Tuesday, September 24, 2013
Air Mail #2
Assalamu’alaikum,
ini aku, Razen. Apa kabarnya dirimu? Jemariku selalu saja gemar tuliskan surat
di udara. Tak peduli akankah Kau baca, akankah Kau tahu. Hanya ada semacam
kepuasan tersendiri karena mengukir kisah di udara. Hanya ada harap yang
berbisik semoga saja ini bisa jadi bermanfaat. Kabarku baik, kuharap Kau
demikian. Beberapa minggu yang lalu aku mencoba datang ke rumahmu. Tak banyak
yang berubah. Ibundamu masih juga rajin merawat taman aster miliknya. Cantik.
Rumahmu bernafaskan violet, bernadakan hijau, beratmosfer biru. Aku percaya
rumah sederhana itu mengandung kenangan yang tak sederhana. Kalau Kau masih
disini, Kau akan bangga memandang ibumu. Wanita yang tak lagi bisa dibilang
muda itu begitu tegar. Begitu bersemangat. Meski kudapati ada bulir air mampir
di kedua pipinya ketika kami berbincang; berbagi kenangan tentang dirimu. Namun
bulir air itu sama sekali tak mengurangi ketegarannya. Justru dari sanalah aku
mampu menyimpulkan, ibumu benar-benar sosok yang hebat. Kau patut berbangga.
Bukan apa-apa,
aku hanya mengunjungi kampung halaman kita. Aku masih ingat betul, ketika Kau
dan keluargamu pertama kali datang. Ayahmu pemilik senyum yang menawan.
Terlihat bersahabat sekali. Pun ibumu, berhasil menyulap tanah yang telah lama
mati itu menjadi padang bunga. Lantas mengajak kami sama-sama berkontribusi.
Sungguh menyenangkan. Aku dan teman-temanku selalu saja menjadikan keluargamu
sebagai perbincangan mengagumkan kami. Orangtuamu sungguh membuat kami takjub. Sementara
Kau, anak tengil yang terlihat
bahagia setiap lemparan lumpurmu sukses mendarat tepat sasaran; menghantam
tubuh-tubuh kami. Dalam banyak hal, aku bertanya-tanya bagaimana Kau bisa
begitu tidak karuan jika kuingat ibumu, sosok wanita itu, terlihat begitu
bersahaja. Diam-diam aku cemburu padamu. Sungguh. Bersyukurlah, aku selalu
mendambakan kasih seorang ibu.
Ini aku, Razen;
kawan lamamu. Aster, masihkah Kau ingat aku?
**
Madinah adalah kota cinta
Muara rindu setiap pendamba
Jembatan
indah bagi para pejalan
Perahu agung menuju kejayaan
Madinah, sebuah potret kasih ibunda
Tanah dimana sayang tak hanya sekadar kata…
**
Aster yang baik,
Kau pernah mengatakan padaku bahwa ibumu adalah wanita super. Dengan bangga,
kau katakan bahwa beliau mampu menghilang. Aku tertawa. Kau aneh sekali, begitu
fikirku. Tapi Kau justru menekuk muka. Rupanya Kau benar-benar serius berkata
demikian. Dengan tangan mengepal, Kau tinggalkan aku sendirian. Petang itu
taman ilalang kita terlihat aneh sekali. Tak menari seperti biasanya. Membuatku
terpaku sempurna. Aku tak pernah menemui bocah perempuan sepertimu, Aster.
“Razen, seorang
teman tak seharusnya membantah perkataan temannya sendiri.” Kau berbisik dari
balik jendela.
“Aku tidak
membantah,” kutanggapi sambil memainkan rerumputan yang sudah meninggi di
halaman belakang rumahmu
“Tapi Kau
tertawa, Razen.”
“Aku hanya
tertawa”
“Ibuku bisa
menghilang. Harusnya Kau percaya itu.” Kau lantas menutup jendelamu.
Meninggalkan aku sendirian lagi. Dan saat itu aku benar-benar tidak mengerti
jalan fikiranmu.
**
Yang aku tahu,
ibumu amat mengagumkan. Wanita itu kerap kali mengajak aku dan teman-teman di
rumah asuhan berkunjung ke rumahmu. Bagian yang paling menyenangkan adalah
ketika ibumu mulai memetik beberapa buah merah ranum, lantas membagi-bagikannya
kepada kami. Kau bisa katakan, aku dan teman-teman merasa miliki sosok seorang
ibu. Ya, kau tahu, kami tak mengenal apa itu orangtua, terlebih seorang ibu.
Dan ibumu datang memberikan definisi itu pada kami. Sedikit banyak, kami jadi mengerti.
Dan tidak pernah kutemui ibumu tiba-tiba menghilang. Kau pasti bercanda, Aster.
Sampai akhirnya Kau berpamitan padaku pun, mengatakan bahwa tidak bisa lagi
menjadi temanku, tak pernah kita membahas tentang kekuatan super ibumu itu.
Sekalipun tidak. Bahkan hingga akhirnya Kau benar-benar pergi; tak sekadar
menarik diri dari berbincang denganku, benar-benar
pergi. Masih banyak hal yang ingin aku ketahui. Kau terbuka yang menyimpan
banyak rahasia. Periang yang diam dalam makna.
Beberapa minggu
lalu, kutemui ibumu di rumah sederhana kalian yang dipenuhi bunga. Tak banyak
yang berubah. Ibundamu masih juga rajin merawat taman aster miliknya. Cantik.
Rumahmu bernafaskan violet, bernadakan hijau, beratmosfer biru. Aku
dipersilahkan duduk di beranda rumah. Memandang bunga-bunga yang menghampar
luas. Ibumu hanya tersenyum, lantas menyodoriku secangkir coklat hangat. Tak ada
yang benar-benar spesial. Hanya perbincangan seadanya ditemani suara riang tawa
anak-anak yang sedang bermain lempar lumpur di pekarangan belakang; rutinitas
masa kecil kita, Kau ingat? Selang beberapa menit, beliau masuk ke dalam rumah;
mengatakan hendak mengambil kue coklat dari dapur. Aku mengangguk, mengiyakan.
Menunggu sambil memutar episode masa kecil bersamamu.
Dua puluh menit,
aku masih sendirian. Kupanggil ibumu, tak ada jawaban. Masih terdengar suara
riang anak-anak kecil dari pekarangan belakang. Aku merapikan cangkir coklat
yang kini telah kosong. Bergegas menyusuri taman aster milik ibumu, menuju
halaman belakang. Kupandang dari kejauhan, ibumu yang berada di tengah-tengah
riang tawa bocah-bocah itu. Melihat mereka saling melempar lumpur, sesekali
berlarian mencari tempat mengumpat. Langit jingga petang itu jadi terlihat
sempurna indah. Aku terperanjat. Wanita itu benar-benar miliki kekuatan super.
**
Aster, aku
berada di Madinah. Kota dambaan setiap pecinta, termasuk Kau dan aku. Aku
berada di tanah cinta; dimana kasih sayangnya seorang ibu diabadikan oleh waktu.
Ada sebuah kisah sederhana yang sangat berarti bagiku. Saat itu seorang ibu
tengah memangku kedua anaknya yang masih balita. Sekadar beristirahat di tengah
sibuknya dunia. Satu ketika, seseorang melewati mereka bertiga dan merasa iba.
Aster, kalau kau melihatnya, sungguh akan menjadi lukisan yang indah sekali,
kurasa. Orang tak dikenal itu menjulurkan tangannya. Memberikan tiga buah kurma,
Lantas sang ibu memberikan pada anaknya masing-masing satu buah kurma. Ketika
wanita itu hendak memakan kurma ketiga, kurma bagiannya, si anak dengan fikiran
masa kanak-kanaknya meminta kurma itu dari ibundanya. Tak peduli lapar, tak
ingat akan dirinya, wanita itu memberikan kurma terakhir pada anaknya. Ada
sebuah kebahagiaan tak tergambarkan disana. Ada garis sahaja yang terekam dari
tindaknya. Begitulah cinta ibu, Aster. Cinta yang tak pernah mengharap balasan.
Cinta yang hadirkan rasa bahagia karena memberi kepada anaknya. Kau tahu? Mengetahui
kisah tersebut, lelaki itu, ya, lelaki yang sama-sama kita rindukan untuk bertemu
dengannya, beliau berkata "Si Ibu itu masuk surga, karena memberikan kasih
sayang kepada anaknya". Itulah cinta seorang ibu. Cinta kasih yang bahkan
mampu membuka pintu syurga.
**
Maka lewat surat
udara ini, kuberitahukan padamu, Aster. Menghilang adalah cara ibumu memberikan
cinta-kasihnya. Sekali lagi, Kau patut berbangga. Bersyukurlah. Karena sampai
detik ini pun, aku masih merindukan kasih seorang ibu. Maafkan aku yang telah
menertawaimu saat itu. Kau benar, ibumu bisa menghilang. Kau benar, Aster.
Menghilang tak melulu melupakan. Dalam banyak hal, diam-diam banyak kenangan
yang terbawa dalam proses menghilang itu. Terimakasih karena telah mengajariku
konsep sederhana ini. Sungguh, kuucapkan terimakasih.
Razen.
***
Air Mail #1
Madinah adalah kota cinta.
Udaranya adalah kumpulan partikel cinta. Langitnya adalah atap rumah cinta.
Bangunan-bangunannya adalah potret keteguhan cinta. Pun penduduknya, tercipta
karena cinta. Kota ini sempurna indah karena cinta sang tercinta yang dicinta
oleh Maha Pemilik Cinta.
Razen tersenyum tipis. Matanya
menatap teduh ke sudut-sudut penjuru sejauh ia mampu memandang. Siang hari di
kota Masjid Nabawi sungguh menantang peluhnya. Terik. Lebih-lebih di hari
pertama bulan Ramadhannya tahun ini. Tapi pemuda itu tidak berhenti. Langkahnya
masih gagah menyusuri kota Madinah, -kota cintanya-.
**
Assalamu’alaikum. Ini aku, kawan
lamamu; Razen. Masihkah kau ingat aku, Aster? Entah ini surat udara ke berapa
yang aku layangkan untukmu. Tak tertulis, tak terkirim, tak pernah terbaca.
Yang sudah-sudah memang banyak yang tak penting. Tapi untuk kali ini, sungguh,
aku benar-benar berharap kau dapat ‘membacanya’. Kau tahu? Aku sedang berada di
Madinah. Di kota dambaan setiap pencinta, termasuk kau dan aku. Rasanya baru
kemarin kujanjikan padamu untuk berjumpa di tanah ini. Ramadhan kali ini pun
adalah Ramadhan ke 10 sejak kau lempari aku dengan segenggam lumpur. Awal
pertemuan getir masa kecil yang mampu membuatku terganggu dengan bayangan
namamu dalam setiap kesempatan; Aster.
**
“Jual bunga Aster, Tuan?”
Menggeleng. Lagi-lagi
pertanyaannya disambut dengan tatapan aneh. Razen tahu pasti, kota Madinah
dengan suhu ektremnya bukanlah tempat sang Aster untuk mekar. Tapi bukankah ini
kota cinta? Bukankah Ramadhan adalah bulan penuh cinta? Bukankah tak ada yang
mustahil bagi Sang Pemilik Cinta? Maka biarkanlah Razen menyelami kota
cintanya. Sekedar untuk mencoba.
**
“Kamu tahu tempat ini?” tanyamu
pelan dengan logat bahasa lokal yang terdengar aneh. Kau membiarkan es krim
dalam genggaman tanganmu menetes ke tanah. Meleleh. Entahlah, mungkin ini bisa
disebut sebagai pengakuan. Sebenarnya aku ingin tertawa melihat wajah polos
milikmu saat itu. Tapi lihatlah, betapa gengsiku sudah sedemikian besar bahkan
ketika aku masih menyandang gelar bocah berumur 9 tahun.
“Nggak.” Hanya itu. Sebatas itu.
Aku enggan mengatakan lebih banyak kata padamu. Padahal aku kenal baik tempat
itu. Tanah kelahiranku, kampung halamanku. Di tempat kita berpijak adalah
padang rumput tua yang bila kau sedikit turun ke arah Selatan, akan tampak
sebuah perkebunan stroberi milik Tuan Erdas; seorang lelaki paruh baya yang
berkumis tipis dan murah senyum. Kalau kau berkunjung ke sana setiap hari Rabu,
maka dipastikan kau tidak akan pulang dengan tangan hampa. Jika tidak
sekeranjang stroberi, Tuan Erdas akan membekalimu dengan semangkuk sup istimewa
hasil racikannya sendiri. Percayalah, bahkan aku yang mudah jenuh pun tak
pernah bosan dengan sensasi rasa sup istimewa itu. Entah adonan macam apa yang
beliau sajikan. Satu saat aku pernah bertanya, ia hanya tertawa kecil dan
menjawab dengan sebuah kata sarat makna; cinta. Ya, cinta adalah adonan
utamanya.
Lain lagi jika kau berkunjung ke
arah Barat. Pernah aku menghitung langkah kakiku, kira-kira kau butuh lima puluh
enam langkah hingga dapat menyaksikan ke aneka-ragaman di suatu tempat yang
biasa kusebut ‘pasar aneka ragam’. Kunamai demikian karena tiap aku melirik
kepadanya disaat matahari dalam perjalanan hendak mencapai puncak, segala macam
fenomena kehidupan hampir tergambar sempurna disana. Seakan makhluk dari A
sampai Z, kegiatan dari A sampai Z, dan segalanya dari A sampai Z, terjadi
disana. Dalam satu waktu.
Ah, terlalu banyak yang ingin aku
utarakan. Tapi tidak saat itu. Tidak saat es krim milikmu semakin menodai
tanah. Tidak saat gengsiku menjadi prioritas utama. Tidak, saat aku belum
mengerti apa arti mengenalmu, Aster.
**
“Maaf, Razen.” Kau berkata pelan.
Menunduk. Tanganmu menjulurkan sekantung plastik hitam berisi segala macam
pemberianku selama tujuh tahun belakangan. Aku tak banyak berkata. Lidahku
terlalu kelu melihat tanganmu gemetar. Saat itu aku sama sekali tak punya ide
tentang apa yang sedang terjadi padamu. Saat dimana aku merasa begitu bodoh.
“Aku akan pergi. Jaga dirimu
baik-baik.” Lanjutmu. Aku bisu seketika. Tak berani menebak hendak kemana arah
perbincangan kita. Tak berani menebak hendak kemana kau pergi.
Dan benar saja.
Kau benar-benar pergi.
***
dibuatpadaRamadhan1433H
Sunday, September 1, 2013
Halte Berikutnya
Kurang
lebih dua minggu sejak pertama kali saya menjadi penghuni tetap tanah ini. Tak
berbeda dengan teman-teman kebanyakan, meski kembali tinggal di asrama,
adaptasi jelas mutlak adanya. Tanah yang dipijak berbeda, jelas peraturan,
sistem, pergaulan, lingkungan-pun juga berubah. Semua ini butuh adaptasi. Butuh
format ulang, formula baru, jurus andalan yang baru. Dinamis. Sekarang, saya
jadi benar-benar memahami makna dari kalimat yang dilontarkan salah seorang
guru saya di madrasah Aliyah dahulu; “Insan Cendekia itu dunia imajinatif,
fantasi. Semua orang baik. Di luar gak seperti ini.” Kurang lebih begitu. Yup,
saya juga jadi lebih paham kalimat “hidup itu ga seindah di IC, De. Aman,
nyaman, tentram, gak seindah itu”. Belum lagi mendengar cerita kawan-kawan
seperjuangan yang sama-sama hinggap di tanah juangnya yang baru. Benar. Dunia
ini logis. Dan kita harus pandai-pandai menyeleksi mana kelogisan yang hendak
kita ambil. Harus meningkatkan daya kritis. Tapi soal hidup ini indah, saya
yakin 100% benar adanya. Kan sudah diatur sama Dia. :D
Nyatanya,
pernah menapaki kaki di Insan Cendekia sebagai seorang siswi adalah nikmatNya
yang luar biasa. Saya dipaksa untuk tahu diri, dipaksa untuk tahu malu pada
diri sendiri, pada negeri sendiri. Label anak beasiswa yang saya dan
teman-teman rasakan menjadi ‘beban’ dalam artian luas. Kami benar-benar punya
hutang pada negeri ini. Baru beberapa hari yang lalu masa perkenalan kampus
saya telah selesai. Tak lama lagi akan dilaksanakan peresmian sebagai mahasiswa
baru. Insya Allah. Tak akan saya bahas disini, soal masa perkenalan kampus yang
tahu-tahu jadi agak hambar karena diri sendiri yang malah terngiang-ngiang
bagaimana dulu digembleng selama satu minggu dalam Pekan Ta’aruf Siswa ketika
hendak memasuki madrasah aliyah boarding school itu. Yang saya sadari, benar
sekali pepatah yang berbunyi “yang kedua dan seterusnya akan terasa lebih mudah
dibanding yang pertama”.
Tentang
halte baru saya ini; Institut Pertanian Bogor. J
Alhamdulillah, setelah proses panjang, melalui fase-fase bingung dan segala
turunannya, pada akhirnya tiba juga saya disini. Kota Bogor yang terkenal
menyandang gelar kota hujan lantaran curah hujannya yang terbilang cukup
tinggi. Jurusan? IKK (Ilmu Keluarga dan Konsumen). Sebuah jurusan yang
jangankan Anda, saya pun baru mendengarnya kurang lebih satu tahun lalu. Agak berliku.
Psikologi, pendidikan, biologi, teknologi pangan, sampai akhirnya menemukan
yang namanya IKK ini justru disaat saya sedang mencari tahu tentang jurusan
biologi. Sempat hampir mantap mengambil jurusan teknologi pangan dengan
beasiswa S1 di salah satu perguruan tinggi swasta daerah Kuningan, ternyata
pada akhirnya yang saya ambil ya IKK ini. Apapun, saya yakin rencanaNya tidak
pernah salah dan selalu indah. Insya Allah. :D tentu bukannya tanpa
pertimbangan dan tanpa tujuan. Saya punya alasan kenapa memilih disini,
institut ini, dengan jurusan yang telah saya sebutkan di atas.
Mengetahui
bahwa kita tidak sendirian di tanah baru adalah hiburan tersendiri. Ada
beberapa yang sudah saya kenal disini. Teman MAN, MTS, MIN, juga ada
kenalan-kenalan baru yang terhubung secara ajaib; networking. Saya jadi ingat syair Imam Syafi’I yang dahulu sempat
menjadi sajak penyemangat saya di masa-masa awal ketika harus melakukan
perantauan kecil saat Aliyah.
Orang
berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan
negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah,
kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah,
manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat
air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika
mengalir menjadi jernih
Jika tidak,
kan keruh menggenang
Singa jika
tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah
jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
Jika
matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu
manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas
bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu
tak ubahnya kayu biasa
Jika di
dalam hutan
-Imam
Syafi’i-
Pertama kali mengetahui sajak ini dari acara bedah
buku yang diadakan perpustakaan sekolah saya. Mengundang Ahmad Fuadi, membahas
novel dari triloginya yang pertama; Negeri 5 Menara. Saat itu, sajak ini
seperti punya daya tarik tersendiri bagi saya. Menyemangati sekali. Saya tulis
dimana-mana. Saya baca berulang-ulang. Saya promosikan ke teman-teman. Lewat
tulisan, lisan, telepon, apapun. Tahu-tahu jadi hapal. Hhe. Dan di halte baru
saya ini, saya punya ‘jargon’ andalan. Ingat kata-kata seorang teman melalui
pesan singkat di suatu siang. Hari kedua saya tinggal di tempat baru ini.
Begini;
“Selamat kembali berjuang..
Ayo kita niatkan mencari ridhoNya J
Inget ini:
Man kharaja fii thalabil 'ilmi fahuwa fii sabiilillaahi hattaa yarji'a"
Barangsiapa keluar untuk menuntut ilmu, maka ia ada di
jalan Allah hingga pulang. Ini janji yang keren abis. 8) jadi alarm supaya
harus selalu ingat, niat awal melangkahkan kaki ke halte baru ini. Memang,
jarak rumah dengan tempat rantauan saya ini terbilang dekat. Katakanlah Jakarta-Bogor.
Jauh dibandingkan teman-teman saya yang lain. Jawa Timur, Aceh, hingga Papua.
Tapi ini dia janjiNya yang keren. Ga ada syarat jarak disana. Semua orang dapet
kesempatan yang sama. Adil. Sama rata. J
Perbedaan lagi yang sangat perlu dikondisikan. Di
asrama masa Aliyah, tidak ada yang namanya barang-barang elektronik seperti HP
atau laptop berkeliaran di asrama. Peraturannya yang mengharuskan seperti itu.
Berbeda, sekarang dibolehkan. Yang namanya mahasiswa tentu memiliki kebutuhan
yang berbeda dengan siswa, kan? Nah, dimana-mana, yang namanya kebijakan pasti
punya dampak positif dan negatif. Asyiknya dulu adalah, antar kawan satu asrama
jadi banyak sharingnya. Mau ngapain lagi, teman ngobrol ya yang ada di depan
mata. Gak ada dunia maya-mayaan itu. Banyak sharing, lebih dekat. Susahnya,
kalau mau ada acara kumpul atau rapat, komunikasinya jadi lebih kompleks. Hhe.
Lagi, hidup terasa lebih sehat tanpa benda-benda elektronik. Serius. Sekarang,
bias ditebak. Ketika benda-benda itu bebas berkeliaran, semuanya jadi terasa
lebih individualis. Asyik sama dunia maya masing-masing. Asik nonton film, asik
chatting. Nilai plusnya, tugas lebih mudah, bisa dipakai untuk sarana produktif
kayak nulis ginian, (meski tahu-tahu saya sadari, frekuensi menulis saya di buku
jurnal berkurang drastis. Kebanyakan nulis di media digital jadinya). Satu hal.
Harus pandai-pandai self control. Dan ini justru bagian yang paling sulit.
Kalau dulu rajin bolak-balik manggil orang untuk kumpul misal, sekarang tinggal
ketik pesan, send, selesai. Rasa malas benar-benar diuji. Serius. Dari sini
saya sadar, tantangan yang benerannya bukan saat saya berada di Aliyah dulu.
Justru ketika sudah menjadi alumni, dan menapaki halte baru. Sejauh mana
pengalaman yang sudah saya dapat mampu saya terapkan di kehidupan yang katanya
keras ini. Lagi! Tentang shalat lima waktu. Benar kata kakak-kakak yang sudah
mendahului jadi alumni. Yang namanya shalat lima waktu, tepat waktu, di masjid,
itu akan sangat dirindukan. Dan saya mulai merasakannya. Iya, benar sekali.
Kalau dahulu ke masjid merupakan rutinitas, ya sekarang tidak lagi. Memang,
perempuan kan lebih utama shalat di rumah. Soal tepat waktu pun, dahulu
kegiatan sudah diatur sedemikian rupa. Waktu sudah tersistem. Sekarang, memang
sih belum mulai kuliah. Tapi rasanya, benar sekali. Harus pandai mengatur waktu
sendiri. Harus mandiri.
Anak kecil. Sejak dulu saya senang ngeliatin anak
kecil. :D mereka mampu terlihat sangat yakin, dan bisa sangat percaya akan
suatu hal. Anak kecil punya kekuatan luar biasa yang bagi saya sungguh
inspiratif. Ini yang menjadi landasan saya bisa berkata dengan PDnya suatu
siang di gedung serba guna sekolah Aliyah saya, bahwa yang namanya cicak
terbang itu ada. Ini juga yang jadi landasan saya, berkoar-koar kalau saya
benar-benar punya indera ke6. Dan tidak masalah. Saya merasakan dampak luar
biasa. Anak kecil benar-benar inspiratif. Dan saya bersyukur pernah menyandang
gelar itu; menjadi seorang anak kecil. Kenapa tiba-tiba ngomongin anak kecil?
Hha. Soalnya, ini yang sempat saya khawatirkan; kehilangan semangat anak kecil
itu. Kata orang, seiring bertambah usia, pikiran manusia akan semakin realistis
dalam artian tidak out of box seperti anak kecil. Terbatas. Tapi dilihat-lihat,
itu bukan rumus mutlak. Makanya, biar saya ikat disini dengan menuliskannya.
Biar ingat, biar tetap yakin. Biar tetap childlike. Biar bisa berbagi. :D
Haha, loncat-loncat. Saya tidak memiliki point jelas,
daftar apa-apa yang hendak saya tuliskan. Memang bukan tipe orang yang
terstruktur. Biarkan saja lah, anak
kecil juga tidak terstruktur kan. :P #eh. Jadi begini saja. Apapun, semoga
halte baru ini menjadi tanah perjuangan saya dan kawan-kawan berikutnya. Aamiin Allahumma
Aamiin. Insya Allah. :D
Bogor,
August 31st 2013 5.27 pm.
Bersama 6 orang kawan seperjuangan dari tanah Serpong yang hijrah ke Bogor. "Kami pernah menapaki tanah ini. Pergi, kembali, kelak untuk negeri." Galang - Itse - Arif - Riz - Rowi - Zahra - Qomar |
Subscribe to:
Posts (Atom)