Mereka yang menulis
adalah orang-orang lemah. Tidak cukup kuat untuk menyimpan gagasannya
sendirian. Tidak cukup kuat untuk tidak mengeluarkan apa yang terlintas dalam
kepala. Aku sedang membicarakan mereka yang menulis secara sukarela. Bukan
dipaksa.
Kata orang, kita dapat
mengenali seseorang dengan apa yang dituliskannya. Tulisan sedikit-banyak akan
memberi gambaran tentang karakter dan watak seseorang. Setidaknya dari sana,
kita jadi tahu apa-apa saja yang mengisi benaknya. Kita tahu bagaimana kerangka
fikirnya melalui tulisan. Tahu apa yang menjadi fokus utama sudut pandangnya,
pun bagaimana ia menangkap dan menilai suatu fenomena.
Tapi sayang, sekarang ada
begitu banyak penipuan merajalela di dunia. Begitu mudahnya manusia memakai
topeng. Kadang-kadang jadi lucu mengingat bahwa hidup ini adalah permainan dan
senda gurau belaka, tapi masih dengan lihainya manusia mempermainkan hidup.
Mempermainkan permainan. Tidak perlu jauh-jauh membicarakan diri kita yang
tertipu dengan tulisan orang lain. Ada yang lebih mengerikan dari itu semua:
tertipu oleh tulisan kita sendiri. Tertipu oleh diri kita sendiri.
Ali bin Abi Thalib pernah
berkata bahwa ada suatu masa dimana manusia bijak lisannya, namun tidak
memberikan teladan. Betapa banyak manusia yang pandai bicara namun miskin
implementasi? Jangan, jangan bicarakan orang lain. Tatap saja cermin. Lihat
diri sendiri. Sebesar apa gap antara
pengetahuan dengan sikap dan perilaku kita? Kita tahu, tapi tak berdaya bahkan
untuk sekadar mengatakan ‘mau’.
Kita perlu menyadari
betapa lemahnya diri kita. Sama sekali tidak memiliki kendali dan kuasa, bahkan
pada diri kita sendiri. Islam berarti penyerahan total pada Allah. Itu yang
kudapat hari ini usai shalat gerhana matahari di Al Hurriyyah IPB. Ustadz Hasim
khatibnya. Bukankah jadi lucu, bagaimana bisa kita mengaku seorang muslim tapi
masih begitu overdosis atas kebergantungan diri pada makhluk? Termasuk kebergantungan
pada diri kita sendiri.
Sungguh pemilik hati kita
bukanlah diri kita. Ialah Allah yang memiliki. Betapa mudahnya ia
membolak-balikkan. Betapa mudahnya menjungkir-balikkan keadaan hati seseorang.
Tidakkah kita yang hari ini beriman padaNya merasa takut akan dicabutnya nikmat
iman itu? Atau jangan-jangan sudah terlalu sombong bahwa diri kita tidak mungkin
terjerembab dalam jurang? Mengerikan. Ibuku pernah bilang, bahwa kita sebagai
manusia sama sekali tidak berhak sombong. Sama sekali. Ya, kita tidak pernah
tahu apa yang akan terjadi. Penyerahan total pada Allah sungguh adalah pilihan
terbaik.
Kalau difikir-fikir, ada
begitu banyak hal mengerikan dalam hidup ini. Banyak sekali ketidakjelasan yang
merajalela. Entah sistem macam apa yang dibuat oleh manusia untuk memperalat
dunia. Ironisnya, kadang diri kita menjadi korban ketamakan akal dengan diri
kita sendiri juga sebagai pelakunya. Kita menyakiti diri sendiri. Bahasa
kerennya, kita mendzalimi diri sendiri.
Mereka yang menulis
adalah orang-orang lemah. Mereka tahu betapa mudahnya fikiran mereka menguap
ditelan udara. Maka mengikatnya dengan tulisan boleh jadi adalah salah satu
pilihan terbaik. Bukan, ini bukan tentang menulis secara harfiah saja. Tapi
dalam artian yang lebih luas lagi. Maka kepada diri kita, jangan mudah tertipu.
Karena apa yang ditulis tidak selamanya hadir dari kejujuran hati. Tidak
percaya? Tanyakan saja pada diri kita sendiri.
Tapi bersyukurlah. Ada
kabar baik. Katanya, apa yang ditulis dari hati akan sampai kepada hati. Hati
yang jernih mampu membedakan mana yang nyata yang dan yang semu. Mana yang
jujur, dan mana yang dusta. Jadi kalaupun
akhirnya diri kita menyadari bahwa apa yang kita tulis itu tidak tulus lagi
nyata, paling tidak kita punya hati yang bersih meski hanya sepersekian bagian sekalipun.
Bukan, ini bukan sebuah pemakluman. Hanya ajakan untuk bersyukur, dan menata
diri agar lebih baik lagi.
Ditulis di bawah langit
mendung,
Pada hari ketika gerhana
mentari menyapa bumi pertiwi.
(Iya, ini postingan telat)
No comments:
Post a Comment