Hal yang paling menyenangkan dari long weekend bulan Mei 2016 adalah; menyadari bahwa Ramadhan 1437 H semakin dekat (yay! :)) Alhamdulillah. Semoga kita sampai berjumpa dengan si cinta yang hadirnya sekali dalam setahun ini. Allahumma aamiin.
Rasanya lama sekali saya tidak menulis di laman ini dengan sepenuh hati. Belakangan ada banyak hal yang tahu-tahu kepikiran. Sebenarnya banyak sekali yang ingin ditulis. Tapi sayang, manajemen waktu rupanya masih menjadi alasan klise yang tak bosan diungkit-ungkit. Saya sungguh mohon doa untuk yang satu ini, ya, agar tidak pernah bosan untuk jadi manusia yang berusaha. Boleh jadi yang diijabah adalah doa yang sedang membaca ini -siapapun itu disana.
Izinkan saya -sekali-sekali- menulis agak panjang tentang apa yang saya alami. Banyak pembelajaran beberapa bulan belakangan, yang menulisnya selama ini jadi wacana saja. Dari sekian banyak, kali ini cukup saya ambil beberapa saja dulu, dan bentuknya masih cuplikan-cuplikan --daripada berujung wacana lagi, kan :) semoga Allah perkenankan untuk saya tulis beserta hikmah-hikmahnya yang lebih mendalam di lain waktu.
"Barangsiapa yang beribadah karena Ramadhan,
sesungguhnya Ramadhan hanya datang setahun sekali.
Tapi barangsiapa yang beribadah karena Allah,
sesungguhnya Allah kekal lagi Maha Mengetahui."
Ramadhan 1436 H adalah Ramadhan pertama kami bersama keponakan pertama saya dari kakak tertua, namanya Qifa. Selang 10 tahun setelah kami terakhir kali merasakan riweuh-nya lebaran sama bayi (10 tahun lalu, adik bungsu saya yang jadi bayinya. :D). Mempersiapkan macam-macam mulai dari popok, botol susu, ASI (sekaligus alat pompanya), satu set keperluan pasca mandi (baby lotion, sabun, sampo, bedak, hair lotion, dll), kaus kaki, sapu tangan, dan lain-lainnya. Semarak sekali, Lalu ketika keluarga besar berkumpul, bahagia sekali lihat bayi-bayi berseliweran :')
Ramadhan 1436 H adalah bulan pembenahan spiritual. Tidak tanggung-tanggung, saya juga mendapat ujian yang tidak dapat dipungkiri memberi pengalaman luar biasa berupa introspeksi dan upaya pengkokohan iman. Maha Besar Allah yang paling tahu isi serta kapasitas hamba-Nya. Saya banyak belajar tentang konsep diri, ilmu tauhiid, juga manajemen qalbu, terutama dari mendengar pengalaman hidup Ustadz Abdullah Gymnastiar yang berawal dari kiriman link video melalui salah seorang sahabat.
Ekspresi cinta Allah adalah ekspresi cinta terbaik. Saya yang selama ini seringkali dihantui pertanyaan "Harus berbuat seperti apa, karakter yang mana yang Allah suka?" menemukan jawabannya. Bahwa manusia, sampai kapan pun takkan pernah bisa memahami keilmuan yang sempurna. Kesempurnaan ilmu itu hanya milik Allah. Jika logika kita bicara bahwa api itu menghanguskan dan massa jenis manusia lebih berat daripada massa jenis air, bagaimanakan ia menjelaskan apa yang terjadi pada Nabi Ibrahim dan Nabi Musa?
Seorang muslim boleh jadi akan selalu berada pada ranah khauf dan raja; antara takut dan harap pada Rabb-nya. Bukankah di sanalah terletak indahnya iman?
IPB Goes to Field (IGTF) Banjarnegara 2015
"Setiap manusia memiliki sejarah.
Bukan untuk dikenang semata, melainkan untuk
dimaknai hikmahnya secara nyata"
Berselang satu minggu, setelah Idul Fitri 1436 H, saya bersama puluhan mahasiswa IPB lainnya dikirim ke beberapa daerah di Indonesia untuk melaksanakan program IGTF. Lokasi yang menjadi pilihan saya saat itu adalah Banjarnegara, berbekal informasi selewat dari teman bahwa tempat ini sejuk dan dingin. Dan ternyata benar. Saya tidak salah pilih lokasi :)
Selama tiga minggu, kami menjalani kegiatan dengan program utama pengembangan desain untuk wisata pertanian buah durian. Hal yang meyenangkan dari kegiatan IGTF adalah, saya seperti masuk ke dalam kehidupan yang lain. Melupakan rutinitas harian yang menjenuhkan di kota besar, tidak ada macet, pemandangan hijau dimana-mana, sejuk, bertemu anak-anak SD, berjalan kemanapun saling sapa. Seru. Seperti punya dunia lain selama tiga minggu.
Bapak homestay kami bernama Pak Karmo. Kami banyak belajar tentang pelajaran hidup dari beliau. Pengalaman pahitnya selama kecil mulai dari ditipu, jadi gelandagan, makan air bak di perkantoran Jakarta, diusir satpol PP, diangkat anak oleh seorang keturunan Arab, dan seterusnya, menjadikan sosok yang satu ini begitu memanusiakan manusia. Bahkan ada dari kami yang nyeletuk, "Bapak kalau kisah hidupnya jadiin film kayaknya seru, Pak!" dengan nada seius usai mendengar bahwa beliau bahkan punya satu koper berisi catatan perjalanan hidupnya.
Pak Karmo sangat memerhatikan masing-masing dari kami. Bahkan ketika suatu waktu saya berpuasa, tahu-tahu sudah tersedia teh manis hangat dan dua bungkus roti pia yang beliau siapkan. Anak perempuan beliau satu-satunya yang bernama 'Aina seru sekali diajak bermain. Anaknya berani. Bahkan Pak Karmo cerita pada kami, bahwa beliau pernah dipanggil ke sekolah karena 'Aina berkelahi dengan anak laki-laki. :')
Ada banyak hal yang terjadi di Banjarnegara. Saya bertemu teman-teman baru yang entah bagaimana kami begitu cepat menjadi dekat. Bahkan ada salah satu teman yang satu kelas pas tingkat pertama dan nggak pernah berbinang, tapi justru ngobrol banyak pas IGTF bareng. :D kalau ingat, jadi kangen sekali. IGTF juga sukses membantu saya mengatur hati dan fikiran. Bagaimana tidak, rasa energi tumpah untuk asyik bercegkrama dengan anak-anak SD yang sibuk berlarian sana-sini dan ikut lomba 17 Agustus-an. Belum lagi naik mobil bak tengah malam dengan suhu dingin luar biasa beserta taburan gemintang di angkasa menuju Dieng Plateau. Ada rencana baru dalam kepala saya. Suatu waktu entah kapan, saya harus kembali lagi.
Haji 1436 H
"Rindu adalah bahasa cinta yang paling jujur."
Alhamdulillah, Mama dan Ayah dijemput Allah untuk mengunjungi rumah-Nya di Kota suci Makkah pada 1436 H. Sebuah penggenapan rukun Islam yang terakhir; haji. Saya yang selama ini lebih sering pergi dari rumah meninggalkan keduanya oleh sebab menuntut ilmu, ganti ditinggalkan selama kurang lebih 60 hari lamanya ke tempat nun jauh disana. Ada rasa tersendiri. Campuran antara bahagia, haru, dan sesekali cemas.
Di tengah-tengah masa keduanya menunaikan ibadah haji, saya mendapat kejadian yang membuat saya bersyukur sekali. Adakah yang lebih menakjubkan dari doa pintu syurga saya di dunia- yang dipanjatkan dari tanah suci di hadapan Ka'bah? Allahu Akbar! saat itu saya tengah dalam kondisi hati yang sangat tidak nyaman. Serta merta saya mengirim pesan kepada Mama dan Ayah, mohon doa agar putrinya diberi sabar dan istiqomah, serta dijaga hatinya. Tidak perlu waktu berjam-jam. Hati saya lapang begitu saja. Saya membayangkan betapa cepatnya sinyal disana. Betapa dekatnya doa dengan ijabah.
Waktu keduanya pulang, rasanya deg-degan. Rindu sekali. Begitu Mama dan Ayah memasuki pintu rumah tengah malam, rasanya tenang. Haru. Rindu yang sebegitu dalam terbayar dengan sangat sederhana; mencium takzim tangan keduanya, dan mendapat pelukan hangat. Tanpa kata-kata. Lunas. Bahkan mendapat bonus berupa pengalaman dan cerita selama keduanya berada di tanah seberang.
Lalu ada harap yang semakin membuncah; semoga Engkau mengajakku juga mengunjungi rumah-Mu. Segera setelah semuanya Engkau anggap siap. Allahumma aamiin...
C-care Edwar Technology
"Kebanyakan dokter 'mengobati' badan seakan ia terpisah dari jiwa.
Sebaliknya, kebanyakan psikolog 'mengobati' jiwa seakan ia terpisah dari badan.
Padahal sejatinya, badan dan jiwa merupakan satu kesatuan utuh."
Jika orang-orang mengenal Dr. Warsito dari pemberitaan di media, saya justru mengenal beliau ketika secara 'tidak sengaja' turut bergabung menjadi ghostwriter untuk laman website C-care Edwar Tehnology. Meski hanya satu kali turun lapang langsung bertemu dengan para pasien kanker pengguna ECCT untuk saya wawancarai, pengalaman tersebut sungguh luar biasa bagi saya. Saya lebih merasa tengah dapat kesempatan seminar kesehatan gratis dibayar alih-alih kerja serabutan. :D
Materi yang disuguhkan sangat menarik. Saya jadi tahu bagaimana sisi psikologis seseorang sangat berpengaruh terhadap kesehatan tubuhnya. Bahkan saya tidak pernah sekadar menebak, bahwa satu penyakit kanker tertentu teridentifikasi dengan jenis trauma yang spesifik. Misalnya saja kanker testis dan ovarium, kabarnya kuat dipengaruhi oleh perasaan kehilangan yang mendalam. Juga kanker lainnya seperti kanker payudara yang bahkan kanan/kiri memiliki jenis masalah psikologis berbeda. Materi tersebut saya dapat dari Bapak Riza dari Terapi Hati. Mungkin akan saya tulis selengkapnya lain waktu. Atau silakan berselancar dan mencari tahu bagi yang tertarik.
Di acara ini pula, saya pertama kali mengenal ECCT dan ECTV, pertama kali berjumpa dengan Dr. Warsito (dan beliau ramah sekali!) juga bertemu dengan orang-orang inspiratif. Saya bahkan tidak menyangka sapaan manis di tengah-tengah antrean makan siang itu berasal dari seorang perempuan muda yang tengah mengidap kanker tiroid. Hingga saat ini saya kerap bertukar kabar dengan Ayuk -begitu saya memanggilnya (Ayuk = sapaan untuk 'kakak perempuan' di Sumatra). Selain Ayuk, ada juga Adik Rafi (fotonya ada di atas), Ibu Nita dan Ibu Indira (para tetinggi Komunitas Peduli Kanker Lavender), Ibu Ani, Ibu Ayi, Ibu Metty, dan lainnya. Semuanya memberikan saya banyak pelajaran. Belum lagi melihat adik-adik berseragam kuning yang saling berbaris rapi (dan ternyata mereka semua pengidap kanker). Berbincang dengan kesemuanya memaksa saya menyaksikan ketegaran seorang ibu, antusiasme seorang anak muda, ketulusan seorang anak, dan menyuguhkan saya pembelajaran tentang makna ikhtiar dan syukur yang sebenar-benarnya. :')
Namun sayang, tidak lama dari acara di Jungle Land ini, seperti yang mungkin pembaca tahu, C-care Edwar Technology ditutup dan saya tidak dapat melanjutkan kontribusi untuk menulis di website Pejuang Kanker.
Januari di Insan Cendekia Serpong
"Tempat ini seringkali tidak terdefinisi."
Dua minggu tidak cukup. Ya, waktu dua minggu adalah masa penjajakan magang saja bagi saya. Baru saja mulai dekat dengan adik-adik, tak ayal saya harus kembali ke Kota Hujan melanjutkan studi. Entah bagaimana saya selalu merasa berhutang pada tanah ini. Bukan hanya pada instansi, negeri, pendidik, orang tua, namun juga pada diri sendiri.
Tapi saya tidak akan membahas tentang itu kali ini. Terlalu bersifat batin dan main perasaan :D intinya selama magang, saya mendapat banyak pengalaman. Banyak belajar lagi, banyak berbincag-bincang dengan para pendidik luar biasa. Diam-diam saya menyesal mengapa dulu tidak tahu yang namanya kitab ta'lim muta'alim, dan seabrek keilmuan yang sebenarnya ustadz-ustadzah saya sangat memungkinkan untuk dimintai pengajaran ilmu serta barakahnya. Hal mengesankan lain adalah pengalaman saya untuk pertama kalinya menangani siswi yang kemasukan jin. Bagi saya yang baru pertama kali berhadapan langsung, pengalaman ini tidak hanya bersejarah, namun juga membuka wawasan tentang pengobatan ruqyah dan segala turunannya.
Ada satu mimpi sederhana saya yang diijabah Allah dengan indahnya; kesempatan berbagi langsung dengan adik-adik di MAN Insan Cendekia. Meski saya tahu betapa sedikitnya hal yang dapat saya bagikan, namun mengetahui keberadaan saya memberi manfaat meski sedikit, itu sudah terlalu indah untuk tidak disyukuri.
Seleksi Mahasiswa Berprestasi
"Semua orang punya hak yang sama untuk berusaha.
Jadilah manusia berprestasi, bukan sekadar mahasiswa 'berprestasi'!"
Saya tidak pernah mendaftarkan diri, tapi tahu-tahu jadi begini. Katanya, ajang kompetisi "Mahasiswa Berprestasi" terbilang bergengsi. Saya mengiyakan, dan mengapresiasi usaha pemerintah kita untuk menumbuhkan daya juang pada anak-anak mudanya, :) Saya tidak sampai mana-mana, ini hanya sampai tingkat fakultas (itu pun ada tiga orang dari departemen saya). Intinya, saya tidak lolos seleksi sejak tahap pertama, Hhe :D
Tapi saya menempatkan pengalaman ini menjadi salah satu yang terpenting dalam sejarah kemahasiswaan saya. Bukan apa-apa, saya jadi lebih memahami bahwa saya rupanya memang tidak begitu tertarik dengan juara, peringkat, nilai, dan hal-hal semacamnya. Kali ini saya megiyakan hasil tes Stifin yang hasilnya menyebutkan bahwa saya lebih bahagia mencetak para raja daripada menjadi raja itu sendiri.
Meski terdengar baik-baik saja, namun sebenarnya kadang saya juga drop dan takut. Bahkan dalam beberapa kesempatan jadi bertanya-tanya, "Apa Engkau sungguh menciptakan hamba cukup untuk menjadi penggembira saja?" --oke, itu kalau saya sedang jatuh sekali. Kadang-kadang takut terlalu asyik main di belakang. Sewaktu duduk di bangku Aliyah, saya bahkan lebih senang menemani kawan belajar untuk persiapannya olimpiade dibanding mengurusi pengembangan potensi saya sendiri. Saya tidak akan cemburu padanya jika akhirnya ia memenangkan olimpiade (bahkan boleh jadi akan sangat senang dan bersyukur). Tapi jujur, saya pastikan saya akan cemburu pada usahanya. Pada ikhtiarnya yang menghabiskan petang di sekolah untuk menuntut ilmu. (Dan saya asyik duduk (menganggur) di sebelahnya, seolah tekun menemaninya belajar).
Tapi saya menemukan jawaban. Bahwa justru keadaan-keadaan seperti itu adalah bukti bahwa Allah menyayangi saya dan ingin agar potensi saya pun berkembang. :) Allah tahu saya akan jadi mahasiswi dengan bidang keilmuan sosial. Allah tahu saya ingin menjadi pendidik. Maka dengannya, Allah mengajarkan beraneka ragam cara manusia mengusahakan citanya dan berperilaku dalam keseharian mereka.
Kaitannya dengan seleksi mahasiswa berprestasi ini adalah, setidaknya saya menemukan kenyataan bahwa ternyata jika agak dipaksa, saya bisa menyelesaikan tulisan berbau ilmiah dan agak serius (setelah selama ini paling anti nulis hal semacam itu) dalam waktu satu minggu meski berbenturan dengan target tilawah 5 juz/hari untuk masuk kelas tahfidz di RQ, dan laporan magang yang belum juga selesai. Meski terseok-seok, alhamdulillah atas bantuan teman-teman dan dosen pembimbing, KTI saya mencapai nilai tertinggi (sebenarnya itu tidak penting, tapi boleh dijadikan salah satu bahan evaluasi). Saya hanya menemukan fakta bahwa ternyata, Allah juga menghendaki saya untuk merayakan usaha dan berikhtiar optimal. Alhamdulillah! :))
Kids Corner "Sakinah Bersamamu"
"Amalkan. Bukankah Imam Syafi'i pernah berkata-
bahwa ilmu selalu menarik untuk diamalkan?"
Tidak, saya tidak hendak membicarakan tentang seminar pernikahan atau semacamnya. Kali ini adalah tentang anak-anak. :D
Alhamdulillah pada bulan Maret lalu, saya kembali mendapat kesempatan menimba ilmu melalui praktik langsung :D menjadi panitia sebuah seminar berjudul "Sakinah Bersamamu" yang diisi oleh Pak Cah beserta istri. Bagian saya dan 7 kakak lainnya adalah menjaga dan bermain besama adik-adik kecil selagi abi-umi mereka mengikuti seminar. Percayalah, berurusan dengan puluhan bocah selama delapan jam ternyata bukan hanya mengasyikkan, tapi juga mengkayakan! teori di bangku kuliah yang dipelajari selama berhari-hari itu ternyata masih kerdil sekali ketika harus dipraktikkan di lapangan secara nyata.
Meski cukup melelahkan, tapi sungguh terbayar dengan pengalaman berharga. Tingkah mereka unik-unik. Mulai dari mengajari boneka berjalan di atas aspal, mewarnai gambar berlembar-lembar dengan krayon merah semua, sibuk mencari Abi, sibuk mencari Umi, sibuk ngeliatin ikan dan tidak mau beranjak, main ayunan sampai tidur, tidak mau turun dari gendongan, membongkar rumah-rumahan dengan alasan copot sendiri pintunya :''D, main perosotan nggak berhenti-berhenti, juga ada yang tantrum bukan main.
Berbagai macam strategi digunakan agar mereka tetap tenang dan tidak ribut mengganggu kegiatan seminar. Batang otak saya bahkan seperti mendadak bekerja dengan tahu-tahu menyampaikan dongeng yang entah ceritanya dapat inspirasi darimana. Begitu juga dengan kakak-kakak yang lain. Mungkin kawan saya, Arlinda, juga tidak pernah menyangka bahwa dirinya dapat berperan baik menjadi singa yang sedang menangis. :D
Bagi yang belum pernah, sesekali cobalah menghabiskan waktu bersama anak-anak. Belajar bahagia tanpa syarat dari mereka.
***
:)
Penggalan-penggalan di atas agaknya terpisah satu sama lain. Tapi dari sana, saya mendapat satu kesatuan pembelajaran yang utuh. Semoga yang membaca dengan pengalamannya pun demikian.
Ini hanya saran. Jika suatu waktu kita mengalami kemandekan, cobalah bersyukur. Ekspresi syukur ada banyak sekali. Ingat-ingat lagi kenikmatan apa saja yang pernah kita alami. Kalau pun kita merasa itu sedikit (meskipun nurani sebenarnya yakin aslinya banyak sekali sampai tidak terhitung), tidak apa. Bersyukur saja, dan bagikan!
Sungguh tidak hanya kebahagiaan yang membawa kita pada syukur, melainkan rasa syukur itulah yang sejatinya membawa kita pada kebahagiaan. :)