Friday, July 6, 2018

Luka


Barangkali kamu benar.
Seringnya, bukan usia yang mendewasakan manusia,
melainkan luka.

**

Setiap insan punya caranya sendiri dalam merayakan luka. Ada yang menangis sambil bersembunyi di balik bantal, mengunci pintu kamar, menangis seharian, curhat di media sosial. Ada juga yang menghindar bertemu manusia, memilih sendiri, menjejaki perjalanan luka yang dialami. Pun, ada yang mencoba untuk tetap berkarya, mengukir kata, melakukan perjalanan, menutup luka dengan tawa dan cengkrama. Segala macam perayaan yang menutup kenyataan perih atas luka.

Mungkin pada masa awal luka itu tiba, pilihan tanpa logika lah yang jadi sasarannya. Seiring waktu ia mengilhami dan menenggelamkan rasa dalam introspeksi, ia kemudian menangis dalam sujud panjangnya. Ia mencoba berdamai melalui senyumnya. Ia bercerita pada Tuhannya—sekali-dua kali pada orang2 terdekatnya.

Ia berdiri, mencoba bangkit. Meski luka itu masih menganga. Bukannya tak sadar, hanya ia tengah berupaya berpacu dengan waktu. Ia tak ingin ditinggalkan waktu. Hingga ia berdiri. Iya, berdiri di atas luka-luka yang masih menganga; mencoba mengobati perih yang ia rasa. Sampai ia menyadari, bahwa ternyata kesembuhannya hanyalah pura-pura belaka.

Bahwa ternyata ia sakit, dan ia butuh bantuan pihak lain untuk melipur luka di diri. Berbagai macam cara yang tiap insan—tiap manusia—coba jajaki. Ada yang mencari-cari bacaan berisi, ada yang mengalamatkan diri pada nasihat para bijak tuk menyentuh hati. Sebagian lain berupaya minta bantuan orang lain untuk mengobati, atau juga mencoba cicipi lingkungan baru untuk ditinggali.

Sumber

Begitulah luka. Bahwa penyembuhannya bukan perkara mudah nan instan. Membutuhkan waktu. Membutuhkan proses. Bahkan ketika sudah ia temui segala macam rupa nasihat penyentuh hati, telah ia jajaki jalan-jalan penuh hikmah, telah ia tumpahi hampar sajadah dengan tangis air mata, pun telah ia temui seseorang yang ia harap dapat bantu melipur lara, nyatanya luka itu tetap ada. Nyatanya luka itu (entah seberapa besar) masih menganga. Segala pikir dan rasa yang ada pada raganya menyerah sembari marah. Ia kecewa. Ia melempar tanya. Ia sangsi. Ia nyaris marah dan putus asa. Ia berada di ujung pengharapan pada semesta. Air matanya kering jika tak mau dikatakan habis. Sensitivitasnya sebagai manusia hampir-hampir luntur dimakan luka.

Sampai pada suatu episode, ia lelah oleh rasa lelah. Luka yang sakit nan perih menyayat lambat laun tak lagi ia indahkan. Hingga pada akhirnya ia kembali menyerah. Kali ini dengan penyerahan yang lebih jujur, lebih tulus, lebih membumi. Kali ini dengan penyerahan tanpa kamuflase, tidak main-main, apalagi sambil membercandai. Sebuah penyerahan yang hanya dirinya dan Sang Esa yang mengetahui. Kemudian begitu sadar, pada momen itulah ia temukan kesembuhan atas luka yang sesungguhnya; sebuah kesembuhan atas lara yang selama ini ia nanti-nanti.


**

Bahwa ternyata, penyembuh luka yang ia cari-cari tidak lain harus diawali dari dirinya sendiri. Kebersyukuran, keikhlasan, keberserahan. Bahwa ternyata, pelipur lara yang ia nanti ternyata tak perlu jauh-jauh dicari. Ianya bukan sebuah pencapaian, melainkan perjalanan. Bahwa segala proses yang ia lalui untuk meraih obat penyembuh luka, tidak lain adalah obat itu sendiri. Lambat laun ia menyadari bahwa luka yang menganga perlahan menutup dengan sendirinya. Tak lagi menganga, sebab ia sembuh. Sembuh seiring perjalanan waktu gigih usahanya tuk menyembuhkan.  

Setengah takjub, ia dapati dirinya baik-baik saja berdiri dan berjalan di atas luka. Setidaknya ia bertahan hingga titik ini. Setengah luka itu tersembuhkan. Perlahan-lahan. Tak ada jawab atas tanya yang selama ini ia gadang-gadang, tak ada akhir yang selama ini tak sabar rasanya ingin ia undang. Tapi nyatanya ia baik-baik saja. Lagi, setidaknya ia bertahan hingga titik ini. Ia merasa jauh lebih baik. Kemudian berusaha menerima segala apa yang terjadi. Manisnya, pahitnya, perihnya, termasuk semerbak sakit yang dicipta luka pada dirinya.

Ia menerima bahwa ia terluka, lalu bahagia.


**

Setiap insan punya caranya sendiri dalam merayakan luka. Jika ia dapat melewati dengan harap pada Yang Kuasa dalam upaya penyembuhannya, sekecil apapun harapan itu ada, saksikanlah bahwa sang luka akan menjelma senjata ampuh yang mendewasakan dirinya. Saksikanlah seiring waktu dirinya berubah. Iya, berubah menjadi lebih kuat, lebih tangguh, nan jadi lebih bahagia. Saksikanlah tatap bola matanya yang menjelma lebih tajam, pandangannya yang lebih jeli, pancar tulusnya yang lebih mendamaikan.

Ia menerima, bahagia, lalu mendewasa. Dan pada saat itulah, Tuhan menghadiahi pencarian atas tualang yang selama ini ia lakukan. Ketika ia tak lagi membunuh waktu dengan sederet teka-teki, ketika ia tak lagi mencerca dengan segunung pencarian. Pada momentum itulah barangkali Tuhan menjawab tiap tanya yang mengangkasa; ketika ia telah selesai bercengkrama dan bertukar pikir sendiri dengan dirinya. Luka itu lantas sembuh seutuhnya; mengukir keindahan cerita atas lalu-lalang hikmah dan hampar makna yang telah dijumpa.

Begitulah. Barangkali kamu benar, Master. Seringnya, bukan usia yang mendewasakan manusia, melainkan luka.

***

Syawal 1439 H

Ditulis dalam perjalanan Bogor-Jakarta,
usai berdiskusi dengan salah seorang sahabat
tentang luka-luka yang menganga :)

No comments:

Post a Comment