Sunday, March 30, 2014

GARUDA

Ditulis ketika saya duduk di kelas sebelas Madrasah Aliyah, cerpen ini merupakan salah satu perwujudan saya yang saat itu tengah menggemari sejarah. Terimakasih kepada guru sejarah (Pak Ipik dan Pak Erwin) yang inspiratif sekali. Juga kepada Bu Novi yang membuat saya termotivasi untuk menulis. Lagi, untuk OSIS Jurnalistik yang memuat cerpen saya jadi bersambung, di mading Jurnal. :D *kangen mendadak sama Insan Cendekia* Kira-kira, tiga tahun yang lalu. :)
_____________________________________________________________________ 

“Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku. Ku yakin hari ini pasti menang”
Sekawanan bocah berlarian sambil bernyanyi. Tangan-tangan mungil mereka menggenggam ranting. Membiarkan ranting-ranting itu menghantam barisan tiang besi dipinggir jalan hingga menghasilkan melodi tak beraturan.
#

GARUDA

Kau tahu legenda tentang Garuda?
“Datang dan temui ia pada hari yang mengandung bilangan tanpa golongan atau genap, ketika jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia akan memberikan emasnya kepadamu.”

#
Demi emas yang dijanjikan, malam itu, aku pergi kepada Sang Garuda. Legenda itu memang tak tertulis dalam buku-buku sejarah. Apalagi dalam arsip-arsip nasional yang tersimpan rapi di museum-museum tua. Tapi legenda itu ada dalam surat peninggalan almarhum kakekku. Dan itu lebih dari cukup bagiku untuk memercayainya.
Setahuku, ada banyak Garuda di dunia. Istana Negara, kedutaan Indonesia di berbagai pelosok dunia, museum, perpustakaan, hingga ruang kelasku di sekolah ‘menyimpan’ Garuda. Saat itu aku yang masih bocah sempat berpikir bahwa Garuda adalah burung elang. Tapi ternyata bukan. Garuda adalah Garuda.
Aku tengah berdiri di hadapan Tugu Pahlawan Revolusi Monumen Pancasila Sakti. Tugu itu terletak 45 meter sebelah utara dari sumur maut tempat ketujuh pahlawan revolusi dikubur dengan timbunan batang-batang pisang, sampah, dan tanah setelah disiksa sampai mati. Tentang bagaimana aku bisa masuk ke wilayah monumen pada malam hari, tak perlu kau permasalahkan. Itu tak penting dan bukan urusanmu.
Aku dibuat kagum oleh ketujuh patung pahlawan revolusi yang terlihat begitu gagah. Tapi yang lebih membuatku kagum adalah patung Sang Garuda Pancasila dibelakang mereka. Berdiri tegak dengan latar dinding setinggi tujuh belas meter. 
Sepuluh menit sebelum tepat pukul sepuluh malam. Penantianku untuk membuktikan kebenaran legenda ini membuat jantungku berdebar. Tujuan awalku saat itu memang sebagai salah satu usaha untuk mendapatkan emas demi membeli bola sepak seperti yang digunakan oleh idolaku ketika mencetak gol di arena Gelora Bung Karno, sekitar dua pekan lalu sebelum malam itu. –Lagi-lagi kau tak perlu tahu tentang hal ini. Tentang siapa tokoh idolaku. Itu masalah pribadi.— Tapi kemegahan patung Garuda malam itu membelokkan orientasi awal. Tanpa sadar aku memerhatikan seluk-beluknya. tujuh belas helai bulu pada masing-masing sayap, delapan helai bulu di bagian ekor, sembilan belas bulu pada pangkal ekor serta 45 bulu di bagian lehernya. Perisai Pancasila di dada sang Garuda, sepasang kaki yang menggenggam “Bhinneka Tunggal Ika”. Penggambaran hebat 17 Agustus 1945.
22.00
22.12
22.13
22.32
22.58
23.19
23.20
5400 detik sudah aku menunggu. Tapi hasilnya nihil. Jangankan emas, bulan yang lazimnya tampak pun tak terlihat malam itu. Yang ada hanya derik jangkrik dan desahan napasku.  Kusadari hari semakin larut. Aku membalikkan badan, menuruni tangga. Sedikit kecewa atas legenda yang ternyata hanya sekadar legenda. Jujur, saat itu aku merasa sangat bodoh (atau lebih tepatnya, merasa sangat dibodohi).
Langkahku telah mencapai jarak satu meter sebelum akhirnya sesuatu menghalangi pandangan. Tubuhku diselimuti oleh benda asing yang lembut. Gelap. Dalam durasi empat detik, aku tak dapat melihat apapun. Tapi pada detik kelima, mataku dapat menangkap cahaya keemasan yang berkilau. Seperti tirai pertunjukan opera, dua makhluk emas itu membuka pandanganku dari sisi kanan dan kiri secara bersamaan. Spontan tubuhku kembali berbalik arah, kembali menghadap Tugu Monumen Pancasila Sakti.
Betapa aku tak terperanjat ketika kulihat patung Garuda Pancasila tak lagi di tempatnya. Tak lagi berada di belakang jejeran para pahlawan revolusi. Dia berdiri tegak persis di depan Relief Monumen Pancasila Sakti. Tepat pada arah sumbu dimana Jenderal Ahmad Yani mengacungkan telunjuknya.
##

“Dia berdiri tegak persis di depan relief Monumen Pancasila Sakti. Tepat pada arah sumbu dimana Jenderal Ahmad Yani mengacungkan telunjuknya..”

Aku tidak akan berteriak kencang hingga terjungkal ke belakang dan terjatuh jika ia masih dalam bentuk yang semula meski posisinya berubah. Tapi makhluk itu benar-benar nyata berdiri di depanku. Garuda pancasila dengan kedua sayap emas terbentang lebar. Paruhnya terlihat tajam dan mengilap. Matanya menyelidik ganas ke arahku. Kakinya tetap mencengkeram “Bhinneka Tunggal Ika”.  Di dadanya terdapat sebuah perisai kokoh dengan lima gambar perwujudan pancasila. Emas. Benar-benar burung emas. Burung emas dengan tinggi berkisar antara 6,5 sampai 7 meter.  Saat itu aku merasakan tenggorokanku kering, tubuhku kaku. Seolah ada suatu kekuatan magic dari Sang Garuda. Ia mengibaskan sayapnya. Menghempas rambut hitamku yang kukira sudah kaku sejak lima belas detik yang lalu.
Ya, malam itu, 1 Oktober 2012. Legenda sang Garuda terbukti. Ini adalah kali pertama aku menceritakan rahasia besarku. Bertemu sang Garuda dan memperoleh emas darinya. Aku tak tahu apakah aku satu-satunya orang yang mendapat kesempatan luar biasa untuk mendapatkan semua emas itu, ataukah ada beribu-ribu orang yang mendapatkan kesempatan sama. Atau mungkin kau pun pernah mengalaminya. Siapa tahu?
Tapi satu hal. Aku ingin berbagi emas yang telah ia berikan padaku. Tak peduli apakah kau telah memperolehnya atau belum. Malam itu, 1 Oktober 2012. Garuda Pancasila, –percayalah, dia bukan siluman atau semacamnya— mendekapku erat sedetik setelah ia mengibaskan sayapnya. Entah dengan kekuatan apa, aku mampu berkomunikasi dengannya. Seluruh kronologi peristiwa malam itu aku ingat dengan baik, kecuali satu. Dengan cara apa aku bercakap-cakap dengan Sang Garuda. Dia membiarkan aku naik ke atas punggungnya. Membuatku terpesona dengan bulu emasnya yang indah dan cakarnya yang tajam. Membawaku terbang ke angkasa.
Kalau aku diminta untuk memilih satu malam menjadi yang paling bersejarah, maka pilihanku jatuh pada malam itu. Aku melintasi Indonesia melalui udara, menunggangi seekor garuda pancasila emas. Banyak tempat yang ‘kami’ kunjungi, dan itu semua terlalu banyak jika harus kuungkapkan semuanya padamu, Teman. Jadi pada kesempatan kali ini aku akan berbagi tentang satu di antara sekian kunjungan yang aku alami. Kunjungan ke suatu tempat yang biasa disebut kuburan. Ya, sebuah pemakaman yang kini kuketahui berada di pulau Kalimantan. Garuda Pancasila mengisahkan padaku tentang dirinya. Tentang asal-usulnya, tentang kisahnya hingga ia berada dimana-mana saat ini. Aku merinding melintasi deretan kuburan itu. Berhati-hati melangkahkan kaki sementara Garuda terbang di atasku dalam jarak beberapa meter. Ia menurunkan tubuhku dari tunggangannya sejak berada di pintu gerbang masuk wilayah pemakaman. Kami berhenti pada satu sisi. Makam seseorang diantara banyaknya tempat persemayaman terakhir. Tiap kali Garuda menggerakan sayapnya yang besar, ia menggerakkan partikel-partikel di udara menjadi lebih kuat. Membuatku agak tercengang dengan efek sampingnya. Mungkin ia akan segera menjadi tokoh idola baruku dan menggeser si pemain bola yang sangat aku kagumi. Begitu pikirku. Dan itu menjadi kenyataan. Kini aku benar-benar mengidolakannya.
Jangan kau bayangkan ia berkisah padaku sambil tersenyum. Jangankan tersenyum, mengendurkan sedikit ketajaman matanya pun tidak. Ia berkisah –dengan bahasa yang tak dapat aku ingat— sambil terus menatap tajam ke arahku. Selain bahasanya, aku pun tak dapat ingat mengenai raut wajah serta ekspresinya kecuali tatapan mata dan bidikan tajamnya. Sesuatu yang sangat membuat ia berbeda dengan burung normal pada umumnya adalah gesture tubuh yang ia tunjukkan. Kuakui gerakannya aneh. Tapi bahkan hingga saat ini aku tak tahu dimana letak keanehan yang menciptakan perbedaan itu. Yang kutahu, ia jelas-jelas berbeda dengan makhluk manapun jika dilihat dari segi fisik. Hanya itu.
Makam itu bertuliskan sebuah nama yang ketika aku membacanya pertama kali terdengar asing di telingaku. 
Sultan Hamid II
Syarif Abdul Hamid Alkadrie
Lahir: Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli1913
Wafat: Jakarta, 30 Maret1978

Terdengar asing, kecuali pada bagian ‘Syarif’. –Kubiarkan kau tahu, Syarif adalah nama depan ayahku—

##

Ya, Syarif adalah nama depan ayahku..

Sultan Hamid II
Syarif Abdul Hamid Alkadrie
Lahir: Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli1913
Wafat: Jakarta, 30 Maret1978

Sultan Hamid II yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie. Sang perancang lambang negara Indonesia yang tak lain adalah Garuda Pancasila. Untuk perama kalinya aku menyadari bahwa selama ini tak pernah kupikirkan tentang siapa yang merancang desain Garuda Pancasila. Di samping itu, aku bahkan mengetahui siapa yang merancang desain kaos seragam pemain sepak bola. Padahal di pojok atas kaos itu terdapat Garuda Pancasila (yang sebenarnya menjadi daya tarik utama dari seragam kebanggaan pemain bola Indonesia tersebut). Diam-diam aku berpikir betapa dangkal dan tidak telitinya pemikiranku. 
Garuda mengatakan bahwa tempat yang kami kunjungi saat itu adalah sebuah pemakaman kesultanan. Itulah alasannya mengapa ia menurunkanku dari punggungnya sebelum masuk ke dalam kawasan pemakaman. Sebuah etika demi menjaga estetika perilaku. Tetapi bagiku, makam tetaplah makam. Peduli apa pemakaman kesultanan atau pemakaman kerajaan. Tempat itu tetap saja kusebut kuburan.
Entah bagaimana awalnya, burung emas itu mulai berkisah. Menceritakan padaku tentang tokoh yang makamnya tepat berada di hadapan kami. Sultan Hamid II adalah seorang keturunan Arab-Indonesia yang pernah ditahan pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, dan diangkat menjadi kolonel ketika Belanda berkuasa menggantikan Jepang. Bahkan beliau meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda. Kisah Sang Garuda berawal ketika Sultan Hamid II diperintahkan oleh Presiden Sukarno untuk merancang dan merumuskan gambar lambang Negara. Lantas dibentuklah sebuah kelompok yang diberi nama Panitia Lencana Negara dengan Syarif Abdul Hamid Alkadrie sebagai ketuanya. Ya, Syarif Alkadrie itu; dialah Sultan Hamid II. Ada binar kebanggaan pada Garuda ketika ia mengisahkan bahwa tak sedikit yang ikut mengusulkan rancangan lambang negara Indonesia. Usulan-usulan tersebut dipangkas hingga tersisa dua rancangan, yakni karya Sultan Hamid II dan karya Muhammad Yamin. Pada bagian ini, kusadari Garuda  menarik napas panjang. Membuatku berpikir tentang eksistensi makhluk yang kala itu berdiri gagah disampingku.
Lalu ia melanjutkan. Pada proses selanjutnya, pemerintah dan DPR kala itu menerima usulan rancangan Sultan Hamid II. Sementara karya Muhammad Yamin ditolak dengan alasan sinar matahari yang terdapat pada rancangannya menampakkan pengaruh Jepang; bangsa yang terkenang pernah menjajah tanah air. Ternyata proses menjadikan Garuda seperti tampaknya saat ini tak secepat yang aku perkirakan sebelumnya.  Setelah rancangan Sultan Hamid II terpilih, beliau terus melakukan dialog intensif dengan Presiden Soekarno, dan Perdana Menteri Mohammad Hatta demi keperluan penyempurnaan rencana tersebut. 
Cukup banyak rancangan yang diubah dalam proses penyempurnaan itu. Mulai dari pita yang dicengkeram Garuda (yang semula berwarna merah-putih) diganti menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”; penggantian bentuk Garuda yang semula berwujud tangan dan bahu manusia diganti dalam bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Hal ini berdasarkan aspirasi yang menganggap rancangan Garuda sebelumnya bersifat mitologis. Bukan hanya itu, bahkan peubahan Garuda juga dilakukan setelah ia diresmikan pada sidang kabinet RIS tanggal 11 Februari 1950. Pada peresmiannya yang pertama, Garuda masih tanpa jambul dan posisi cakarnya masih di belakang pita. Ketika mendengar hal itu, aku sedikit tersenyum membayangkan jika Garuda yang ada di sampingku saat itu berdiri tanpa jambul. Meskipun matanya tak berubah dan tatapannya tetap tajam, ia tak akan pernah sekeren sekarang jika tidak memiliki jambul. Diam-diam aku kagum betapa persoalan lambang Indonesia diatur sedemikian telitinya. Bahkan sampai persoalan jambul.
##

Meskipun matanya tak berubah dan tatapannya tetap tajam, ia tak akan pernah sekeren sekarang jika tidak memiliki jambul.

Garuda mengibaskan sayapnya kuat-kuat. Membuat kaus oblongku berkibar tertiup angin. Mungkin sebagai perwujudan rasa tak sukanya atas imajinasiku tentang dirinya yang gundul. Meski aku tak mengungkapkannya kala itu, entah atas dasar apa aku meyakini dia tahu tentang imajinasi konyolku. Dan kurasa ia tak akan pernah tersenyum sekonyol apapun imajinasi yang berputar di kepalaku. Apalagi jika hal itu berkaitan dengan dirinya.
Garuda berhenti pada bagian itu (baca:jambul). Kemudian ia memerintahkan aku untuk pergi keluar pemakaman kesultanan. Aku berjalan perlahan menelusuri tempat itu. Mencuri-curi pandang ke lingkungan sekitar. Tapi si Garuda –saat itu aku lebih suka menyebutnya burung emas— membuatku tak dapat berlama-lama memperhatikan keadaan sekitar. Ia terbang cepat menuju gerbang pemakaman. Membuatku tak berani memperlambat langkah. Bagaimanapun, tempat itu adalah pemakaman. Tempat yang bagi bocah seumuran aku dahulu menjadi bahan perbincangan segala keanehan yang ada di dunia. Padahal faktanya tak sepeti itu. Tapi itu kan dulu… saat aku masih percaya mitos.
Saat yang paling menakjubkan dari perjalanan malam itu adalah ketika aku naik ke atas punggung Sang Garuda. Aku dapat dengan jelas melihat rantai perisai yang sangat besar dan kokoh. Jika aku deskripsikan keadaan ketika aku terbang menunggangi Garuda, untaian kata-kata ini tak akan mampu menggambarkannya. Kalau saja malam itu aku tak sendirian, bersama dua puluh orang teman-pun aku yakin, punggung si Garuda masih mampu memuat kami semua. Kulipat kakiku dan kupegang si Garuda erat-erat. Kecepatan terbangnya luar biasa. Lengah sedikit saja, mungkin aku akan terhempas dari udara dan terdampar entah ke mana. Di bawah, dapat kulihat Indonesia malam yang menakjubkan. Aku dapat melihat temaram lampu-lampu di perkotaan dengan jelas ketika si Garuda menurunkan jarak terbangnya ke daratan. Lebih tinggi sedikit, lampu-lampu kota tak terlihat. Bahkan cenderung gelap dari atas udara.
Kami mendarat di depan sebuah bangunan besar yang kemudian kuketahui merupakan sebuah hotel tua. Hotel Des Indes tempat di mana Ia (baca: Garuda) diperkenalkan oleh presiden Soekarno untuk pertama kalinya kepada khalayak umum. Tempat megah yang bahkan menjadi hotel nomor satu se-Asia pada masanya. Peristiwa dipublikasikannya Garuda itu terjadi pada tanggal 15 Februari 1950. 
Sayang sekali Garuda tak mengajakku memasuki hotel Des Indes. Kuduga karena tubuhnya yang terlampau besar dan kuat bisa menghancurkan hotel tua itu. Tapi rupanya dugaanku salah. Tiba-tiba Garuda Pancasila kembali mengibaskan sayapnya dan terbang tinggi sampai aku tak dapat melihat sosoknya lagi di udara. Aku terdiam sambil memandang langit. Mencari-cari sosok emas yang baru saja aku kenal. Baru beberapa menit kemudian dapat kulihat dari kejauhan setitik emas yang semakin lama semakin jelas rupanya. Sang Garuda turun dari langit dan untuk pertama kalinya aku dapat mendengar pekikan suara dari dirinya. Suara pekikan yang tak juga dapat aku gambarkan dengan jelas. Suaranya menggelegar. Mungkin gabungan antara suara burung, singa, beruang, serigala, bahkan mungkin manusia. Mendengar suaranya yang luar biasa, membuatku tersadar mengenai suatu keanehan. Tak ada siapapun di tempat itu kecuali aku dan si Garuda Pancasila. Bukan hanya saat itu. Tapi sejak awal perjalanan kami, aku tak melihat orang lain selain kami bedua –itu jika kau sudi menyebutnya sebagai ‘orang’— berkeliaran di semua tempat yang telah kami kunjungi.
Dia telah mendarat dan mengambil posisi tepat di depanku. Aku menegadahkan kepala demi melihat wajah garudanya. Memandang dari kejauhan matanya yang berkilau. Jauh. Ingat bahwa tingginya mungkin sektar 6.5 sampai 7 meter. Dan tinggi tubuhku saat itu bahkan tak mencapai 1,6 meter. Mengingat perbedaan fisik saja membuatku berimajinasi bagaimana seandainya ia adalah tokoh jahat seperti monster dalam cerita-cerita fiksi. Mungkin namaku akan segera muncul di koran keesokan harinya. Berita mengenai seorang anak kelas 5 Sekolah Dasar yang mati terinjak burung Garuda. Oke, rasanya tidak keren sekali.
Tapi ia bukanlah tokoh jahat. Garuda berdiri di depanku dan perlahan membungkukkan tubuhnya. Persis seperti ketika akan menyuruhku untuk menunganginya. Tapi tidak. Ia tak lagi menyuruhku untuk naik ke punggungnya. Matanya yang bulat dan besar tepat didepan wajahku. Saat itulah bebagai macam pertanyaan yang semula tak ada, muncul satu persatu dalam benakku. Tentang legenda, tentang dirinya, tentang emas, tentang segala hal yang tejadi malam itu, tentang semua keanehan yang baru aku sadari bahwa semua itu aneh pada detik kesekian dari perjalanan kami.  Baru saja aku membuka mulut untuk bicara den menghujam Garuda dengan sejuta pertanyaan, ia kembali memekik dengan keras. Suara yang telah kukatakan padamu tak dapat aku deskripsikan dengan jelas itu kembali terdengar. Ia mengibaskan sayapnya dan terbang jauh hingga tak terlihat lagi. Kibasan sayapnya yang luar biasa membawa efek luar biasa pula bagi diriku. Tubuhku mundur ke belakang secara otomatis, menghantam sesuatu dan seingatku, aku terjatuh di bawah sebuah tong sampah yang bau. Dan setelah itu aku tak ingat lagi. Gelap.
Ingatanku melompat pada kejadian setelah peristiwa di Hotel Des Indes, di tong sampah bau itu, beralih pada ruangan kamarku yang bercat biru. Hal pertama dari peristiwa di tempat ini adalah pada bagian aku membuka mata dan melihat langit-langit kamar yang tak asing bagiku. Otakku berpikir beberapa detik dan tersentak menyadari bahwa itu adalah kamar tempat aku biasa mengerjakan PR dan bermain Soccerball Game kesayanganku. Aku mengulang memori terakhir yang kuingat, kemudian aku berteriak memanggil siapapun yang ada di rumah. Pagi itu, ibuku adalah orang yang pertama kali aku temui. Dalam pikiran yang agak kacau, aku membanjiri ibuku dengan puluhan pertanyaan. Kenapa aku ada di rumah, dimana si Garuda Pancasila Emas, bagaimana aku bisa tidur di dalam kamarku. Padahal yang terakhir kuingat aku terjembab di bawah tong sampah di depan Hotel Des Indes.
Ibuku lantas tertawa menanggapi semua pertanyaan sekaligus pernyataan itu. Beliau menceritakan bahwa aku tertidur di depan tugu Monumen Pancasila Sakti. Hal terburuk yang memang sempat terlintas dalam benakku, ketika ibuku mengatakan bahwa semua hanya mimpi.
Mimpi.
##
Padahal yang terakhir ku ingat, aku terjembab dibawah tong sampah di depan Hotel Des Indes.

Enam belas jam kurang dua puluh satu menit setelah ibuku mengatakan bahwa semua yang kualami hanyalah mimpi. 
Seharian itu aku lelah berpikir. Lelah meyakinkan orang-orang bahwa apa yang kualami, bahwa pertemuanku dengan burung Garuda Pancasila Emas itu memang benar-benar nyata. Semuanya tertawa, mengatakan bahwa apa yang kubicarakan hanyalah bualan semata. Apalagi pada bagian Hotel Des Indes. Betapa aku tidak dianggap sebagai pembohong besar. Nyatanya, hotel tua itu memang sudah tak ada sejak tahun 1971. Bagaimana mungkin aku menghampiri hotel yang sudah rata dengan tanah sejak 41 tahun lalu?
Januari 2013. Aku pasrah dan menerima kenyataan bahwa kejadian pada 1 Oktober 2012 malam adalah sebuah mimpi. Butuh tiga bulan lamanya bagiku, untuk mengikhlaskan bahwa apa yang aku alami ternyata hanya sebuah mimpi. Meski harus kuakui bahwa ingatan akan malam itu tak pernah lepas. Masih ada kejanggalan yang aku rasakan.
Satu hari di bulan Januari, Selasa, ibu memaksaku merapikan gudang berkedok kamar bercat biru. Gudang berkedok kamar yang biasa jadi tempat bermain Soccerball Game kesayanganku. Dengan malas aku mengambil satu persatu benda yang berserakan di lantai. Mencoba menyusunnya, dan gagal. Benda-benda itu tetap terlihat berantakan di mata ibuku. Ibu justru menyodorkan kayu berambut di bagian bawah yang biasa beliau sebut-sebut sebagai sapu ijuk. Alat ini memang membantuku. Aku menggerakan tanganku, membiarkan si sapu menyentuh lantai-lantai gudang (baca: kamar). Dan kini aku begitu berterima kasih pada sapu ijuk. Karena berkat dialah aku mengetahui betapa asyiknya kegiatan ‘menyapu’ (Oke, sebenarnya bukan karena itu). Aku benar-benar berterima kasih. Karena berkat si sapu ijuk, aku menemukan sehelai bulu emas yang muncul ketika kugerakkan sapu ijuk di bagian bawah kasur. Dan percaya atau tidak, bulu emas itu mengabarkan padaku –dengan cara yang tak mampu aku definisikan- tentang Garuda. Tentang kebenaran malam 1 Oktober itu. 
Bulu emas yang kemudian mengantarkanku pada sang Garuda, pada petualangan selanjutnya yang tak kalah menakjubkan dari petualangan hari lahirnya Pancasila Sakti 1 Oktober 2012; Penjelajahan Nusantara 1 Juni 2013. Sebuah hari yang diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Bulu emas yang sama, yang kemudian mengantarkanku pada sang Garuda. Pada petualangan selanjutnya; 28 Oktober 2013. 85 tahun setelah para pemuda menggemakan sumpahnya, Hari Sumpah Pemuda. Bulu emas yang kemudian menjadi bagian sejarah hidupku. Menjadikan aku memiliki semangat nasionalisme –mungkin- yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Yah, Garuda itu benar-benar membagi emasnya kepadaku. Sebenarnya ini rahasia, sih. Eh hei, atau jangan-jangan Kau juga memilikinya? Tentang legenda yang tak tertulis di buku sejarah itu.
 10 November, 2025 M
Tertanda,

Aku.

Kau tahu legenda tentang Garuda?
“Datang dan temui ia pada hari yang mengandung bilangan tanpa golongan atau genap, ketika jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia akan memberikan emasnya kepadamu.”

No comments:

Post a Comment