Wednesday, April 20, 2016

PASIR TERBANG


Aku fikir, pasir terbang itu hanya ada di film-film saja. Tapi ternyata, ia sungguhan ada. Aku mengabarkanmu, namun entah mengapa kamu tidak percaya. Jadi biar aku tuliskan saja disini. Setidaknya telah kusimpan ia dalam memori dunia -meski dalam benakmu ia tiada.

April 2016 : KABUR

Dedaunan saling melambai. Diterobos cahaya pada sela-sela rerumputan. Dibuat tersipu oleh udara. Aku melangkahkan kaki gontai, setengah sadar. Kubuka pelan pintu kaca yang entah mengapa terasa lebih berat. Kuperiksa loker paling ujung. Masih bagus, hanya sedikit berdebu. Agaknya cukup lama aku meninggalkan tempat ini. Gumamku dalam hati.

"Kemana saja?" seseorang di ujung lorong berjalan mendekat.

"Kemana? aku tidak kemana-mana," jawabku sambil tertawa ringan. Jelas-jelas membuat canda yang dipaksakan."

"Kamu sukses bikin satu sekolah geger, tahu nggak. Kenapa ngabur begitu saja?" ujarnya.

"Kamu fikir aku kabur?" kataku dari jarak lima meter.

"Apalagi namanya kalau bukan kabur? nggak nyangka aja sih, kamu selemah itu," kali ini nada bicaranya merendahkan.

"Aku bukan kabur, tapi diusir." aku kembali terkekeh. Menyiptakan gema oleh dinding-dinding ruangan.

"Iya, diusir oleh dirimu sendiri!" ujarnya galak.

"Keluarga besar kita dalam masalah, Ken. Aku bukan kamu yang begitu penurut tapi membiarkan diri terkungkung dengan sistem berantakan ini,” kali ini gantian aku yang mendekatinya.

"BUK" wajahku dilempari satu plastik air dingin.

“Jangan gegabah. Lihat siapa yang membiarkan dirinya masuk ke lubang serigala dengan sengaja, Dasar!” Lalu aku ditinggalkan.

April 2016: TULISANMU

Belakangan, aku punya hobi baru: memeriksa kolom pojok kanan buletin sekolah setiap minggu; menanti tulisanmu. Entah sejak kapan ini menjadi kebiasan rutin yang sejujurnya, diam-diam aku maki dalam hati. Meski tulisan itu bebas dibaca siapapun, namun melakukan pemantauan berkala seperti ini kadang membuatku merasa jadi tukang intip. Aku jadi merasa kehilangan diriku dalam satu waktu. Dan malangnya, itu terjadi rutin setiap minggu.

“Bapak ketua OSIS, sejak kapan senang baca buletin sekolah?” lagi, aku kedapatan mematung di samping tangga; membaca tulisanmu.

“Hei, bukannya dari dulu, Master?” aku tertawa renyah. Mengawasi setiap inci kegiatan siswa di sekolah ini memang bagian dari tugasku, kan? Aku menelan ludah.

“Haha, iya. Tapi belakangan jadi lebih rajin,” bahuku ditepuk pelan. Aku membetulkan posisi kacamata yang tidak berlensa.

“Tulisan pojok kanan ini selalu menarik,” kusodorkan tulisanmu pada Master.

“Ketua OSIS kita sedang jatuh cinta rupanya. Anak baru itu diam-diam menyolok sekali,” Master menggodaku. Aku tertawa.

“Bisa jadi,” jawabku sekenanya. Ia ikut tertawa.

Tapi aku tahu persis, ini bukan jatuh cinta. Bukan, tapi lebih dari itu. Aku seperti menemukan seseorang yang telah lama hilang. Semua petunjuk-petunjuk ini mengarah padamu. Jalan fikiranmu, gaya tulisanmu, pilihan kosakatamu. Aku hanya hendak memastikan semua itu. Jika memang itu dirimu, apa yang akan kamu lakukan di tempat ini, Anak Baru? Apapun itu, disini, akulah ketua OSIS-nya. Kamu harus tahu.

April 2016: PENYAPU JALAN

Kakek pernah bercerita padaku tentang gadis penyapu jalan. Setiap pagi, ia menyapu persimpangan jalan mulai dari ujung rumahku sampai pertigaan terdekat yang jaraknya sekitar sepuluh meter. Sekilas tidak ada yang istimewa. Tapi jika diperhatikan lebih seksama, ternyata gadis itu tidak dapat melihat. Ya, dia menyapu jalan sejak dini hari, selagi suasana masih lengang. Hanya ada satu-dua orang tua yang keluar untuk berbelanja di pasar, atau tukang sapu lain yang juga bekerja pagi-pagi sekali.

Suatu ketika aku memberanikan diri menghampirinya. Malang, ternyata selain buta, ia juga tidak dapat berbicara. Aku garuk-garuk kepala. Bagaimana mungkin Tuhan tega membiarkan hidupnya sebegitu sengsara? Alasan apa pula yang membuatnya melakukan hal itu setiap hari; menyapu jalanan? Apakah ia digaji? Kalaupun iya, seberapa besar? Apa kabar sekolahnya? Ia hanya meresponku dengan tersenyum tanpa bicara satu patah kata pun. Aku tidak punya pilihan selain tersenyum balik.

Beberapa pagi aku menjumpainya. Selalu saja seperti itu. Ia akan tersenyum, kemudian menyapu tanpa memperdulikan aku. Malang sekali nasibnya, fikirku. Setiap kali aku hendak menggantikan dirinya menyapu, ia tersenyum lebar, lalu menggeleng. Aku mengangguk. Aku tahu, ia pasti tidak mau merepotkan orang lain. “Kamu.” Kataku padanya, “aku akan menjadi orang besar. Supaya nanti, tidak ada lagi orang-orang yang harus mendapat nasib sama sepertimu!” aku bertolak pinggang. Kemudian pergi dengan semangat menggebu. Aku harus melakukan sesuatu untuknya; untuk negeri ini.

Pagi berikutnya, aku datang lebih awal. Pagi-pagi sekali. Langit masih gelap. Lalu dari kejauhan kudapati ia datang menggunakan sepeda dibonceng seorang perempuan –kurasa ibunya. Mendengar suaraku, ia menunjukkan wajah heran. Aku lantas memberitahu bahwa aku membawa sapu lidi yang sudah aku siapkan dari rumah. Aku hendak membantu, kataku. Tanpa kuduga, ia mengerutkan alisnya. Melarangku untuk menggunakan sapu yang telah siap aku fungsikan.

“Apa kamu fikir aku menderita?” ia merogoh sapu dari kantung besar di sepedanya. “Silakan kamu bermimpi besar akan bangsa ini. Itu bukan hal buruk. Tapi lebih baik kau pulang dan temui ibumu,” ia memakiku sambil memainkan telunjuknya.

“K..k.. kamu..” aku terbata demi mendengar ia bicara.

“Kemarin, aku mendengar ibumu kesulitan menyapu halaman belakang karena harus menyuci pakaian, menyuci piring, mengepel, sekaligus menidurkan adikmu. Jangan tinggi-tinggi bermimpi membenahi negeri ini jika wajahmu bahkan jauh dari punggung tangan ibumu!” suaranya menyapu udara, “Tidak perlu repot-repot mengambil alih pekerjaanku!” katanya lagi.

MeNdengar seruannya, aku terperanjat. Dia… dia bisa bicara. Tidak, dia bahkan menumpahiku dengan hujanan nasihat. Tenggorokanku kering seketika.

April 2016: CANTIK

“Tapi aku tidak cantik, Mi,” aku mengerutkan alis.

“Kata siapa?” wanita paruh baya itu mengusap kepalaku pelan sambil tersenyum teduh.

“Aku tahu, Ummi. Anakmu ini sudah besar, dan sudah melihat dunia dengan luas. Dia sudah bisa menilai mana cantik dan mana yang nggak cantik,” aku menghela nafas panjang. Mematut di depan cermin.

“Pandanganmu seluas dunia, Nak?” Ummi duduk di hadapanku. Membiarkan aku menikmati wajah teduhnya. Tenang.

“Ya, aku tahu idealisme itu, Mi. Cantik dilihat dari hatinya. Ummi selalu bilang begitu, kan? Tapi apa masih ada manusia di dunia ini, yang punya idealisme seperti itu?” aku melempar muka. Bukan angkuh, hanya tidak sanggup menatap wajah Ummi lebih lama.

“Jika dunia begitu membutakanmu, maka gunakanlah pandangan langit, Anak Ummi Sayang…” perempuan paruh baya itu mengecup keningku, “Maafkan jika Ummi tidak banyak berdoa pada Allah agar dikaruniai anak perempuan yang cantik fisiknya. Tapi Ummi selalu minta sejak dulu, supaya anak-anak Ummi menjadi ahli syurga yang cantik hatinya,” lanjutnya.

“Ummi, tapi dunia ini sudah sebegitu jahat dengan hanya menilai seseorang dari fisik,” aku kembali menjawab.

“Kalau begitu, paling tidak jangan biarkan kita menjadi bagian dari mereka. Siapa yang dicintai Allah, maka Allah akan menjadi pendengarannya lagi menjadi pengelihatannya. Naikkan standar cantik itu, Nak…”

Aku tahu. Aku tahu. Aku tahu Ummi benar. Hati kecilku meyakininya. Miskin sekali standar cantik dalam benakku. Aku tahu. Namun di sisi lain aku juga tahu, bahwa ternyata, penjajahan fikir itu begitu dahsyat menyerang benak setiap manusia. Termasuk aku. Haruskah aku buang semua definisi dari kamus, iklan, dan internet itu?

“Tentu saja, Sayang…” Ummi memelukku seakan tahu, “orang-orang yang menggunakan mata hatinya untuk melihat, selalu saja beruntung menjalani kehidupan,” katanya lagi.

Aku tahu, Mi. Tapi…

April 2016: "JESSICA"

Namanya Jessica. Bukan, dia bukan bule kesasar atau semacamnya. Ia adalah orang pribumi tulen. Malangnya, baru saja Jessica pulang dari luar negeri tempat ia bekerja sebagai TKI dengan wajah tak berbentuk (jika tidak mau dikatakan hancur) akibat siksaan majikannya. Sekilas namanya memang terdengar asing, tapi itulah buah dari paradigma orang tuanya yang menilai bahwa nama kebarat-baratan adalah sesuatu yang keren.

Pagi ini, Jessica sudah hadir dengan rapi di tanah air. Bersyukur jenazahnya bisa diurus dengan cepat -meski heran, mengapa kasus semacam ini harus terjadi berulang kali? Bermodalkan iming-iming kekayaan dalam waktu singkat, dua tahun lalu Jessica bersama dua orang temannya nekat pergi ke negeri seberang dengan kemampuan pas-pasan. Jangankan bela diri sebagai bekal pertahanan, bahasa untuk bekerja saja ia hanya modal kamus satu milyar harga dua ribuan.

Tanah air gempar. Kabar Jessica yang wajahnya disiram air keras, punggungnya disetrika, dan tubuhnya yang digerayangi sang majikan menyebar dengan cepat. Menimbulkan kengerian yang lambat laun seakan merupakan hal lumrah: ah, itu mah sudah biasa. Dengan suasana haru biru di salah satu stasun televisi, kedua orang tua Jessica dimanfaatkan. Ya, dimanfaatkan untuk mendulang rating stasiun televisi. Menjual isak tangis dan rasa iba tak berkesudahan, dibeli seadanya. Sekelebat. Dan malang, masih juga terulang kejadian serupa.

Pagi itu, studio dengan sofa empuk, layar-layar bergambar, serta ratusan penonton; bahkan jutaan jumlahnya di seluruh negeri.

“Jadi apa harapan Ibu dan Bapak akan meninggalnya puteri tercinta di tanah seberang?” sang pembawa acara menatap simpati.

“Ndak ada, Bu. Ndak ada harapan apa-apa. Namanya juga jelata. Ya wajar saja begini nasib kami,” jawab ayahanda dengan mata berkaca-kaca. Lalu suara latar diputar, tatapan nanar dan sayu ditampilkan di layar kaca. Membiarkan penontonnya larut dalam kesedihan sementara. Ya, sementara saja. Kemudian tidak ada apa-apa. Kehidupan berjalan seperti biasa. Dua tahun kemudian, kembali terulang peristiwa yang sama.

April 2016: PASIR TERBANG

Aku punya indera keenam. Kamu juga. Setiap manusia punya. Salah satu yang jadi keunggulanku adalah membaca kepala orang lain. Membaca masa lalunya, membaca latar belakangnya, membaca jalan pikirannya. Sayang, kadang aku malas menggunakan kemampuan itu. Ia selalu sukses membuatku memaklumi setiap orang. Kadang-kadang aku hanya bosan, sesekali ingin dimengerti alih-alih selalu bekerja untuk menjadi pihak yang mengerti. Jangan dicontoh. Ini egois.

Akhir-akhir ini pikiranku rasanya ingin tumpah. Tapi sayang, seringnya tidak menemukan wadah. Bukan tidak ada, sih. Hanya saja aku seringkali lupa dan tidak sabaran. Memotret banyak kejadian dalam satu waktu, memahami banyak karakter dalam satu hela, dan menerjemahkan kode semesta yang melimpah ruah ternyata cukup menguras tenaga. Tapi ternyata aku salah. Itu bukannya melelahkan, namun aku yang terlalu malas menggunakan sumberdaya. Menyedihkan.

Aku fikir, pasir terbang itu hanya ada di film-film saja. Tapi ternyata, ia sungguhan ada. Aku mengabarkanmu, namun entah mengapa kamu tidak percaya. Jadi biar aku tuliskan saja disini, ya. Setidaknya telah kusimpan ia dalam memori dunia -meski dalam benakmu ia sungguh tiada.

Kamu tahu, dalam satu detik saja, ada begitu banyak fenomena menakjubkan dalam tiap kisah dan episode kehidupan manusia. Percaya?

(Ditulis di Kota Hujan, pada 19 April 2016 --setelah sekian lama tidak menulis panjang)

1 comment: