Sunday, April 3, 2016

Kelekatan Ibu-Anak (Kunci Membangun Bangsa)





Sejak membaca pendahuluan buku ini, saya seperti tengah diajak berbincang oleh Ibu Ratna Megawangi. Semoga tidak hiperbola, tapi saya merasakan bahwa Ibu Ratna menulis buku ini sungguh-sungguh dengan hati. Mengalir sekali. Ada ilmu yang hendak beliau bagikan kepada banyak orang terutama para orang tua (dan calon orang tua, tentunya) tentang kunci macam apa yang harusnya digunakan dalam hal membangun bangsa.

Pendiri Indonesia Heritage Foundation (IHF) ini mengungkapkan keyakinannya bahwa banyak orang tua sepakat dengan pernyataan “anak-anak dan remaja Indonesia banyak yang bermasalah,” namun tidak tahu mulai dari mana harus memperbaikinya. Katanya lagi, perdebatan panjang sangat mungkin terjadi, dan mungkin melibatkan berbagai pemikiran rumit dan kompleks mulai dari ideologi politik, sistem ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya.

Ketika duduk di bangku 12 Aliyah dan dalam masa-masa pencarian jurusan, ada sebuah pemikiran dalam kepala saya, “Saya tahu negeri ini banyak masalah. Dan berdasarkan hasil pengamatan saya, akar dari semua permasalahan terletak pada akhlak manusianya. Lantas saya harus melanjutkan studi dimana, untuk mendukung kontribusi dalam hal pendidikan akhlak?” Dahulu saya berfikir untuk masuk ke fakultas keguruan. Hingga qadarullah, Allah mempertemukan saya dengan IKK (IlmuKeluarga dan Konsumen) yang saya sama sekali tidak menyangka jurusan semacam ini sungguhan eksis di Indonesia. (Cerita saya bertemu IKK bisa dibaca disini).

Satu persatu pertanyaan yang dulu banyak saya ajukan mulai menemukan jawaban. Meski tidak dipungkiri, melahirkan semakin banyak pertanyaan lainnya –saya semakin tahu betapa miskinnya saya akan ilmu. Salah satu pertanyaan itu dijawab oleh Ibu Ratna melalui buku berjudul Kelekatan Ibu-Anak ini. Beliau membuka mata saya dengan menawarkan konsep common sense (pengetahuan umum logis, ‘semua orang juga tahu’) paling mendasar dalam kehidupan seorang anak manusia. Adalah itu kebutuhan akan cinta dan kasih sayang --yang dimulai dari kelekatan cinta antara ibu dan anak (attachment). Hal yang dianggap klise memang, namun sebagaimana Ibu Ratna yakin bahwa pembacanya akan setuju bahwa masalah kelekatan cinta adalah fondasi penting bagi tumbuh kembang manusia, saya terhadap Anda pun demikian.

Dibuka dengan Bab Pendahuluan, buku ini terdiri dari sembilan bab disertai dengan beberapa lampiran. Hal yang saya sukai dari tulisan Ibu Ratna adalah bagaimana beliau memaparkan paradigmanya dengan jelas dan mudah dipahami. Penjelasan tentang kelekatan mulai dari mekanisme pembentuk, dampaknya terhadap perilaku ketika dewasa, aspek kimiawi dan hubungannya dengan perkembangan otak anak, tips membentuk kelekatan, hingga implikasi kebijakan dan program diulas menggunakan bahasa populer yang mengalir sekali.

Harlow melakukan penelitian untuk melihat dampak pemisahan ibu-bayi, namun dilakukan pada anak monyet. Bersama Zimmernan, Harlow memisahkan anak monyet tidak lama setelah dilahirkan, dan meletakkannya di sebuah kandang yang berisi 2 jenis surrogate mother (induk pengganti); yang pertama terbuat dari kawat yang dipasang sebuah tempat untuk menaruh botol susu sebagai makanan bayi monyet, dan yang kedua adalah induk yang terbuat dari kain berbulu tanpa diberikan botol susu.


Ternyata, bayi-bayi monyet tersebut berada sekitar 17 sampai 18 jam sehari bersama dengan induk dari kain berbulu, dan kurang dari 1 jam dengan induk kawat. Mereka hanya mendekati induk kawat ketika hendak minum susu saja, selebihnya kembali pada induk berbulu. Hasil penelitian ini mematahkan pendapat bahwa kelekatan bayi dengan ibunya karena alasan ingin mendapatkan makanan saja. Hal yan utama adalah kontak fisik dan kenyamanan.

Selanjutnya, dipaparkan bahwa kelekatan yang terbentuk sebagai hasil dari kontak fisik yang hangat dan transfer emosi yang penuh cinta akan sangat berperan pada pembentukan empati, nurani, dan perilaku pro-sosial. Saya beberapa kali menjumpai orang yang cenderung tidak mendukung prinsip ini, dengan alasan bahwa anak harus dididik dengan tegas dan disiplin untuk membentuknya jadi manusia yang berkarakter tangguh dan kuat. Padahal, keduanya sungguh bukan hal yang berlawanan, melainkan harus dijalankan secara seimbang, selaras, dan tepat sasaran serta caranya. Bukankah tegas dan disiplin adalah bagian dari ekspresi cinta? :)

Saya ingat perkataan salah satu khaulafaurrasyidin, Ali bin Abi Thalib. Beliau mengatakan bahwa dalam mendidik anak, dalam 7 tahun pertama perlakukan anak seperti Raja, 7 tahun kedua, perlakukan anak seperti tawanan perang, selanjutnya perlakukan anak sebagai sahabat.



Gambar di atas memperlihatkan perbedaan antara anak-anak yang diasuh secara normal dan penuh kasih sayang dengan anak-anak yang sejak bayi diasuh oleh panti asuhan di Rumania. Aktifitas otak yang paling aktif dan paling tidak aktif secara berurutan adalah warna merah-kuning-hijau-biru-hitam. Terlihat bahwa anak-anak yang sejak bayi diasuh orang tuanya memiliki warna merah dan kuning yang lebih dominan dibanding dengan anak-anak yang diasuh panti asuhan.

Meski tidak berlaku secara mutlak untuk semua kasus (mengingat ada juga anak yang lebih baik diasuh orang lain selain ibunya, jika sang ibu mengalami kelainan tertentu misalkan), setidaknya data tersebut sangat mendukung kita untuk mengatakan betapa pentingnya peran ibu dalam tumbuh-kembang anak, terutama sejak tahun-tahun pertama dimana anak sangat butuh diperlakukan sebagai 'raja'; ditumpahi kasih sayang seutuhnya. Termasuk juga peran seorang ayah, tentu saja. :)

Ada hubungan antara riwayat kelekatan orang tua ketika kecil dengan kualitas pengasuhannya. Mereka yang lekat dengan ibunya ketika kecil memiliki kecenderungan untuk melakukan pengasuhan dengan baik pula. Selain itu, kelekatan masa kecil bahkan memengaruhi kebahagiaan pernikahan, kesuksesan dalam karier, serta perkembangan spiritualitas. Dengan apik, buku ini menyediakan hasil dari studi literatur dan memaparkan penelitian terkait. Ibu Ratna juga memberikan beberapa tips praktis yang dapat dilakukan untuk membangun kelekatan, seperti rawat gabung, perawatan kanguru, sentuhan dan pijatan halus, tidur bersama, komunikasi verbal dan non-verbal, bercerita dan membaca buku, disiplin positif, dan bagaimana cara mengoreksi kegagalan kelekatan.

Salah satu kisah menarik yang beliau paparkan adalah cerita tentang orangtua (yakni ibu dari Ibu Ratna) yang pernah mengalami trauma masa kecil; mendekap adik satu-satunya yang tertembak lehernya dan meninggal dalam keadaan berlumuran darah. Sebuah trauma luar biasa, namun sungguh bisa diatasi dengan melepaskan, mengikhlaskan, berdamai, dan berbagi dengan orang lain. Akhirnya ibu dari Ibu Ratna pun berhasil membesarkan anak-anak dan meninggal usai shalat tahajud dalam keadaan tersenyum. MasyaaAllah! :')


Ah iya, buku ini saya pinjam dari Ibu Alfiasari, dosen pembimbing saya di IKK. Sebelumnya, buku ini pernah dibedah di mata kuliah Pengasuhan Anak. (Bisa dibeli di Departemen IKK IPB bagi yang berminat :)) Saya ingat betul bagaimana Ibu Ediana, dosen tamu dari IHF saat itu, memaparkan bahwa konsep pengasuhan anak modern yang didapat hari ini sungguh relevan dengan apa yang telah Rasulullah ajarkan. Hadits ini salah satunya:


Suatu hari Rasul didatangi oleh seorang Ibu (Sa’idah binti Jazi) yang membawa serta anaknya yang baru berumur satu setengah tahun. Kemudian anak tersebut diminta oleh Rasulullah. Anak tersebut mengompol/kencing. Karena mungkin segan anaknya telah mengotori Rasul maka ibu tersebut dengan agak kasar menarik anaknya dari pangkuan Rasul. Seketika itu Rasul menasihati Ibu tersebut, “Dengan satu gayung bajuku yang najis karena kencing anakmu bisa dibersihkan, tetapi luka hati anakmu karena renggutanmu dari pangkuanku tidak bisa kamu obati dengan bergayung-gayung air.”

Ya, luka di hati anak itu takkan bisa terobati meski dengan bergayung-gayung air. Ketika anak direnggut sedemikian rupa, ia akan mengalami stres. Emosi negatif menstimulasi produksi hormon stres yang akan menyebabkan sinaps-sinaps (pengubung sel-sel syaraf di otak) terhambat pertumbuhannya dan akan terpangkas (pruning). Termasuk juga terjadi pada bagian hippocampus yang menyimpan memori/ingatan, sehingga perkembangan kecerdasan anak dapat terhambat.

Secara keseluruhan, saya sangat berharap bahwa siapapun Anda, terutama bagi para orang tua, calon orang tua, pendidik, tenaga kesehatan, juga pemangku kebijakan, agar bisa membaca buku ini (semoga) -sebagaimana Ibu Ratna berharap agar konsep common sense yang ia tawarkan dapat diketahui, didukung, dan dilaksanakan untuk rencana pembangunan jangka panjang bangsa (rencana pembangunan peradaban!) :) karena sungguh, apa yang saya ulas disini hanya sepersekian bagian dari keseluruhan isi buku. Semoga dapat menjadi pengantar dan memberi manfaat.

7 comments:

  1. Masya Allah, terimakasih Ris, terutama buat Ibu Ratna, barokallahu fiikum :')

    ReplyDelete
  2. Ris, send me a copy to Japan, would you? Haha. Bagus banget sepertinya isi bukunya. Jadi pengen belajar lebih banyak agar bisa jadi orang tua yg nggak hanya baik, tapi juga; berilmu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nda pulang aja sini ke Indonesia :D
      aamiin allahumma aamiin, in syaAllah :)

      Delete
    2. assalaamualaikum
      Mbak ..bisa bantu sy kah..sy pesan buku itu..mau sy gunakan untuk tambahan referensi thesis saya..jazakillah khayran sebelumnya..wassalam..

      Delete
  3. Membangun generasi Indonesia yg kuat dari rumah ;)

    ReplyDelete
  4. Assalamualaikum subhanallah...luar biasa membaca sepintas ttg konten bunu trsbut..dimana bisa dapatkan buju trsebut ukhty...sy mau banget buat tambahan/ referensi penyusunan thesis saya..jazakilah khayran..wssalam...( sakinah syaiba)

    ReplyDelete