Saturday, March 12, 2016

Tulisan

Mereka yang menulis adalah orang-orang lemah. Tidak cukup kuat untuk menyimpan gagasannya sendirian. Tidak cukup kuat untuk tidak mengeluarkan apa yang terlintas dalam kepala. Aku sedang membicarakan mereka yang menulis secara sukarela. Bukan dipaksa.

Kata orang, kita dapat mengenali seseorang dengan apa yang dituliskannya. Tulisan sedikit-banyak akan memberi gambaran tentang karakter dan watak seseorang. Setidaknya dari sana, kita jadi tahu apa-apa saja yang mengisi benaknya. Kita tahu bagaimana kerangka fikirnya melalui tulisan. Tahu apa yang menjadi fokus utama sudut pandangnya, pun bagaimana ia menangkap dan menilai suatu fenomena.

Tapi sayang, sekarang ada begitu banyak penipuan merajalela di dunia. Begitu mudahnya manusia memakai topeng. Kadang-kadang jadi lucu mengingat bahwa hidup ini adalah permainan dan senda gurau belaka, tapi masih dengan lihainya manusia mempermainkan hidup. Mempermainkan permainan. Tidak perlu jauh-jauh membicarakan diri kita yang tertipu dengan tulisan orang lain. Ada yang lebih mengerikan dari itu semua: tertipu oleh tulisan kita sendiri. Tertipu oleh diri kita sendiri.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata bahwa ada suatu masa dimana manusia bijak lisannya, namun tidak memberikan teladan. Betapa banyak manusia yang pandai bicara namun miskin implementasi? Jangan, jangan bicarakan orang lain. Tatap saja cermin. Lihat diri sendiri. Sebesar apa gap antara pengetahuan dengan sikap dan perilaku kita? Kita tahu, tapi tak berdaya bahkan untuk sekadar mengatakan ‘mau’.

Kita perlu menyadari betapa lemahnya diri kita. Sama sekali tidak memiliki kendali dan kuasa, bahkan pada diri kita sendiri. Islam berarti penyerahan total pada Allah. Itu yang kudapat hari ini usai shalat gerhana matahari di Al Hurriyyah IPB. Ustadz Hasim khatibnya. Bukankah jadi lucu, bagaimana bisa kita mengaku seorang muslim tapi masih begitu overdosis atas kebergantungan diri pada makhluk? Termasuk kebergantungan pada diri kita sendiri.

Sungguh pemilik hati kita bukanlah diri kita. Ialah Allah yang memiliki. Betapa mudahnya ia membolak-balikkan. Betapa mudahnya menjungkir-balikkan keadaan hati seseorang. Tidakkah kita yang hari ini beriman padaNya merasa takut akan dicabutnya nikmat iman itu? Atau jangan-jangan sudah terlalu sombong bahwa diri kita tidak mungkin terjerembab dalam jurang? Mengerikan. Ibuku pernah bilang, bahwa kita sebagai manusia sama sekali tidak berhak sombong. Sama sekali. Ya, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Penyerahan total pada Allah sungguh adalah pilihan terbaik.

Kalau difikir-fikir, ada begitu banyak hal mengerikan dalam hidup ini. Banyak sekali ketidakjelasan yang merajalela. Entah sistem macam apa yang dibuat oleh manusia untuk memperalat dunia. Ironisnya, kadang diri kita menjadi korban ketamakan akal dengan diri kita sendiri juga sebagai pelakunya. Kita menyakiti diri sendiri. Bahasa kerennya, kita mendzalimi diri sendiri.

Mereka yang menulis adalah orang-orang lemah. Mereka tahu betapa mudahnya fikiran mereka menguap ditelan udara. Maka mengikatnya dengan tulisan boleh jadi adalah salah satu pilihan terbaik. Bukan, ini bukan tentang menulis secara harfiah saja. Tapi dalam artian yang lebih luas lagi. Maka kepada diri kita, jangan mudah tertipu. Karena apa yang ditulis tidak selamanya hadir dari kejujuran hati. Tidak percaya? Tanyakan saja pada diri kita sendiri.

Tapi bersyukurlah. Ada kabar baik. Katanya, apa yang ditulis dari hati akan sampai kepada hati. Hati yang jernih mampu membedakan mana yang nyata yang dan yang semu. Mana yang jujur, dan mana yang dusta.  Jadi kalaupun akhirnya diri kita menyadari bahwa apa yang kita tulis itu tidak tulus lagi nyata, paling tidak kita punya hati yang bersih meski hanya sepersekian bagian sekalipun. Bukan, ini bukan sebuah pemakluman. Hanya ajakan untuk bersyukur, dan menata diri agar lebih baik lagi.


Ditulis di bawah langit mendung,
Pada hari ketika gerhana mentari menyapa bumi pertiwi.


(Iya, ini postingan telat)

No comments:

Post a Comment