Ditulis ketika saya duduk di kelas sebelas
Madrasah Aliyah, cerpen ini merupakan salah satu perwujudan saya yang
saat itu tengah menggemari sejarah. Terimakasih kepada guru sejarah (Pak
Ipik dan Pak Erwin) yang inspiratif sekali. Juga kepada Bu Novi yang membuat saya termotivasi untuk menulis. Lagi, untuk OSIS
Jurnalistik yang memuat cerpen saya jadi bersambung, di mading Jurnal. :D
*kangen mendadak sama Insan Cendekia* Kira-kira, tiga tahun yang lalu.
:)
_____________________________________________________________________
“Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku.
Ku yakin hari ini pasti menang”
Sekawanan bocah berlarian sambil bernyanyi. Tangan-tangan mungil
mereka menggenggam ranting. Membiarkan ranting-ranting itu menghantam barisan
tiang besi dipinggir jalan hingga menghasilkan melodi tak beraturan.
#
GARUDA
Kau tahu legenda tentang Garuda?
“Datang dan temui ia pada hari yang
mengandung bilangan tanpa golongan atau genap, ketika jam menunjukkan pukul sepuluh
malam. Dia akan memberikan emasnya kepadamu.”
#
Demi emas yang dijanjikan, malam
itu, aku pergi kepada Sang Garuda. Legenda itu memang tak tertulis dalam
buku-buku sejarah. Apalagi dalam arsip-arsip nasional yang tersimpan rapi di
museum-museum tua. Tapi legenda itu ada dalam surat peninggalan almarhum kakekku.
Dan itu lebih dari cukup bagiku untuk memercayainya.
Setahuku, ada banyak Garuda di
dunia. Istana Negara, kedutaan Indonesia di berbagai pelosok dunia, museum,
perpustakaan, hingga ruang kelasku di sekolah ‘menyimpan’ Garuda. Saat itu aku
yang masih bocah sempat berpikir bahwa Garuda adalah burung elang. Tapi
ternyata bukan. Garuda adalah
Garuda.
Aku tengah berdiri di hadapan Tugu
Pahlawan Revolusi Monumen Pancasila Sakti. Tugu itu terletak 45 meter sebelah utara dari sumur maut tempat ketujuh pahlawan revolusi dikubur
dengan timbunan batang-batang pisang, sampah, dan tanah setelah disiksa sampai
mati. Tentang bagaimana aku bisa masuk ke wilayah monumen pada malam hari, tak
perlu kau permasalahkan. Itu tak penting dan bukan urusanmu.
Aku dibuat kagum oleh ketujuh patung
pahlawan revolusi yang terlihat begitu gagah. Tapi yang lebih membuatku kagum
adalah patung Sang Garuda Pancasila dibelakang mereka. Berdiri tegak dengan latar
dinding setinggi tujuh belas meter.
Sepuluh menit sebelum tepat pukul sepuluh malam. Penantianku untuk membuktikan kebenaran legenda ini membuat jantungku
berdebar. Tujuan awalku saat itu memang sebagai salah satu usaha untuk
mendapatkan emas demi membeli bola sepak seperti yang digunakan oleh idolaku
ketika mencetak gol di arena Gelora Bung Karno, sekitar dua pekan lalu sebelum
malam itu. –Lagi-lagi kau tak perlu tahu tentang hal ini. Tentang siapa tokoh
idolaku. Itu masalah pribadi.— Tapi kemegahan patung Garuda malam itu
membelokkan orientasi awal. Tanpa sadar aku memerhatikan seluk-beluknya. tujuh belas helai bulu pada masing-masing sayap, delapan helai bulu di bagian ekor, sembilan belas bulu pada
pangkal ekor serta 45 bulu di bagian lehernya. Perisai Pancasila di dada sang
Garuda, sepasang kaki yang menggenggam “Bhinneka Tunggal Ika”. Penggambaran
hebat 17 Agustus 1945.
22.00
22.12
22.13
22.32
22.58
23.19
23.20
5400 detik sudah aku menunggu. Tapi
hasilnya nihil. Jangankan emas, bulan yang lazimnya tampak pun tak terlihat
malam itu. Yang ada hanya derik jangkrik dan desahan napasku. Kusadari hari semakin larut. Aku membalikkan
badan, menuruni tangga. Sedikit kecewa atas legenda yang ternyata hanya sekadar
legenda. Jujur, saat itu aku merasa sangat bodoh (atau lebih tepatnya, merasa
sangat dibodohi).
Langkahku telah mencapai jarak satu
meter sebelum akhirnya sesuatu menghalangi pandangan. Tubuhku diselimuti oleh
benda asing yang lembut. Gelap. Dalam durasi empat detik, aku tak dapat melihat
apapun. Tapi pada detik kelima, mataku dapat menangkap cahaya keemasan yang
berkilau. Seperti tirai pertunjukan opera, dua makhluk emas itu membuka
pandanganku dari sisi kanan dan kiri secara bersamaan. Spontan tubuhku kembali
berbalik arah, kembali menghadap Tugu Monumen Pancasila Sakti.
Betapa aku tak terperanjat ketika
kulihat patung Garuda Pancasila tak lagi di tempatnya. Tak lagi berada di
belakang jejeran para pahlawan revolusi. Dia berdiri tegak persis di depan Relief
Monumen Pancasila Sakti. Tepat pada arah sumbu dimana Jenderal Ahmad Yani
mengacungkan telunjuknya.
##
“Dia berdiri tegak persis di depan relief
Monumen Pancasila Sakti. Tepat pada arah sumbu dimana Jenderal Ahmad Yani
mengacungkan telunjuknya..”
Aku tidak
akan berteriak kencang hingga terjungkal ke belakang dan terjatuh jika ia masih
dalam bentuk yang semula meski posisinya berubah. Tapi makhluk itu benar-benar
nyata berdiri di depanku. Garuda pancasila dengan kedua sayap emas terbentang
lebar. Paruhnya terlihat tajam dan mengilap. Matanya menyelidik ganas ke
arahku. Kakinya tetap mencengkeram “Bhinneka Tunggal Ika”. Di dadanya terdapat sebuah perisai kokoh
dengan lima gambar perwujudan pancasila. Emas. Benar-benar burung emas. Burung
emas dengan tinggi berkisar antara 6,5 sampai 7 meter. Saat itu aku merasakan tenggorokanku kering,
tubuhku kaku. Seolah ada suatu kekuatan magic dari Sang Garuda. Ia
mengibaskan sayapnya. Menghempas rambut hitamku yang kukira sudah kaku sejak lima belas detik yang lalu.
Ya, malam itu, 1 Oktober 2012.
Legenda sang Garuda terbukti. Ini adalah kali pertama aku menceritakan rahasia
besarku. Bertemu sang Garuda dan memperoleh emas darinya. Aku tak tahu apakah
aku satu-satunya orang yang mendapat kesempatan luar biasa untuk mendapatkan
semua emas itu, ataukah ada beribu-ribu orang yang mendapatkan kesempatan sama.
Atau mungkin kau pun pernah mengalaminya. Siapa tahu?
Tapi satu hal. Aku ingin berbagi
emas yang telah ia berikan padaku. Tak peduli apakah kau telah memperolehnya
atau belum. Malam itu, 1 Oktober 2012. Garuda Pancasila, –percayalah, dia bukan
siluman atau semacamnya— mendekapku erat sedetik setelah ia mengibaskan
sayapnya. Entah dengan kekuatan apa, aku mampu berkomunikasi dengannya. Seluruh
kronologi peristiwa malam itu aku ingat dengan baik, kecuali satu. Dengan cara
apa aku bercakap-cakap dengan Sang Garuda. Dia membiarkan aku naik ke atas
punggungnya. Membuatku terpesona dengan bulu emasnya yang indah dan cakarnya
yang tajam. Membawaku terbang ke angkasa.
Kalau aku diminta untuk memilih satu malam
menjadi yang paling bersejarah, maka pilihanku jatuh pada malam itu. Aku melintasi Indonesia melalui udara, menunggangi seekor garuda
pancasila
emas.
Banyak tempat yang ‘kami’ kunjungi, dan
itu semua terlalu banyak jika harus kuungkapkan semuanya padamu, Teman. Jadi
pada kesempatan kali ini aku akan berbagi tentang satu di antara sekian
kunjungan yang aku alami. Kunjungan ke suatu tempat yang biasa disebut kuburan.
Ya, sebuah pemakaman yang kini kuketahui berada di pulau Kalimantan. Garuda Pancasila
mengisahkan padaku tentang dirinya. Tentang asal-usulnya, tentang kisahnya
hingga ia berada dimana-mana saat ini. Aku merinding melintasi deretan kuburan
itu. Berhati-hati melangkahkan kaki sementara Garuda terbang di atasku dalam
jarak beberapa meter. Ia menurunkan tubuhku dari tunggangannya sejak berada di
pintu gerbang masuk wilayah pemakaman. Kami berhenti pada satu sisi. Makam
seseorang diantara banyaknya tempat persemayaman terakhir. Tiap kali Garuda
menggerakan sayapnya yang besar, ia menggerakkan partikel-partikel di udara
menjadi lebih kuat. Membuatku agak tercengang dengan efek sampingnya. Mungkin
ia akan segera menjadi tokoh idola baruku dan menggeser si pemain bola yang
sangat aku kagumi. Begitu pikirku. Dan itu menjadi kenyataan. Kini aku
benar-benar mengidolakannya.
Jangan kau bayangkan ia berkisah
padaku sambil tersenyum. Jangankan tersenyum, mengendurkan sedikit ketajaman
matanya pun tidak. Ia berkisah –dengan bahasa yang tak dapat aku ingat— sambil
terus menatap tajam ke arahku.
Selain bahasanya, aku pun
tak dapat ingat mengenai raut wajah serta ekspresinya kecuali tatapan mata dan bidikan tajamnya. Sesuatu yang sangat membuat ia berbeda dengan burung normal pada
umumnya adalah gesture tubuh yang ia tunjukkan. Kuakui gerakannya aneh. Tapi
bahkan hingga saat ini aku tak tahu dimana letak keanehan yang menciptakan
perbedaan itu. Yang kutahu, ia jelas-jelas berbeda dengan makhluk manapun jika
dilihat dari segi fisik. Hanya itu.
Makam itu bertuliskan sebuah nama yang ketika aku membacanya
pertama kali terdengar asing di telingaku.
Sultan Hamid II
Syarif Abdul Hamid Alkadrie
Lahir: Pontianak, Kalimantan Barat, 12
Juli1913
Wafat: Jakarta, 30 Maret1978
Terdengar asing, kecuali pada bagian ‘Syarif’. –Kubiarkan kau tahu,
Syarif adalah nama depan ayahku—
##
Ya, Syarif adalah nama depan ayahku..
Sultan Hamid II
Syarif Abdul Hamid Alkadrie
Lahir: Pontianak, Kalimantan Barat, 12
Juli1913
Wafat: Jakarta, 30 Maret1978
Sultan Hamid II yang terlahir dengan
nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie. Sang perancang lambang negara Indonesia yang
tak lain adalah Garuda Pancasila. Untuk perama kalinya aku menyadari bahwa
selama ini tak pernah kupikirkan tentang
siapa yang merancang desain Garuda Pancasila. Di samping itu, aku bahkan
mengetahui siapa yang merancang desain kaos seragam pemain sepak bola. Padahal
di pojok atas kaos itu terdapat
Garuda Pancasila (yang sebenarnya menjadi daya tarik utama dari seragam
kebanggaan pemain bola Indonesia tersebut). Diam-diam aku berpikir betapa
dangkal dan tidak
telitinya pemikiranku.
Garuda mengatakan bahwa tempat yang
kami kunjungi saat itu adalah sebuah pemakaman kesultanan. Itulah alasannya
mengapa ia menurunkanku dari punggungnya sebelum masuk ke dalam kawasan
pemakaman. Sebuah etika demi menjaga estetika perilaku. Tetapi bagiku, makam
tetaplah makam. Peduli apa pemakaman kesultanan atau pemakaman kerajaan. Tempat
itu tetap saja kusebut kuburan.
Entah bagaimana awalnya, burung emas
itu mulai berkisah. Menceritakan padaku tentang tokoh yang makamnya tepat
berada di hadapan kami. Sultan Hamid II adalah seorang keturunan Arab-Indonesia
yang pernah ditahan pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, dan diangkat
menjadi kolonel ketika Belanda berkuasa menggantikan Jepang. Bahkan beliau
meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda. Kisah Sang Garuda
berawal ketika Sultan Hamid II diperintahkan oleh Presiden Sukarno untuk
merancang dan merumuskan gambar lambang Negara. Lantas dibentuklah sebuah
kelompok yang diberi nama Panitia Lencana Negara dengan Syarif Abdul Hamid
Alkadrie sebagai ketuanya. Ya, Syarif Alkadrie itu; dialah Sultan Hamid II. Ada
binar kebanggaan pada Garuda ketika ia mengisahkan bahwa tak sedikit yang ikut
mengusulkan rancangan lambang negara Indonesia. Usulan-usulan tersebut dipangkas hingga tersisa dua
rancangan, yakni karya
Sultan Hamid II dan karya Muhammad Yamin. Pada bagian ini, kusadari Garuda menarik napas panjang. Membuatku berpikir
tentang eksistensi makhluk yang kala itu berdiri gagah disampingku.
Lalu ia melanjutkan. Pada proses
selanjutnya, pemerintah dan DPR kala itu menerima usulan rancangan Sultan Hamid
II. Sementara karya Muhammad Yamin ditolak dengan alasan sinar matahari yang terdapat pada
rancangannya menampakkan pengaruh Jepang; bangsa yang terkenang pernah menjajah
tanah air. Ternyata proses
menjadikan Garuda seperti tampaknya saat ini tak secepat yang aku perkirakan
sebelumnya. Setelah rancangan Sultan
Hamid II terpilih, beliau terus melakukan dialog intensif dengan Presiden
Soekarno, dan Perdana Menteri Mohammad Hatta demi keperluan penyempurnaan
rencana tersebut.
Cukup banyak rancangan yang diubah
dalam proses penyempurnaan itu. Mulai dari pita yang dicengkeram Garuda (yang
semula berwarna merah-putih) diganti menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika”; penggantian
bentuk Garuda yang semula berwujud tangan dan bahu manusia diganti dalam bentuk
Rajawali-Garuda Pancasila. Hal ini berdasarkan aspirasi yang menganggap
rancangan Garuda sebelumnya bersifat mitologis. Bukan hanya itu, bahkan
peubahan Garuda juga dilakukan setelah ia diresmikan pada sidang kabinet RIS tanggal 11 Februari 1950. Pada peresmiannya yang pertama, Garuda masih tanpa jambul dan
posisi cakarnya masih di belakang pita. Ketika mendengar hal itu, aku sedikit
tersenyum membayangkan jika Garuda yang ada di sampingku saat itu berdiri tanpa
jambul. Meskipun matanya tak berubah dan tatapannya tetap tajam, ia tak akan
pernah sekeren sekarang jika tidak memiliki jambul. Diam-diam aku kagum betapa
persoalan lambang Indonesia diatur sedemikian telitinya. Bahkan sampai
persoalan jambul.
##
Meskipun
matanya tak berubah dan tatapannya tetap tajam, ia tak akan pernah sekeren
sekarang jika tidak memiliki jambul.
Garuda mengibaskan sayapnya
kuat-kuat. Membuat kaus oblongku berkibar tertiup angin. Mungkin sebagai
perwujudan rasa tak sukanya atas imajinasiku tentang dirinya yang gundul. Meski
aku tak mengungkapkannya kala itu, entah atas dasar apa aku meyakini dia tahu
tentang imajinasi konyolku. Dan kurasa ia tak akan pernah tersenyum sekonyol
apapun imajinasi yang berputar di kepalaku. Apalagi jika hal itu berkaitan dengan dirinya.
Garuda berhenti pada bagian itu
(baca:jambul). Kemudian ia memerintahkan aku untuk pergi keluar pemakaman
kesultanan. Aku berjalan perlahan menelusuri tempat itu. Mencuri-curi pandang
ke lingkungan sekitar. Tapi si Garuda –saat itu aku lebih suka menyebutnya
burung emas— membuatku tak dapat berlama-lama memperhatikan keadaan sekitar. Ia
terbang cepat menuju gerbang pemakaman. Membuatku tak berani memperlambat
langkah. Bagaimanapun, tempat itu adalah pemakaman. Tempat yang bagi bocah
seumuran aku dahulu menjadi bahan perbincangan segala keanehan yang ada di
dunia. Padahal faktanya tak sepeti itu. Tapi itu kan dulu… saat aku masih percaya mitos.
Saat yang paling menakjubkan dari
perjalanan malam itu adalah ketika aku naik ke atas punggung Sang Garuda. Aku
dapat dengan jelas melihat rantai perisai yang sangat besar dan kokoh. Jika aku
deskripsikan keadaan ketika aku terbang menunggangi Garuda, untaian kata-kata
ini tak akan mampu menggambarkannya. Kalau saja malam itu aku tak sendirian,
bersama dua puluh orang teman-pun aku yakin, punggung si Garuda masih mampu
memuat kami semua. Kulipat kakiku
dan kupegang
si Garuda erat-erat. Kecepatan terbangnya luar biasa. Lengah sedikit saja,
mungkin aku akan terhempas dari udara dan terdampar entah ke mana. Di bawah,
dapat kulihat Indonesia malam yang menakjubkan. Aku dapat melihat temaram
lampu-lampu di perkotaan dengan jelas ketika si Garuda menurunkan jarak
terbangnya ke daratan. Lebih tinggi sedikit, lampu-lampu kota tak terlihat.
Bahkan cenderung gelap dari atas udara.
Kami mendarat di depan sebuah
bangunan besar yang kemudian kuketahui merupakan sebuah hotel tua. Hotel Des
Indes tempat di mana Ia (baca: Garuda) diperkenalkan oleh presiden Soekarno
untuk pertama kalinya kepada khalayak umum. Tempat megah yang bahkan menjadi
hotel nomor satu se-Asia pada masanya. Peristiwa dipublikasikannya Garuda itu terjadi pada tanggal 15 Februari 1950.
Sayang sekali Garuda tak mengajakku
memasuki hotel Des Indes. Kuduga karena tubuhnya yang terlampau besar dan kuat
bisa menghancurkan hotel tua itu. Tapi
rupanya dugaanku salah. Tiba-tiba Garuda Pancasila kembali mengibaskan sayapnya
dan terbang tinggi sampai aku tak dapat melihat sosoknya lagi di udara. Aku
terdiam sambil memandang langit. Mencari-cari sosok emas yang baru saja aku
kenal. Baru beberapa menit kemudian dapat kulihat dari kejauhan setitik emas yang
semakin lama semakin jelas rupanya. Sang Garuda turun dari langit dan untuk
pertama kalinya aku dapat mendengar pekikan suara dari dirinya. Suara pekikan
yang tak juga dapat aku gambarkan dengan jelas. Suaranya menggelegar. Mungkin
gabungan antara suara burung, singa, beruang, serigala, bahkan mungkin
manusia. Mendengar suaranya yang luar biasa, membuatku tersadar mengenai suatu
keanehan. Tak ada siapapun di tempat itu kecuali aku dan si Garuda Pancasila. Bukan
hanya saat itu. Tapi sejak awal perjalanan kami, aku tak melihat orang lain
selain kami bedua –itu jika kau sudi menyebutnya sebagai ‘orang’— berkeliaran
di semua tempat yang telah kami kunjungi.
Dia telah mendarat dan mengambil
posisi tepat di depanku. Aku menegadahkan kepala demi melihat wajah garudanya.
Memandang dari kejauhan matanya yang berkilau. Jauh. Ingat bahwa tingginya mungkin
sektar 6.5 sampai 7 meter. Dan tinggi tubuhku saat itu bahkan tak mencapai 1,6
meter. Mengingat perbedaan fisik saja membuatku berimajinasi bagaimana
seandainya ia adalah tokoh jahat seperti monster dalam cerita-cerita fiksi. Mungkin
namaku akan segera muncul di koran keesokan harinya. Berita mengenai seorang
anak kelas 5 Sekolah Dasar yang mati terinjak burung Garuda. Oke, rasanya tidak
keren sekali.
Tapi ia bukanlah tokoh jahat. Garuda
berdiri di depanku dan perlahan membungkukkan tubuhnya. Persis seperti ketika
akan menyuruhku untuk menunganginya. Tapi tidak. Ia tak lagi menyuruhku untuk
naik ke punggungnya. Matanya yang bulat dan besar tepat didepan wajahku. Saat
itulah bebagai macam pertanyaan yang semula tak ada, muncul satu persatu dalam
benakku. Tentang legenda, tentang dirinya, tentang emas, tentang segala hal
yang tejadi malam itu, tentang semua keanehan yang baru aku sadari bahwa semua
itu aneh pada detik kesekian dari perjalanan kami. Baru saja aku membuka mulut untuk bicara den
menghujam Garuda dengan sejuta pertanyaan, ia kembali memekik dengan keras.
Suara yang telah kukatakan padamu tak dapat aku deskripsikan dengan jelas itu
kembali terdengar. Ia mengibaskan sayapnya dan terbang jauh hingga tak terlihat
lagi. Kibasan sayapnya yang luar biasa membawa efek luar biasa pula bagi
diriku. Tubuhku mundur ke belakang secara otomatis, menghantam sesuatu dan
seingatku, aku terjatuh di bawah sebuah tong sampah yang bau. Dan setelah itu
aku tak ingat lagi. Gelap.
Ingatanku melompat pada kejadian
setelah peristiwa di Hotel Des Indes, di tong sampah bau itu, beralih pada
ruangan kamarku yang bercat biru. Hal
pertama dari peristiwa di tempat ini adalah pada bagian aku membuka mata dan
melihat langit-langit kamar yang tak asing bagiku. Otakku berpikir beberapa
detik dan tersentak menyadari bahwa itu adalah kamar tempat aku biasa
mengerjakan PR dan bermain Soccerball Game kesayanganku. Aku
mengulang memori terakhir yang kuingat, kemudian aku berteriak memanggil
siapapun yang ada di rumah. Pagi itu, ibuku adalah orang yang pertama kali aku
temui. Dalam pikiran yang agak kacau, aku membanjiri ibuku dengan puluhan
pertanyaan. Kenapa aku ada di rumah, dimana si Garuda Pancasila Emas, bagaimana
aku bisa tidur di dalam kamarku. Padahal yang terakhir kuingat aku terjembab
di bawah tong sampah di depan Hotel Des Indes.
Ibuku lantas tertawa menanggapi
semua pertanyaan sekaligus pernyataan itu. Beliau menceritakan bahwa aku
tertidur di depan tugu Monumen Pancasila Sakti. Hal
terburuk yang memang sempat terlintas dalam benakku, ketika ibuku mengatakan
bahwa semua hanya mimpi.
Mimpi.
##
Padahal
yang terakhir ku ingat, aku terjembab dibawah tong sampah di depan Hotel Des
Indes.
Enam belas jam kurang dua puluh satu
menit setelah ibuku mengatakan bahwa semua yang kualami hanyalah mimpi.
Seharian itu aku lelah berpikir.
Lelah meyakinkan orang-orang bahwa apa yang kualami, bahwa pertemuanku dengan
burung Garuda Pancasila Emas itu memang
benar-benar nyata. Semuanya tertawa, mengatakan bahwa apa yang kubicarakan
hanyalah bualan semata. Apalagi pada bagian Hotel Des Indes. Betapa aku tidak
dianggap sebagai pembohong besar. Nyatanya, hotel tua itu memang sudah tak ada
sejak tahun 1971. Bagaimana mungkin aku menghampiri hotel yang sudah rata
dengan tanah sejak 41 tahun lalu?
Januari 2013. Aku pasrah dan menerima kenyataan bahwa kejadian pada 1 Oktober 2012 malam adalah sebuah mimpi. Butuh tiga bulan lamanya bagiku, untuk
mengikhlaskan bahwa apa yang aku alami ternyata hanya sebuah mimpi. Meski harus kuakui bahwa ingatan akan malam
itu tak pernah lepas. Masih ada kejanggalan yang aku rasakan.
Satu hari di bulan Januari, Selasa, ibu ‘memaksaku’ merapikan
gudang berkedok kamar bercat biru. Gudang berkedok kamar yang biasa jadi tempat
bermain Soccerball Game kesayanganku. Dengan malas aku mengambil satu persatu benda yang
berserakan di lantai. Mencoba menyusunnya, dan gagal. Benda-benda itu tetap terlihat berantakan di mata ibuku. Ibu justru menyodorkan
kayu berambut di bagian bawah yang biasa beliau sebut-sebut sebagai sapu ijuk. Alat
ini memang membantuku. Aku menggerakan tanganku, membiarkan si sapu menyentuh
lantai-lantai gudang (baca: kamar). Dan kini aku begitu berterima kasih pada
sapu ijuk. Karena berkat dialah aku mengetahui betapa asyiknya kegiatan
‘menyapu’ (Oke, sebenarnya bukan karena itu). Aku benar-benar berterima kasih.
Karena berkat si sapu ijuk, aku menemukan sehelai bulu emas yang muncul ketika
kugerakkan sapu ijuk di bagian bawah kasur. Dan percaya atau tidak, bulu emas itu mengabarkan padaku
–dengan cara yang tak mampu aku definisikan- tentang Garuda. Tentang kebenaran
malam 1 Oktober itu.
Bulu emas yang kemudian
mengantarkanku pada sang Garuda, pada petualangan selanjutnya yang tak kalah
menakjubkan dari petualangan hari lahirnya Pancasila Sakti 1 Oktober 2012; Penjelajahan Nusantara 1 Juni
2013. Sebuah hari yang diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Bulu emas yang sama, yang kemudian mengantarkanku pada sang
Garuda. Pada petualangan selanjutnya; 28 Oktober 2013. 85 tahun setelah para
pemuda menggemakan sumpahnya, Hari Sumpah Pemuda. Bulu emas yang kemudian
menjadi bagian sejarah hidupku. Menjadikan aku memiliki semangat nasionalisme
–mungkin- yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Yah, Garuda itu benar-benar
membagi emasnya kepadaku. Sebenarnya ini rahasia, sih. Eh hei, atau
jangan-jangan Kau juga memilikinya? Tentang legenda yang tak tertulis di buku
sejarah itu.
10 November, 2025 M
Tertanda,
Aku.
Kau tahu legenda tentang Garuda?
“Datang dan temui ia pada hari yang mengandung bilangan tanpa
golongan atau genap, ketika jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia akan memberikan
emasnya kepadamu.”
No comments:
Post a Comment