Barangkali
kamu benar.
Seringnya, bukan usia yang mendewasakan manusia,
melainkan luka.
**
Setiap insan punya
caranya sendiri dalam merayakan luka. Ada yang menangis sambil bersembunyi di
balik bantal, mengunci pintu kamar, menangis seharian, curhat di media sosial. Ada juga yang menghindar bertemu manusia, memilih sendiri, menjejaki perjalanan luka
yang dialami. Pun, ada yang mencoba untuk tetap berkarya, mengukir kata, melakukan
perjalanan, menutup luka dengan tawa dan cengkrama. Segala macam perayaan yang menutup
kenyataan perih atas luka.
Mungkin pada masa awal
luka itu tiba, pilihan tanpa logika lah yang jadi sasarannya. Seiring waktu ia mengilhami
dan menenggelamkan rasa dalam introspeksi, ia kemudian menangis dalam sujud
panjangnya. Ia mencoba berdamai melalui senyumnya. Ia bercerita pada Tuhannya—sekali-dua
kali pada orang2 terdekatnya.
Ia berdiri, mencoba
bangkit. Meski luka itu masih menganga. Bukannya tak sadar, hanya ia tengah
berupaya berpacu dengan waktu. Ia tak ingin ditinggalkan waktu. Hingga ia
berdiri. Iya, berdiri di atas luka-luka yang masih menganga; mencoba mengobati perih
yang ia rasa. Sampai ia menyadari, bahwa ternyata kesembuhannya hanyalah
pura-pura belaka.
Bahwa ternyata ia sakit,
dan ia butuh bantuan pihak lain untuk melipur luka di diri. Berbagai macam cara
yang tiap insan—tiap manusia—coba jajaki. Ada yang mencari-cari bacaan berisi,
ada yang mengalamatkan diri pada nasihat para bijak tuk menyentuh hati.
Sebagian lain berupaya minta bantuan orang lain untuk mengobati, atau juga
mencoba cicipi lingkungan baru untuk ditinggali.
Sumber |
Begitulah luka. Bahwa
penyembuhannya bukan perkara mudah nan instan. Membutuhkan waktu. Membutuhkan
proses. Bahkan ketika sudah ia temui segala macam rupa nasihat penyentuh hati,
telah ia jajaki jalan-jalan penuh hikmah, telah ia tumpahi hampar sajadah
dengan tangis air mata, pun telah ia temui seseorang yang ia harap dapat bantu
melipur lara, nyatanya luka itu tetap ada. Nyatanya luka itu (entah seberapa
besar) masih menganga. Segala pikir dan rasa yang ada pada raganya menyerah
sembari marah. Ia kecewa. Ia melempar tanya. Ia sangsi. Ia nyaris marah dan putus
asa. Ia berada di ujung pengharapan pada semesta. Air matanya kering jika tak
mau dikatakan habis. Sensitivitasnya sebagai manusia hampir-hampir luntur
dimakan luka.
Sampai pada suatu
episode, ia lelah oleh rasa lelah. Luka yang sakit nan perih menyayat lambat laun
tak lagi ia indahkan. Hingga pada akhirnya ia kembali menyerah. Kali ini dengan
penyerahan yang lebih jujur, lebih tulus, lebih membumi. Kali ini dengan penyerahan
tanpa kamuflase, tidak main-main, apalagi sambil membercandai. Sebuah
penyerahan yang hanya dirinya dan Sang Esa yang mengetahui. Kemudian begitu sadar,
pada momen itulah ia temukan kesembuhan atas luka yang sesungguhnya; sebuah kesembuhan
atas lara yang selama ini ia nanti-nanti.
**
Bahwa ternyata, penyembuh
luka yang ia cari-cari tidak lain harus diawali dari dirinya sendiri. Kebersyukuran,
keikhlasan, keberserahan. Bahwa ternyata, pelipur lara yang ia nanti
ternyata tak perlu jauh-jauh dicari. Ianya bukan sebuah pencapaian, melainkan
perjalanan. Bahwa segala proses yang ia lalui untuk meraih obat penyembuh luka,
tidak lain adalah obat itu sendiri. Lambat laun ia menyadari bahwa luka yang
menganga perlahan menutup dengan sendirinya. Tak lagi menganga, sebab ia sembuh.
Sembuh seiring perjalanan waktu gigih usahanya tuk menyembuhkan.
Setengah takjub, ia
dapati dirinya baik-baik saja berdiri dan berjalan di atas luka. Setidaknya ia
bertahan hingga titik ini. Setengah luka itu tersembuhkan. Perlahan-lahan. Tak
ada jawab atas tanya yang selama ini ia gadang-gadang, tak ada akhir yang
selama ini tak sabar rasanya ingin ia undang. Tapi nyatanya ia baik-baik saja. Lagi,
setidaknya ia bertahan hingga titik ini. Ia merasa jauh lebih baik. Kemudian
berusaha menerima segala apa yang terjadi. Manisnya, pahitnya, perihnya,
termasuk semerbak sakit yang dicipta luka pada dirinya.
Ia menerima bahwa ia terluka, lalu
bahagia.
**
Setiap insan punya
caranya sendiri dalam merayakan luka. Jika ia dapat melewati dengan harap
pada Yang Kuasa dalam upaya penyembuhannya, sekecil apapun harapan itu ada,
saksikanlah bahwa sang luka akan menjelma senjata ampuh yang mendewasakan dirinya.
Saksikanlah seiring waktu dirinya berubah. Iya, berubah menjadi lebih kuat, lebih tangguh, nan jadi lebih bahagia. Saksikanlah tatap bola matanya
yang menjelma lebih tajam, pandangannya yang lebih jeli, pancar tulusnya yang lebih mendamaikan.
Ia menerima, bahagia,
lalu mendewasa. Dan pada saat itulah, Tuhan menghadiahi pencarian atas tualang
yang selama ini ia lakukan. Ketika ia tak lagi membunuh waktu dengan sederet teka-teki,
ketika ia tak lagi mencerca dengan segunung pencarian. Pada momentum itulah
barangkali Tuhan menjawab tiap tanya yang mengangkasa; ketika ia telah selesai
bercengkrama dan bertukar pikir sendiri dengan dirinya. Luka itu lantas sembuh
seutuhnya; mengukir keindahan cerita atas lalu-lalang hikmah dan hampar makna yang telah dijumpa.
Begitulah. Barangkali kamu benar,
Master. Seringnya, bukan usia yang mendewasakan manusia, melainkan luka.
***
Syawal 1439 H
Ditulis dalam perjalanan Bogor-Jakarta,
usai berdiskusi
dengan salah seorang sahabat
tentang luka-luka yang menganga :)
No comments:
Post a Comment