Aku
fikir, pasir terbang itu hanya ada di film-film saja. Tapi ternyata, ia
sungguhan ada. Aku mengabarkanmu, namun entah mengapa kamu tidak
percaya. Jadi biar aku tuliskan saja disini. Setidaknya telah kusimpan
ia dalam memori dunia -meski dalam benakmu ia tiada.
April 2016 : KABUR
Dedaunan
saling melambai. Diterobos cahaya pada sela-sela rerumputan. Dibuat
tersipu oleh udara. Aku melangkahkan kaki gontai, setengah sadar. Kubuka
pelan pintu kaca yang entah mengapa terasa lebih berat. Kuperiksa loker
paling ujung. Masih bagus, hanya sedikit berdebu. Agaknya cukup lama
aku meninggalkan tempat ini. Gumamku dalam hati.
"Kemana saja?" seseorang di ujung lorong berjalan mendekat.
"Kemana? aku tidak kemana-mana," jawabku sambil tertawa ringan. Jelas-jelas membuat canda yang dipaksakan."
"Kamu sukses bikin satu sekolah geger, tahu nggak. Kenapa ngabur begitu saja?" ujarnya.
"Kamu fikir aku kabur?" kataku dari jarak lima meter.
"Apalagi namanya kalau bukan kabur? nggak nyangka aja sih, kamu selemah itu," kali ini nada bicaranya merendahkan.
"Aku bukan kabur, tapi diusir." aku kembali terkekeh. Menyiptakan gema oleh dinding-dinding ruangan.
"Iya, diusir oleh dirimu sendiri!" ujarnya galak.
"Keluarga
besar kita dalam masalah, Ken. Aku bukan kamu yang begitu penurut tapi
membiarkan diri terkungkung dengan sistem berantakan ini,” kali ini
gantian aku yang mendekatinya.
"BUK" wajahku dilempari satu plastik air dingin.
“Jangan gegabah. Lihat siapa yang membiarkan dirinya masuk ke lubang serigala dengan sengaja, Dasar!” Lalu aku ditinggalkan.
April 2016: TULISANMU
Belakangan,
aku punya hobi baru: memeriksa kolom pojok kanan buletin sekolah setiap
minggu; menanti tulisanmu. Entah sejak kapan ini menjadi kebiasan rutin
yang sejujurnya, diam-diam aku maki dalam hati. Meski tulisan itu bebas
dibaca siapapun, namun melakukan pemantauan berkala seperti ini kadang
membuatku merasa jadi tukang intip. Aku jadi merasa kehilangan diriku
dalam satu waktu. Dan malangnya, itu terjadi rutin setiap minggu.
“Bapak ketua OSIS, sejak kapan senang baca buletin sekolah?” lagi, aku kedapatan mematung di samping tangga; membaca tulisanmu.
“Hei,
bukannya dari dulu, Master?” aku tertawa renyah. Mengawasi setiap inci
kegiatan siswa di sekolah ini memang bagian dari tugasku, kan? Aku
menelan ludah.
“Haha, iya. Tapi belakangan jadi lebih rajin,” bahuku ditepuk pelan. Aku membetulkan posisi kacamata yang tidak berlensa.
“Tulisan pojok kanan ini selalu menarik,” kusodorkan tulisanmu pada Master.
“Ketua OSIS kita sedang jatuh cinta rupanya. Anak baru itu diam-diam menyolok sekali,” Master menggodaku. Aku tertawa.
“Bisa jadi,” jawabku sekenanya. Ia ikut tertawa.
Tapi
aku tahu persis, ini bukan jatuh cinta. Bukan, tapi lebih dari itu. Aku
seperti menemukan seseorang yang telah lama hilang. Semua
petunjuk-petunjuk ini mengarah padamu. Jalan fikiranmu, gaya tulisanmu,
pilihan kosakatamu. Aku hanya hendak memastikan semua itu. Jika memang
itu dirimu, apa yang akan kamu lakukan di tempat ini, Anak Baru? Apapun
itu, disini, akulah ketua OSIS-nya. Kamu harus tahu.
April 2016: PENYAPU JALAN
Kakek
pernah bercerita padaku tentang gadis penyapu jalan. Setiap pagi, ia
menyapu persimpangan jalan mulai dari ujung rumahku sampai pertigaan
terdekat yang jaraknya sekitar sepuluh meter. Sekilas tidak ada yang
istimewa. Tapi jika diperhatikan lebih seksama, ternyata gadis itu tidak
dapat melihat. Ya, dia menyapu jalan sejak dini hari, selagi suasana
masih lengang. Hanya ada satu-dua orang tua yang keluar untuk berbelanja
di pasar, atau tukang sapu lain yang juga bekerja pagi-pagi sekali.
Suatu
ketika aku memberanikan diri menghampirinya. Malang, ternyata selain
buta, ia juga tidak dapat berbicara. Aku garuk-garuk kepala. Bagaimana
mungkin Tuhan tega membiarkan hidupnya sebegitu sengsara? Alasan apa
pula yang membuatnya melakukan hal itu setiap hari; menyapu jalanan?
Apakah ia digaji? Kalaupun iya, seberapa besar? Apa kabar sekolahnya? Ia
hanya meresponku dengan tersenyum tanpa bicara satu patah kata pun. Aku
tidak punya pilihan selain tersenyum balik.
Beberapa
pagi aku menjumpainya. Selalu saja seperti itu. Ia akan tersenyum,
kemudian menyapu tanpa memperdulikan aku. Malang sekali nasibnya,
fikirku. Setiap kali aku hendak menggantikan dirinya menyapu, ia
tersenyum lebar, lalu menggeleng. Aku mengangguk. Aku tahu, ia pasti
tidak mau merepotkan orang lain. “Kamu.” Kataku padanya, “aku akan
menjadi orang besar. Supaya nanti, tidak ada lagi orang-orang yang harus
mendapat nasib sama sepertimu!” aku bertolak pinggang. Kemudian pergi
dengan semangat menggebu. Aku harus melakukan sesuatu untuknya; untuk
negeri ini.
Pagi
berikutnya, aku datang lebih awal. Pagi-pagi sekali. Langit masih
gelap. Lalu dari kejauhan kudapati ia datang menggunakan sepeda
dibonceng seorang perempuan –kurasa ibunya. Mendengar suaraku, ia
menunjukkan wajah heran. Aku lantas memberitahu bahwa aku membawa sapu
lidi yang sudah aku siapkan dari rumah. Aku hendak membantu, kataku.
Tanpa kuduga, ia mengerutkan alisnya. Melarangku untuk menggunakan sapu
yang telah siap aku fungsikan.
“Apa
kamu fikir aku menderita?” ia merogoh sapu dari kantung besar di
sepedanya. “Silakan kamu bermimpi besar akan bangsa ini. Itu bukan hal
buruk. Tapi lebih baik kau pulang dan temui ibumu,” ia memakiku sambil
memainkan telunjuknya.
“K..k.. kamu..” aku terbata demi mendengar ia bicara.
“Kemarin,
aku mendengar ibumu kesulitan menyapu halaman belakang karena harus
menyuci pakaian, menyuci piring, mengepel, sekaligus menidurkan adikmu.
Jangan tinggi-tinggi bermimpi membenahi negeri ini jika wajahmu bahkan
jauh dari punggung tangan ibumu!” suaranya menyapu udara, “Tidak perlu
repot-repot mengambil alih pekerjaanku!” katanya lagi.
MeNdengar
seruannya, aku terperanjat. Dia… dia bisa bicara. Tidak, dia bahkan
menumpahiku dengan hujanan nasihat. Tenggorokanku kering seketika.
April 2016: CANTIK
“Tapi aku tidak cantik, Mi,” aku mengerutkan alis.
“Kata siapa?” wanita paruh baya itu mengusap kepalaku pelan sambil tersenyum teduh.
“Aku
tahu, Ummi. Anakmu ini sudah besar, dan sudah melihat dunia dengan
luas. Dia sudah bisa menilai mana cantik dan mana yang nggak cantik,”
aku menghela nafas panjang. Mematut di depan cermin.
“Pandanganmu seluas dunia, Nak?” Ummi duduk di hadapanku. Membiarkan aku menikmati wajah teduhnya. Tenang.
“Ya,
aku tahu idealisme itu, Mi. Cantik dilihat dari hatinya. Ummi selalu
bilang begitu, kan? Tapi apa masih ada manusia di dunia ini, yang punya
idealisme seperti itu?” aku melempar muka. Bukan angkuh, hanya tidak
sanggup menatap wajah Ummi lebih lama.
“Jika
dunia begitu membutakanmu, maka gunakanlah pandangan langit, Anak Ummi
Sayang…” perempuan paruh baya itu mengecup keningku, “Maafkan jika Ummi
tidak banyak berdoa pada Allah agar dikaruniai anak perempuan yang
cantik fisiknya. Tapi Ummi selalu minta sejak dulu, supaya anak-anak
Ummi menjadi ahli syurga yang cantik hatinya,” lanjutnya.
“Ummi, tapi dunia ini sudah sebegitu jahat dengan hanya menilai seseorang dari fisik,” aku kembali menjawab.
“Kalau
begitu, paling tidak jangan biarkan kita menjadi bagian dari mereka.
Siapa yang dicintai Allah, maka Allah akan menjadi pendengarannya lagi
menjadi pengelihatannya. Naikkan standar cantik itu, Nak…”
Aku
tahu. Aku tahu. Aku tahu Ummi benar. Hati kecilku meyakininya. Miskin
sekali standar cantik dalam benakku. Aku tahu. Namun di sisi lain aku
juga tahu, bahwa ternyata, penjajahan fikir itu begitu dahsyat menyerang
benak setiap manusia. Termasuk aku. Haruskah aku buang semua definisi
dari kamus, iklan, dan internet itu?
“Tentu
saja, Sayang…” Ummi memelukku seakan tahu, “orang-orang yang
menggunakan mata hatinya untuk melihat, selalu saja beruntung menjalani
kehidupan,” katanya lagi.
Aku tahu, Mi. Tapi…
April 2016: "JESSICA"
Namanya
Jessica. Bukan, dia bukan bule kesasar atau semacamnya. Ia adalah orang
pribumi tulen. Malangnya, baru saja Jessica pulang dari luar negeri
tempat ia bekerja sebagai TKI dengan wajah tak berbentuk (jika tidak mau
dikatakan hancur) akibat siksaan majikannya. Sekilas namanya memang
terdengar asing, tapi itulah buah dari paradigma orang tuanya yang
menilai bahwa nama kebarat-baratan adalah sesuatu yang keren.
Pagi
ini, Jessica sudah hadir dengan rapi di tanah air. Bersyukur jenazahnya
bisa diurus dengan cepat -meski heran, mengapa kasus semacam ini harus
terjadi berulang kali? Bermodalkan iming-iming kekayaan dalam waktu
singkat, dua tahun lalu Jessica bersama dua orang temannya nekat pergi
ke negeri seberang dengan kemampuan pas-pasan. Jangankan bela diri
sebagai bekal pertahanan, bahasa untuk bekerja saja ia hanya modal kamus
satu milyar harga dua ribuan.
Tanah
air gempar. Kabar Jessica yang wajahnya disiram air keras, punggungnya
disetrika, dan tubuhnya yang digerayangi sang majikan menyebar dengan
cepat. Menimbulkan kengerian yang lambat laun seakan merupakan hal
lumrah: ah, itu mah sudah biasa. Dengan suasana haru biru di salah satu
stasun televisi, kedua orang tua Jessica dimanfaatkan. Ya, dimanfaatkan
untuk mendulang rating stasiun televisi. Menjual isak tangis dan rasa
iba tak berkesudahan, dibeli seadanya. Sekelebat. Dan malang, masih juga
terulang kejadian serupa.
Pagi itu, studio dengan sofa empuk, layar-layar bergambar, serta ratusan penonton; bahkan jutaan jumlahnya di seluruh negeri.
“Jadi apa harapan Ibu dan Bapak akan meninggalnya puteri tercinta di tanah seberang?” sang pembawa acara menatap simpati.
“Ndak
ada, Bu. Ndak ada harapan apa-apa. Namanya juga jelata. Ya wajar saja
begini nasib kami,” jawab ayahanda dengan mata berkaca-kaca. Lalu suara
latar diputar, tatapan nanar dan sayu ditampilkan di layar kaca.
Membiarkan penontonnya larut dalam kesedihan sementara. Ya, sementara
saja. Kemudian tidak ada apa-apa. Kehidupan berjalan seperti biasa. Dua
tahun kemudian, kembali terulang peristiwa yang sama.
April 2016: PASIR TERBANG
Aku
punya indera keenam. Kamu juga. Setiap manusia punya. Salah satu yang
jadi keunggulanku adalah membaca kepala orang lain. Membaca masa
lalunya, membaca latar belakangnya, membaca jalan pikirannya. Sayang,
kadang aku malas menggunakan kemampuan itu. Ia selalu sukses membuatku
memaklumi setiap orang. Kadang-kadang aku hanya bosan, sesekali ingin
dimengerti alih-alih selalu bekerja untuk menjadi pihak yang mengerti.
Jangan dicontoh. Ini egois.
Akhir-akhir
ini pikiranku rasanya ingin tumpah. Tapi sayang, seringnya tidak
menemukan wadah. Bukan tidak ada, sih. Hanya saja aku seringkali lupa
dan tidak sabaran. Memotret banyak kejadian dalam satu waktu, memahami
banyak karakter dalam satu hela, dan menerjemahkan kode semesta yang
melimpah ruah ternyata cukup menguras tenaga. Tapi ternyata aku salah.
Itu bukannya melelahkan, namun aku yang terlalu malas menggunakan
sumberdaya. Menyedihkan.
Aku
fikir, pasir terbang itu hanya ada di film-film saja. Tapi ternyata, ia
sungguhan ada. Aku mengabarkanmu, namun entah mengapa kamu tidak
percaya. Jadi biar aku tuliskan saja disini, ya. Setidaknya telah
kusimpan ia dalam memori dunia -meski dalam benakmu ia sungguh tiada.
Kamu
tahu, dalam satu detik saja, ada begitu banyak fenomena menakjubkan
dalam tiap kisah dan episode kehidupan manusia. Percaya?
(Ditulis di Kota Hujan, pada 19 April 2016 --setelah sekian lama tidak menulis panjang)
semangat terus Riris.. love love loveeee
ReplyDelete