Saturday, March 12, 2016

Bahagia

"Ajari aku cara bahagia," Kaia mematung di sebelahku. Tatapannya kosong. Remaja itu telah lama kehilangan harapannya. Aku tahu, rasanya pasti pahit sekali.

"Cara bahagia adalah dengan mengizinkan dirimu bahagia," Aku mengusap pelan pundaknya. Kami tengah berdiri di lantai paling atas rumah sakit. Aku dengan jas dokterku, dia dengan pakaian pasiennya. Tapi kalau boleh jujur, saat seperti ini aku lebih merasa bahwa akulah pasien yang sesungguhnya.

"Bu Dokter, Anda kan pintar. Coba beri aku solusi yang lebih konkret. Itu terlalu abstrak," mendengar rajukannya, aku mencoba tersenyum. Lantas mengajaknya masuk ke dalam ruangan.

"Ayo masuk, udaranya semakin dingin. Hari ini cukup main di luarnya." mendengarku, ia mengangguk.

"Ajari aku cara bahagia," kembali Kaia mengulang permintaannya. 

"Baik baik. Jadi mau sekonkret apa? ah ya maaf sebelumnya, izinkan aku menguncir rambutmu. Berantakan sekali," ujarku sambil meraih sisir di laci meja. 

"Silakan, Bu Dokter. Aku mau cara bahagia yang paling sederhana. Jangan susah-susah. Aku sudah muak." intonasi bicaranya setengah meninggi. Ketus. Aku mulai menyisiri rambutnya. Anak keturunan China ini begitu keras kepala. Sukses membuatku ingat pada seseorang. 

"Aku pernah punya pasien. Mirip denganmu," 

"Lalu?" 

"Lalu dia mengajarkan padaku tentang cara bahagia yang paling konkret," Kaia tidak bergerak. Ia masih mematung. Aku menguncir rambutnya perlahan. 

"Bagaimana?" kali ini ia agak antusias. 

"Tarik nafasmu dalam-dalam sambil memejamkan mata. Rasakan bahwa kamu hidup," aku menghela nafas panjang, "lalu tersenyumlah dengan tulus, paling tidak selama sepuluh detik" ujarku lagi. 

"Hm.. terdengar mudah. Kapan aku bisa melakukannya?" 

"Kapanpun kamu mau. Lakukan setiap hari, terus-menerus," Aku duduk di kursi samping dipannya. 

"Bu Dokter, sejak kemarin aku ingin bilang sesuatu padamu," untuk pertama kalinya hari ini, gadis itu menoleh ke arahku. 

"Dengan senang hati," jawabku sambil menatap matanya lembut. 

"Anda mirip ibuku. Tapi Anda jauh lebih baik dan beradab daripadanya. Aku tahu Anda orang baik Ibu Dokter, tidak seperti ibuku. Ia membunuh anak perempuannya pelan-pelan. Ia bahkan tidak pantas lagi disebut ibu." Kaia menatapku lurus. Dapat kurasakan tatap matanya yang kosong. Dapat kurasakan hatiku yang turut perih. Kupeluk ia tanpa berkata-kata. Aku tahu, rasanya pasti pahit sekali. 

** 

"Dari mana, Bu Dokter?" Raihana, partner kerjaku di rumah sakit, menepuk pundakku. 

"Tadi menemani pasien di kamar paling ujung," kataku sambil tertawa kecil, "Apa ada yang mencariku?" 

"Tidak, aku yang mencarimu. Kaia lagi? sejak kapan senang sekali mengunjungi pasien?" mendengar pertanyaannya, aku menertawai diriku sendiri. 

"Kamu tahu? anak itu mirip sekali dengan almarhumah anakku. Kalau dulu aku gagal menjadi dokter untuk anakku, paling tidak semoga Tuhan menjadikan itu pelajaran agar aku tidak gagal menangani anak yang satu ini," ujarku seraya menyimpul senyum. 

"Kamu baik-baik saja?" Raihana menatapku prihatin. Mungkin agak menyesali pertanyaannya barusan. 

"Han, kadang-kadang, kita harus memaksakan diri. Harus berusaha bahagia dengan cara konkret yang paling sederhana -sepahit apapun keadaannya. Aku baik-baik saja," jawabku, kemudian kembali melempar senyum.

Ya, aku baik-baik saja. :)

No comments:

Post a Comment