, sebagai berikut.
.
1. Fase bayi (0- 3 tahun) = fondasi moral
2. Fase 1 (+- 4 tahun) = berfikir egosentris
3. Fase 2 (4,5-8 tahun) = patuh tanpa syarat
4. Fase 3 (8,5-14 tahun) = memenuhi harapan lingkungan
5. Fase 4 (16-19 tahun) = ingin menjaga kelompok
6. Fase 5 (>20 tahun) = moralitas tidak berpihak
1. Fase bayi (0- 3 tahun) = fondasi moral
2. Fase 1 (+- 4 tahun) = berfikir egosentris
3. Fase 2 (4,5-8 tahun) = patuh tanpa syarat
4. Fase 3 (8,5-14 tahun) = memenuhi harapan lingkungan
5. Fase 4 (16-19 tahun) = ingin menjaga kelompok
6. Fase 5 (>20 tahun) = moralitas tidak berpihak
Fase
bayi (0-3 tahun) merupakan fondasi awal bagi perkembangan moral. Pada fase ini,
bayi membutuhkan bonding dan attachment dengan orang tua terutama
ibunya. Orang tua perlu memberikan ekspresi cinta, rasa aman, stimulasi fisik
dan mental, serta keseimbangan antara kasih sayang dan otoritas. Berkaitan
dengan hasil penelitian Hamlin et al.
(2011), anak-anak yang menunjukkan evaluasi sosial yang baik boleh jadi tumbuh
dari keluarga yang telah memenuhi berbagai kebutuhan perkembangan moral pada
masa bayi tersebut. Perkembangan anak akan selalu melibatkan dua faktor secara
garis besar; nature dan nurture (bawaan dan oleh faktor
lingkungan).
Adalah
hal yang menarik dalam penelitian Hamlin dkk, bahwa ternyata bayi yang mungkin
sebagain besar masyarakat menilainya “belum mengerti apa-apa,” ternyata mampu
mengevaluasi dan memilih sesuai dengan nilai-nilai nurani. Saya jadi ingat pertanyaan
salah seorang ibu muda pada satu-dua tahun lalu, ketika saya asyik menggendong
anaknya dan mengajak si anak berbincang-bincang tentang benda-benda di
sekelilingnya. Ibu muda yang tidak lain adalah kawan saya itu lantas bertanya, “Emang
dia udah ngerti ya, Ris, diajak ngobrol begitu?” saya dengan keilmuan yang
sangat terbatas kemudian menjawab, “Yaa mungkin saja belum ngerti sekarang.
Tapi insyaAllah terinternalisasi. Kalau pun nggak ngerti, minimal diajak
ngobrol dan itu berdampak baik buat dia. Semoga ya, hhe..” belakangan saya baru
tahu, bahwa ternyata bayi jauh lebih cerdas dari apa yang saya duga sebelumnya.
Anak
balita pun ternyata memiliki kecenderungan untuk memiliki rasa simpati. Hal ini
ditunjukkan dengan hasil dari Eksperimen 5 yang menyebutkan bahwa anak balita
lebih memilih untuk memberi pada tokoh yang telah mengalami keburukan, dan
lebih memilih untuk mengambil dari tokoh yang sebelumnya mendapat pertolongan.
Apa artinya? kita dapat lebih mudah memahami dengan ilustrasi seperti ini:
berikan bantuan pada seseorang yang lebih membutuhkan. Jangan mengambil/meminta
sesuatu pada seseorang yang sedang membutuhkan sesuatu tersebut. Menurut saya,
ini adalah konsep sederhana dari saling memahami. Terlebih lagi, ia merupakan
landasan dasar dari kepekaan sosial antar manusia.
Kesimpulan
penelitian
|
- Bayi dapat
melakukan evaluasi sosial, yaitu bahwa “prososial=baik” dan
“antisosial=buruk”.
- Balita dapat
merasakan simpatik.
- Orang dewasa
telah memiliki fondasi sejak dini terkait mekanisme kognitif.
|
Apa yang dilakukan oleh Hamlin dkk. bukan merupakan penelitian pertama yang fokus pada perilaku sosial dari anak-anak. Penelitian-penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa balita terlibat dalam perilaku sosial terhadap orang dewasa dan remaja, berlaku prososial terhadap koban tindak antisosial, dapat melakukan protes selama atau setelahnya, dan secara selektif memberikan penghargaan pada pihak prososial dibandingkan antisosial. Uraian lebih lengkap mengenai teks lengkap artikel hasil penelitian ini dapat dilihat pada tautan berikut: KLIK DISINI. Selain itu, penelitian di Yale Univeristy ini juga diliput oleh CNN TV yang dapat disaksikan melalui situs YouTube melalui tautan berikut: KLIK DISINI.
Membaca
artikel ini mengingatkan saya pada perbedaan pendapat antar tokoh mengenai satu
pertanyaan sederhana: apakah bayi
dilahirkan dalam keadaan “tabula rasa”? ataukah setiap bayi lahir degan keadaan
memiliki “blue print”? bahasa
lainnya ialah perdebatan antara konsep nature
vs nurture. Juga perbedaan
pandangan akan satu pihak yang memandang bayi terlahir “baik” sehingga harus
dijaga, dan bayi terlahir “jahat” sehingga harus dididik dan memperoleh
pembelajaran. Ialah pemikiran-pemikiran yang kemudian melahirkan berbagai mcam
hipotesa. Sebagain berujung teori, sebagian lain boleh jadi cukup berakhir pada
tanda tanya dan asumsi.
Ilmu
pengetahuan senantiasa berkembang. Seiring dengan waktu, fakta-fakta ilmiah
bermunculan yang boleh jadi menjawab berbagai pertanyaan pada masa sebelumnya. Contohnya
adalah teori perkembangan moral yang hari ini semakin jelas beserta contoh
praktis untuk orang tua tentang bagaimana cara mendidik moral anak. Hari ini
kita dapat dengan mudah membaca buku parenting,
mulai dari yang bentuknya “serius” menjadi referensi ilmiah, sampai yang
menggunakan bahasa populer untuk dibaca oleh kalangan umum. Namun sesungguhnya,
Nabi Muhammad SAW, sekian tahun silam, melalui sabdanya telah memberikan
petunjuk pada kita mengenai perkembangan anak.
قال
النبي صلى الله عليه و سلم ( كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو
يمجسانه
“Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. al-Bukhari & Muslim)
Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Setiap manusia memiliki hati nurani. Kemudian
bekal yang telah dimiliki itu lantas berinteraksi dengan lingkungan, yang dalam
hal ini disebutkan ialah orang tua. Pengasuhan yang dilakukan orang tua turut
berkontribusi pada seperti apakah kepribadian anak akan terbentuk, nan menjadi
apa dan beragama apa si anak kelak. Jika dikaitkan dengan teori perkembangan
yang menyebut adanya faktor bawaan dan faktor lingkungan (herediter dan
lingkungan), maka fitrah, menurut hemat saya, adalah faktor bawaan yang mutlak
ada dan seragam pada setiap manusia; di luar faktor bawaan lain yang sifatnya
ciri fisik atau kecerdasan nan tempramen— yang boleh jadi berbeda pada
masing-masing individu.
***
Jadi
kalau ada yang bertanya (lagi): ”Apakah agama adalah
warisan?”
kira-kira, Anda akan menjawab
apa? J
Ditulis di
Batavia,
Pada 8 Ramadhan 1438 H
Pada 8 Ramadhan 1438 H
No comments:
Post a Comment